Saturday, July 06, 2013

Merdeka 100 % Tan Malaka

doc google.com
Sepanjang hidup Tan Malaka dihabiskan untuk perjuangan. Ia hidup dalam pelarian dari berbagai negara. Tercatat ada 11 negara dari 2 benua pernah disinggahi Tan selama pelarian. Tan Malaka adalah seorang marxisme. Paham ini ia dapatkan saat studi di sekolah guru Belanda pada 1913, Rijks Kweekschool, di kota Harlem. Tempat tinggalnya juga sangat mempengaruhi pemikiran Tan. Awalnya Tan tinggal di jalan Nassaulaan. Tak lama Tan tinggal di sini, kemudian Tan pindah di kompleks buruh di jalan Jacobijnestraat. Disinilah Tan mulai mengenal pemikiran Marx dan lainnya. Pada 1916, Tan meninggalkan kota Harlem dan pindah di kota Bassum. Bassum adalah kota para borjuis. Disini Tan tinggal sampai Mei 1918. Belajar dan mengalami realita langsung inilah yang jadikan Tan begitu gigih untuk perjuangkan kaum ploletar, dan sangat membenci kapitalisme dan imperialisme.

Jauh dari Soekarno, Menuju Indonesia Merdeka (1933) dan Mohamad Hatta, Indonesia Vrije (1928) yang menulis buku tentang konsep negara merdeka Indonesia, Tan Malaka saat pelarian di Kanton, sudah ciptakan buku berjudul Naar De Republiek Indonesia di tahun 1925. Buku inilah yang menjadi pegangan Soekarno dan pejuang kemerdekaan selanjutnya. Pemikiran Tan melampui zamannya, begitulah kalau bisa kita analogikan. Dalam buku tersebut, Tan tak hanya menyinggung Indonesia sebagai negara merdeka, namun juga Indonesia sebagai Republik. Negara Indonesia dalam pemikiran Tan bukanlah bersifat parlementer, melainkan sistem yang terintegrasi antara pembuat keputusan (legislatif) dan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan saling berkaitan sehingga diharapkan Indonesia menjadi negara yang kuat.

Tidak hanya disini, Tan juga menganut faham Indonesia merdeka 100% tanpa kompromi. "Selama masih ada satu orang musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan", ungkap Tan. Tan sangat menentang kebijakan Soekarno-Hatta yang mau bersekutu dengan Jepang. Dalam mata Tan, kemerdekaan Indonesia itu tidak dihadiahkan, melainkan direbut. Jiwa Tan terlihat dari sepanjang hidupnya yang terus bergerilya dan hidup diperlarian. Sikap Tan tidak disukai banyak tokoh nasional seperti Hatta dan juga Soekarno, Ia pernah diperjara selama dua tahun (1946-1948) tanpa peradilan. Biarpun begitu, Tan tetap terus kukuh dalam pendiriannya. Keluar dari PKI, Tan mendirian Partai Republik Indonesia (PRI) di Thailand (1927). Partai tersebut tidak berusia lama, kemudian Tan mendirikan Partai Murba (1948). Tan tercatat pernah menjadi ketua Partai Komunis Indonesia selama setahun di tahun 1921-1922.

Jika orang-orang mengenal Tan seorang komunis seperti Trotsky yang membuat onar, ternyata Tan bukanlah demikian. Tan tidak sepenuhnya setuju kepada kebijakan komunis internasional (komintren) yang berpusat di Moskow. Saat sidang komintren, Tan berpidato. Isi dari pidato Tan adalah melibatkan pan-islamisme untuk bergabung bersama komunisme dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Tan memandang kelompok Islam sama-sama menentang kolonialisme dan imperialisme. Pidato Tan disambut riuh oleh para peserta sidang, namun tidak halnya dengan dewan pusat komintren. Ide Tan ditolak. Namun, biarpun begitu Tan tetap menjalankan idenya saat berjuang di tanah air.

Pasca kemerdekaan, Tan tetap bergerilya di berbagai daerah. Musuh Tan sangat banyak termasuk dari petinggi-petinggi PKI. Tan pun akhirnya terbunuh pada 21 Februari 1949 di kaki Gunung Wilis Kediri. Saat itu Tan berusia 51 tahun. Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk melawan penjajah, namun Tan pun mati di tangan bangsanya sendiri.

Referensi : Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan, Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa

0 komentar: