Wednesday, January 15, 2014

Kaum Intelektual dan Mahasiswa Masa Kini

Sebuah Refleksi

Jangan ditanya bagaimana peran kaum intelektual dalam upaya pembebasan bangsa ini dari cengkeraman penjajah. Jauh sebelum Indonesia merdeka Bung Hatta bergabung bersama organisasi Perhimpunan Indonesia dan menjadi pimpinan pada 1926. Organisasi tersebut menjadi cikal bakal nasionalisme mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Belanda. Juga Soekarno menanggalkan title insinyur dari THS (Technische Hoogeschool ) dan mendirikan  Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan cikal bakal Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada 1926. Selain peran kedua tokoh ini, masih banyak peran tokoh bangsa lain dalam upaya mengusir imperialisme dari bumi Indonesia. Sebut saja Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan masih banyak lagi.


Kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. bukan intelektual blanko (kosong) yang dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian integral dengan nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input dari nasionnya juga memberikan output padanya. Kaum intelektual bukan sekedar bagian dari nasionnya. Iapun nurani nasionnya, kerana bukan saja dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman nasionnya, juga ia dengan isi gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut (tegas) dalam memutuskannya atau tidak [1].

Dalam definisi diatas layakkah mahasiswa saat ini dimasukkan sebagai kaum intelektual ?. Mahasiswa saat ini hidup dalam dunia yang damai, jauh dari kekacauan politik dan ekonomi seperti yang dirasakan mahasiswa pra kemerdekaan. Arus kapitalisme yang semakin subur pasca reformasi 1998 setidaknya menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang sarat akan uang. Peran dan posisi mahasiswa pun terarah kesana. Prinsip Link and Match yang digagas oleh Wardiman Djoyonegoro berhasil terlaksana pada akhir Orde Baru. Kampus tidak lagi basis pergerakan. Ia hanya sekedar sebagai traning centre yang akan menciptakan calon pekerja industri yang biasa diistilahkan 'buruh terdidik'.  Praktis hal inilah yang menjadikan banyak mahasiswa saat ini lebih berorietasi pada kapital, pada kehidupan yang lebih layak, alias berfikir individualistik. Pikiran mereka tersegmentasi bahwa perkembangan negara hanya elok difikirkan oleh mahasiswa sospol dan ekonomi. Itupun bagi mereka yang berniat untuk menjadi salah satu bagian dari pemerintahan. Sekali lagi, layakkah mahasiswa saaat ini disebut kaum intelektual ?

Uruqul Nadhif Dzakiy


[1] Toer, A. Pramoedya, Sikap dan Peran Kaum Intelektual di Dunia Ketiga, petikan dari teks ceramah beliau di Universitas Indonesia (Jakarta) atas undangan Senat Mahasiswa UI

[2] Gambar diambil dari google.com

0 komentar: