Awal tahun 2020 awalnya tidak cukup baik-baik
saja, pasalnya kakak saya keguguran. Saya kemudian pulang ke rumah secara tidak
direncanakan. Saat itu saya sedang di BEC sambil ngeleptop di Upnormal. Setelah
mengangkat telpon dari Ibuk, saya mendapatkan firasat kalo kakak bakalan
keguguran. Langsung saya ke stasiun, reservasi di tempat, dan berangkat. Semua
serba cepat dan singkat. Setibanya di stasiun Lamongan, saya menuju RSML dan ketemu
keluarga. Tak lama setelah lahir, jabang bayi yang berusia 4 bulan dikuburkan semalam.
Sorenya hari itu juga, orangtua mengantarkan saya ke stasiun menuju ke Bandung.
Esok paginya ada rapat dengan pimpinan saya yang baru.
Masih di bulan Januari, saya sempat ke Jogja
untuk menghadiri nikahan teman dekat saya saat Aliyah (SMA), sekalian bertamu
dengan sepupu dan teman-teman dekat. Mungkin seminggu setelah itu, saya harus
ke Jakarta untuk menjemput orangtua yang akan menghadiri wisuda adik di Depok. Kakak
terpaksa tidak hadir karena recovery pasca keguguran. Alhamdulillah, wisuda
di UI berjalan lancar. Pertama kalinya saya menghadiri wisuda di kampus ini. Saya
datang agak siangan dari hotel sembari menikmati danau UI.
Bulan Februari, kabar virus baru menyeruak ke publik
dengan berbagai drama dari Pemerintah. Pada 3 Maret, status pandemi ditetapkan
Pemerintah dengan disertai kebijakan lockdown ala Pemerintah yang diistilahkan
PSBB. Di awal-awal pandemi ini, berbagai diskursus terjadi di kalangan
masyarakat mulai dari kritik ke Pemerintah yang tidak bener menangani pandemi,
larangan ke luar, permodelan prediksi pandemi covid-19 akan berakhir, gotong-royong
masyarakat untuk atasi pandemi, ancaman resesi, dan lain sebagainya. Intinya
semua perhatian tercurah ke pandemi.
Sejak awal pandemi, saya tidak keluar sama
sekali kecuali untuk hal yang urgen seperti halnya piket ke kantor. Iya kantor buka
sejak awal pandemi meskipun dengan cara digilir. Sholat tidak pernah sekalipun
di masjid, bahkan jumatan sekalipun. Selama satu Ramadhan penuh, saya ibadah di
rumah. Sementara itu, makan saya dari Ibu kos sehari dua kali. Minuman biasanya
pesan Go Food kalo tidak Chattime atau Kopi Kenangan. Saya diuntungkan satu :
tetap bergaji dan disibukkan dengan pekerjaan. Saya tidak tahu jika pandemi
yang menuntut saya tidak boleh kemana-mana tanpa dua hal tadi. Saya mungkin
akan stres luar biasa.
Skip Lebaran
Untuk pertama kalinya, lebaran tidak di rumah.
Saya sholat Ied sendiri di kosan. Saya sempat merekam dengan berbagai gadget
yang saya punya, namun hasilnya belum juga ada karena belum punya waktu buat
ngedit. Pasca sholat, saya video call keluarga dilanjutkan makan opor dari ibu
kos. Malamnya saya sempat keluar dan melihat Bandung sepi sekali, seperti kota
mati. Di waktu lain, saya sempat jogging keliling jalan Dago, sangat menakutkan
karena sepi sekali. Khawatir dipalak orang-orang yang terpaksa memalak. Kita
tahu bersama bahwa tak hanya pekerja pabrik yang banyak kehilangan pekerjaan, melainkan
juga para preman, Pak Ogah, dan juga tukang parkir. Semua kena dampaknya.
“Selamat lebaran” pun hanya ada secara virtual.
“Seperti tidak lebaran”, begitu kesan saya. Keluarga saya di rumah merayakan
lebaran juga di rumah dengan Bapak sebagai imam. Tak hanya Idul Fitri, hari
raya kurban pun saya tidak pulang. Namun, saat itu Bandung sudah ramai, jalanan
sudah mulai macet. Saya melakukan sholat hari raya di masjid Salman dengan
protokol lengkap. Pasca lebaran, kantor sudah lebih ramai untuk menyambut 100
tahun Pendidikan Tinggi Teknik (PTTI) ITB yang jatuh pada 3 Juli 2020.
Mencoba Tetap Sibuk
Terlalu sibuk memang tidak baik karena rentan stres,
apalagi jika tidak ada kesibukan. Pastinya lebih stres. Saya diuntungkan sejak
awal pandemi tetap sibuk. Sejak awal tahun saya membantu menuntaskan portal
arsip statis ITB dengan mahasiswa IF dan alhamdulillah selesai sampai
pertengahan tahun. Selanjutnya, terlibat lagi di website baru kampus di mana telah
kami inisiasi sejak tahun lalu. Website ini di-launching beberapa hari
sebelum 3 Juli 2020, tepat 100 tahun PTTI. Selain itu, pembuatan buku dengan MoTLab
SBM dan juga pembuatan majalah tetap berlangsung. Majalah “ITB Magz” edisi reborn
terbit pada 3 Juli 2020 secara online setelah terakhir terbit pada 2013 silam.
Patokannya setelah lebaran, saya mulai keluar
untuk ngopi meskipun seringkali di dua tempat. Di waktu bersamaan, saya tengah
menyiapkan persyaratan untuk studi S3 di SBM. Saya mengikuti tes TPA bahkan
sampai empat kali baru lulus. Pertama beberapa saat sebelum pandemi ditetapkan
sampai terakhir lulus dengan skor 575,17 setelah tes tanggal 4 Oktober 2020. Juga
secara lebih aktif cari jodoh dengan mengontak beberapa calon potensial. Setelah
Juli, saya dengan tim mempersiapkan proses penilaian PPID dan juga mulai mengerjakan
majalah untuk edisi Desember 2020.
Capaian
Produktivitas saya dalam menulis atau membaca
buku non-paper saya akui menurun drastis. Meskipun demikian, saya punya
beberapa capaian. Pertama, terbitnya ITB Magz mulai dari Juli kemudian Desember
2020. Prosesnya tidak mudah karena berpindah stakeholders mulai dari
Forum Guru Besar (FGB) berpindah ke Biro Komunikasi dan Humas. Implikasinya
timnya berubah, begitupula konsepnya. Jika edisi Juli 2020 hanya versi online
saja, di edisi Desember selain online ada cetak yaitu versi bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris dengan masing-masing dicetak sebanyak 500 eksemplar.
Kedua, diterimanya saya sebagai calon mahasiswa
S3 SBM. Sejak awal tahun pra pandemi, saya sudah merencanakan untuk mendaftar
di DSM karena tidak memungkinkan saya untuk studi di luar negeri. Persiapan bahasa
saya minim sekali. Alhamdulillah pada 24 November saya dinyatakan diterima. Saya
akui saat wawancara buruk sekali karena tidak mempersiapkan untuk presentasi
dalam bahasa Inggris. Hal itu membuat saya ragu untuk diterima. Namun
alhamdulillah, terbayarkan sudah usaha saya empat kali tes TPA meskipun
menyisakan tes ITP. Saya diterima dengan keharusan ikut matrikulasi mulai bulan
depan. Saya sudah daftar dan bayar. Nantinya saya akan mengikuti kuliah sebanyak
9 SKS selama satu semester sebelum masuk DSM pada pertengahan tahun depan.
|
dia adalah capaian terbesar selama 2020
|
Capaian lainnya yaitu draft buku MoTLab sudah ada,
menunggu review untuk saya revisi dan kemudian cetak. Prosesnya masih agak
panjang, namun saya cukup lega karena draft-nya sudah jadi. Selain itu, saya
sempat menjadi salah satu pembicara di webinar 100 tahun PPTI dengan dosen dan
senior saya secara daring. Ini adalah sebuah kehormatan bagi saya. Dari webinar
ini saya mengenal seorang Guru Besar Emiretus dari UI yang mengirimkan email ke
saya setelah acara dan kemudian bertukar nomor WhatsApp. Selain itu, belum lama
ini saya mulai lancar menyetir mobil setelah pertama kali mencoba pada 2010 silam.
Namun dari beberapa capaian di atas, bagi saya
mendapatkan jodoh adalah capaian terbesar. Setelah berinteraksi secara daring
pada 3 Juli 2020, esoknya saya bertemu di kedai langganan saya dan pada hari
tersebut saya langsung yakin bahwa dia adalah jodoh saya. Setelah ketemuan itu,
saya berinteraksi secara online selama dua minggu. Di saat menunggu tersebut
saya sempat ragu, namun kemudian mantab setelah istikhoroh. 25 Juli 2020 saya
jadian dan komitmen untuk serius. Sejak saat itulah malam minggu saya tak lagi
sendiri. Kami memutuskan bertunangan pada 12 Desember 2020. Tunangan digelar di
salah satu hotel di Bandung dengan dari pihak saya diwakili Bapak, Ibu, adik,
dan Pak Lik. Kakak saya hamil tua sehingga berhalangan hadir.
Tetap survive
Pandemi berdasarkan prediksi akan berakhir
setelah tiga bulan. Realita menunjukkan lain bahwa sampai sekarang pandemi ini
tetap berlangsung dan bahkan lebih parah. Kini tidak jelas kluster adanya di
mana. Satu-satunya harapan pandemi bisa diakhiri adalah dengan vaksinasi yang
rencananya akan dimulai di awal tahun depan. Jika dulu yang kena covid seolah
menjadi aib, saat itu seolah lumrah. Banyak orang dekat terkena covid bahkan
ada dari keluarga saya. Virus ini telah masuk kampung saya di Jatim. Di bulan Agustus
lalu bahkan sepupu saya meninggal karena penyakit ini. Bahkan di detik ini, keluarga
saya berada dalam masa isolasi. Ada seorang positif dengan tanpa gejala.
Sebelum tunangan saya sempat pulang ke rumah
pertama kali sejak pandemi yaitu pada Oktober sekitar 2 minggu. Kepulangan saya
ini setelah saya menyelesaikan wawancara untuk masuk DSM dan beberapa hari
setelah ibu dioperasi kakinya. Kepulangan kedua seminggu setelah tunangan yaitu
selama 5 hari tepat di hari ulangtahun saya ke-30 (senang sekali pas ultah saya
dihadiahi sebuah dompet dan sweater yang dibeli dari Jepang, thanks sayang ). Konsekuensi dari pulkam ini,
saya harus menjalani rapid tes antibodi (2 kali di stasiun), tes swab PCR (1
kali di RSML), dan tes rapid antigen (1 kali di Klinik Kimia Farma Unpad Dago).
Namun di tengah kondisi yang serba dibatasi
khususnya keharusan mematuhi protokol kesehatan dan berbagai fasilitas umum
yang dibatasi/ditutup, saya merasa lebih dekat dengan keluarga. Biasanya dulunya
seminggu sekali telepon, sekarang dua hari sekali. Ditambah lagi dengan adanya tunangan
di mana setiap hari kami berkomunikasi secara
intens menambah semangat saya untuk hidup. Pandemi ini telah membuat saya (mungkin
termasuk Anda) untuk memandang hidup dalam kacamata yang berbeda.
2021 : Harus tetap survive
Pandemi belum juga tanda-tanda berakhir, maka tak
lain kita harus tetap bisa survive. Saya kira itu adalah tujuan utama di
tahun depan. Tahun depan saya berencana menikah dan juga mulai kuliah S3. Saya
kira itu adalah langkah besar saya dalam hidup karena keduanya memiliki konsekuensi
yang besar. Tidak seperti 2020, kamar kosan saya akan menjadi kantor utama
karena saya akan bekerja secara penuh waktu dari sini. Saya harus lebih patuh
pada jadwal dan target yang saya buat sendiri karena tanpa itu rencana akan
mudah gagal. Rencananya di awal tahun saya akan memulai riset S3.
InsyaAllah siap menjalani tahun 2021
dengan semangat, merdeka !
Bandung, 31 Desember 2020