Catatan Seorang Petualang
Edisi #3
Semeru
(3676 mdpl)
Perjalanan panjang di gunung tertinggi di pulau Jawa (3676 mdpl) akhirnya berakhir hari ini (29/12/2013) ketika aku
kembali menghirup udara desaku yang masih cukup asri biarpun panas di Lamongan
Jawa Timur. Semeru memiliki karakteristik yang unik dimana pesonanya menarik perhatian ribuan pendaki di liburan akhir tahun
ini.
Mendaki gunung bagiku adalah hobi
baru. Aku baru melakoninya di tahun 2013. Pendakian ke Gunung Semeru adalah
pendakian ketiga aku di tahun ini setelah Gunung Papandayan dan Cikuray.
Berbagai persiapan telah aku siapkan menjelang keberangkatan seperti menyiapkan
alat-alat pendakian ; sepatu, jaket, carier,
ponco, dan lain-lain, logistik pendakian, dan persiapan fisik dengan mengusahakan lari-lari kecil secara rutin tiap pekan
di Monumen
atau Saraga. Puncak Gunung Semeru, Mahameru, aku tulis sebagai salah satu target besarku
di tahun 2013.
Membumikan Tanjakan Cinta
Kami sampai di Ranupani dari Pasar Tumpang pada malam hari sekitar jam
20.00 WIB pada Hari Natal 2013. Satu malam kami menginap disini. Suasana di Ranupani sungguh
ramai sekali. Sudah puluhan tenda berdiri di lokasi tempat registrasi pendakian
ini. Seduhan kopi putih di warung tak jauh dari tenda menambah semangat
pendakian pada esok harinya. Malam ini berlalu dengan sangat cepat. Sleeping bag menghangati tubuhku sampai
subuh. Sampai-sampai aku tidak bermimpi sedikitpun.
Pendakian dimulai. Aku masuk di Tim
Pendahulu bersama Ita, Tommi, Ucup, Febi, Sofi, Chitra, Reza, Agita, Raka, Yoga, dan Tami. Tim pendahulu diharapkan
mencapai Kalimati lebih dulu sehingga
bisa membangun tenda dan menyiapkan makan malam.
Perjalanan dari Ranupani ke Ranu Kumbolo memakan waktu hampir lima jam. Jalanan
naik-turun dengan beberapa track
curam. Ada empat pos yang kami lewati. Para pendaki lain lalu-lalang berangkat atau pulang dari mendaki. Ramai sekali. Berulangkali
aku ucapkan “Permisi”, “Monggo” kepada pendaki lain. Mungkin ada seratus kali !. Mendaki
ciptakan solidaritas alami dengan pendaki lain. Keeratan dan kekerabatan timbul
secara spontan tanpa batas aling-aling.
Persaudaraan diantara tim pendahulu juga semakin erat dan cair.
Ranu kumbolo semacam danau alami
dari pegunungan Semeru. Dari pos empat, keelokannya luar biasa indah. Danau ini
jika dilihat dari
atas terlihat berwarna hijau kebiruan. Keindahannya ditambah dengan bukit-bukit
disekitarnya yang menyerupai habitat Teletubies. Tenda-tenda berdiri mengitari
danau. Namun, kebanyakan berpusat di dekat tanjakan cinta, track menuju Kalimati. Di Ranu Kumbolo, kami istirahat sejenak.
Juga lakukan sholat dan makan siang.
Kuceburkan Kakiku ke danau
Cheeesss …
Dinginnya menusuk tulang sampai
ubun-ubun
Muka kubasuh membunuh panasnya siang ini ..
Tiba saatnya menaiki tanjakan cinta.
