![]() |
doc. google.com |
Tulisan ini saya tulis tepat saat
bulan Ramadhan 1434 H dimana umat muslim sedunia sedang melakukan ibadah puasa.
Puasa bagi umat muslim adalah ibadah wajib yang merupakan bagian dari rukun
islam yang jika tidak dilakukan balasannya adalah dosa dan neraka. Karena hal
inilah, banyak sekali orang yang semula pasifis ibadah jadi gemar beribadah,
yang semula enggan ke masjid jadi rajin ke masjid. Berdasarkan keyakinan umat
muslim, pahala ibadah di bulan suci ini dilipatgandakan berkali-kali lipat dari
pada ibadah di selain bulan Ramadhan. Pintu taubat dibuka selebar-lebarnya.
Syaitan dibelenggu, malaikat bertebaran.
Akibat dari ini semua,
masjid-masjid berlomba-lomba adakan kegiatan yang beraneka ragam untuk
semarakkan Ramadhan. Siraman rohani sehari minimal dua kali yaitu sehabis subuh
dan Isya. Juga sholat tarawih, tadarusan, pesantren kilat, dan masih banyak
lagi. Semua ini dimaksudkan agar masjid menjadi hidup, menjadi ramai. Suasana
Ramadhan benar-benar bisa dirasakan. Namun, pasca Ramadhan kegiatan seperti itu
terhenti dan menunggu ada lagi di Ramadhan selanjutnya.
Fenomena itu sudah menjadi
tradisi di masyarakat. Ada semacam kekhususan perlakuan di bulan Ramadhan di
banding bulan lain. Pasca bulan Ramadhan, siraman rohani setiap subuh tidak
lagi dilakukan, tadarusan tidak cocok untuk diadakan kembali, dan begitu juga
pesantren kilat dan yang lainnya. Alasan yang mendasarinya adalah timeline-nya sudah tidak cocok. Kegiatan
keislaman hanya cocok diadakan di bulan Ramadhan, bukan bulan lain.
Ketidakfahaman pada Esensi
Sejatinya output yang ingin
diraih oleh setiap pribadi muslim pada akhir Ramadhan adalah menjadi bagian
dari orang-orang yang bertakwa. Tanda keberhasilan dari orang-orang yang
bertakwa ini adalah menjalankan kebiasaan-kebiasaan postif di bulan puasa
di bulan sesudahnya. Saat puasa
seharinya membaca 1 Juz, maka di luar bulan puasa juga tetap membaca 1 Juz,
saat puasa gemar berinfak 5 ribu rupiah per hari, pasca puasa juga tetap infak
5 ribu per hari, dan seterusnya. Bulan puasa adalah bulan latihan untuk
beribadah sebanyak-banyaknya. Bulan sebenarnya adalah bulan di luar Ramadhan.
Disinilah, sebenar-benarnya ujian bagi umat muslim. Umat muslim yang hanya
jadikan ibadah di bulan Ramadhan sebagai rutinitas pasti akan gagal di bulan
selanjutnya.
Ketidakfahaman terhadap esensi
beribadah di bulan Ramadhan menjadikan umat muslim tidak memiliki gairah untuk
mencari tahu mengapa dirinya memilih berislam. Beribadah menjadi komoditas
gagah-gagahan. Motivasi beribadah terkontrol oleh keadaan lingkungan. Pikiran mandeg, yang bisa dilakukan hanyalah
ikut dan menjadi pengikut. Menurut Paulo Freire, orang-orang seperti ini
disebut golongan tertindas.
Menangkap Ruh Takwa
Takwa seperti kita tahu berarti
menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Gelar orang bertakwa yang
disandang oleh muslim yang berhasil menjalani ibadah di bulan Ramadhan tegasnya
Ia menjadi pribadi yang konsisten baik, dalam arti di luar dan dalam bulan
Ramadhan sama-sama baik. Menjaga konsistensi kebaikan inilah ciri dari orang
yang sukses jalani ibadah di bulan Ramadhan. Jika tiap pribadi muslim faham
atas esensi takwa ini, beragama tidak lagi sekedar rutinitas. Beragama dijalani
atas kesadaran penuh, atas kemauan sendiri.
0 komentar:
Post a Comment