Tanggapan Implementasi
UU Minerba Per 12 Januari 2014
Implementasi
UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 7/2012 tentang Peningkatan
Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral akhirnya
diimplementasikan sejak 12 Januari 2014 lalu dengan keluarnya Peraturan Menteri
ESDM No 1 Tahun 2014. Pemerintah sebelumnya memberikan tenggat waktu selama 5
tahun sejak 2009 kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara untuk
membuat smelter pengolahan dan pemurnian barang mentah hasil
tambangnya. Realisasinya, mayoritas perusahaan minerba belum sanggup membuat smelter. Pemerintah juga belum
menyiapkan infrastruktur yang memadai pasca diberlakukannya larangan ekspor
minerba. Mengacu pada nilai keekonomian, jelas penghasilan perusahaan akan
menurun jika benar-benar menuruti kemauan pemerintah. Pengadaan smelter juga mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit. Akibatnya, perusahaan pun kucing-kucingan
dengan Pemerintah.
Rare Earth Sebagai Emas Baru
Bukan tanpa
alasan pemerintah kekeuh
implementasikan UU Minerba. Pemerintah sudah sadar bahwa meneral mentah yang
bertahun-tahun diekspor ke luar negeri mengandung banyak sekali unsur yang memiliki nilai keekonomian yang sangat
tinggi. Salah satunya adalah logam tanah jarang (LTJ) atau biasa disebut rare earth element. LTJ bisa didapatkan
banyak lokasi di Indonesia tetapi biasanya berasosiasi (bercampur) dengan logam
lain dan dalam jumlah yang sedikit. Menurut Syoni Soepriyanto, Peneliti LTJ di
Departemen Metalurgi ITB, bahwa Ia telah meneliti ada kandungan di LTJ di
limbah PT Timah. Semua unsur LTJ baik aktinida maupun lantanida ada semuanya
disini. Beliau juga yakin bahwa di PT Freeport juga ada. LTJ berguna dalam pembuatan berbagai piranti
penting seperti layar LCD, chips komputer, baterei isi ulang, telepon genggam,
dan komponen mobil. LTJ mampu menghasilkan neomagnet,
yaitu magnet yang memiliki medan magnet yang lebih baik dari pada magnet biasa.
Hal ini memungkinkan munculnya mobil bertenaga listrik yang dapat digunakan
untuk perjalanan jauh. Oleh karenanya mobil hybrid
mulai marak dikembangkan. Syoni mengilustrasikan jika zircon dari tanah harganya hanya 50 dolar per ton konsentrat dapat
dibuat zircon chemical seharga 100
ribu dolar per ton atau senilai 1 Miliar Rupiah. Luar biasa 20 kali lipat !
Terkait dengan pasar pastinya sangat besar. Negara-negara produsen elektronik
seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang bisa didorong untuk menjadi
target market. Biarpun Pemerintah sudah tahu luar biasa banyaknya nilai ekonomi
dari LTJ, namun sayangnya sejauh ini LTJ belum dimasukkan oleh pemerintah
sebagai mineral strategis.
Berkaca Pada China
Pasar dunia LTJ menunjukkan bahwa telah terjadi kenaikan harga
yang luar biasa besar terkait LTJ. Hal ini sangat lumrah mengingat produksi
elektronik dunia sangat masif. Sebagaimana prinsip ekonomi bahwa permintaan
yang tinggi akan menimbulkan kelangkaan barang sehingga akan menaikkan harga
barang. China pun cerdik memainkan pasar LTJ dunia. Seperti yang diungkapkan Mike
Adams (2010), seorang kolumnis energi, seperti yang dikutip Pikiran Rakyat
(24/1/2011) bahwa China sudah mulai mengurangi produksi logam langkanya sejak
sepuluh tahun terakhir sampai 2011. Pada satu dekade terakhir, China
memproduksi mineral langka ini antara 40.000 ton – 120.000 ton. Pada 2011,
produksinya tinggal 30.000 ton dan akan terus diturunkan sampai nol ton pada
2012. Menurut banyak pengamat seperti yang diberitakan di harian Pikiran Rakyat
(24/1/2011), China hanya mencari-cari alasan saja ketika lakukan pengurangan
kuota ekspor LTJ. Alasan sebenarnya China sengaja menciptakan kelangkaan pasar
untuk mengeruk keuntungan ekonomis dan politik di situasi itu. Karena
negara-negara produsen elektronik terlanjur bergantung dengan produksi LTJ di
China. China secara cerdik bisa memainkan pasar. Kelangkaan dan kebergantungan
itu dimanfaatkan China untuk membujuk sejumlah pabrikan elektronik dan energi
ramah lingkungan ternama dunia agar membangun perusahaan di China. Sebagai
imbalannya, China memberikan akses tanpa batas LTJ kepada mereka. Sebagai
contoh, perusahaan Apple dari Amerika
sudah memindahkan produksinya ke China. Kedepan, mungkin akan lebih banyak lagi
perusahaan ke negara Tirai Bambu ini.
Tidak Punya
Visi Industri
Berdasarkan
wawancara penulis dengan Sukhyar, kepala Bidang Geologi Kementerian ESDM,
beberapa bulan yang lalu, beliau tegaskan bahwa dikeluarkannya kabijakan
larangan ekspor minerba ditujukan agar memberikan nilai tambah sehingga
menghasilkan devisa yang lebih besar bagi negara. Beliau ketika penulis tanya
seputar visi Industri Indonesia agak berputar-putar dalam menjawab. Praktis
selama lima tahun sejak disahkannya UU Minerba pada 2009, terlihat bahwa pemerintah
nyaris tidak melakukan apa-apa. Perusahaan diperintahkan buat smelter tetapi pemerintah tidak
menyiapkan infrastruktur jalan, target pasar, dan berbagai instrumen industri
lain. Terlihat sekali koordinasi antarkementerian yang masih jauh dari kata
baik. Menteri Perindusterian, MS Hidayat, yang penulis saksikan di program Economic Challenges Metro TV, kemarin
malam, menyampaikan dengan berapi-api bahwa Indonesia ingin sekali menjadi
bangsa yang mandiri. Saya rasa hasrat beliau akan percuma jika Menteri
Perdagangan, Gitta Wirjawan, sibuk mengkampanyekan dirinya untuk maju sebagai
calon Presiden 2014. Karena hal inilah, jangan harap implementasi UU Minerba
per 12 Januari 2014 akan mulus. Tiadanya visi menjadi negara yang mandiri dan
berdaulat khususnya visi industri adalah akar masalah dari carut-marutnya
implementasi UU Minerba ini.
Uruqul
Nadhif Dzakiy
Mahasiswa
Matematika ITB
1 komentar:
Makasih udah share info ini ya, bermanfaat.
Ditunggu kunjungan baliknya ke Web Saya ya : https://www.agres.id atau cek di https://linktr.ee/agres.id
Post a Comment