Mitos mengatakan bahwa siapa yang menaiki tanjakan cinta dengan tanpa menoleh
kebelakang, maka cintanya akan diterima. Baru beberapa langkah, aku sudah
menoleh menyaksikan susahnya teman-teman menaiki tanjakan ini. Lagipula kalau tidak
menoleh, aku akan sebut siapa ya ? Apa si itu, wah udah ada yang punya. Teman
satu tim, malu mengatakannya. Sudahlah. Aku hanya menduga bahwa ini dinamakan
tanjakan cinta dengan mitos demikian dimaksudkan agar para pendaki bersemangat
untuk sampai di puncak tanjakan. Tanjakan ini merupakan tanjakan tercuram
sebelum tanjakan pasir menuju mahameru. Kecuramannya mungkin sekitar 60
derajat. Ransel 75 Liter yang aku bawa menambah berat menaiki tanjakan. Namun,
Kukubima Energi “Roso!” menggairahkan kembali semangat kami. Dan…
Padang luas alias Oro-Oro Ombo membayar capek kami. Aku
berjalan di tengah rumputan panjang yang tumbuh teratur dengan dilingkari
dataran tinggi yang elok. Pengambilan gambar dari puncak tanjakan cinta ke
padang ini indah sekali. Beban berat di pundak terlupa sejenak sebelum akhirnya
melalui track hutan dan ilalang
menuju Kalimati. Kalimati menjadi tujuan akhir sebelum mencapai Mahameru. Di
sini, kami membangun tenda dan menyiapkan makan malam. Tiba disini hampir setengah enam sore.
Puncak Mahameru terlihat jelas disini. Para pendaki sudah banyak yang dirikan
tenda di sepanjang Kalimati. Kami tidak sendiri !
Tanjakan cinta menguatkan keakraban
kita sebagai satu tim. Hati kami tertaut satu sama lain. Susah dan senang kami
jalani bersama. Latar belakang kampus, jurusan, usia, bahkan warga Negara kami
tanggalkan. Kami satu saudara senasib sepenanggungan. Kami miliki tujuan yang
sama dan utuh “Mencapai Puncak Mahameru !”.
Menangkap Spirit “Makassar”
Kami hanya tidur sekitar dua jam.
Jam 23.00 WIB,
kami harus bangun untuk lakukan jalan malam menuju Mahameru, puncak Gunung
Semeru. Air satu botol 1.5 Liter aku bawa dengan diikatkan rafia menyerupai tas
ke badan seperti yang diinstruksikan
Ugun sebelum tidur. Peralatan P3K dan makanan ringan
pun dibawa. Hal itu diperuntukkan untuk mencegah kelaparan dan dehidrasi. Aku
kebagian kelompok tiga dengan empat anggota ; Aku, Fadhli, Mila, dan Ana. Aku ditunjuk oleh Ugun, koordinator
pendakian, untuk menjadi penanggung jawab tim.
Sebelum track pasir, kami harus melewati Arcopodo. Disini aku mencoba mencari Prasasti In
Memoriam Soe Hok Gie tetapi tidak
ketemu. Sebelum capai Arcopodo, salah seorang anggota Timku, Ana, terkilir kakinya. Aku pun harus menuntunnya
bergantian dengan Fadhli. Track menuju Arcopodo cukup curam, di area hutan yang
gelap. Seringkali aku harus berpapasan dengan rombongan tim lain. Karena ada
anggota tim yang cedera, perjalanan kami melambat. Seringkali harus istirahat sebelum
waktunya. Dilain sisi, malam ini cerah sekali. Bintang-bintang terlihat jelas. Juga
pemandangan kilau lampu kota Malang pendarnya terlihat indah. Aku teringat saat
di Caringin Tilu (Cartil) dengan kawan-kawan Panjombs saat liburan Idul Adha
lalu.
Pasca Arcopodo, masih track medan tanah namun tidak lama.
Jalanan didominasi medan pasir. Naik satu langkah bisa turun beberapa langkah.
Bagi aku ini medan tersulit. Ditambah dengan dinginnya dini hari di ketinggian
lebih dari 3000 mdpl. Lapisan baju aku ada empat, juga lapisan celana. Beratnya
menuju mahameru ditambah dengan harus menggandeng tangan kiri teman satu tim, Mila. Melepaskan gandengan
tangan Ana, harus menggandeng tangan Mila. So sweet sekali. Namun, setelah melihat Ana digandeng Raka yang notabene bukan anggota
Timku, aku instruksikan Mila dan Fadhli untuk berangkat duluan menuju ke
puncak. Ana pun kugandeng tangannya, namun di tengah
perjalanan, beberapa ratus meter sebelum puncak, Ana tepar. Badannya lemas hebat. Tangannya kupegang
seperti tidak ada tenaga sama sekali. Bicaranya tidak jelas, matanya langsung
dipejamkan begitu saja. Aku selimutkan sleeping
bag di badannya setelah mulutnya komat-kamit meminta. Kutawarkan minum, snack, tetapi dia menolak. Aku hanya bisa terdiam
disampingnya sembari menyaksikan orang-orang berjibaku menanjak ke mahameru. Sinar
matahari pun semakin memuncak, dinginnya semeru perlahan turun.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan
sosok wanita yang namanya serupa nama anak planologi itu, Teh Nina !. Berdasar
informasi dari ketua timnya, Agita,
Teh Nina seharusnya
istirahat menepi beberapa puluh meter dari tempat aku menunggui Ana yang tepar tak
berdaya. Anehnya ada sosok lelaki yang membantu dia ke puncak. Aku tidak kenal
sama sekali lelaki itu. Baru kemudian setelah aku menghampiri, ternyata lelaki itu adalah
anak Makassar. Segerombolan para pecinta alam asal Makassar. Setelah kukenal
identitasnya, aku dikejutkan dengan bangunnya Ana. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah anak Makassar!. Mungkin karena
gaya anak Makassar ini yang memesona atau kegantengan mereka melebihi
kegantenganku. Bagiku ini magis. Aku kemudian berjibaku menghampiri Ana yang sekarang dituntun
ama tiga orang anak Makassar yang semunya lelaki. Dari sini aku kenal lebih
dekat asal-usul anak Makassar ini. Salah satu misinya adalah membantu para
pendaki yang berambisi ke puncak. Ana
memang sangat berambisi ke puncak namun setelah aku klarifikasi pasca Ia
sadarkan diri, ternyata saat ditarik anak Makassar, Ia dalam kurang sadarkan diri.
Untungnya aku melihat Mila dan Chitra
dari arah berlawanan. Aku cukup lama berdiskusi dengan mereka. Akhirnya setelah diberi wejangan,
Ana ikhlas untuk tidak melanjutkan perjalanan ke
mahameru. Aku juga urungkan ke mahameru. Mungkin suatu
saat aku bisa pijakkan kaki di puncak tertinggi pulau Jawa ini.
Turunan terasa
lebih ringan. Medan pasir yang lembut memudahkan pijakan kaki untuk lebih cepat
sampai ke bawah. Ditambah dengan banyak teman-teman yang sudah turun dari
mahameru. Kondisi Teh Nina dan Ana saat menuju ke puncak tadi secara otomatis
terlupa akan sakitnya. Senyum kebahagiaan menaklukkan semeru menyebar bak virus
ke tiap teman yang belum berhasil menggapai mahameru. Kamera digital dan juga handphone berulangkali mengabadikan
momen di track pasir ini.
Sampai-sampai ngetem berulang kali
entah setiap berapa meter sekali. Seringnya ngetem
membuat kaki berat untuk diperintah berjalanan. Bekal pun tinggal aqua ukuran
1.5 L dengan sisa air sekitar seperempat. Mulut botol pun terlumuri pasir namun
tidak banyak. Puncak semeru semakin ditinggalkan orang. Jalanan menyepi tetapi
kadangkala bersalipan dengan pendaki lain yang juga turun. Hampir di setiap
jeda perjalanan alias istrahat, berita teparnya Teh Nina dan Ana menjadi trending topic pembicaraan. Pembicaraan
tersebut otomatis menyinggung nama aku yang membuat aku malu. Berulangkali
pujian dialamatkan ke aku, tetapi aku tidak merasa sedikitpun menjadi pahlawan.
