Tuesday, January 07, 2014

Semeru (3676 mdpl)

Catatan Seorang Petualang
Edisi #3

Semeru (3676 mdpl)

Perjalanan panjang di gunung tertinggi di pulau Jawa (3676 mdpl) akhirnya berakhir hari ini (29/12/2013) ketika aku kembali menghirup udara desaku yang masih cukup asri biarpun panas di Lamongan Jawa Timur. Semeru memiliki karakteristik yang unik dimana pesonanya menarik perhatian ribuan pendaki di liburan akhir tahun ini.

Mendaki gunung bagiku adalah hobi baru. Aku baru melakoninya di tahun 2013. Pendakian ke Gunung Semeru adalah pendakian ketiga aku di tahun ini setelah Gunung Papandayan dan Cikuray. Berbagai persiapan telah aku siapkan menjelang keberangkatan seperti menyiapkan alat-alat pendakian ; sepatu, jaket, carier, ponco, dan lain-lain, logistik pendakian, dan persiapan fisik dengan mengusahakan lari-lari kecil secara rutin tiap pekan di Monumen atau Saraga. Puncak Gunung Semeru, Mahameru, aku tulis sebagai salah satu target besarku di tahun 2013.

Membumikan Tanjakan Cinta

Kami sampai di Ranupani dari Pasar Tumpang pada malam hari sekitar jam 20.00 WIB pada Hari Natal 2013. Satu malam kami menginap disini. Suasana di Ranupani sungguh ramai sekali. Sudah puluhan tenda berdiri di lokasi tempat registrasi pendakian ini. Seduhan kopi putih di warung tak jauh dari tenda menambah semangat pendakian pada esok harinya. Malam ini berlalu dengan sangat cepat. Sleeping bag menghangati tubuhku sampai subuh. Sampai-sampai aku tidak bermimpi sedikitpun.

Pendakian dimulai. Aku masuk di Tim Pendahulu bersama Ita, Tommi, Ucup, Febi, Sofi, Chitra, Reza, Agita, Raka, Yoga, dan Tami. Tim pendahulu diharapkan mencapai Kalimati lebih dulu sehingga bisa membangun tenda dan menyiapkan makan malam. Perjalanan dari Ranupani ke Ranu Kumbolo memakan waktu hampir lima jam. Jalanan naik-turun dengan beberapa track curam. Ada empat pos yang kami lewati. Para pendaki lain lalu-lalang berangkat atau pulang dari mendaki. Ramai sekali. Berulangkali aku ucapkan “Permisi”, “Monggo” kepada pendaki lain. Mungkin ada seratus kali !. Mendaki ciptakan solidaritas alami dengan pendaki lain. Keeratan dan kekerabatan timbul secara spontan tanpa batas aling-aling. Persaudaraan diantara tim pendahulu juga semakin erat dan cair.

Ranu kumbolo semacam danau alami dari pegunungan Semeru. Dari pos empat, keelokannya luar biasa indah. Danau ini jika dilihat dari atas terlihat berwarna hijau kebiruan. Keindahannya ditambah dengan bukit-bukit disekitarnya yang menyerupai habitat Teletubies. Tenda-tenda berdiri mengitari danau. Namun, kebanyakan berpusat di dekat tanjakan cinta, track menuju Kalimati. Di Ranu Kumbolo, kami istirahat sejenak. Juga lakukan sholat dan makan siang.

Kuceburkan Kakiku ke danau
Cheeesss …
Dinginnya menusuk tulang sampai ubun-ubun
Muka kubasuh membunuh panasnya siang ini ..

Tiba saatnya menaiki tanjakan cinta. Mitos mengatakan bahwa siapa yang menaiki tanjakan cinta dengan tanpa menoleh kebelakang, maka cintanya akan diterima. Baru beberapa langkah, aku sudah menoleh menyaksikan susahnya teman-teman menaiki tanjakan ini. Lagipula kalau tidak menoleh, aku akan sebut siapa ya ? Apa si itu, wah udah ada yang punya. Teman satu tim, malu mengatakannya. Sudahlah. Aku hanya menduga bahwa ini dinamakan tanjakan cinta dengan mitos demikian dimaksudkan agar para pendaki bersemangat untuk sampai di puncak tanjakan. Tanjakan ini merupakan tanjakan tercuram sebelum tanjakan pasir menuju mahameru. Kecuramannya mungkin sekitar 60 derajat. Ransel 75 Liter yang aku bawa menambah berat menaiki tanjakan. Namun, Kukubima Energi “Roso!” menggairahkan kembali semangat kami. Dan…

Padang luas alias Oro-Oro Ombo membayar capek kami. Aku berjalan di tengah rumputan panjang yang tumbuh teratur dengan dilingkari dataran tinggi yang elok. Pengambilan gambar dari puncak tanjakan cinta ke padang ini indah sekali. Beban berat di pundak terlupa sejenak sebelum akhirnya melalui track hutan dan ilalang menuju Kalimati. Kalimati menjadi tujuan akhir sebelum mencapai Mahameru. Di sini, kami membangun tenda dan menyiapkan makan malam. Tiba disini hampir setengah enam sore. Puncak Mahameru terlihat jelas disini. Para pendaki sudah banyak yang dirikan tenda di sepanjang Kalimati. Kami tidak sendiri !

Tanjakan cinta menguatkan keakraban kita sebagai satu tim. Hati kami tertaut satu sama lain. Susah dan senang kami jalani bersama. Latar belakang kampus, jurusan, usia, bahkan warga Negara kami tanggalkan. Kami satu saudara senasib sepenanggungan. Kami miliki tujuan yang sama dan utuh “Mencapai Puncak Mahameru !”.

Menangkap Spirit “Makassar”

Kami hanya tidur sekitar dua jam. Jam 23.00 WIB, kami harus bangun untuk lakukan jalan malam menuju Mahameru, puncak Gunung Semeru. Air satu botol 1.5 Liter aku bawa dengan diikatkan rafia menyerupai tas ke badan seperti yang diinstruksikan Ugun sebelum tidur. Peralatan P3K dan makanan ringan pun dibawa. Hal itu diperuntukkan untuk mencegah kelaparan dan dehidrasi. Aku kebagian kelompok tiga dengan empat anggota ; Aku, Fadhli, Mila, dan Ana. Aku ditunjuk oleh Ugun, koordinator pendakian, untuk menjadi penanggung jawab tim.

Sebelum track pasir, kami harus melewati Arcopodo. Disini aku mencoba mencari Prasasti In Memoriam Soe Hok Gie tetapi tidak ketemu. Sebelum capai Arcopodo, salah seorang anggota Timku, Ana, terkilir kakinya. Aku pun harus menuntunnya bergantian dengan Fadhli. Track menuju Arcopodo cukup curam, di area hutan yang gelap. Seringkali aku harus berpapasan dengan rombongan tim lain. Karena ada anggota tim yang cedera, perjalanan kami melambat. Seringkali harus istirahat sebelum waktunya. Dilain sisi, malam ini cerah sekali. Bintang-bintang terlihat jelas. Juga pemandangan kilau lampu kota Malang pendarnya terlihat indah. Aku teringat saat di Caringin Tilu (Cartil) dengan kawan-kawan Panjombs saat liburan Idul Adha lalu.
 
Mengabadikan momen di track pasir (doc.Chitra)
Pasca Arcopodo, masih track medan tanah namun tidak lama. Jalanan didominasi medan pasir. Naik satu langkah bisa turun beberapa langkah. Bagi aku ini medan tersulit. Ditambah dengan dinginnya dini hari di ketinggian lebih dari 3000 mdpl. Lapisan baju aku ada empat, juga lapisan celana. Beratnya menuju mahameru ditambah dengan harus menggandeng tangan kiri teman satu tim, Mila. Melepaskan gandengan tangan Ana, harus menggandeng tangan Mila. So sweet sekali. Namun, setelah melihat Ana digandeng Raka yang notabene bukan anggota Timku, aku instruksikan Mila dan Fadhli untuk berangkat duluan menuju ke puncak. Ana pun kugandeng tangannya, namun di tengah perjalanan, beberapa ratus meter sebelum puncak, Ana tepar. Badannya lemas hebat. Tangannya kupegang seperti tidak ada tenaga sama sekali. Bicaranya tidak jelas, matanya langsung dipejamkan begitu saja. Aku selimutkan sleeping bag di badannya setelah mulutnya komat-kamit meminta. Kutawarkan minum, snack, tetapi dia menolak. Aku hanya bisa terdiam disampingnya sembari menyaksikan orang-orang berjibaku menanjak ke mahameru. Sinar matahari pun semakin memuncak, dinginnya semeru perlahan turun.
 
15 Anggota Tim YKS yang berhasil mencapai Mahameru (doc.anonim)

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok wanita yang namanya serupa nama anak planologi itu, Teh Nina !. Berdasar informasi dari ketua timnya, Agita, Teh Nina seharusnya istirahat menepi beberapa puluh meter dari tempat aku menunggui Ana yang tepar tak berdaya. Anehnya ada sosok lelaki yang membantu dia ke puncak. Aku tidak kenal sama sekali lelaki itu. Baru kemudian setelah aku menghampiri, ternyata lelaki itu adalah anak Makassar. Segerombolan para pecinta alam asal Makassar. Setelah kukenal identitasnya, aku dikejutkan dengan bangunnya Ana. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah anak Makassar!. Mungkin karena gaya anak Makassar ini yang memesona atau kegantengan mereka melebihi kegantenganku. Bagiku ini magis. Aku kemudian berjibaku menghampiri Ana yang sekarang dituntun ama tiga orang anak Makassar yang semunya lelaki. Dari sini aku kenal lebih dekat asal-usul anak Makassar ini. Salah satu misinya adalah membantu para pendaki yang berambisi ke puncak. Ana memang sangat berambisi ke puncak namun setelah aku klarifikasi pasca Ia sadarkan diri, ternyata saat ditarik anak Makassar, Ia dalam kurang sadarkan diri. Untungnya aku melihat Mila dan Chitra dari arah berlawanan. Aku cukup lama berdiskusi dengan mereka. Akhirnya setelah diberi wejangan, Ana ikhlas untuk tidak melanjutkan perjalanan ke mahameru. Aku juga urungkan ke mahameru. Mungkin suatu saat aku bisa pijakkan kaki di puncak tertinggi pulau Jawa ini.
 
5 Anggota Tim YKS yang belum berhasil gapai Mahameru (doc.Chitra)
Turunan terasa lebih ringan. Medan pasir yang lembut memudahkan pijakan kaki untuk lebih cepat sampai ke bawah. Ditambah dengan banyak teman-teman yang sudah turun dari mahameru. Kondisi Teh Nina dan Ana saat menuju ke puncak tadi secara otomatis terlupa akan sakitnya. Senyum kebahagiaan menaklukkan semeru menyebar bak virus ke tiap teman yang belum berhasil menggapai mahameru. Kamera digital dan juga handphone berulangkali mengabadikan momen di track pasir ini. Sampai-sampai ngetem berulang kali entah setiap berapa meter sekali. Seringnya ngetem membuat kaki berat untuk diperintah berjalanan. Bekal pun tinggal aqua ukuran 1.5 L dengan sisa air sekitar seperempat. Mulut botol pun terlumuri pasir namun tidak banyak. Puncak semeru semakin ditinggalkan orang. Jalanan menyepi tetapi kadangkala bersalipan dengan pendaki lain yang juga turun. Hampir di setiap jeda perjalanan alias istrahat, berita teparnya Teh Nina dan Ana menjadi trending topic pembicaraan. Pembicaraan tersebut otomatis menyinggung nama aku yang membuat aku malu. Berulangkali pujian dialamatkan ke aku, tetapi aku tidak merasa sedikitpun menjadi pahlawan. Perlakuan yang aku berikan adalah tindakan semestinya sebagai penanggungjawab Tim. Aku merasa gagal sebagai motivator Tim karena hanya seorang dari anggota Tim aku (4 orang) yang mampu gapai mahameru. Mungkin sikapku seharusnya mencontoh spirit anak-anak Makassar. Spirit yang membangkitkan dan menghipnotis !

Sampai di Arcopodo kembali aku mencari prasasti In momoriam Soe Hok Gie (SHG) tetapi tidak juga bertemu. Aku bodoh tidak surfing di internet sebelum mendaki. Ternyata, Prasasti SHG dan Idhan Lubis berada di mahameru dan sudah diturunkan pada 2012 lalu. Saat di Arcopodo, perutku mules hebat. Aku bicara keras ingin BAB dan langsung direspon oleh seorang pendaki yang tidak aku kenal sebelumnya dengan menawarkan tisu basah. Aku pun langsung cari posisi di semak-semak dan alhamdulillah aku sukses BAB setelah tiga hari macet. Matahari semakin meninggi, sinarnya memanaskan tumpukan baju dan celanaku yang empat lapis itu. Namun apa daya, perut keroncongan. Hanya biskuit Togo coklat beberapa biji yang sempat aku makan. Itupun sudah beberapa jam yang lalu. Track curam pasca Arcopodo menambah kehati-hatianku untuk menuju Kalimati.

Hari ini Jum'at, 27 Desember 2013. Aku baru sampai camp waktu Dzuhur. Setibanya di camp, tiada suara guyonan dan sejenisnya. Hampir semua teman tertidur pulas di tenda. Aku akui dengan sangat bahwa perjalanan menuju mahameru sangat menguras energi. Siang ini tidak ada yang memasak. Jika ingin makan siang, silahkan buat mie sendiri. Aku malas dan hanya makan biskuit Oreo Coklat Ice Cream ditambah Floridina. Setelah qashar Dzuhur-Ashar, aku kemudian tidur di tenda tanpa alas, hanya kaos hitam dan training merah hitam yang membalut badanku yang kecapekan. Panasnya siang menemani tidurku yang jauh dari kata nyenyak. Sejam berlalu, aku dengar Mila mencari-cariku, menanyakan roti yang kuberikan ke Teh Nina saat tepar di dekat mahameru tadi pagi. Memang, suasana siang ini benar-benar keroncongan. Aku rasa semua mengalami hal serupa.

Lupakan istirahat siang. Aku berkumpul di dapur dimana kami memasak. Disana sudah ada beberapa teman yang sempat membuat mie atau energen. Ada juga buah pear yang sedikit melayu. Lumayan buat menambah sedikit tenaga. Segelas kopi dan energen pun diminum ramai-ramai. Hakikat tanjakan cinta otomatis terpatri dalam kebersamaan, saling pengertian, dan saling berbagi. Tidak lama kemudian, aku, Tommi, dan Fadhli menuju sumber air untuk mengisi botol-botol kami yang kosong. Perjalanan dari kalimati kesini sekitar setengah jam.

Ternyata di lokasi, ramai akan para pendaki dengan botol-botolnya. Kami cari posisi dulu agak jauh dari sumber air untuk BAB. Menjauh ke Barat, aku menyaksikan di bukit-bukit setidaknya ada tiga orang yang BAB disana. Posisi yang sangat strategis memang. Kami tidak seberuntung mereka. Kami akhirnya bisa tunaikan hajat di semak-semak. Kadangkala ada beberapa orang yang lalu lalang melihat kami. Aku cuek aja, lagian hanya terlihat kepala. BAB kali ini sungguh memuaskan. Semuanya berhasil dikeluarkan biarpun dari pagi tidak makan. Kentut yang seringkali keluar tanpa izin rasanya tersudahi pasca beban ini habis sama sekali. Tommi dan Fadhli sudah selesai dahulu. Aku menyempurnakan tugasku.

Saat mengambil air, aku bertemu dengan Byna Kameswara (PL 09). Ternyata Ia juga nge-camp di Kalimati dengan rombongan anak ITB mantan pejabat di Kabinet KM ITB. Setidaknya ini rombongan ketiga anak ITB yang kutemui selain Tim YKS dan Zaini dkk. Botol sudah penuh diisi dengan air. Tangan kanan dan kiriku masing-masing memegang 1 botol 1.5 Liter. Beda halnya dengan Tommi yang membawa air 10 Liter. Semakin sore semakin ramai para pendaki yang hendak mengambil air. Setibanya di camp, kami segera  memasak. Nasi pun direbus. Aktor utamanya kali ini adalah Ita yang berjibaku mengaduk nasi dan menambah air agar nasi tidak gosong oleh  api parafin. Aku hanya bantu-bantu saja. Ternyata pada esok harinya saat sarapan, teman-teman menilai bahwa nasi masakan malam ini terenak. Mungkin gosongnya nasi menambah kenikmatan makan malam ini.  

Menanti Sunrise di Ranu Kumbolo

Malam ini kami harus segera packing. Ugun berikan briefing malam ini. Tim tetap dibagi menjadi dua. Aku tetap di Tim Pendahulu dengan Agita sebagai komandannya. Malam ini langit tetap cerah. Namun, sinar bulan tidak mampu menembus gelapnya hutan. Hanya senter yang sinarnya sudah redup ini yang menemaniku sepanjang jalan. Dalam formasi baris aku menempati nomor 6 tepat dibelakang Ita. Dari Kalimati menuju Ranu Kumbolo tidak banyak yang berupa track tanjakan. Kebanyakan track-nya landai. Namun, gelap dan sepinya malam kadang membuatku sedikit was-was. Aku khawatir ada binatang buas atau penampakan lain yang mengganggu perjalanan. Entah mengapa pula, perjalanan malam ini sungguh ngos-ngosan. Keringat mengucur hebat juga carier seringkali kunyamankan pemakaiannya. Tetapi berkat teman-teman satu Tim yang semangatnya membatu untuk segera mengakhiri perjalanan, kecapekan harus kulupakan sejenak. Perjalanan memakan waktu lebih dari tiga jam. Sekitar jam 23.00 WIB kami sudah bisa menghangati tubuh di dekat api parafin. Juga menikmati segelas kopi sachet dan energen. Puluhan camp telah berdiri saat kami berhasil menuruni tanjakan cinta. Malam ini sangat dingin melebihi kawasan Kalimati. Efek hembusan angin dari danau. Andai malam ini ada pocker yang menemani kepulan asap kopi dan api parafin, ditambah dengan cerita gombal berlatarkan tanjakan cinta, pasti malam ini lebih hangat. Dinginnya malam akan terlupakan sementara waktu..

Suara kukuruyuk ayam tidak terdengar. Hanya suara celotehan para pendaki yang menandakan sinar matahari akan terbit. Banyak pendaki yang mengharapkan sunrise di Ranu Kumbolo, namun alam berkata lain. Kabut tebal menyelimuti kawasan danau. Jam lima pagi ternyata sudah terang. Gulitanya malam telah pudar digantikan kombinasi kabut dan sinar matahari. Aku menuju danau dan mencelupkan kaki kedalamnya untuk ambil air wudhu. Dinginnya air menetralkan suhu tubuhku yang juga dingin. Aku tunaikan subuh berjamaah dengan Febi di tenda tanpa perlu bungkukan yang berarti. Selanjutnya dilanjutkan mengobrol sejenak bersama Ucup, Yoga, Febi, dan Fadhli. Tidak lama setelah itu gabung bersama Sofi dkk untuk siapkan sarapan pagi. Hari ini hari penghabisan. Menu sarapan pun diproyeksikan menjadi makan besar. Nasi yang dimasak takarannya dilebihkan, juga lauknya merupakan kombinasi sarden, kornet, dan mie. Dicampur dengan abon sebagai lalapnya. Saat waktu makan habis, nasi pun sisa banyak sekali. Perut rasanya menolak duluan sebelum makanan tersebut tertelan pelan-pelan. Aku hanya makan beberapa suap. Mungkin karena sebelumnya, aku dah habiskan satu porsi super bubur.
 
Full Team (minus Ugun + Mas2) (doc.Raka)
Ketidakhadiran sunrise di Arcopodo tetap membuat kami merasa kerasan berlama-lama di Ranu Kumbolo. Buktinya, Zaini dkk sudah menunggui kami untuk berfoto bersama Tim YKS selama sejam. Akhirnya mereka putuskan untuk bergerak duluan menuju Ranupani. Kami baru meninggalkan Ranu Kumbolo sekitar jam setengah 11. Terik matahari semakin meninggi dan kabut yang melingkupi permukaan danau pun hilang sama sekali. Ranu Kumbolo terlihat jelas keindahannya sama seperti saat pertama kali kami menginjakkan kaki disini dua hari lalu. Kami pun meninggalkan area perlahan demi perlahan. Di lain sisi, arus pendaki yang datang pun semakin banyak menjelang tahun baru ini. Mulut kami tanpa diperintahkan otomatis berucap "permisi", "monggo", "semangat Mas!" puluhan kali. Profil pendaki yang aku temui di jalan bermacam-macam. Dari Ibu-Ibu yang memakai pakaian tradisional Bali sampai cewe-cewe cakep yang memakai pakaian mal alias hot pants. Perjalanan menuju Ranupani relatif lancar. Pos 4, 3, 2, 1 terlewati. Munculnya track paving block yang tertutup sebagiannya oleh longsoran pertanda pos Ranupani semakin dekat. Sekitar jam setengah 16.00 WIB kami sampai di pos Ranupani.

Ngemper di Stasiun

Di Pos Ranupani aku sempatkan untuk mandi biarpun harus antre cukup lama, qashar Dzuhur-Ashar, packing dan makan di warung yang sama pas baru sampai Ranupani dulu. Sambel hijaunya sangat pedas. Itu cukup menghangatkan tubuh yang dingin oleh air pas mandi tadi. Tepat azan maghrib berkumandang, aku bergegas menuju truk yang sudah disiapkan bersama dengan Tim YKS Kloter 2. Perjalanan panjang menuruni perbukitan Ranupani menuju Pasar Tumpang pun kami lewati. Jalanan sepi sekali. Bromo terlihat bentuknya tetapi tertutupi oleh gelapnya malam. Di awal perjalanan, Ana dan Mila mencoba menghibur penumpang truk dengan aneka cerita dan nyanyian. Aku sedikit-sedikit menimpali dengan senyuman saja. Aku lebih sering bertukar pikiran dengan Mugi. Setelah sekitar setengah jam perjalanan, suara Mila hilang tertelan erungan mesin truk. Tinggal Ana dan Raka yang terus kali bercerita tentang pengalaman hebat di Semeru selama ini. Bahkan sampai cerita terkait kampus masing-masing. Aku hanya terbengong menikmati jalanan yang sedikit lagi sampai di Pasar Tumpang.

