Sunday, October 02, 2022

Mengelola Inovasi di Perguruan Tinggi

Inovasi sederhana dapat diartikan sebagai suatu kebaruan baik dari produk atau jasa, proses, maupun model bisnis [1] yang dipakai. Dipakai berarti dimanfaatkan sehingga mampu menciptakan kemudahaan bagai pemakainya yang membuat kehiduapan menjadi semakin baik. Inilah yang membuat inovasi penting karena memiliki nilai tambah (added-value) sehingga memungkinkan orang untuk membeli atau menggunakannya. 

Perguruan tinggi merupakan bagian dari industri pendidikan dalam kacamata kapitalisme yang memungkinkan benefit bagi pihak yang berada dalam industri ini. Benefit ini dapat dihasilkan melalui penjalanan praktik inovasi didalamnya. Namun sebelum mengarah ke sana, perlu disadari bisnis utama perguruan tinggi adalah pengajaran yang selanjutnya bisa berkembang ke arah penelitian, konsultansi, dan model bisnis lain. 

Jika kita break down ke arah jenis inovasi, bisa kita optimalkan revenue dari masing-masing jenis:

  • Inovasi produk atau jasa, bagi perguruan tinggi yang kuat di riset sebagai, hasil riset bisa dijual ke industri melalui licensing atau kolaborasi spin-off. Atau pengetahuan yang tangible dari para dosen dapat dijual ke berbagai pihak sebagai bagian dari workshop.
  • Inovasi proses, bagaimana proses pengajaran disesuaikan dengan relevansi zaman informasi misalkkan universitas dapat memaksimalkan platform secara memungkinkan pendidikan tidak hanya dilakukan secara offline, melainkan juga online.
  • Inovasi model bisnis, pengajaran sebagai sumber revenue dapat ditingkatkan melalui optimalisasi sumber lain seperti consulting atau kerjasama dengan open platform pengajaran lain.

Pastinya, usaha besar harus dilakukan oleh Perguruan Tinggi jika ingin optimalisasi inovasi yang saya sebutkan di atas. Perlu dukungan berbagai faktor jika ingin sukses menjalankan ketiga jenis inovasi di atas.  


[1] https://www.northeastern.edu/graduate/blog/types-of-innovation/

Saturday, April 03, 2021

Inovasi


Kata "Inovasi" pastinya tidak asing di telinga kita. Setiap hari ketika kita berseluncur di dunia maya, kata ini begitu banyaknya muncul. Dari bergitu banyaknya definisi inovasi saya lebih cenderung ke definisi yang diberikan Bessant yaitu bahwanya inovasi merupakan menjadikan ide menjadi nilai (value) baik yang bersifat komersial maupun sosial. Nah, jadi kunci dari inovasi adalah suatu ide yang sudah diwujudkan dalam barang/jasa dan digunakan oleh orang. Kalo belum digunakan itu berarti bukan inovasi namun masih terbatas penemuan/invensi.

Idea adalah awal dari inovasi dan ide ini sifatnya gratis. Semua orang bisa mengekspresikan idenya masing-masing tanpa harus bayar. Nah pertanyaannya bagaimana ide ini bisa diarahkan ke produk/jasa tertentu? Ini dibutuhkan proses panjang bergantung pada produk/jasa yang dibuat. Ide ini penting sekali namun jauh lebih penting realisasi ide ini. Ada yang mengatakan kesuksesan dalam inovasi itu 99 % realisasi 1 % ide. Kalo orang berkutat pada ide doang artinya dia tidak maju-maju.

Selanjutnya, proses pembuatan produk/jasa yang menjadi ciri khas inovasi adalah adanya nilai tambah (added value) meskipun kadarnya tidak besar (istilahnya inkremental) atau benar-benar besar (radikal). Terkait nilai tambah ini ada dua maintream besar yaitu produk/jasa didorong oleh permintaan (demand/market pull) dan produk/jasa didorong oleh inovasi teknologi baru (technology push). Pembuatan produk/jasa baru pastinya dipengaruhi oleh dua aliran tersebut, meskipun kadarnya bisa sangat kecil sehingga perannya diabaikan. Seperti halnya produk baru yang dikembangkan Silicon Valley sebut saya Facebook. Dulu produk ini sama sekali tidak ada, adanya membuat orang kemudian ke sini menjadi adopter/pengguna.

 

Kajian inovasi ini terus berkembang seiring dengan hadirnya paradigma industri 4.0 yang merevolusi kehidupan kita saat ini. Kini muncul istilah-istilah baru di inovasi seperti halnya open innovation, dynamic capability, agile innovation, dan lain sebagainya. Istilah baru tersebut muncul seiring dengan perkembangan teknologi dan budaya saat ini yang amat masif. Konsep inovasi yang berubah dan berkembang tersebut seharusnya membuat pola-pikir juga berubah. Apalagi pemikiran akan linearitas inovasi yang menempatkan invensi dan komersialisasi pada dua dunia yang berbeda itu merupakan pemikiran lama yang seharusnya tidak lagi dikutip. "Interaksi" adalah kunci inovasi dapat hadir.


Friday, March 12, 2021

Managing Talent in the Networked Age


Companies (employers) often lose its valuable employees because of lack of harmonious relationship. Loyality of an employee becomes expensive in  at-will era like today where companies are focusing on hitting short-term financial target to boost stock prices. An inability of companies in managing their talents makes them difficult to generate innovation so that they lost the competition and dying. So, an approach of employer-employee relationship is required to answer that problem.

 

The Alliance offers a new relationship framework between employer and employee in a networked age like today. The Alliance propose a new type of loyalty that allows companies and employees to commit and add value to each other. This new type views the company as a sports team and family at the same time that defines how we work together and toward what purpose and how we treat each other—with compassion, appreciation, and respect. Apart for being required to have founder mind-set, both employer and employee must have tour of duty. In The Alliance both company and employee have mutual investment that will generate big cumulative returns in the years to come. 

 

The tour of duty represents an ethical commitment by employer and employee to a specific mission. This approach can relieve the pressure on you and your employees alike because it builds trust incrementally. The tour of duty that is very greatly based on the person, company, functional area, industry, and job title can be categorized into three type; rotational, transformational, and foundational. The point of the tour of duty framework is to enable a high-trust, high-integrity conversation that allows both sides to make wise investments, whatever the length of the tour. Beside that, it is required to have an alignment that means to seek and highlight the commonality between the company’s purpose and values and the employee’s career purpose and values to form a winning team. 

 

Today, both company and employee need to look outward toward the overall environment in which they operate, especially when it comes to networks. Network intelligence is the most effective way for the organization to engage with and learn from the outside world. Right now, that network becomes a valuable asset that helps the company. This book shows to us how to implement network intelligence programs  step-by-step. 

 

The book that consist of eight chapters is a best practice from experience by a founder LinkedIn, Reid Hoffman, in looking how managing talent in practice nowadays. This book enrich with several case studies from startup actors in its each chapter, also there are advice for manager and tactical reminder which is very applicable. There is special part “Walking the walk” that talking about how LinkedIn run The Alliance strategy that make this book richer. It is just, theoretically discourse related to managing talent needs to be studied further. 

 

*This book review was individual assignment of People in Organization (PIO) Class 2021

Thursday, December 31, 2020

2020 : Tahun Survival

Awal tahun 2020 awalnya tidak cukup baik-baik saja, pasalnya kakak saya keguguran. Saya kemudian pulang ke rumah secara tidak direncanakan. Saat itu saya sedang di BEC sambil ngeleptop di Upnormal. Setelah mengangkat telpon dari Ibuk, saya mendapatkan firasat kalo kakak bakalan keguguran. Langsung saya ke stasiun, reservasi di tempat, dan berangkat. Semua serba cepat dan singkat. Setibanya di stasiun Lamongan, saya menuju RSML dan ketemu keluarga. Tak lama setelah lahir, jabang bayi yang berusia 4 bulan dikuburkan semalam. Sorenya hari itu juga, orangtua mengantarkan saya ke stasiun menuju ke Bandung. Esok paginya ada rapat dengan pimpinan saya yang baru.

 

Masih di bulan Januari, saya sempat ke Jogja untuk menghadiri nikahan teman dekat saya saat Aliyah (SMA), sekalian bertamu dengan sepupu dan teman-teman dekat. Mungkin seminggu setelah itu, saya harus ke Jakarta untuk menjemput orangtua yang akan menghadiri wisuda adik di Depok. Kakak terpaksa tidak hadir karena recovery pasca keguguran. Alhamdulillah, wisuda di UI berjalan lancar. Pertama kalinya saya menghadiri wisuda di kampus ini. Saya datang agak siangan dari hotel sembari menikmati danau UI.

 

Bulan Februari, kabar virus baru menyeruak ke publik dengan berbagai drama dari Pemerintah. Pada 3 Maret, status pandemi ditetapkan Pemerintah dengan disertai kebijakan lockdown ala Pemerintah yang diistilahkan PSBB. Di awal-awal pandemi ini, berbagai diskursus terjadi di kalangan masyarakat mulai dari kritik ke Pemerintah yang tidak bener menangani pandemi, larangan ke luar, permodelan prediksi pandemi covid-19 akan berakhir, gotong-royong masyarakat untuk atasi pandemi, ancaman resesi, dan lain sebagainya. Intinya semua perhatian tercurah ke pandemi.

 

Sejak awal pandemi, saya tidak keluar sama sekali kecuali untuk hal yang urgen seperti halnya piket ke kantor. Iya kantor buka sejak awal pandemi meskipun dengan cara digilir. Sholat tidak pernah sekalipun di masjid, bahkan jumatan sekalipun. Selama satu Ramadhan penuh, saya ibadah di rumah. Sementara itu, makan saya dari Ibu kos sehari dua kali. Minuman biasanya pesan Go Food kalo tidak Chattime atau Kopi Kenangan. Saya diuntungkan satu : tetap bergaji dan disibukkan dengan pekerjaan. Saya tidak tahu jika pandemi yang menuntut saya tidak boleh kemana-mana tanpa dua hal tadi. Saya mungkin akan stres luar biasa.

 

Skip Lebaran

 

Untuk pertama kalinya, lebaran tidak di rumah. Saya sholat Ied sendiri di kosan. Saya sempat merekam dengan berbagai gadget yang saya punya, namun hasilnya belum juga ada karena belum punya waktu buat ngedit. Pasca sholat, saya video call keluarga dilanjutkan makan opor dari ibu kos. Malamnya saya sempat keluar dan melihat Bandung sepi sekali, seperti kota mati. Di waktu lain, saya sempat jogging keliling jalan Dago, sangat menakutkan karena sepi sekali. Khawatir dipalak orang-orang yang terpaksa memalak. Kita tahu bersama bahwa tak hanya pekerja pabrik yang banyak kehilangan pekerjaan, melainkan juga para preman, Pak Ogah, dan juga tukang parkir. Semua kena dampaknya.

 

“Selamat lebaran” pun hanya ada secara virtual. “Seperti tidak lebaran”, begitu kesan saya. Keluarga saya di rumah merayakan lebaran juga di rumah dengan Bapak sebagai imam. Tak hanya Idul Fitri, hari raya kurban pun saya tidak pulang. Namun, saat itu Bandung sudah ramai, jalanan sudah mulai macet. Saya melakukan sholat hari raya di masjid Salman dengan protokol lengkap. Pasca lebaran, kantor sudah lebih ramai untuk menyambut 100 tahun Pendidikan Tinggi Teknik (PTTI) ITB yang jatuh pada 3 Juli 2020.

 

Mencoba Tetap Sibuk

 

Terlalu sibuk memang tidak baik karena rentan stres, apalagi jika tidak ada kesibukan. Pastinya lebih stres. Saya diuntungkan sejak awal pandemi tetap sibuk. Sejak awal tahun saya membantu menuntaskan portal arsip statis ITB dengan mahasiswa IF dan alhamdulillah selesai sampai pertengahan tahun. Selanjutnya, terlibat lagi di website baru kampus di mana telah kami inisiasi sejak tahun lalu. Website ini di-launching beberapa hari sebelum 3 Juli 2020, tepat 100 tahun PTTI. Selain itu, pembuatan buku dengan MoTLab SBM dan juga pembuatan majalah tetap berlangsung. Majalah “ITB Magz” edisi reborn terbit pada 3 Juli 2020 secara online setelah terakhir terbit pada 2013 silam.

 

Patokannya setelah lebaran, saya mulai keluar untuk ngopi meskipun seringkali di dua tempat. Di waktu bersamaan, saya tengah menyiapkan persyaratan untuk studi S3 di SBM. Saya mengikuti tes TPA bahkan sampai empat kali baru lulus. Pertama beberapa saat sebelum pandemi ditetapkan sampai terakhir lulus dengan skor 575,17 setelah tes tanggal 4 Oktober 2020. Juga secara lebih aktif cari jodoh dengan mengontak beberapa calon potensial. Setelah Juli, saya dengan tim mempersiapkan proses penilaian PPID dan juga mulai mengerjakan majalah untuk edisi Desember 2020.

 

Capaian

 

Produktivitas saya dalam menulis atau membaca buku non-paper saya akui menurun drastis. Meskipun demikian, saya punya beberapa capaian. Pertama, terbitnya ITB Magz mulai dari Juli kemudian Desember 2020. Prosesnya tidak mudah karena berpindah stakeholders mulai dari Forum Guru Besar (FGB) berpindah ke Biro Komunikasi dan Humas. Implikasinya timnya berubah, begitupula konsepnya. Jika edisi Juli 2020 hanya versi online saja, di edisi Desember selain online ada cetak yaitu versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan masing-masing dicetak sebanyak 500 eksemplar.

 

Kedua, diterimanya saya sebagai calon mahasiswa S3 SBM. Sejak awal tahun pra pandemi, saya sudah merencanakan untuk mendaftar di DSM karena tidak memungkinkan saya untuk studi di luar negeri. Persiapan bahasa saya minim sekali. Alhamdulillah pada 24 November saya dinyatakan diterima. Saya akui saat wawancara buruk sekali karena tidak mempersiapkan untuk presentasi dalam bahasa Inggris. Hal itu membuat saya ragu untuk diterima. Namun alhamdulillah, terbayarkan sudah usaha saya empat kali tes TPA meskipun menyisakan tes ITP. Saya diterima dengan keharusan ikut matrikulasi mulai bulan depan. Saya sudah daftar dan bayar. Nantinya saya akan mengikuti kuliah sebanyak 9 SKS selama satu semester sebelum masuk DSM pada pertengahan tahun depan.

 

dia adalah capaian terbesar selama 2020

 

Capaian lainnya yaitu draft buku MoTLab sudah ada, menunggu review untuk saya revisi dan kemudian cetak. Prosesnya masih agak panjang, namun saya cukup lega karena draft-nya sudah jadi. Selain itu, saya sempat menjadi salah satu pembicara di webinar 100 tahun PPTI dengan dosen dan senior saya secara daring. Ini adalah sebuah kehormatan bagi saya. Dari webinar ini saya mengenal seorang Guru Besar Emiretus dari UI yang mengirimkan email ke saya setelah acara dan kemudian bertukar nomor WhatsApp. Selain itu, belum lama ini saya mulai lancar menyetir mobil setelah pertama kali mencoba pada 2010 silam.

 

Namun dari beberapa capaian di atas, bagi saya mendapatkan jodoh adalah capaian terbesar. Setelah berinteraksi secara daring pada 3 Juli 2020, esoknya saya bertemu di kedai langganan saya dan pada hari tersebut saya langsung yakin bahwa dia adalah jodoh saya. Setelah ketemuan itu, saya berinteraksi secara online selama dua minggu. Di saat menunggu tersebut saya sempat ragu, namun kemudian mantab setelah istikhoroh. 25 Juli 2020 saya jadian dan komitmen untuk serius. Sejak saat itulah malam minggu saya tak lagi sendiri. Kami memutuskan bertunangan pada 12 Desember 2020. Tunangan digelar di salah satu hotel di Bandung dengan dari pihak saya diwakili Bapak, Ibu, adik, dan Pak Lik. Kakak saya hamil tua sehingga berhalangan hadir.

 

 

Tetap survive

 

Pandemi berdasarkan prediksi akan berakhir setelah tiga bulan. Realita menunjukkan lain bahwa sampai sekarang pandemi ini tetap berlangsung dan bahkan lebih parah. Kini tidak jelas kluster adanya di mana. Satu-satunya harapan pandemi bisa diakhiri adalah dengan vaksinasi yang rencananya akan dimulai di awal tahun depan. Jika dulu yang kena covid seolah menjadi aib, saat itu seolah lumrah. Banyak orang dekat terkena covid bahkan ada dari keluarga saya. Virus ini telah masuk kampung saya di Jatim. Di bulan Agustus lalu bahkan sepupu saya meninggal karena penyakit ini. Bahkan di detik ini, keluarga saya berada dalam masa isolasi. Ada seorang positif dengan tanpa gejala.

 

Sebelum tunangan saya sempat pulang ke rumah pertama kali sejak pandemi yaitu pada Oktober sekitar 2 minggu. Kepulangan saya ini setelah saya menyelesaikan wawancara untuk masuk DSM dan beberapa hari setelah ibu dioperasi kakinya. Kepulangan kedua seminggu setelah tunangan yaitu selama 5 hari tepat di hari ulangtahun saya ke-30 (senang sekali pas ultah saya dihadiahi sebuah dompet dan sweater yang dibeli dari Jepang, thanks sayang ). Konsekuensi dari pulkam ini, saya harus menjalani rapid tes antibodi (2 kali di stasiun), tes swab PCR (1 kali di RSML), dan tes rapid antigen (1 kali di Klinik Kimia Farma Unpad Dago).

 

Namun di tengah kondisi yang serba dibatasi khususnya keharusan mematuhi protokol kesehatan dan berbagai fasilitas umum yang dibatasi/ditutup, saya merasa lebih dekat dengan keluarga. Biasanya dulunya seminggu sekali telepon, sekarang dua hari sekali. Ditambah lagi dengan adanya tunangan di mana  setiap hari kami berkomunikasi secara intens menambah semangat saya untuk hidup. Pandemi ini telah membuat saya (mungkin termasuk Anda) untuk memandang hidup dalam kacamata yang berbeda.

 

2021 : Harus tetap survive

 

Pandemi belum juga tanda-tanda berakhir, maka tak lain kita harus tetap bisa survive. Saya kira itu adalah tujuan utama di tahun depan. Tahun depan saya berencana menikah dan juga mulai kuliah S3. Saya kira itu adalah langkah besar saya dalam hidup karena keduanya memiliki konsekuensi yang besar. Tidak seperti 2020, kamar kosan saya akan menjadi kantor utama karena saya akan bekerja secara penuh waktu dari sini. Saya harus lebih patuh pada jadwal dan target yang saya buat sendiri karena tanpa itu rencana akan mudah gagal. Rencananya di awal tahun saya akan memulai riset S3.

 

InsyaAllah siap menjalani tahun 2021 dengan semangat, merdeka !

 

 

 

Bandung, 31 Desember 2020

Thursday, August 27, 2020

Domain Baru Semangat Baru

Tepat 17 Agustus 2020, laman pribadi saya berganti dari domain [dot]com menjadi [dot]id. Alamat laman saya sejak itu menjadi https://www.uruqulnadhif.id/. Saya sebenarnya tidak enak untuk mengganti domain lama karena telah ada sejak 2013 silam. Lebih dari sebulan saya menunggu domain lama saya tidak aktif, namun ternyata tahunya dibeli orang. Saya segera setelah itu membeli domain lain dan jatuh pada pilihan [dot]id di jasa penyedia domain dan server yang dimiliki sebuah perusahaan Indonesia. Butuh sekitar 2-3 hari proses hosting selesai dan laman baru saya online.

Di laman baru, beberapa nama menu saya ubah seperti "Profil Blogger" menjadi "My Profile" juga tentunya tagline blog baru saya ini menjadi "Learning to Lead" sebagai motivasi untuk terus menjadi yang terbaik. Meskipun template blog tidak berubah, namun dengan bergantinya domain ini saya menjadi lebih semangat untuk menulis di blog ini dan juga di platform blog saya yang lain di mana saya tautkan di laman ini seperti medium, tumblr, kompasiana, dan wordpress. Selain itu, tentunya tulisan ilmiah sebagai konsekuensi saya sebagai peneliti seperti jurnal dan buku.

 


Blog saya ini merupakan kompilasi dari segala aktivitas saya di dunia maya. Blog ini juga semacam medium saya belajar untuk berkarya khususnya melalui dunia konten. Tidak ada harapan spesifik bahwa melalui tulisan saya akan mengubah sesuatu. Tidak ada yang perlu saya ubah kecuali diri saya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tahun 2020, tahun di mana pandemi besar melanda dunia diharapkan menjadi tahun titik balik bagi saya untuk memulai hal baru. Memulai hal baru tentunya disertai dengan semangat baru, semangat 17 Agustus.

Saya mengubah foto profil di beberapa media sosial yang saya miliki tentunya dengan foto baru. Foto yang diambil oleh seorang spesial menambah spesial foto ini. Harapannya foto baru ini merepresentasikan semangat baru untuk berkarya meskipun tengah ada pandemi covid. Tidak ada kata lelah untuk berkarya meskipun di depan banyak sekali rintangan. Namun meskipun laman personal saya baru, folosofi hidup yang saya anut tetap sama yaitu menjadi pribadi yang terus belajar. Saya tidak mengenal kata "gagal" dan "sukses" karena keduanya itu adalah bagian dari proses belajar. Keduanya adalah sekedar label untuk menilai sejauh mana langkah hidup kita. Mari kita hadapi 2020 dan tahun-tahun selanjutnya dengan optimis ! 

Monday, May 04, 2020

Pekerja Informal di Masa Corona

Berdasarkan data yang dihimpun John Hopkins University per hari ini (4/5) bahwa terdapat lebih dari 3.5 juta penduduk dunia terinfeksi virus corona dengan lebih dari 240 ribu meninggal dunia. Sementara di Indonesia terdapat 11,192 penduduk yang terpapar virus ini dengan 845 di antaranya meninggal dunia.

Saya tidak kan menulis serius terkait pandemi yang disebabkan virus ini karena sudah saya tulis di majalah ITB yang rencananya akan terbit Juli nanti. Di tulisan ini saya akan mencoba berefleksi tentang nasib pekerja informal di masa pandemi ini dan bagaimana kita sebagai pekerja formal seharusnya bekerja.

Pandemi virus corona pastinya sangat menampar sektor informal seperti PKL, toko kelontong, pekerja seni, dan sebagainya. Satu-satunya sumber penghasilan mereka adalah saat ada orang yang mau datang dan beli dagangan mereka atau untuk pekerja seni ketika ada pertunjukan/undangan manggung. Kini tidak mungkin semua itu ada seperti sebelum corona. Di masa ini jikapun masih ada permintaan, frekuensinya pasti sangat kecil dan itupun tidak cukup untuk sekedar dipakai makan.


Mereka para pelaku informal dihadapkan pada kondisi sulit, dilarang keluar untuk bekerja oleh Pemerintah dan berpeluang tertular virus, sementara jika tinggal di rumah saja tidak ada penghasilan. Kondisi sulit ini membuat mereka melakukan apasaja untuk bertahan hidup, menjual apapun yang bisa dijual. Atau jika beruntung ada tabungan, maka tabungan ini yang dipakai. Mereka yang paling terdampak ini seharusnya mendapatkan perhatian dari Pemerintah dengan diberikan bantuan langsung seperti BLT.

Namun nyatanya bantuan Pemerintah berwujud lain seperti Pra-Kerja yang banyak salah sasaran dan juga isinya adalah pelatihan yang tidak dibutuhkan. Juga ada bantuan seperti sembako dari Pemerintah yang entah itu diberikan ke orang yang tepat atau tidak. Di sini saya kemudian menyayangkan Pemerintah yang terlihat tidak kompeten mengurusi negara di saat pandemi. Jelas-jelas rakyat butuh makan, harusnya dikasi duit. Mustahil Pemerintah tidak punya duit karena apapun kini dipajaki dan subsidi pada dicabut. Duit ini dicairkan melalui mekanisme yang tepat dan disalurkan ke orang yang tepat. Kan sudah sering gembar-gembor industri 4.0, kalo ini gak bisa diterapkan jangan pakai jargon itu lagi nanti.

Pekerja Formal

Melihat kondisi pekerja informal yang perlu dikasihani, saya merasa berdosa jika saya yang bekerja di sektor formal (biarpun kontrak) nyantai-nyantai saja. Saya lebih beruntung gaji dibayarkan total sehingga kebutuhan bulanan dapat tercukupi. Meskipun harus diakui produktivitas turun saat pandemi ini tapi itu bukanlah excuse kita untuk tidak perform dalam bekerja. Jam kerja saya tetap sama 24 jam seperti sebelum pandemi. Saya punya pakerjaan lain di luar sektor formal (birokrasi) yang itu membantu saya menghabiskan waktu saya di masa pandemi ini. Pekerjaan birokrasi ini intensitasnya menurun drastis dan membuat kita malas dalam bekerja. Namun, kemalasan kita ini dikompensasi dengan gaji full.

Saya kira tidak patut bagi pekerja formal yang mendapatkan gaji full namun bekerja dengan beban pekerjaan yang jauh kecil. Rasanya seperti liburan yang digaji. Jika pekerja informal harus banting tulang gimana caranya dapat duit, ini pekerja formal malas-malasan dapat duit. Mungkin inilah alasan banyaknya orang Indonesia yang tertarik masuk di sektor formal khususnya PNS dari lembaga Pemerintah. Pekerjaan saya di sektor formal saya akui tidak berat, makanya saya mencari pekerjaan lain yang terkait dengan tempat kerja atau tidak meskipun seringkali tidak dibayar. Saya merasa tidak jadi orang kalo mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa adanya tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi saya.

Kita anak muda yang merupakan "knowledge worker" ketika bekerja di sektor formal seperti birokrasi harus bersabar di tengah mayoritas pekerjanya yang "formal worker" yang minim kreativitas. Jika di lingkungan pekerjaan knowledge-based economy mengapresiasi kreativitas, ide, dan gagasan, jangan harap hal-hal itu diapreasiasi di sektor formal seperti birokrasi. Teringat suatu ketika ada perwakilan Kementerian datang presentasi tentang rencana lembaga tersebut menerapkan manajemen bigdata dan ternyata itu hanyalah manajemen data biasa.

Thursday, January 02, 2020

Refleksi 2019

Dekade baru 2020 sudah dimulai. Saatnya saya membuat kilas 2019 dari aktivitas yang saya jalani selama itu. Sejak dari awal tahun, kefokusan saya adalah seputar bagaimana riset saya selesai. Keluarannya yaitu publikasi minimal tiga paper di jurnal internasional Q3. Energi saya kesedot ke sana setiap hari khususnya di pagi dan sore hari dengan nongkrong di kafe sampai malam. Tak hanya riset, saya tetap menjalankan pekerjaan saya yang lain terkait manajemen informasi. Meskipun itu prioritas kedua, namun realitanya saya justru habiskan waktu saya lebih banyak ke situ.

Seingat saya di akhir tahun 2018, saya telah menjalin komunikasi dengan dosen Informatika untuk meminta beberapa mahasiswanya membantu kami di PPID. Alhamdulillah, permintaan saya dikabulkan dengan diberikan tujuh mahasiswa dengan satu diantaranya adalah mentor. Kebetulan di jurusan tersebut matakuliah Rekayasa Perangkat Lunak yang tugas utamanya adalah mengerjakan projek profesional secara berkelompok. Saya memberikan tugas mereka untuk membuat website PPID dengan tampilan/fitur kombinasi dari website PPID milik PPID DKI Jakarta, IPB, dan ITS.

Selain melibatkan mahasiswa IF, kami juga melibatkan 10 mahasiswa S1 lintas jurusan untuk magang di PPID. Mereka mengerjakan banyak hal seperti content creator website dan media sosial, infografis, admin media sosial, video creator, pengembangan portal satu layanan, website LLH, mobile app android, dan juga mengembangkan web PPID. Jika ditotal di semester pertama tahun lalu saya harus mengkoordinasi total 17 mahasiswa aktif. Itu belum ditambah dengan aktivitas rutin di PPID di mana saya harus berkali-kali memimpin rapat seperti penentuan Daftar Informasi Publik (DIP) dan Daftar Informasi yang Dikecualikan (DIK). Saya juga sempat ke Surabaya untuk mewakili kampus di acara sosialisasi PPID dari Kemenristekdikti.