Perlakuan yang aku berikan adalah tindakan semestinya sebagai penanggungjawab
Tim. Aku merasa gagal sebagai motivator Tim karena hanya seorang dari anggota
Tim aku (4 orang) yang mampu gapai mahameru. Mungkin sikapku seharusnya
mencontoh spirit anak-anak Makassar. Spirit yang membangkitkan dan menghipnotis
!
Sampai di Arcopodo
kembali aku mencari prasasti In momoriam
Soe Hok Gie (SHG) tetapi tidak juga bertemu. Aku bodoh tidak surfing di internet sebelum mendaki. Ternyata,
Prasasti SHG dan Idhan Lubis berada di mahameru dan sudah diturunkan pada 2012
lalu. Saat di Arcopodo, perutku mules hebat. Aku bicara keras ingin BAB dan langsung
direspon oleh seorang pendaki yang tidak aku kenal sebelumnya dengan menawarkan
tisu basah. Aku pun langsung cari posisi di semak-semak dan alhamdulillah aku
sukses BAB setelah tiga hari macet. Matahari semakin meninggi, sinarnya
memanaskan tumpukan baju dan celanaku yang empat lapis itu. Namun apa daya,
perut keroncongan. Hanya biskuit Togo coklat beberapa biji yang sempat aku
makan. Itupun sudah beberapa jam yang lalu. Track
curam pasca Arcopodo menambah kehati-hatianku untuk menuju Kalimati.
Hari ini Jum'at,
27 Desember 2013. Aku baru sampai camp
waktu Dzuhur. Setibanya di camp, tiada suara guyonan dan sejenisnya. Hampir
semua teman tertidur pulas di tenda. Aku akui dengan sangat bahwa perjalanan
menuju mahameru sangat menguras energi. Siang ini tidak ada yang memasak. Jika
ingin makan siang, silahkan buat mie sendiri. Aku malas dan hanya makan biskuit
Oreo Coklat Ice Cream ditambah
Floridina. Setelah qashar Dzuhur-Ashar,
aku kemudian tidur di tenda tanpa alas, hanya kaos hitam dan training merah
hitam yang membalut badanku yang kecapekan. Panasnya siang menemani tidurku
yang jauh dari kata nyenyak. Sejam berlalu, aku dengar Mila mencari-cariku, menanyakan
roti yang kuberikan ke Teh Nina saat tepar di dekat mahameru tadi pagi. Memang,
suasana siang ini benar-benar keroncongan. Aku rasa semua mengalami hal serupa.
Lupakan istirahat
siang. Aku berkumpul di dapur dimana kami memasak. Disana sudah ada beberapa
teman yang sempat membuat mie atau energen. Ada juga buah pear yang sedikit melayu. Lumayan buat menambah sedikit tenaga. Segelas
kopi dan energen pun diminum ramai-ramai. Hakikat tanjakan cinta otomatis
terpatri dalam kebersamaan, saling pengertian, dan saling berbagi. Tidak lama
kemudian, aku, Tommi, dan Fadhli menuju sumber air untuk mengisi botol-botol
kami yang kosong. Perjalanan dari kalimati kesini sekitar setengah jam.
Ternyata di lokasi,
ramai akan para pendaki dengan botol-botolnya. Kami cari posisi dulu agak jauh
dari sumber air untuk BAB. Menjauh ke Barat, aku menyaksikan di bukit-bukit
setidaknya ada tiga orang yang BAB disana. Posisi yang sangat strategis memang.
