Monday, January 13, 2014

Lemahnya Nilai Tukar Rupiah dan Rapuhnya Ekonomi Kita

Seri Opini Ekonomi Politik

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika bisa dikatakan lagi buruk-buruknya di awal tahun 2014 ini. Pada 9 Januari 2014 rupiah melemah hingga Rp 12.263 per dolar AS. Karena hal inilah, pertumbuhan ekonomi kita dibawah target sebesar 6.2 persen pada 2013. Lantas apa penyebabnya ?. Pada 2008, ekonomi dunia mengalami  depresi. Amerika yang merupakan kiblat ekonomi dunia, mencetuskan kebijakan quantitive easing atau yang lebih dikenal dengan easy money (uang gampang), dimana The Fed, Bank sentral Amerika, mencetak lebih banyak dolar guna membeli surat-surat utang dan obligasi di pasar obligasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah AS memasok uang murah ke dalam sistem finansial.


Krisis pada 2008 membuat banyak koorporasi gulung tikar karena tidak mampu berproduksi. Buruh-buruh banyak yang kehilangan pekerjaan. Konsumen pun tidak mampu lagi membeli produk-produk di pasar. Investasi juga melesu. Hal ini menjadikan negara-negara maju seperti halnya Amerika Serikat melakukan dua hal ; menurunkan suku bunga, dan memompa uang murah ke dalam perekonomian. Suku bunga yang rendah akan menstimulasi perputaran modal sedangkan uang murah digunakan oleh bank-bank dan institusi finansial untuk melakukan investasi ke negeri-negeri emerging economies seperti halnya Indonesia yang dapat hasilkan laba yang tinggi.

Pada pertengahan 2013, pemerintah AS mengurangi program quantitative easing ke Indonesia dan negara-negara emerging economies lainnya berhubung kondisi perekonomian AS membaik. Para investor AS banyak yang menarik modal-modal mereka. Investasi asing pada periode Juli-September 2013 mengalami penurunan menjadi $6,9 miliar, dari $7,2 miliar pada kuarta sebelumnya. Bursa-bursa saham  kita jatuh hingga 17 persen, dan nilai mata uang kita jatuh hingga 20 persen. Neraca perdagangan kita mengalami defisit sebesar $8 miliar pada 2013. Hal inilah yang menyebabkan melemahnya mata uang rupiah yang kehilangan nilai sebesar 13 persen dalam satu tahun terakhir, dan inflasi yang mencapai 8 persen. Inflasi yang tidak terkendali ini membuat Bank indonesia menaikkan suku bunga dari 1.5 persen menjadi 7.5 persen yang akan semakin menekan laju pertumbuhan ekonomi.

Fakta diatas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung dengan kondisi ekonomi dunia. Basis ekonomi kita masih keropos. Kedaulatan pangan, energi, dan finansial sejauh ini masih jauh panggang dari api. Produk impor semakin membanjiri pasar domestik. Pertumbuhan ekonomi kita yang tetap positif ditengah badai krisis ekonomi dunia pada 2008 sejatinya ditopang oleh konsumsi. Sejak krisis 1998, nasib ekonomi kita lebih diserahkan ke pasar. Negara semakin mengecilkan perannya. Buktinya, sumbangsih konsumsi pemerintah sangat kecil di dalam produk domestik bruto (PDB), yakni sekitar 9 persen, yang berarti tak sampai separuh dari Amerika Serikat yang notabene adalah kiblat kapitalisme. Ini mensiratkan bahwa Indonesia jauh lebih kapitalis dari buyutnya kapitalis, Amerika Serikat.

Di akhir tulisan ini, saya mengutip pasal 33 UUD 1945 dari Buku Sarinah karya Bung Karno :
Fasal 33 jang berbunji :
1)     Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan ;
2)     Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dkuasai oleh negara ;
3)     Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar-kemakmuran rakjat.


Uruqul Nadhif Dzakiy

Referensi :

Sprague, Ted. Perlambatan Ekonomi dan Perjuangan Buruh Indonesia. http://indoprogress.com/perlambatan-ekonomi-dan-perjuangan-buruh-indonesia/ diakses tanggal 13/01/2014 pada 13.34 WIB

Basri, Faisal. (2013). Menemukan Konsensus Kebangsaan Baru, Negara, Pasar, dan Cita-Cita Keadilan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.

Soekarno. (1963). Sarinah, Kewajiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia (Tjetakan Ketiga). Jakarta : Panitya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno

Gambar diambil dari google.com

0 komentar: