Seri Opini Ekonomi Politik
Nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika bisa dikatakan lagi buruk-buruknya di awal tahun
2014 ini. Pada 9 Januari 2014 rupiah melemah hingga Rp 12.263 per dolar AS.
Karena hal inilah, pertumbuhan ekonomi kita dibawah target sebesar 6.2 persen
pada 2013. Lantas apa penyebabnya ?. Pada 2008, ekonomi dunia mengalami depresi. Amerika yang merupakan kiblat
ekonomi dunia, mencetuskan kebijakan quantitive
easing atau yang lebih dikenal dengan easy
money (uang gampang), dimana The Fed, Bank sentral Amerika, mencetak lebih
banyak dolar guna membeli surat-surat utang dan obligasi di pasar obligasi.
Melalui kebijakan ini, pemerintah AS memasok uang murah ke dalam sistem
finansial.
Krisis
pada 2008 membuat banyak koorporasi gulung tikar karena tidak mampu
berproduksi. Buruh-buruh banyak yang kehilangan pekerjaan. Konsumen pun tidak
mampu lagi membeli produk-produk di pasar. Investasi juga melesu. Hal ini
menjadikan negara-negara maju seperti halnya Amerika Serikat melakukan dua hal
; menurunkan suku bunga, dan memompa uang murah ke dalam perekonomian. Suku
bunga yang rendah akan menstimulasi perputaran modal sedangkan uang murah
digunakan oleh bank-bank dan institusi finansial untuk melakukan investasi ke
negeri-negeri emerging economies
seperti halnya Indonesia yang dapat hasilkan laba yang tinggi.
Pada
pertengahan 2013, pemerintah AS mengurangi program quantitative easing ke Indonesia dan negara-negara emerging economies lainnya berhubung
kondisi perekonomian AS membaik. Para investor AS banyak yang menarik
modal-modal mereka. Investasi asing pada periode Juli-September 2013 mengalami
penurunan menjadi $6,9 miliar, dari $7,2 miliar pada kuarta sebelumnya.
Bursa-bursa saham kita jatuh hingga 17
persen, dan nilai mata uang kita jatuh hingga 20 persen. Neraca perdagangan
kita mengalami defisit sebesar $8 miliar pada 2013. Hal inilah yang menyebabkan
melemahnya mata uang rupiah yang kehilangan nilai sebesar 13 persen dalam satu
tahun terakhir, dan inflasi yang mencapai 8 persen. Inflasi yang tidak terkendali
ini membuat Bank indonesia menaikkan suku bunga dari 1.5 persen menjadi 7.5
persen yang akan semakin menekan laju pertumbuhan ekonomi.
Fakta diatas
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung dengan
kondisi ekonomi dunia. Basis ekonomi kita masih keropos. Kedaulatan pangan,
energi, dan finansial sejauh ini masih jauh panggang dari api. Produk impor
semakin membanjiri pasar domestik. Pertumbuhan ekonomi kita yang tetap positif
ditengah badai krisis ekonomi dunia pada 2008 sejatinya ditopang oleh konsumsi.
Sejak krisis 1998, nasib ekonomi kita lebih diserahkan ke pasar. Negara semakin
mengecilkan perannya. Buktinya, sumbangsih konsumsi pemerintah sangat kecil di
dalam produk domestik bruto (PDB), yakni sekitar 9 persen, yang berarti tak
sampai separuh dari Amerika Serikat yang notabene adalah kiblat kapitalisme.
Ini mensiratkan bahwa Indonesia jauh lebih kapitalis dari buyutnya kapitalis,
Amerika Serikat.
Di akhir
tulisan ini, saya mengutip pasal 33 UUD 1945 dari Buku Sarinah karya Bung Karno
:
Fasal 33 jang berbunji :
1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan ;
2)
Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi
negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dkuasai oleh negara ;
3)
Bumi dan air dan kekajaan alam jang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar-kemakmuran rakjat.
Uruqul
Nadhif Dzakiy
Referensi :
Sprague, Ted. Perlambatan Ekonomi dan Perjuangan Buruh Indonesia. http://indoprogress.com/perlambatan-ekonomi-dan-perjuangan-buruh-indonesia/
diakses tanggal 13/01/2014 pada 13.34 WIB
Basri, Faisal. (2013). Menemukan
Konsensus Kebangsaan Baru, Negara, Pasar, dan Cita-Cita Keadilan. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.
Soekarno. (1963). Sarinah, Kewajiban Wanita dalam Perdjoangan
Republik Indonesia (Tjetakan Ketiga). Jakarta : Panitya Penerbit Buku-Buku
Karangan Presiden Soekarno
Gambar diambil dari google.com
0 komentar:
Post a Comment