Monday, February 17, 2014

Surat Cinta untuk Cakahim

Subuah Pesan untuk Calon Formatur Tunggal Himatika ITB

Sudah menjadi agenda wajib bagi setiap himpunan di ITB untuk mengadakan Pemilu Raya (Pemira) setiap tahunnya. Agenda ini menjadi semacam pesta demokrasi bagi semua anggota resmi himpunan. Anggota himpunan yang tertantang pun maju menjadi calon ketua himpunan dan sudi mengikuti semua prosesi yang diatur oleh Panitia Pemira (Panpel). Setiap calon mengemukaan gagasan dan idenya untuk kemajuan himpunan melalui penurunan visi dan misi menjadi program kerja yang menarik para anggota. Impact-nya calon yang mampu mengemas gagasannya menjadi sebuah platform yang menarik, juga ditambah dengan kepopuleran calon, akan terpilih menjadi ketua himpunan. Pesta demokrasi pun berakhir setelah ketua himpunan terpilih resmi dilantik.

Landasan Historis

Sebelum kita berbicara banyak terkait  posisi himpunan sebagai salah satu intrumen gerakan mahasiswa, terlebih dahulu kita singgung aspek historis pergerakan mahasiswa di Indonesia. Mulanya pergerakan kaum muda dilakukan oleh para pemuda dimana mahasiswa merupakan subset-nya. Adalah kebangkitan pemuda pada 1908 dan kongres pemuda pada 1928 yang merupakan pergerakan pemuda yang tertulis dalam sejarah.  Sebuah perjuangan pemuda mulai dari peneguhan identitas bangsa sampai perjuangan fisik melawan penjajah. Namun di akhir Orde Lama pasca 1965, gerakan pemuda pun luruh dan seolah-olah tergantikan oleh gerakan mahasiswa. Jika kita tarik lebih lama lagi, entitas yang bernama mahasiswa ini lahir saat berdirinya universtitas pada masa penjajahan Belanda. Universitas ini didirikan sebagai tempat untuk menyiapkan para pegawai Belanda termasuk didalamnya calon bupati seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Batavia saat itu. Namun istilah mahasiswa entah sejak kapan mulai ada. Kata "maha" mengandung arti "ketidakberhinggaan" atau "ketidakterjangkauan". Memang pada saat itu, seorang yang mampu mengenyam pendidikan universitas adalah para priyayi/bangsawan. Mereka adalah para elite yang jumlahnya sangat terbatas. Dari sinilah timbul esklusivitas yang menjadikan mahasiswa menjadi golongan/kelas tersendiri. Hal senada jika kita analisis dalam posisi ekonomi politik. Mahasiswa tidak masuk dalam kelas pemilik alat produksi (pemodal/pengusaha) maupun kelas pekerja/karyawan namun mahasiswa adalah transisi dari keduanya. Hal ini semakin meneguhkan bahwa mahasiswa merupakan kelas tersendiri.


Mahasiswa pada akhir Orde Lama yang secara tidak langsung menggantikan peran pemuda memformulasikan gerakan mereka sebagai "agent of social change". Formula tersebut berarti agent of change yakni pelopor perubahan dimana berada di barisan terdepan dengan masyarakat yang mampu menciptakan social change atau perubahan sosial. Formula tersebut semakin mempertegas bahwa mahasiswa adalah entitas yang dielu-elukan masyarakat atau dalam artian lain masyarakat mengamanahi mahasiswa untuk memimpin pergerakan sosial politik bersama mereka. Rezim Orde baru yang berkuasa selama 32 tahun yang dikenal dengan rezim militer ternyata malah memanfaatkan keberadaan mahasiswa. Intelijen-intelijen secara cerdik menggembosi peran mahasiswa sebagai motor pergerakan rakyat dengan program NKK/BKK dan sejenisnya sehingga menjauhkan posisi mahasiswa terhadap rekan kerja pergerakan yakni "rakyat". Akibatnya gerakan mahasiswa mati suri. Kebijakan pun diatur sampai tercetus program link and match dalam Perguruan Tinggi pada akhir masa Orde Baru dimana lulusan Perguruan Tinggi didesain untuk mengisi kebutuhan industri. Mahasiswa pun semakin esklusif, gedung-gedung Perguruan Tinggi semakin tak terjamah oleh masyarakat luas.

Seiring dengan krisis ekonomi 1997, harga komoditas pangan dan segala kebutuhan primer rakyat termasuk didalamnya mahasiswa naik akibat krisis ekonomi yang menghantam Asia Tenggara tak terkecuali Indonesia. Demo-demo menjadi pemandangan yang lumrah pada saat itu. Pergerakan mahasiswa yang sebelumnya seperti dipasung pun melepaskan borgolnya perlahan demi perlahan. Puncaknya pada  Mei 1998, mahasiswa bersama rakyat berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Presiden Soeharto pun mundur, mahasiswa dan rakyat bersorak gembira. Arus "demokrasi" yang dibuka seluas-luasnya pasca reformasi tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yang juga sangat besar terutama di sistem ekonomi politik. Arus liberalisasi ekonomi yang pada era Orde Baru dikuasai oleh para kroni yang diistilahkan dengan kroniisme, kini pasca reformasi liberalisasi mengarah ke bentuk yang lebih sempurna yang lebih dikenal dengan istilah neoliberalisasi. Kini tak hanya ekonomi yang menjadi sasaran liberalisasi, namun hampir semua sendi kehidupan pun tak luput dari permainan pasar termasuk di dalamnya pendidikan. Bisa kita artikan neoliberalisme menganut fundamentalisme pasar.

Pasca reformasi, gerakan kolektif mahasiswa tersegmentasi menjadi gerakan yang sporadis yang tidak hanya seputar politik. Gerakan inilah yang disebut gerakan post-modernisme yang memiliki ciri relatif, estetis, manusiawi, culture, irasional, dan non-sentralistik dimana mahasiswa tidak lagi memiliki musuh tunggal. Pada era posmo ini kita mengenal  gerakan pop yang tidak hanya mengandalkan aspek rasionalitas melainkan juga aspek hati. Era ini juga ditandai dengan munculnya anggapan bahwa "Ideologi telah mati" dan juga tumbuh-kembangnya ketidakpercayaan terhadap peran serta negara sebagai pelaksana amanat rakyat.

Memilih Sebagai Agent of Social Change

Terlepas dengan diferensiasi gerakan yang dilakukan, ternyata mahasiswa sampai sekarang masih memposisikan dirinya sebagai Agent of Social Change biarpun tidak seperti penjelasanan di bagian muka. Hal ini sebagai konsekuensi dari poin ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni "pengabdian masyarakat". Hampir seluruh himpunan di ITB memasukkan poin tersebut pada misi organisasinya, tak terkecuali Himpunan Mahasiswa Matematika (Himatika) ITB. Pada misi keempat Himatika ITB tertulis "Membudayakan Masa Himatika untuk selalu peka dan berkontribusi kepada masyarakat". Hal ini semakin mempertegas bahwa setiap mahasiswa Matematika ITB yang secara sadar bergabung bersama Himatika ITB memiliki tujuan mulia yaitu memposisikan masyarakat sebagai partner dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di lingkungannya. Poin inilah yang penulis pandang sebagai hubungan alami antar umat manusia yakni sebagai makhluk sosial.

Tidak perlu kita perdebatkan panjang lebar tentang siapa masyarakat yang menjadi partner kita, sekarang tinggal bagaimana kita memformulasikan bentuk gerakan. Hal ini sangat sulit mengingat posisi masyarakat sebagai subjek bukan objek. Sebagai gambaran, kita bersama-sama masyarakat menggali keyword suatu permasalahan. Selanjutnya kita keluarkan pandangan kita, begitu pula masyarakat baru kemudian keluarlah solusi. Titik tekan pada poin ini adalah masyarakat lah yang menyelesaikan persoalannya. Sebagai contoh Pengajaran di Taman Pendidikan Al-quran (TPA). Di samping kita turut serta mengajar, kita juga melibatkan pemuda setempat untuk mengajar bersama. Kita mengkader pemuda setempat agar saat kita telah tidak lagi di ITB, kegiatan TPA tetap berlangsung oleh pemuda tersebut. Disitulah masyarakat menyelesaiakan masalahnya sendiri. Dengan demikian, gerakan pengabdian masyarakat kita selanjutnya akan naik level dimana mengambil sekup wilayah lain dengan masyarakat yang berbeda dan tentu dengan pola gerakan yang berbeda.

HLC Sebagai Wadah

Penjelasan seputar formulasi gerakan yang menitikberatkan pada kontinuitas dan penurunan nilai dipandang sebagian mahasiswa sebagai sesuatu yang memberatkan. Anggapan tersebut tidak salah, namun jika kita menilik misi himpunan maka hal inilah yang sepatutnya kita lakukan sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa seperti yang didefinisikan dimuka adalah entitas yang membentuk kelasnya tersendiri. Ia adalah entitas minoritas karena wajib belajar di Indonesia sampai sejauh ini hanya sampai SMA. Oleh karenanya sudah sewajarnya, pola gerakan mahasiswa berbeda dan memiliki efek berkali-kali lipat.

Era postmodern seperti yang saya dijelaskan dimuka munculkan konsekuensi berupa gerakan pop namun tidak lantas asal melakukan gerakan tanpa berfikir panjang. Kita membutuhkan wadah bernaung untuk mengumpulkan berbagai gagasan untuk mereformasi gerakan kita mulai nilai yang dibawa sampai wajah gerakan kita. Kita tidak perlu membuat wadah baru, tinggal kita kembangkan wadah yang sudah ada yaitu Himatika Learning Club (HLC) dimana membawa nilai yang sama yakni pengabdian masyarakat. Selanjutnya, pandangan kita terhadap HLC harus berubah, tidak lagi sebagai program kerja, tetapi menjadi menjadi wadah kultural himpunan. Kegiatan HLC senantiasa berjalan selama Himatika ITB masih ada karena Ia ada ruh himpunan. Ketiadaan HLC menjadikan gerakan himpunan pincang. Oleh karenanya sebagai langkah konstitusional, HLC dimasukkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Himpunan (GBHH) oleh Rapat Anggota atau pihak yang berwenang memutuskan itu dengan dijiwai dengan kesadarann utuh atas pentingnya HLC.

Pada akhirnya HLC tidak lagi disebut sebagai wadah mengkaji yang sifatnya searah, namun disinilah berbagai macam gagasan terutama terkait kemasyarakatan muncul. HLC tidak hanya dijalankan oleh para anggota aktif, melainkan juga para swasta bahkan alumni. Dari sinilah proses bertukar fikiran berjalan lebih cepat. Dengan demikian diharapkan pola gerakan Himatika ITB lebih terarah dan jelas yang selanjutnya menjadi role model gerakan mahasiswa lain. Dari sinilah cita-cita Himatika ITB sebagai himpunan paling tersohor didunia akan mewujud dengan sendirinya.


Uruqul Nadhif Dzakiy
10109018

Referensi:

Agus Susanto,  Memandang Kembali Gerakan Mahasiswa, http://majalahganesha.com/blog/2012/02/10/memandang-kembali-gerakan-mahasiswa/

Okie Fauzi Rachman, Menakar Jatuhnya Gerakan Mahasiswa, http://majalahganesha.com/blog/2014/02/09/menakar-jatuhnya-gerakan-mahasiswa/


0 komentar: