Gerakan 'Oplosan' Mahasiswa
Malam ini (22/1/2014) saya menyaksikan orasi budaya yang diadakan
oleh YAP Institute, sebuah lembaga
studi yang didirikan oleh Yasraf Amir Piliang, dosen senior FSRD ITB. Bukan
karena nama besar Yasraf Amir Piliang saya menyempatkan hadir di forum ini,
melainkan karena melalui forum inilah fenomena-fenomena sosial, ekonomi, dan
politik diangkat ke permukaan melalui orasi kebudayaan. Menariknya lagi, para
orator yang perform bukanlah orator
recehan yang manggung karena
iming-iming rupiah. Mereka membawa idealisme seniman, budayawan bahkan ilmuwan. Kebenaran lah yang mereka
dijunjung. Rasanya idealisme itulah persamaan yang bisa disejajarkan dengan
mahasiswa. Mahasiswa sejatinya adalah entitas merdeka yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran ilmiah. Hal inilah yang menjadikan mahasiswa adalah entitas yang
disegani dan dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat banyak.
Gerakan Pop
Mahasiswa yang hidup di akhir Orde Baru hampir dipastikan
mengklaim bahwa reformasi 1998 adalah gerakan kolektif mahasiswa yang berhasil.
Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun pun mengundurkan diri setelah
demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan juga rakyat selama berhari-hari di berbagai
titik di Indonesia. Setelah tumbangnya Soeharto, sudah menjadi rahasia umum
bahwa gerakan mahasiswa tersegmentasi menjadi aneka bentuk. Hal ini lumrah
mengingat kebebasan individu dan kelompok yang semula dikekang pada masa Orba
dibuka lebar-lebar. Aneka ideologi, kepentingan asing, dan ekspresi politik
masyarakat lainnya pun tumbuh subur. Hal itu ditambah dengan derasnya arus
informasi terutama pasca munculnya media internet. Arus budaya asing pun secara
gencar menyebar secara halus melalui media maupun berbagai macam kegiatan di
tanah air. Karena lembutnya penyebaran budaya itulah, masyarakat mudah sekali
menerimanya. Secara antropologis, karakter masyarakat kita memang demikian,
mudah 'wah' dengan ide/gagasan baru.
Pengaruh derasnya arus 'mainstream'
terutama budaya berdampak pada intelektualisme mahasiswa yang berada di zona
nyaman. Pola pikir spesialisasi sejak sarjana menjadi arus baru. Ditambah dengan
pola pikir masyarakat yang mengharuskan para sarjana bekerja. Sistem pendidikan
secara halus membatasi lama waktu (tahun) belajar mahasiswa. Mahasiswa yang
berada di arus 'mainstream' mudah
sekali menerimanya dengan beraneka ragam alasan yang logis. Gerakan politik
ideologis yang dahulu pra reformasi menjadi ciri khas mahasiswa berevolusi
menjadi gerakan politik managerial. Hal itu sangat dimungkinkan karena maraknya
buku-buku, motivator-motivator, dan training
kepemimpinan pop yang mengajarkan itu dimana konsep manajemen disandingkan
dengan kepemimpinan. Buku-buku dan berbagai pemikiran 'nyeleneh' seperti Kiri dan Fundamentalis terlebih dulu dicap
sebagai kesesatan. Praktis asupan mahasiswa saat ini didominasi oleh pemikiran instan
dan minim analisis tajam seperti manajemen dan kepemimpinan ala tokoh populer
juga berbagai buku dari cendekiawan karbitan (artis). Hal inilah yang
menyebabkan gerakan pop mengemuka. Gerakan ini bercirikan ; orientasi pasar
(objek), resiko rendah, minim gejolak (perang) pemikiran/gagasan, dan sarat
akan citra (popularitas). Kita bisa rasakan fenomena gerakan ini seperti
munculnya berbagai macam seminar/workshop
karier, gerakan revolusioner semu melalui medsos, gerakan 'merakyat' tetapi sama sekali tidak menyentuh rakyat, dan sepinya
pembahasan perkembangan sosial dan politik serta sepinya aksi turun ke jalan.
Oplosan : Pop-Rock
Dua hal yang menjadi ciri khas dari mahasiswa ; idealisme dan bersenang-senang.
Kedua hal ini sangat terkait dan tidak bisa diambil parsial. Keduanya didasari
pada pola pikir merdeka yang tidak terikat oleh kepentingan apapun. Namun pada
realitanya lingkungan membentuk dikotomi antara keduanya. Ciri pertama
(idealisme) disandarkan pada para aktivis yang biasanya bermukim di
Kabinet/BEM/unit kajian dan ciri kedua (bersenang-senang) disandarkan pada kaum
'sosialita/hedon', aktivis UKM, dan
himpunan. Pendikotomian inilah yang secara tidak langsung menciptakan konflik
kepentingan yang tidak berujung. Alih-alih meciptakan keharmonisan dalam
pergerakan, konsolidasi gerakan tidak pernah tercapai. Satu-satunya jalan yang
harus ditempuh adalah menghilangkan sekat dikotomi tersebut. Idealisme
mahasiswa harus terus lestari dalam alam hedonisme sekalipun. Sebagai
akibatnya, muncul arus pergerakan baru yang saya namakan gerakan oplosan.
Gerakan ini merupakan kombinasi dari gerakan pop (identik dengan senang-senang)
dan gerakan rock (identik dengan
keseriusan). Gerakan ini sarat akan idealisme dalam wajah baru yakni
ketidak-angkeran, ketidak-kakuan, dan ketidak-gagapan. Kunci sukses dari
gerakan ini adalah kolaborasi.
Sebagai contoh, UKM kesenian yang sarat akan senang-senang
berkolaborasi dengan unit kajian yang dikenal 'serius' untuk membentuk semacam pertunjukan terbuka yang diadakan
tiap beberapa pekan sekali. Keluarannya bisa berupa orasi terbuka mahasiswa
disertai pertunjukan kritis (orkesan,
pertunjukan senbud, dll) yang menyoroti berbagai masalah sosial dan politik
yang sedang mengemuka di kampus atau bangsa secara luas. Semua itu dalam
bingkai kebebasan berekspresi dengan bumbu idealisme dan dalam konteks 'bersenang-senang'.
Himpunan bisa melakukan hal serupa juga Kabinet/BEM yang memiliki kesempatan
yang lebih luas lagi. Kegiatan yang biasanya sifatnya eventual diganti dengan
kegiatan rutin yang bersifat kultural. Pada akhirnya, perlahan namun pasti
konsolidasi antarkelompok mahasiswa yang tersegmentasi diatas akan terbentuk
dengan sendirinya. Jika kelompok dosen FSRD saja punya gerakan kultural,
mengapa mahasiswa tidak ?
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB
*) Gambar diambil dari google.com
0 komentar:
Post a Comment