Sebuah Refleksi
Jangan ditanya bagaimana
peran kaum intelektual dalam upaya pembebasan bangsa ini dari cengkeraman
penjajah. Jauh sebelum Indonesia merdeka Bung Hatta bergabung bersama organisasi
Perhimpunan Indonesia dan menjadi pimpinan pada 1926. Organisasi tersebut menjadi
cikal bakal nasionalisme mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Belanda. Juga Soekarno
menanggalkan title insinyur dari THS
(Technische Hoogeschool ) dan mendirikan Algemene
Studie Club di Bandung yang merupakan cikal bakal Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada 1926. Selain
peran kedua tokoh ini, masih banyak peran tokoh bangsa lain dalam upaya
mengusir imperialisme dari bumi Indonesia. Sebut saja Tan Malaka, Sutan Sjahrir,
dan masih banyak lagi.
Kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan
nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang
melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. bukan intelektual blanko (kosong) yang
dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian integral dengan nasionnya sendiri,
bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input dari nasionnya
juga memberikan output padanya. Kaum intelektual
bukan sekedar bagian dari nasionnya. Iapun nurani nasionnya, kerana bukan saja
dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman
nasionnya, juga ia dengan isi gudangnya dapat memilih yang baik dan yang
terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi
resolut (tegas) dalam memutuskannya atau tidak [1].
Dalam definisi diatas
layakkah mahasiswa saat ini dimasukkan sebagai kaum intelektual ?. Mahasiswa
saat ini hidup dalam dunia yang damai, jauh dari kekacauan politik dan ekonomi
seperti yang dirasakan mahasiswa pra kemerdekaan. Arus kapitalisme yang semakin
subur pasca reformasi 1998 setidaknya menjadikan pendidikan sebagai komoditas
yang sarat akan uang. Peran dan posisi mahasiswa pun terarah kesana. Prinsip Link and Match yang digagas oleh Wardiman Djoyonegoro berhasil terlaksana pada
akhir Orde Baru. Kampus tidak lagi basis pergerakan. Ia hanya sekedar sebagai traning centre yang akan menciptakan
calon pekerja industri yang biasa diistilahkan 'buruh terdidik'. Praktis hal inilah yang menjadikan banyak mahasiswa
saat ini lebih berorietasi pada kapital, pada kehidupan yang lebih layak, alias
berfikir individualistik. Pikiran mereka tersegmentasi bahwa perkembangan
negara hanya elok difikirkan oleh mahasiswa sospol dan ekonomi. Itupun bagi
mereka yang berniat untuk menjadi salah satu bagian dari pemerintahan. Sekali
lagi, layakkah mahasiswa saaat ini disebut kaum intelektual ?
Uruqul Nadhif Dzakiy
[1] Toer, A. Pramoedya, Sikap dan Peran Kaum Intelektual di Dunia
Ketiga, petikan dari
teks ceramah beliau di Universitas Indonesia (Jakarta) atas
undangan Senat Mahasiswa UI
[2] Gambar diambil dari google.com
0 komentar:
Post a Comment