Abad 21 menuntut setiap individu untuk mampu
berfikir cerdas (expert thinking) melihat
dunia yang sangat dinamis. Hal ini membuat pola pengajaran di sekolah harus
menyesuaikan. Pendidikan 2.0 dimana menyertakan teknologi dalam kegiatan
belajar mengajar adalah sebuah keniscayaan. Pendidikan klasik yang menjadikan
guru sebagai subjek dan murid sebagai objek harus disudahi. Guru dan murid
harus sama-sama menjadi subjek yang senantiasa terus mengembangkan diri.
Matematika yang merupakan salah satu mata pelajaran elementer dalam sekolah
harus disajikan secara benar sesuai dengan hakikat matematika itu sendiri. Fakta
di lapangan memang tidak demikian. Gagasan dasar matematika yang menjunjung
tinggi logika berfikir serta melatih kegigihan dalam hidup cenderung diabaikan
dalam praktiknya di kelas. Materi matematika didesain dengan mengambil
rumus-rumus instan kemudian disajikan ke murid dengan aneka variasi soal.
Matematika menjadi ngeri dan menakutkan. Tiga konsep dasar pembelajaran ; aman,
menantang, dan baru tidaklah dipenuhi.
Kondisi kritis pembelajaran matematika
di kelas diperparah dengan keluarnya materi ajar kurikulum 2013 yang didesain
oleh Depdikbud dimana tidak penuhi hakekat dasar matematika. Diperparah dengan
tidak adanya upaya serius dari pemerintah untuk memperbaiki kualitas guru. Setidaknya
ada dua solusi mengatasi hal ini. Pertama,
gerakan vertikal yakni gerakan masif ke pemerintah untuk menghapus kebijakan yang
tidak sesuai dengan hakikat pendidikan seperti Ujian Nasional (UN) dan tuntutan perbaikan kualitas guru. Kedua, gerakan horizontal berupa gerakan sporadis dari
masyarakat atau gerakan kolektif seperti halnya guru ajarkan matematika di
kelas dengan lebih fun dan membuat
buku rujukan yang lebih sesuai, para matematikawan membuat website matematika sebagai alternatif pembelajaran atau menuliskan
gagasannya di media massa.
*Tulisan dibuat sebagai tugas Teori Belajar Matematika
0 komentar:
Post a Comment