Kami tidak seberuntung mereka. Kami akhirnya bisa tunaikan hajat di
semak-semak. Kadangkala ada beberapa orang yang lalu lalang melihat kami. Aku
cuek aja, lagian hanya terlihat
kepala. BAB kali ini sungguh memuaskan. Semuanya berhasil dikeluarkan biarpun
dari pagi tidak makan. Kentut yang seringkali keluar tanpa izin rasanya
tersudahi pasca beban ini habis sama sekali. Tommi dan Fadhli sudah selesai
dahulu. Aku menyempurnakan tugasku.
Saat mengambil
air, aku bertemu dengan Byna Kameswara (PL 09). Ternyata Ia juga nge-camp di Kalimati dengan rombongan anak
ITB mantan pejabat di Kabinet KM ITB. Setidaknya ini rombongan ketiga anak ITB
yang kutemui selain Tim YKS dan Zaini dkk. Botol sudah penuh diisi dengan air.
Tangan kanan dan kiriku masing-masing memegang 1 botol 1.5 Liter. Beda halnya
dengan Tommi yang membawa air 10 Liter. Semakin sore semakin ramai para pendaki
yang hendak mengambil air. Setibanya di camp,
kami segera memasak. Nasi pun direbus.
Aktor utamanya kali ini adalah Ita yang berjibaku mengaduk nasi dan menambah
air agar nasi tidak gosong oleh api
parafin. Aku hanya bantu-bantu saja. Ternyata pada esok harinya saat sarapan,
teman-teman menilai bahwa nasi masakan malam ini terenak. Mungkin gosongnya
nasi menambah kenikmatan makan malam ini.
Menanti Sunrise di Ranu Kumbolo
Malam ini kami harus
segera packing. Ugun berikan briefing malam ini. Tim tetap dibagi
menjadi dua. Aku tetap di Tim Pendahulu dengan Agita sebagai komandannya. Malam
ini langit tetap cerah. Namun, sinar bulan tidak mampu menembus gelapnya hutan.
Hanya senter yang sinarnya sudah redup ini yang menemaniku sepanjang jalan.
Dalam formasi baris aku menempati nomor 6 tepat dibelakang Ita. Dari Kalimati
menuju Ranu Kumbolo tidak banyak yang berupa track tanjakan. Kebanyakan track-nya
landai. Namun, gelap dan sepinya malam kadang membuatku sedikit was-was. Aku
khawatir ada binatang buas atau penampakan lain yang mengganggu perjalanan.
Entah mengapa pula, perjalanan malam ini sungguh ngos-ngosan. Keringat mengucur
hebat juga carier seringkali
kunyamankan pemakaiannya. Tetapi berkat teman-teman satu Tim yang semangatnya
membatu untuk segera mengakhiri perjalanan, kecapekan harus kulupakan sejenak. Perjalanan
memakan waktu lebih dari tiga jam. Sekitar jam 23.00 WIB kami sudah bisa
menghangati tubuh di dekat api parafin. Juga menikmati segelas kopi sachet dan
energen. Puluhan camp telah berdiri
saat kami berhasil menuruni tanjakan cinta. Malam ini sangat dingin melebihi
kawasan Kalimati. Efek hembusan angin dari danau. Andai malam ini ada pocker yang menemani kepulan asap kopi
dan api parafin, ditambah dengan cerita gombal berlatarkan tanjakan cinta,
pasti malam ini lebih hangat. Dinginnya malam akan terlupakan sementara waktu..
Suara kukuruyuk ayam
tidak terdengar. Hanya suara celotehan para pendaki yang menandakan sinar
matahari akan terbit. Banyak pendaki yang mengharapkan sunrise di Ranu Kumbolo, namun alam berkata lain. Kabut tebal
menyelimuti kawasan danau. Jam lima pagi ternyata sudah terang. Gulitanya malam
telah pudar digantikan kombinasi kabut dan sinar matahari. Aku menuju danau dan
mencelupkan kaki kedalamnya untuk ambil air wudhu. Dinginnya air menetralkan
suhu tubuhku yang juga dingin. Aku tunaikan subuh berjamaah dengan Febi di
tenda tanpa perlu bungkukan yang berarti. Selanjutnya dilanjutkan mengobrol
sejenak bersama Ucup, Yoga, Febi, dan Fadhli. Tidak lama setelah itu gabung
bersama Sofi dkk untuk siapkan sarapan pagi. Hari ini hari penghabisan. Menu
sarapan pun diproyeksikan menjadi makan besar. Nasi yang dimasak takarannya
dilebihkan, juga lauknya merupakan kombinasi sarden, kornet, dan mie. Dicampur
dengan abon sebagai lalapnya. Saat waktu makan habis, nasi pun sisa banyak
sekali. Perut rasanya menolak duluan sebelum makanan tersebut tertelan
pelan-pelan. Aku hanya makan beberapa suap. Mungkin karena sebelumnya, aku dah
habiskan satu porsi super bubur.
Ketidakhadiran sunrise di Arcopodo tetap membuat kami
merasa kerasan berlama-lama di Ranu Kumbolo. Buktinya, Zaini dkk sudah menunggui
kami untuk berfoto bersama Tim YKS selama sejam. Akhirnya mereka putuskan untuk
bergerak duluan menuju Ranupani. Kami baru meninggalkan Ranu Kumbolo sekitar
jam setengah 11. Terik matahari semakin meninggi dan kabut yang melingkupi
permukaan danau pun hilang sama sekali. Ranu Kumbolo terlihat jelas
keindahannya sama seperti saat pertama kali kami menginjakkan kaki disini dua
hari lalu. Kami pun meninggalkan area perlahan demi perlahan. Di lain sisi,
arus pendaki yang datang pun semakin banyak menjelang tahun baru ini. Mulut kami
tanpa diperintahkan otomatis berucap "permisi", "monggo",
"semangat Mas!" puluhan kali. Profil pendaki yang aku temui di jalan
bermacam-macam. Dari Ibu-Ibu yang memakai pakaian tradisional Bali sampai
cewe-cewe cakep yang memakai pakaian mal alias hot pants. Perjalanan menuju Ranupani relatif lancar. Pos 4, 3, 2,
1 terlewati. Munculnya track paving block
yang tertutup sebagiannya oleh longsoran pertanda pos Ranupani semakin dekat.
Sekitar jam setengah 16.00 WIB kami sampai di pos Ranupani.
Ngemper di Stasiun
Di Pos Ranupani
aku sempatkan untuk mandi biarpun harus antre cukup lama, qashar Dzuhur-Ashar, packing
dan makan di warung yang sama pas baru sampai Ranupani dulu. Sambel hijaunya
sangat pedas. Itu cukup menghangatkan tubuh yang dingin oleh air pas mandi tadi.
Tepat azan maghrib berkumandang, aku bergegas menuju truk yang sudah disiapkan
bersama dengan Tim YKS Kloter 2. Perjalanan panjang menuruni perbukitan Ranupani
menuju Pasar Tumpang pun kami lewati. Jalanan sepi sekali. Bromo terlihat
bentuknya tetapi tertutupi oleh gelapnya malam. Di awal perjalanan, Ana dan
Mila mencoba menghibur penumpang truk dengan aneka cerita dan nyanyian. Aku
sedikit-sedikit menimpali dengan senyuman saja. Aku lebih sering bertukar
pikiran dengan Mugi. Setelah sekitar setengah jam perjalanan, suara Mila hilang
tertelan erungan mesin truk. Tinggal Ana dan Raka yang terus kali bercerita
tentang pengalaman hebat di Semeru selama ini. Bahkan sampai cerita terkait
kampus masing-masing. Aku hanya terbengong menikmati jalanan yang sedikit lagi
sampai di Pasar Tumpang.
Dari Pasar
Tumpang, sudah tersedia angkot yang akan memobilisasi kami ke stasiun Malang.
Ada dua angkot yang siap mengangkut Tim YKS minus Agita dan Raka yang undur
diri terlebih dahulu. Sopirnya beringas sekali apalagi angkot satunya yang
terlihat masih muda. Katanya, karena kami orang Bandung yang identik dengan
Persib sehingga tidak disukainya. Mereka adalah Aremania, pendukung fanatik
Arema Cronus. Setahu aku Persebaya adalah musuh bebuyutan Arema dan Persib
adalah sohib Persebaya. Mungkin karena itu jadi mereka bersikap demikian ke
kami. Perjalanan memakan lebih dari sejam. Sekitar jam 21.00 WIB kami sampai di
kawasan stasiun besar Malang di Kotabaru. Disini kita langsung disambut orkes Rock-Dangdut
tepat di depan stasiun dengan lagu khas. Dangdut koplo !. Massa membludak untuk
hanya sekedar menonton orkes ini. Suaranya sangat memekakkan telinga
sampai-sampai kami bingung untuk sekedar meletakkan tas carier yang amat berat ini. Akhirnya setelah bernegosiasi dengan
preman stasiun, kami diberi tempat untuk meletakkan barang-barang kami. Tanpa
bayar sedikitpun. Kami masih bingung dengan tempat menginap malam ini. Fadhli
dan Tommi diutus untuk mengecek masjid Kodam Malang yang kabarnya boleh
ditempati. Jam menunjukkan sudah jam 00.00 WIB, mereka belum kunjung datang ke
stasiun kembali. Mereka ternyata tertidur di masjid dan kesasar. Aku, Ucup,
Yoga, Febi, Ita, dan Teh Nina dengan enjoy-nya
menikmati malam dengan bermain kartu. Ditambah dengan gorengan pisang hangat
dan kopi. Aku teringat massa SMA dulu dimana hampir setiap malam begadang di
angkringan. Malam itu suasana tersebut kudapatkan kembali. Aku menikmati malam
ini.
Karena tidak
memungkinkan berpindah ke Masjid Kodam, akhirnya diputuskan untuk tidur ngemper di trotoar stasiun kotabaru
Malang. Sekitar setengah jam saja aku tidur malam ini. Jam 04.30 WIB, minggu
(29/12/2013), kami sudah berada di kereta express
untuk menuju Surabaya. Di kereta, setelah tunaikan sholat Subuh, tanpa basa-basi
aku tidur pulas. Satu gerbong rasanya hanya ditumpangi Tim YKS. Saking
pulasnya, aku tidak mimpi apapun. Matahari sinarnya menembus kaca ketika kereta
berhenti di Stasiun Gubeng Surabaya. Novi bangunkan tidurku yang sangat lelap.
Di stasiun Gubeng ini aku berpamitan untuk pulang ke kampung halaman.
Pengalaman terhebat sepanjang 2013 pun tersudahi.
Kini sudah memasuki tahun yang baru 2014. Tahun dimana mimpi-mimpi baru harus
tercipta dan segera dieksekusi. Kami harus bersemangat mengejarnya seperti
halnya menggapai 3676 mdpl, mahameru. Terima kasih aku tunjukkan kepada semua
anggota Tim YKS ; Ugun, Ita, Sofi, Ucup, Yoga, Teh Nina, Chitra, Fadhli, Ana,
Tami, Purwa, Mila, Agita, Raka, Febi, Tommi, Novi, Reza, Aldy, Mugi, Niki,
Ivan, Marcin, dan Dovil. Kalian semua inspiratif.
Uruqul
Nadhif Dzakiy
2 komentar:
Wah, kk Uruqul so sweet banget. Menginspirasi! Jadi pengen naik gunung juga.
Ente kalah tuh ama cewek mall, nggak sampai empat lapis, hueheue.
dia (cewe) g bakal berani pake hot pants pas udah sampe ranu kumbolo apalagi pas menuju mahameru. heu
Post a Comment