Sebuah tantangan
untuk Jeffry guna merampungkan polemik Aksi Kamis lalu
Polemik akibat aksi Kamis (17/4/2014) sudah sangat liar. Ungkapan
"Kampus Netral Harga Mati" ditafsirkan beraneka macam. Klarifikasi
resmi yang disampaikan oleh Kabinet KM ITB baik melalui website km.itb.ac.id
maupun yang disebarkan di media sosial seakan masih bolong di sana sini. Kini,
di hari ketiga pasca aksi, media sosial masihlah riuh dengan pro-kontra aksi.
Grup facebook internal himpunan masih penuh dengan komentar-komentar. Tak hanya
itu, bahkan salah seorang guru besar ITB mempertanyakan aksi kemarin kepada
penulis, begitu pula dengan alumni ITB yang banyak menghubungi penulis baik via
media sosial maupun telepon. Semua itu sebagai pertanda bahwa aksi kemarin
mendapat sorotan yang tajam dari banyak kalangan. Mereka semua menunggu
kelanjutan dari aksi Kamis lalu.
Tepat satu minggu pasca
pelantikan (10/4/2014), Jeffry dihadapkan pada masalah dilematis nan krusial yang
mengundang polemik dan sorotan tajam dari publik. Adalah Studium Generale (SG) dengan pembicara tunggal Joko Widodo (Jokowi)
menjadi pemicunya. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Jokowi adalah calon
presiden RI resmi yang diusung oleh salah satu partai papan atas. Jokowi pun
digadang-gadang akan mulus melenggang menjadi RI-1 sebab elektabilitasnya di berbagai
survey tak terkejar calon lainnya. Jokowi hadir di SG atas undangan rektorat guna
memberikan kuliah terkait Jakarta dalam kapasitasnya sebagai gubernur provinsi
tersebut. Lama sebenarnya ITB mengundang Jokowi untuk mengisi SG, namun karena
kesibukan, Jokowi tidak mampu memenuhi undangan ITB. Secara kebetulan kamis
kemarin, Jokowi baru bisa datang ke ITB. Niat awalnya MoU dengan ITB terkait kerjasama di bidang pariwisata dan tata kota.
Namun tak hanya MoU, rektorat meminta
Jokowi untuk sekaligus mengisi SG. Walhasil, karena mendadak, tema SG tidak
ada. Lembaga Kemahasiswaan (LK) yang sempat penulis temui H-1 sebelum acara
tidak tahu-menahu terkait apa yang akan disampaikan Jokowi di SG. Akhirnya
semua orang berspekulasi, jangan-jangan hadirnya Jokowi sebagai bentuk kampanye
mencari dukungan ke ITB. Atau juga barangkali pihak elite kampus terbersit ambisi pribadi guna agar masuk dalam kabinet
Jokowi kelak jika terpilih. Spekulasi pun sangat liar. KM ITB memilih untuk
bergerak dari pada mendiamkan. Semboyan "Kampus Netral Harga Mati",
"Tolak Politisasi Kampus" pun didengungkan baik melalui dunia maya
maupun aksi saat hari H.
Sejalan dengan Visi
Saat Pemilu Raya (Pemira), Jeffry
mengusung visi menyelaraskan pergerakan satu Indonesia. Dalam kaca mata orang
awam seperti penulis, pergerakan memuat didalamnya reaksi terhadap kebijakan
politik yang dicetuskan pemerintah maupun pihak ITB. Aksi kamis kemarin penulis
nilai masuk didalamnya dimana KM ITB yang diaktori oleh Kabinet atas restu
Kongres memilih untuk turun ke jalan guna mempertanyakan kenetralan ITB sebab
mengundang Jokowi di SG. Jika kabinet memilih diam, justru akan semakin banyak
orang yang mempertanyakan visi yang digaungkan Jeffry saat Pemira tersebut.