Saya dengan piagam ITB "Informatif" di Intana Wapres RI
Semester awal selesai, selesai juga koordinasi saya dengan mahasiswa IF. Meskipun demikian, pekerjaan mereka perlu penyempurnaan. Untungnya ada mahasiswa magang di PPID yang menangani persoalan ini. Menjelang semester kedua, pekerjaan besar lainnya ada lagi yaitu pengembangan website official ITB. Saat liburan semester genap, kami merekrut 16 mahasiswa yang akan membantu kami dengan posisi content writer, graphic designer, dan photographer. Mereka kami kontrak 5 bulan. Selain mereka yang masuk dalam tim web di bawah koordinasi saya adalah 3 pegawai dengan posisi backend developer, frontend developer, dan administrasi. Sementara itu, mahasiswa magang untuk PPID kali ini bertambah dua menjadi 12 orang dengan posisi sedikit berbeda dengan semester pertama. Kali ini ada empat orang khusus mengerjakan web ITB Magz (2 orang) dan konten majalah tersebut (2 orang). Jika ditotal, saya mengkoordinasi secara langsung 31 orang.

Di semester dua ini, kami dihadapatkan dengan pemeringkatan keterbukaan informasi publik untuk PPID. Untungnya update DIP-DIK udah, begitu pula pengembangan website-nya. Dalam rangka pemeringkatan, saya seperti tahun sebelumnya turut mendampingi atasan untuk presentasi di Jakarta. Di luar pemeringkatan, saya sempat diutus ke Makassar untuk mewakili kampus menghadiri workshop reformasi birokrasi dari Kemenristekdikti. Tiga bulan menjelang berakhirnya tahun, saya memulai menulis buku tentang “Komersialisasi Teknologi” dengan dosen di MoTLab SBM. Pekerjaan ini adalah subtitusi atas belum berhasilnya saya publikasi paper. Dengan beban yang besar ini, saya spend waktu sore saya hampir setiap hari di kafe. Saya di sana sampai malam sekitar jam 21 atau 22.

Selain pekerjaan rutin, tulisan saya sempat diterima di salah satu surat kabar nasional yaitu Jawa Pos setelah sebelumnya ditolak oleh surat kabar lain. Saya aktif menulis di blog wordpress saya, namun tidak dengan blog domain [dot]com dan juga medium saya. Di sana saya menulis beberapa saja. Di tahun itu, saya belum berhasil di hal asmara meskipun sempat dekat dengan beberapa perempuan. Saya biasa habiskan waktu luang saya untuk jogging di Saparua dan juga ngopi di Los Tjihapit setelah sebelumnya sarapan di Mak Eha.

Luaran

Meskipun masih belum berhasil untuk publikasi di jurnal internasional, juga fokus untuk studi doktoral, alhamdulillah ada beberapa capaian yang bisa saya banggakan di tahun 2019 ini. Pertama, ITB melalui PPID mendapatkan penghargaan tertinggi dari Komisi Informasi Republik Indonesia dengan predikat “Informatif” setelah tahun sebelumnya “Menuju informatif” dan “Kurang Informatif”. Kedua, buku ketiga saya akan segera terbit. Kali ini dengan kolega saya dari MotLab SBM. Lebih senangnya lagi, buku ini diberi kata pengantar dari Pak Kusmayanto Kadiman, salah satu tokoh panutan saya. Ketiga, ITB akan segera memiliki tampilan dan fitur website baru. Kritik saya selama ini alhamdulillah dapat terjawab. Keempat, inisiasi kecil saya seperti ITB Magz dan portal satu layanan sudah ada wujudnya. 

Di ranah lari, alhamdulillah untuk pertama kalinya saya dapat finish marathon 42 km dengan waktu 7 jam kurang 42 detik. Saya terbilang nekat mengikuti event Pocari Bandung Marathon pertengahan tahun tersebut. Gelar "finisher" cukup membuat saya percaya diri sebagai pelari amatir. Kurang lebih tiga bulan setelah event tersebut, saya kembali mengikuti event lari yang kali ini di ITB Ultra Marathon Relay 9 atau lari sekitar 20 km. Saya mendapatkan rute di daerah Cianjur. Selain lari, di tahun 2019 saya sempat bertemu dengan tokoh-tokoh yang menjadi role model saya seperti Pak Wiranto Arismunandar, Pak Kusmayanto Kadiman, Pak Saswinadi Atmojo, Pak Subagjo, Pak Gede Wenten, Pak Trio Adiono, mas Arief Widhiyasa dan Pak Tjia May On (alm).

*) ditulis di Graha Pena Surabaya pada 2 Januari 2020