![]() |
doc google.com |
Sepanjang hidup Tan Malaka dihabiskan
untuk perjuangan. Ia hidup dalam pelarian dari berbagai negara. Tercatat ada 11
negara dari 2 benua pernah disinggahi Tan selama pelarian. Tan Malaka adalah
seorang marxisme. Paham ini ia
dapatkan saat studi di sekolah guru Belanda pada 1913, Rijks Kweekschool, di kota Harlem. Tempat tinggalnya juga sangat
mempengaruhi pemikiran Tan. Awalnya Tan tinggal di jalan Nassaulaan. Tak lama Tan tinggal di sini, kemudian Tan pindah di
kompleks buruh di jalan Jacobijnestraat.
Disinilah Tan mulai mengenal pemikiran Marx dan lainnya. Pada 1916, Tan
meninggalkan kota Harlem dan pindah di kota Bassum. Bassum adalah kota para
borjuis. Disini Tan tinggal sampai Mei 1918. Belajar dan mengalami realita
langsung inilah yang jadikan Tan begitu gigih untuk perjuangkan kaum ploletar,
dan sangat membenci kapitalisme dan imperialisme.
Jauh dari Soekarno, Menuju Indonesia Merdeka (1933) dan Mohamad
Hatta, Indonesia Vrije (1928) yang
menulis buku tentang konsep negara merdeka Indonesia, Tan Malaka saat pelarian
di Kanton, sudah ciptakan buku berjudul Naar
De Republiek Indonesia di tahun 1925. Buku inilah yang menjadi pegangan
Soekarno dan pejuang kemerdekaan selanjutnya. Pemikiran Tan melampui zamannya,
begitulah kalau bisa kita analogikan. Dalam buku tersebut, Tan tak hanya
menyinggung Indonesia sebagai negara merdeka, namun juga Indonesia sebagai
Republik. Negara Indonesia dalam pemikiran Tan bukanlah bersifat parlementer,
melainkan sistem yang terintegrasi antara pembuat keputusan (legislatif) dan
eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar antara pembuat kebijakan dan pelaksana
kebijakan saling berkaitan sehingga diharapkan Indonesia menjadi negara yang
kuat.
Tidak hanya disini, Tan juga
menganut faham Indonesia merdeka 100% tanpa kompromi. "Selama masih ada
satu orang musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap
lawan", ungkap Tan. Tan sangat menentang kebijakan Soekarno-Hatta yang mau
bersekutu dengan Jepang. Dalam mata Tan, kemerdekaan Indonesia itu tidak
dihadiahkan, melainkan direbut. Jiwa Tan terlihat dari sepanjang hidupnya yang
terus bergerilya dan hidup diperlarian. Sikap Tan tidak disukai banyak tokoh
nasional seperti Hatta dan juga Soekarno, Ia pernah diperjara selama dua tahun
(1946-1948) tanpa peradilan. Biarpun begitu, Tan tetap terus kukuh dalam
pendiriannya. Keluar dari PKI, Tan mendirian Partai Republik Indonesia (PRI) di
Thailand (1927). Partai tersebut tidak berusia lama, kemudian Tan mendirikan
Partai Murba (1948). Tan tercatat pernah menjadi ketua Partai Komunis Indonesia
selama setahun di tahun 1921-1922.
Jika orang-orang mengenal Tan
seorang komunis seperti Trotsky yang membuat onar, ternyata Tan bukanlah demikian.
Tan tidak sepenuhnya setuju kepada kebijakan komunis internasional (komintren)
yang berpusat di Moskow. Saat sidang komintren, Tan berpidato. Isi dari pidato
Tan adalah melibatkan pan-islamisme untuk bergabung bersama komunisme dalam
upaya kemerdekaan Indonesia. Tan memandang kelompok Islam sama-sama menentang
kolonialisme dan imperialisme. Pidato Tan disambut riuh oleh para peserta
sidang, namun tidak halnya dengan dewan pusat komintren. Ide Tan ditolak.
Namun, biarpun begitu Tan tetap menjalankan idenya saat berjuang di tanah air.
Pasca kemerdekaan, Tan tetap
bergerilya di berbagai daerah. Musuh Tan sangat banyak termasuk dari
petinggi-petinggi PKI. Tan pun akhirnya terbunuh pada 21 Februari 1949 di kaki
Gunung Wilis Kediri. Saat itu Tan berusia 51 tahun. Hampir seluruh hidupnya digunakan
untuk melawan penjajah, namun Tan pun mati di tangan bangsanya sendiri.
Referensi : Tan Malaka, Bapak
Republik yang Dilupakan, Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa
0 komentar:
Post a Comment