Jeffry saat memberikan orasi Kamis lalu |
Seminggu pacsa pelantikan, Jeffry
masih dalam tahap pembentukan kabinet. Praktis aksi kamis kemarin tanpa
perencanaan yang matang. Pengalaman yang diturunkan kabinet-kabinet sebelumnya
terkait aksi kepada Jeffry nampaknya sangat kurang. Menurut pemantauan penulis,
dalam tiga tahun terakhir, aksi tolak kenaikan harga BBM di Jakarta 2012 silam
merupakan aksi dengan massa terbanyak yakni sekitar 50 orang. Namun, dengan
adanya aksi kamis lalu rekor itu pun pecah. Aksi tersebut diikuti sekitar 100
orang, padahal berdasarkan kesepakatan awal antara Kabinet dan Kongres, aksi
hanya akan diikuti 40 orang. Tambahan sekitar 60 orang tersebut menurut
keterangan Jeffry menjadikan komando menjadi tidak berjalan optimal. Tujuan
aksi terpelintir menjadi tolak kedatangan Jokowi di ITB yang cenderung politis
sekali. Biarpun demikian Jeffry telah mengklarifikasi melalui website resmi KM
ITB maupun media sosial. Namun apadaya, adanya media sosial menjadikan setiap
orang berani beropini sesuai dengan informasi yang didapatkan. Entah itu valid atau
tidak, tidak menjadi soal. Terkait opini liar tersebut, penulis seringkali
mendapatkan mention twitter yang
entah udah tak terhitung lagi jumlahnya mulai dari akun fanatik capres
tertentu, dosen, alumni maupun sesama teman mahasiswa. Timeline facebook pun dipenuhi diskusi hangat terkait hal ini. Penulis
menghabiskan liburan long weekend ini
kebanyakan untuk menanggapi opini dari banyak pihak. Penulis rasa pembaca juga
merasakan hal serupa.
Aksi kamis kemarin selayaknya
menjadi pelajaran yang sangat berharga Jeffry di awal kepengurusannya.
Kekurangan aksi kemarin dapat menjadi inputan yang sangat berarti untuk gerakan
kedepan. Kini saatnya mengevaluasi secara total aksi kemarin. Hal ini untuk
menuntaskan polemik berlebihan dan menuju tidak sehat yang terjadi di dunia
maya maupun nyata. Juga agar keberjalanan Kabinet kedepan tidak digoyang oleh
isu tersebut. Jika follow up dari
aksi kemarin tidak ada, Kabinet Jeffry akan dihantam habis-habisan oleh pihak
yang kontra. Isu ini akan terus digoreng. Perlu diingat bahwa tidak sedikit
dari pihak kontra yang sangat vokal dan memiliki pengikut banyak, juga ada
diantara mereka yang lihai memainkan media.
Adakan Forum
Setelah berdiskusi panjang lebar
dengan alumni, dosen maupun sesama teman
mahasiswa, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengadaan forum merupakan
suatu keharusan. Forum tersebut mengundang pihak-pihak yang pro dan kontra
terkait aksi kamis lalu termasuk didalamnya dosen yang sangat lantang
menyarakan gagasannya melalui media sosial. Dalam forum ini, semua pihak duduk
bareng dan tidak canggung mengutarakan gagasannya. Forum ini juga sebagai
langkah awal untuk menghilangkan arogansi terutama arogansi antara dosen dan mahasiswa.
Forum tersebut menguji seberapa jauh pandangan mereka yang secara tajam
beropini di media sosial untuk menumpahkannya di dunia nyata. Pada akhirnya, mereka
yang kuat secara gagasan akan menang dalam pertarungan dialektika.
Setidaknya ada beberapa hal yang
akan didapatkan jika forum tersebut terselenggara. Pertama, terciptanya sintesis terkait deskripsi filosofis dan
taktis tentang netralitas kampus. Kedua,
hasil forum menjadi acuan dalam pergerakan mahasiswa kedepan serta menjadi role model pergerakan mahasiswa
se-Indonesia mengingat visi Jeffry tersebut diatas. Ketiga, cikal bakal forum bersama antarcivitas akademika ITB
terutama antara dosen dan mahasiswa. Kedepan, forum dapat diarahkan untuk membahas
permasalahan yang terjadi di republik ini. Dalam kacamata saya, poin ketiga ini
merupakan kultur baru yang mampu ciptakan dinamisasi kampus. Keempat, menumbuhkan kepercayaan massa
kampus terhadap Kabinet Jeffry mengingat sepinya Pemira tahun ini dibandingkan
tahun sebelumnya serta menjadi ajang kebersamaan antarmahasiswa.
Terkait kapan forum diadakan,
penulis usulkan dalam minggu-minggu terdekat mumpung momentumnya masih ada.
Jika terlalu lama di-pending, dikhawatirkan
massa kampus sudah tidak antusias lagi. Penulis sangat yakin, pihak-pihak yang
pro maupun kontra akan dengan tangan terbuka menyambut baik ajakan tersebut.
Tinggal bagaimana Kabinet Jeffry dibantu dengan Tim MWA-WM mengonsep forum
tersebut.
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika
ITB
0 komentar:
Post a Comment