Dari Pasar Tumpang, sudah tersedia angkot yang akan memobilisasi kami ke stasiun Malang. Ada dua angkot yang siap mengangkut Tim YKS minus Agita dan Raka yang undur diri terlebih dahulu. Sopirnya beringas sekali apalagi angkot satunya yang terlihat masih muda. Katanya, karena kami orang Bandung yang identik dengan Persib sehingga tidak disukainya. Mereka adalah Aremania, pendukung fanatik Arema Cronus. Setahu aku Persebaya adalah musuh bebuyutan Arema dan Persib adalah sohib Persebaya. Mungkin karena itu jadi mereka bersikap demikian ke kami. Perjalanan memakan lebih dari sejam. Sekitar jam 21.00 WIB kami sampai di kawasan stasiun besar Malang di Kotabaru. Disini kita langsung disambut orkes Rock-Dangdut tepat di depan stasiun dengan lagu khas. Dangdut koplo !. Massa membludak untuk hanya sekedar menonton orkes ini. Suaranya sangat memekakkan telinga sampai-sampai kami bingung untuk sekedar meletakkan tas carier yang amat berat ini. Akhirnya setelah bernegosiasi dengan preman stasiun, kami diberi tempat untuk meletakkan barang-barang kami. Tanpa bayar sedikitpun. Kami masih bingung dengan tempat menginap malam ini. Fadhli dan Tommi diutus untuk mengecek masjid Kodam Malang yang kabarnya boleh ditempati. Jam menunjukkan sudah jam 00.00 WIB, mereka belum kunjung datang ke stasiun kembali. Mereka ternyata tertidur di masjid dan kesasar. Aku, Ucup, Yoga, Febi, Ita, dan Teh Nina dengan enjoy-nya menikmati malam dengan bermain kartu. Ditambah dengan gorengan pisang hangat dan kopi. Aku teringat massa SMA dulu dimana hampir setiap malam begadang di angkringan. Malam itu suasana tersebut kudapatkan kembali. Aku menikmati malam ini.

Karena tidak memungkinkan berpindah ke Masjid Kodam, akhirnya diputuskan untuk tidur ngemper di trotoar stasiun kotabaru Malang. Sekitar setengah jam saja aku tidur malam ini. Jam 04.30 WIB, minggu (29/12/2013), kami sudah berada di kereta express untuk menuju Surabaya. Di kereta, setelah tunaikan sholat Subuh, tanpa basa-basi aku tidur pulas. Satu gerbong rasanya hanya ditumpangi Tim YKS. Saking pulasnya, aku tidak mimpi apapun. Matahari sinarnya menembus kaca ketika kereta berhenti di Stasiun Gubeng Surabaya. Novi bangunkan tidurku yang sangat lelap. Di stasiun Gubeng ini aku berpamitan untuk pulang ke kampung halaman.


Pengalaman terhebat sepanjang 2013 pun tersudahi. Kini sudah memasuki tahun yang baru 2014. Tahun dimana mimpi-mimpi baru harus tercipta dan segera dieksekusi. Kami harus bersemangat mengejarnya seperti halnya menggapai 3676 mdpl, mahameru. Terima kasih aku tunjukkan kepada semua anggota Tim YKS ; Ugun, Ita, Sofi, Ucup, Yoga, Teh Nina, Chitra, Fadhli, Ana, Tami, Purwa, Mila, Agita, Raka, Febi, Tommi, Novi, Reza, Aldy, Mugi, Niki, Ivan, Marcin, dan Dovil. Kalian semua inspiratif.



Uruqul Nadhif Dzakiy

2 komentar:

-FB said...

Wah, kk Uruqul so sweet banget. Menginspirasi! Jadi pengen naik gunung juga.

Ente kalah tuh ama cewek mall, nggak sampai empat lapis, hueheue.

Uruqul Nadhif Dzakiy said...

dia (cewe) g bakal berani pake hot pants pas udah sampe ranu kumbolo apalagi pas menuju mahameru. heu