Sebuah Langkah maju
dari HIMATIKA ITB pasca aksi Kamis (17/4/2014)
Polemik terkait aksi "Politisasi Kampus" minggu lalu masih
menghiasi media sosial biarpun itensitasnya mengendur. Namun, tidak bisa
dipungkiri orang-orang masih bertanya-tanya apa itu makna "netralitas
kampus", apakah aksi mahasiswa ITB minggu lalu merupakan aksi yang
"ideal" bagi seorang mahasiswa ?. Pertanyaan lain juga muncul dengan
diferensiasi beragam dan jumlahnya tidak terhingga. Aksi Kamis tersebut juga menciptakan
persepsi yang bias bagi gerakan mahasiswa saat ini. Melihat fenomena tersebut,
Himpunan Mahasiswa Matematika (HIMATIKA) ITB mengambil inisiatif untuk
menggagas forum bersama antara pihak pro-kontra terkait aksi minggu lalu
tersebut. Adalah Acep Iwan Saidi, Hendra Gunawan, dan Iwan Pranoto, dosen yang
vokal menyoroti aksi melalui status facebook dan twitter-nya. Ketiganya
dihadirkan di satu forum HIMATIKA Learning Club (HLC) (Kamis, 24/4/2014) guna
mengeruk berbagai argumennya terkait aksi kemarin. Massa kampus yang didominasi
oleh Anggota HIMATIKA ITB pun melontarkan berbagai gagasan dan opininya terkait
aksi kemarin. Diskusi sekitar dua jam berlangsung secara seru dan meriah dimana
diharapkan mampu memunculkan perspektif baru dalam gerakan mahasiswa
kedepannya.
Tepat satu minggu aksi
"Tolak Politisasi Kampus" berlalu. Namun, media sosial belum berhenti
membicarakan aksi yang mendapatkan sorotan tajam dari media nasional ini.
Polemik yang berkepanjangan ini memunculkan dialog yang kurang sehat di media
sosial. Ide dari berbagai tanggapan pro-kontra aksi kurang dapat ditangkap secara
jelas karena memang mediumnya dunia maya. Seminggu pasca aksi, kebanyakan tanggapan
publik mengarah ke kritik terhadap aksi. Sebagai contoh di website km.itb.ac.id. 619 tanggapan dari klarifikasi yang
dilayangkan oleh Jeffry selaku Presiden KM ITB 2014/2015 atas aksi, hampir
seluruhnya berupa kecaman. Praktis, jika hal ini tidak dituntaskan akan
menjadikan halangan bagi keberjalan gerakan mahasiswa ITB ke depan. Mahasiswa
telah memilih sebagai agent of social
change dalam ide gerakannya. Praktis legitimasi masyarakat dibutuhkan untuk
memperkuat gerakan. Dialog dalam satu forum nyata merupakan jembatan untuk
mengklarifikasi berbagai gagasan yang ada di dunia maya dimana kita miss menangkap intinya. Melalui medium tersebut,
gagasan pro-kontra terkait aksi sedikit-demi sedikit akan terurai dan kemudian akan
dihasilkan sintesis yang sangat berguna bagi gerakan kedepan. HIMATIKA ITB yang
sadar betul akan esensi dialog, melalui HLC-nya mengadakan forum terkait aksi.
Tidak tanggung-tanggung, HIMATIKA ITB hadirkan para dosen yang vokal di media
sosial untuk duduk satu meja dengan massa kampus. Forum ini juga melibatkan seluruh
elemen kampus biarpun Jeffry selaku pihak yang sering disorot lebih memilih
forum lain dari pada forum ini. Melalui forum ini diharapkan polemik yang tidak
sehat di media sosial sedikit banyak bisa diredam, juga forum ini menjadi
inputan yang berharga bagi gerakan mahasiswa kedepan.
Berbagai Gagasan Segar di Forum
Kronologi aksi minggu lalu
diceritakan di forum ini oleh salah satu penggagas aksi. Juga termasuk di
dalamnya keberjalanan aksi yang dinilai kurang direncanakan secara matang.
Publik yang diwakili oleh media kebanyakan menyoroti sisi negatif terkait aksi
tersebut. Makna "netralitas kampus" ditangkap publik sebagai hal yang
sangat absurd. Iwan Pranoto menilai gerakan
mahasiswa harus memenuhi falsafah pendidikan 3.0 yakni Let's make better mistakes tomorrow. Tegasnya mahasiswa jangan
takut untuk memulai/menggagas sesuatu termasuk didalamnya aksi asalkan memenuhi
dua hal ; dilandasi dengan penalaran yang kuat (reasoning-nya tuntas), dan berakar erat dari idealisme mahasiswa.
Dari konsep diatas, Iwan menilai bahwa gerakan aksi kemarin tidaklah memenuhi
dua hal tersebut, terlihat dari argumen mahasiswa yang sangat low order thinking dan juga keberjalanan
aksi yang terlihat lebih menonjolkan emosional. Bagi Iwan, mahasiswa yang takut
dengan hadirnya para tokoh partai politik lantas akan membius mahasiswa untuk
memilihnya dalam Pemilu, itu merupakan pikiran yang nir-akademis, itulah
mahasiswa goblok. Iwan kemudian
berpendapat bahwa menurutnya kemungkinan besar aksi turun ke jalan sudah tidak
cocok lagi dilakukan oleh mahasiswa saat ini. Mahasiswa harus merumuskan kembali
bagaimana metode menyampaikan aspirasi politik kepada para otoritas
negara/pemerintah.
Suasana diskusi HIMATIKA Learning Club (HLC) edisi "Politisasi kampus" (24/4/2014) (doc.Ismail Al-Anshori) |
Acep Iwan Saidi menilai bahwa aksi
kemarin menunjukkan bahwa mahasiswa sekarang bingung bagaimana membentuk
gerakan politik yang utuh. Mahasiswa kebingungan mendefinisikan siapa itu
kawan, siapa itu lawan. Keadaan demikian sebagai akibat dari melemahnya
pertikaian gagasan lewat diskusi-diskusi dan juga modal bacaan sebagai wahana
pengkayaan pola pikir mahasiswa saat ini rendah. Hal tersebut berimbas pada
hilangnya isu yang akan diperjuangkan mahasiswa. Implikasinya mahasiswa tidak
memiliki kefokusan pada gerakan besar yang akana berdampak pada nasib bangsa. Ketika
salah satu peserta diskusi beropini bahwa ada salah seorang mantan Ketua
Himpunan (Kahim) tidak sadar telah "terpolitisasi" dengan
keperpihakannya pada golongan yang berafiliasi dengan partai tertentu, Acep lantas
memberikan solusi alternatif bahwa para mahasiswa yang faham akan esensi
gerakan harus menjadi seorang militan yang mampu menjadi pencerah. Menurut
Acep, seorang militan (penggagas) itu jumlahnya sedikit. Tidak berbeda dengan
gerakan mahasiswa pra-reformasi.
Sementara itu, Hendra Gunawan menilai
bahwa makna "tolak politisasi kampus" dari aksi kemarin sangat bias. Terlepas
dari maksud mahasiswa memperingatkan rektorat untuk tidak pilih-pilih kandidat calon
Presiden RI untuk hadir di ITB, namun publik justru banyak menangkap bahwa
mahasiswa ITB menolak kedatangan Jokowi. Hal ini menjadikan nilai budaya
akademis yakni tidak membatasi siapapun untuk hadir di ITB guna
diunjuk-dengarkan gagasannya dalam mimbar akademik tergerogoti dengan perlahan.
Kampus menjadi tidak open-minded dan
nilai dasar university (akar kata universe) terkikis. Hendra lantas
mengingkatkan mahasiswa bahwa banyak universitas di Indonesia justru telah
terpolitisasi sebab banyak sekali kader parpol yang menduduki pos-pos penting
di kampus dengan dibarengi upaya melancarkan agenda kampanye partainya. Menurut
Hendra, mahasiswa seolah-olah hanya terdiam ketika kampusnya telah
terpolitisasi dengan hadirnya partai politik yang secara diam-diam namun
terstruktur menggunakan ITB sebagai medium untuk menumbuhkembangkan gagasannya.
Imbasnya pertimbangan dalam penentuan kebijakan kampus tidak lagi karena
pertimbangan akademis namun politis. Kampus pada akhirnya tidak lagi sebagai
lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, namun sudah menjadi
sayap partai tertentu yang pragmatis.
Sementara itu Ismail Al-Anshori
dari S2 Studi Pembangunan ITB memandang bahwa salah satu sebab amburadulnya
gerakan mahasiswa adalah diakibatkan oleh literasi mahasiswa sekarang sangat
minim. Terlihat sekali dari kegamangan mahasiswa dalam melakukan problematisasi
isu. Akibatnya dalam aksinya, sasaran aksi mahasiswa ke mana-mana, tidak jelas.
Terkait dengan banyak kader partai politik yang berseliweran di kampus (khususnya
dosen) seperti yang dijelaskan Hendra diatas, Ismail lantas menawarkan dua
opsi. Pertama, kampus melakukan
kontrak politik dengan dosen untuk tidak turut serta berpolitik praktis yang
dapat menghambat cita-cita universitas. Kedua,
dosen yang jelas-jelas kader partai politik tertentu harus secara
terang-terangan mengungkapkan identitasnya, tidak abu-abu, sehingga publik
mampu menjaga jarak dengan mereka. Poin kedua pun berlaku bagi semua unit kegiatan
mahasiswa.
Menjelang forum ditutup, salah satu
audiens memaparkan peraturan kemahasiswaan ITB sebagaimana tercantum dalam
Pasal 3.2 ayat 1 tentang asas " Organ
kemahasiswaan di ITB tidak menginduk pada organisasi masyarakat, organ sosial,
atau organisasi politik manapun". Peraturan tersebut menegaskan bahwa
politik praktis dilarang keberadaannya di ITB.
Langkah ke Depan
Gagasan yang berseliwearan di
atas selayaknya menjadi pertimbangan dalam pergerakan mahasiswa nantinya. Tidak
lantas menerima mentah-mentah, namun perlu pengkajian yang mendalam dan lebih
menyeluruh. Aksi kamis (17/4/2014) harus menjadi momentum dalam penentuan arah
gerak mahasiswa kemudian hari. Jika mahasiswa, yang diwakili Kabinet KM ITB,
memilih untuk diam pasca aksi dengan hanya memberikan klarifikasi seperti yang
tertuang di website km.itb.ac.id, maka dapat dipastikan gerakan kemahasiswaan
terpusat (khususnya gerakan sosial-politik) kedepan akan angin-anginan. Kabinet
KM ITB akan kehilangan legitimasinya dalam menentukan sikap mahasiswa ITB
terkait permasalahan yang berkembang di Indonesia. Akibatnya setiap
himpunan/unit yang ada di ITB akan menentukan sikapnya sendiri-sendiri nantinya.
Bukti terkait hal ini sudah muncul. Ketika publik menunggu forum sebagai kelanjutan
aksi, Kabinet KM ITB justru tidak menggunakan kesempatan itu. Himpunan/unit pun
mengambil inisiatif maju. HIMATIKA ITB melalui HLC-nya pun menyelenggarakan forum.
Sebelumnya, IMA-G (Ikatan Mahasiswa Arsitektur "Gunadharma")
mengadakan forum serupa terkait framing
media pasca aksi bekerjasama dengan Majalah Ganesha dan Pers Mahasiswa sehari
sebelumnya. Akhir kata, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Gerakken !
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika
ITB
0 komentar:
Post a Comment