Saturday, April 26, 2014

HIMATIKA ITB Mengambil Inisiatif

Sebuah Langkah maju dari HIMATIKA ITB pasca aksi Kamis (17/4/2014)

Polemik terkait aksi "Politisasi Kampus" minggu lalu masih menghiasi media sosial biarpun itensitasnya mengendur. Namun, tidak bisa dipungkiri orang-orang masih bertanya-tanya apa itu makna "netralitas kampus", apakah aksi mahasiswa ITB minggu lalu merupakan aksi yang "ideal" bagi seorang mahasiswa ?. Pertanyaan lain juga muncul dengan diferensiasi beragam dan jumlahnya tidak terhingga. Aksi Kamis tersebut juga menciptakan persepsi yang bias bagi gerakan mahasiswa saat ini. Melihat fenomena tersebut, Himpunan Mahasiswa Matematika (HIMATIKA) ITB mengambil inisiatif untuk menggagas forum bersama antara pihak pro-kontra terkait aksi minggu lalu tersebut. Adalah Acep Iwan Saidi, Hendra Gunawan, dan Iwan Pranoto, dosen yang vokal menyoroti aksi melalui status facebook dan twitter-nya. Ketiganya dihadirkan di satu forum HIMATIKA Learning Club (HLC) (Kamis, 24/4/2014) guna mengeruk berbagai argumennya terkait aksi kemarin. Massa kampus yang didominasi oleh Anggota HIMATIKA ITB pun melontarkan berbagai gagasan dan opininya terkait aksi kemarin. Diskusi sekitar dua jam berlangsung secara seru dan meriah dimana diharapkan mampu memunculkan perspektif baru dalam gerakan mahasiswa kedepannya.

Tepat satu minggu aksi "Tolak Politisasi Kampus" berlalu. Namun, media sosial belum berhenti membicarakan aksi yang mendapatkan sorotan tajam dari media nasional ini. Polemik yang berkepanjangan ini memunculkan dialog yang kurang sehat di media sosial. Ide dari berbagai tanggapan pro-kontra aksi kurang dapat ditangkap secara jelas karena memang mediumnya dunia maya. Seminggu pasca aksi, kebanyakan tanggapan publik mengarah ke kritik terhadap aksi. Sebagai contoh di website km.itb.ac.id. 619 tanggapan dari klarifikasi yang dilayangkan oleh Jeffry selaku Presiden KM ITB 2014/2015 atas aksi, hampir seluruhnya berupa kecaman. Praktis, jika hal ini tidak dituntaskan akan menjadikan halangan bagi keberjalan gerakan mahasiswa ITB ke depan. Mahasiswa telah memilih sebagai agent of social change dalam ide gerakannya. Praktis legitimasi masyarakat dibutuhkan untuk memperkuat gerakan. Dialog dalam satu forum nyata merupakan jembatan untuk mengklarifikasi berbagai gagasan yang ada di dunia maya dimana kita miss menangkap intinya. Melalui medium tersebut, gagasan pro-kontra terkait aksi sedikit-demi sedikit akan terurai dan kemudian akan dihasilkan sintesis yang sangat berguna bagi gerakan kedepan. HIMATIKA ITB yang sadar betul akan esensi dialog, melalui HLC-nya mengadakan forum terkait aksi. Tidak tanggung-tanggung, HIMATIKA ITB hadirkan para dosen yang vokal di media sosial untuk duduk satu meja dengan massa kampus. Forum ini juga melibatkan seluruh elemen kampus biarpun Jeffry selaku pihak yang sering disorot lebih memilih forum lain dari pada forum ini. Melalui forum ini diharapkan polemik yang tidak sehat di media sosial sedikit banyak bisa diredam, juga forum ini menjadi inputan yang berharga bagi gerakan mahasiswa kedepan.

Berbagai Gagasan Segar di Forum

Kronologi aksi minggu lalu diceritakan di forum ini oleh salah satu penggagas aksi. Juga termasuk di dalamnya keberjalanan aksi yang dinilai kurang direncanakan secara matang. Publik yang diwakili oleh media kebanyakan menyoroti sisi negatif terkait aksi tersebut. Makna "netralitas kampus" ditangkap publik sebagai hal yang sangat absurd. Iwan Pranoto menilai gerakan mahasiswa harus memenuhi falsafah pendidikan 3.0 yakni Let's make better mistakes tomorrow. Tegasnya mahasiswa jangan takut untuk memulai/menggagas sesuatu termasuk didalamnya aksi asalkan memenuhi dua hal ; dilandasi dengan penalaran yang kuat (reasoning-nya tuntas), dan berakar erat dari idealisme mahasiswa. Dari konsep diatas, Iwan menilai bahwa gerakan aksi kemarin tidaklah memenuhi dua hal tersebut, terlihat dari argumen mahasiswa yang sangat low order thinking dan juga keberjalanan aksi yang terlihat lebih menonjolkan emosional. Bagi Iwan, mahasiswa yang takut dengan hadirnya para tokoh partai politik lantas akan membius mahasiswa untuk memilihnya dalam Pemilu, itu merupakan pikiran yang nir-akademis, itulah mahasiswa goblok. Iwan kemudian berpendapat bahwa menurutnya kemungkinan besar aksi turun ke jalan sudah tidak cocok lagi dilakukan oleh mahasiswa saat ini. Mahasiswa harus merumuskan kembali bagaimana metode menyampaikan aspirasi politik kepada para otoritas negara/pemerintah.

Suasana diskusi HIMATIKA Learning Club (HLC) edisi "Politisasi kampus" (24/4/2014) (doc.Ismail Al-Anshori)
Acep Iwan Saidi menilai bahwa aksi kemarin menunjukkan bahwa mahasiswa sekarang bingung bagaimana membentuk gerakan politik yang utuh. Mahasiswa kebingungan mendefinisikan siapa itu kawan, siapa itu lawan. Keadaan demikian sebagai akibat dari melemahnya pertikaian gagasan lewat diskusi-diskusi dan juga modal bacaan sebagai wahana pengkayaan pola pikir mahasiswa saat ini rendah. Hal tersebut berimbas pada hilangnya isu yang akan diperjuangkan mahasiswa. Implikasinya mahasiswa tidak memiliki kefokusan pada gerakan besar yang akana berdampak pada nasib bangsa. Ketika salah satu peserta diskusi beropini bahwa ada salah seorang mantan Ketua Himpunan (Kahim) tidak sadar telah "terpolitisasi" dengan keperpihakannya pada golongan yang berafiliasi dengan partai tertentu, Acep lantas memberikan solusi alternatif bahwa para mahasiswa yang faham akan esensi gerakan harus menjadi seorang militan yang mampu menjadi pencerah. Menurut Acep, seorang militan (penggagas) itu jumlahnya sedikit. Tidak berbeda dengan gerakan mahasiswa pra-reformasi.

Sementara itu, Hendra Gunawan menilai bahwa makna "tolak politisasi kampus" dari aksi kemarin sangat bias. Terlepas dari maksud mahasiswa memperingatkan rektorat untuk tidak pilih-pilih kandidat calon Presiden RI untuk hadir di ITB, namun publik justru banyak menangkap bahwa mahasiswa ITB menolak kedatangan Jokowi. Hal ini menjadikan nilai budaya akademis yakni tidak membatasi siapapun untuk hadir di ITB guna diunjuk-dengarkan gagasannya dalam mimbar akademik tergerogoti dengan perlahan. Kampus menjadi tidak open-minded dan nilai dasar university (akar kata universe) terkikis. Hendra lantas mengingkatkan mahasiswa bahwa banyak universitas di Indonesia justru telah terpolitisasi sebab banyak sekali kader parpol yang menduduki pos-pos penting di kampus dengan dibarengi upaya melancarkan agenda kampanye partainya. Menurut Hendra, mahasiswa seolah-olah hanya terdiam ketika kampusnya telah terpolitisasi dengan hadirnya partai politik yang secara diam-diam namun terstruktur menggunakan ITB sebagai medium untuk menumbuhkembangkan gagasannya. Imbasnya pertimbangan dalam penentuan kebijakan kampus tidak lagi karena pertimbangan akademis namun politis. Kampus pada akhirnya tidak lagi sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, namun sudah menjadi sayap partai tertentu yang pragmatis.

Sementara itu Ismail Al-Anshori dari S2 Studi Pembangunan ITB memandang bahwa salah satu sebab amburadulnya gerakan mahasiswa adalah diakibatkan oleh literasi mahasiswa sekarang sangat minim. Terlihat sekali dari kegamangan mahasiswa dalam melakukan problematisasi isu. Akibatnya dalam aksinya, sasaran aksi mahasiswa ke mana-mana, tidak jelas. Terkait dengan banyak kader partai politik yang berseliweran di kampus (khususnya dosen) seperti yang dijelaskan Hendra diatas, Ismail lantas menawarkan dua opsi. Pertama, kampus melakukan kontrak politik dengan dosen untuk tidak turut serta berpolitik praktis yang dapat menghambat cita-cita universitas. Kedua, dosen yang jelas-jelas kader partai politik tertentu harus secara terang-terangan mengungkapkan identitasnya, tidak abu-abu, sehingga publik mampu menjaga jarak dengan mereka. Poin kedua pun berlaku bagi semua unit kegiatan mahasiswa.

Menjelang forum ditutup, salah satu audiens memaparkan peraturan kemahasiswaan ITB sebagaimana tercantum dalam Pasal 3.2 ayat 1 tentang asas " Organ kemahasiswaan di ITB tidak menginduk pada organisasi masyarakat, organ sosial, atau organisasi politik manapun". Peraturan tersebut menegaskan bahwa politik praktis dilarang keberadaannya di ITB.

Langkah ke Depan

Gagasan yang berseliwearan di atas selayaknya menjadi pertimbangan dalam pergerakan mahasiswa nantinya. Tidak lantas menerima mentah-mentah, namun perlu pengkajian yang mendalam dan lebih menyeluruh. Aksi kamis (17/4/2014) harus menjadi momentum dalam penentuan arah gerak mahasiswa kemudian hari. Jika mahasiswa, yang diwakili Kabinet KM ITB, memilih untuk diam pasca aksi dengan hanya memberikan klarifikasi seperti yang tertuang di website km.itb.ac.id, maka dapat dipastikan gerakan kemahasiswaan terpusat (khususnya gerakan sosial-politik) kedepan akan angin-anginan. Kabinet KM ITB akan kehilangan legitimasinya dalam menentukan sikap mahasiswa ITB terkait permasalahan yang berkembang di Indonesia. Akibatnya setiap himpunan/unit yang ada di ITB akan menentukan sikapnya sendiri-sendiri nantinya. Bukti terkait hal ini sudah muncul. Ketika publik menunggu forum sebagai kelanjutan aksi, Kabinet KM ITB justru tidak menggunakan kesempatan itu. Himpunan/unit pun mengambil inisiatif maju. HIMATIKA ITB melalui HLC-nya pun menyelenggarakan forum. Sebelumnya, IMA-G (Ikatan Mahasiswa Arsitektur "Gunadharma") mengadakan forum serupa terkait framing media pasca aksi bekerjasama dengan Majalah Ganesha dan Pers Mahasiswa sehari sebelumnya. Akhir kata, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Gerakken !


Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB

0 komentar: