Subuah Pesan untuk Calon Formatur Tunggal Himatika ITB
Sudah menjadi agenda
wajib bagi setiap himpunan di ITB untuk mengadakan Pemilu Raya (Pemira) setiap
tahunnya. Agenda ini menjadi semacam pesta demokrasi bagi semua anggota resmi
himpunan. Anggota himpunan yang tertantang pun maju menjadi calon ketua
himpunan dan sudi mengikuti semua prosesi yang diatur oleh Panitia Pemira
(Panpel). Setiap calon mengemukaan gagasan dan idenya untuk kemajuan himpunan
melalui penurunan visi dan misi menjadi program kerja yang menarik para anggota.
Impact-nya calon yang mampu mengemas
gagasannya menjadi sebuah platform
yang menarik, juga ditambah dengan kepopuleran calon, akan terpilih menjadi
ketua himpunan. Pesta demokrasi pun berakhir setelah ketua himpunan terpilih
resmi dilantik.
Landasan Historis
Sebelum kita
berbicara banyak terkait posisi himpunan
sebagai salah satu intrumen gerakan mahasiswa, terlebih dahulu kita singgung
aspek historis pergerakan mahasiswa di Indonesia. Mulanya pergerakan kaum muda
dilakukan oleh para pemuda dimana mahasiswa merupakan subset-nya. Adalah kebangkitan pemuda pada 1908 dan kongres pemuda
pada 1928 yang merupakan pergerakan pemuda yang tertulis dalam sejarah. Sebuah perjuangan pemuda mulai dari peneguhan
identitas bangsa sampai perjuangan fisik melawan penjajah. Namun di akhir Orde
Lama pasca 1965, gerakan pemuda pun luruh dan seolah-olah tergantikan oleh
gerakan mahasiswa. Jika kita tarik lebih lama lagi, entitas yang bernama
mahasiswa ini lahir saat berdirinya universtitas pada masa penjajahan Belanda.
Universitas ini didirikan sebagai tempat untuk menyiapkan para pegawai Belanda
termasuk didalamnya calon bupati seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Batavia
saat itu. Namun istilah mahasiswa entah sejak kapan mulai ada. Kata
"maha" mengandung arti "ketidakberhinggaan" atau
"ketidakterjangkauan". Memang pada saat itu, seorang yang mampu
mengenyam pendidikan universitas adalah para priyayi/bangsawan. Mereka adalah
para elite yang jumlahnya sangat terbatas. Dari sinilah timbul esklusivitas
yang menjadikan mahasiswa menjadi golongan/kelas tersendiri. Hal senada jika
kita analisis dalam posisi ekonomi politik. Mahasiswa tidak masuk dalam kelas pemilik
alat produksi (pemodal/pengusaha) maupun kelas pekerja/karyawan namun mahasiswa
adalah transisi dari keduanya. Hal ini semakin meneguhkan bahwa mahasiswa
merupakan kelas tersendiri.
Mahasiswa pada akhir
Orde Lama yang secara tidak langsung menggantikan peran pemuda memformulasikan gerakan
mereka sebagai "agent of social
change". Formula tersebut berarti agent
of change yakni pelopor perubahan dimana berada di barisan terdepan dengan
masyarakat yang mampu menciptakan social
change atau perubahan sosial. Formula tersebut semakin mempertegas bahwa
mahasiswa adalah entitas yang dielu-elukan masyarakat atau dalam artian lain
masyarakat mengamanahi mahasiswa untuk memimpin pergerakan sosial politik
bersama mereka. Rezim Orde baru yang berkuasa selama 32 tahun yang dikenal
dengan rezim militer ternyata malah memanfaatkan keberadaan mahasiswa.
Intelijen-intelijen secara cerdik menggembosi peran mahasiswa sebagai motor
pergerakan rakyat dengan program NKK/BKK dan sejenisnya sehingga menjauhkan
posisi mahasiswa terhadap rekan kerja pergerakan yakni "rakyat".
Akibatnya gerakan mahasiswa mati suri. Kebijakan pun diatur sampai tercetus
program link and match dalam Perguruan Tinggi pada akhir masa Orde Baru dimana lulusan
Perguruan Tinggi didesain untuk mengisi kebutuhan industri. Mahasiswa pun
semakin esklusif, gedung-gedung Perguruan Tinggi semakin tak terjamah oleh
masyarakat luas.
Seiring dengan
krisis ekonomi 1997, harga komoditas pangan dan segala kebutuhan primer rakyat
termasuk didalamnya mahasiswa naik akibat krisis ekonomi yang menghantam Asia
Tenggara tak terkecuali Indonesia. Demo-demo menjadi pemandangan yang lumrah
pada saat itu. Pergerakan mahasiswa yang sebelumnya seperti dipasung pun
melepaskan borgolnya perlahan demi perlahan. Puncaknya pada Mei 1998, mahasiswa bersama rakyat berhasil
menumbangkan rezim Orde Baru. Presiden Soeharto pun mundur, mahasiswa dan
rakyat bersorak gembira. Arus "demokrasi" yang dibuka seluas-luasnya
pasca reformasi tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yang juga sangat
besar terutama di sistem ekonomi politik. Arus liberalisasi ekonomi yang pada
era Orde Baru dikuasai oleh para kroni yang diistilahkan dengan kroniisme, kini pasca reformasi
liberalisasi mengarah ke bentuk yang lebih sempurna yang lebih dikenal dengan
istilah neoliberalisasi. Kini tak hanya ekonomi yang menjadi sasaran
liberalisasi, namun hampir semua sendi kehidupan pun tak luput dari permainan
pasar termasuk di dalamnya pendidikan. Bisa kita artikan neoliberalisme
menganut fundamentalisme pasar.
Pasca reformasi,
gerakan kolektif mahasiswa tersegmentasi menjadi gerakan yang sporadis yang
tidak hanya seputar politik. Gerakan inilah yang disebut gerakan
post-modernisme yang memiliki ciri relatif, estetis, manusiawi, culture, irasional, dan non-sentralistik
dimana mahasiswa tidak lagi memiliki musuh tunggal. Pada era posmo ini kita
mengenal gerakan pop yang tidak hanya
mengandalkan aspek rasionalitas melainkan juga aspek hati. Era ini juga
ditandai dengan munculnya anggapan bahwa "Ideologi telah mati" dan
juga tumbuh-kembangnya ketidakpercayaan terhadap peran serta negara sebagai
pelaksana amanat rakyat.
Memilih Sebagai Agent of Social Change
Terlepas dengan
diferensiasi gerakan yang dilakukan, ternyata mahasiswa sampai sekarang masih
memposisikan dirinya sebagai Agent of
Social Change biarpun tidak seperti penjelasanan di bagian muka. Hal ini
sebagai konsekuensi dari poin ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni
"pengabdian masyarakat". Hampir seluruh himpunan di ITB memasukkan
poin tersebut pada misi organisasinya, tak terkecuali Himpunan Mahasiswa
Matematika (Himatika) ITB. Pada misi keempat Himatika ITB tertulis
"Membudayakan Masa Himatika untuk selalu peka dan berkontribusi kepada
masyarakat". Hal ini semakin mempertegas bahwa setiap mahasiswa Matematika
ITB yang secara sadar bergabung bersama Himatika ITB memiliki tujuan mulia
yaitu memposisikan masyarakat sebagai partner
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di lingkungannya. Poin inilah yang
penulis pandang sebagai hubungan alami antar umat manusia yakni sebagai makhluk
sosial.
Tidak perlu kita
perdebatkan panjang lebar tentang siapa masyarakat yang menjadi partner kita, sekarang tinggal bagaimana
kita memformulasikan bentuk gerakan. Hal ini sangat sulit mengingat posisi
masyarakat sebagai subjek bukan objek. Sebagai gambaran, kita bersama-sama
masyarakat menggali keyword suatu
permasalahan. Selanjutnya kita keluarkan pandangan kita, begitu pula masyarakat
baru kemudian keluarlah solusi. Titik tekan pada poin ini adalah masyarakat lah
yang menyelesaikan persoalannya. Sebagai contoh Pengajaran di Taman Pendidikan
Al-quran (TPA). Di samping kita turut serta mengajar, kita juga melibatkan
pemuda setempat untuk mengajar bersama. Kita mengkader pemuda setempat agar
saat kita telah tidak lagi di ITB, kegiatan TPA tetap berlangsung oleh pemuda tersebut.
Disitulah masyarakat menyelesaiakan masalahnya sendiri. Dengan demikian,
gerakan pengabdian masyarakat kita selanjutnya akan naik level dimana mengambil
sekup wilayah lain dengan masyarakat yang berbeda dan tentu dengan pola gerakan
yang berbeda.
HLC Sebagai Wadah
Penjelasan seputar
formulasi gerakan yang menitikberatkan pada kontinuitas dan penurunan nilai
dipandang sebagian mahasiswa sebagai sesuatu yang memberatkan. Anggapan
tersebut tidak salah, namun jika kita menilik misi himpunan maka hal inilah
yang sepatutnya kita lakukan sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa seperti yang
didefinisikan dimuka adalah entitas yang membentuk kelasnya tersendiri. Ia
adalah entitas minoritas karena wajib belajar di Indonesia sampai sejauh ini
hanya sampai SMA. Oleh karenanya sudah sewajarnya, pola gerakan mahasiswa
berbeda dan memiliki efek berkali-kali lipat.
Era postmodern
seperti yang saya dijelaskan dimuka munculkan konsekuensi berupa gerakan pop
namun tidak lantas asal melakukan gerakan tanpa berfikir panjang. Kita
membutuhkan wadah bernaung untuk mengumpulkan berbagai gagasan untuk
mereformasi gerakan kita mulai nilai yang dibawa sampai wajah gerakan kita.
Kita tidak perlu membuat wadah baru, tinggal kita kembangkan wadah yang sudah
ada yaitu Himatika Learning Club
(HLC) dimana membawa nilai yang sama yakni pengabdian masyarakat. Selanjutnya,
pandangan kita terhadap HLC harus berubah, tidak lagi sebagai program kerja, tetapi
menjadi menjadi wadah kultural himpunan. Kegiatan HLC senantiasa berjalan
selama Himatika ITB masih ada karena Ia ada ruh himpunan. Ketiadaan HLC menjadikan
gerakan himpunan pincang. Oleh karenanya sebagai langkah konstitusional, HLC
dimasukkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Himpunan (GBHH) oleh Rapat Anggota
atau pihak yang berwenang memutuskan itu dengan dijiwai dengan kesadarann utuh
atas pentingnya HLC.
Pada akhirnya HLC
tidak lagi disebut sebagai wadah mengkaji yang sifatnya searah, namun disinilah
berbagai macam gagasan terutama terkait kemasyarakatan muncul. HLC tidak hanya
dijalankan oleh para anggota aktif, melainkan juga para swasta bahkan alumni.
Dari sinilah proses bertukar fikiran berjalan lebih cepat. Dengan demikian
diharapkan pola gerakan Himatika ITB lebih terarah dan jelas yang selanjutnya
menjadi role model gerakan mahasiswa
lain. Dari sinilah cita-cita Himatika ITB sebagai himpunan paling tersohor
didunia akan mewujud dengan sendirinya.
Uruqul Nadhif Dzakiy
10109018
Referensi:
Agus Susanto,
Memandang Kembali Gerakan
Mahasiswa, http://majalahganesha.com/blog/2012/02/10/memandang-kembali-gerakan-mahasiswa/
Okie Fauzi Rachman, Menakar Jatuhnya Gerakan Mahasiswa, http://majalahganesha.com/blog/2014/02/09/menakar-jatuhnya-gerakan-mahasiswa/
M. Yorga Permana, Gerakan Mahasiswa Postmodern, https://www.facebook.com/notes/muhammad-yorga-permana/gerakan-mahasiswa-postmodern/10151981995841543
0 komentar:
Post a Comment