sebuah catatan pasca kuliah
umum kontroversial
Riuh. Aula Timur berjejal penuh manusia. Itu di dalam. Di luar tak
kalah. Massa membludak untuk sekedar nonton maupun lebur dalam aksi mahasiswa
ITB tolak kedatangan Jokowi. Massa menilai hadirnya Gubernur DKI Jakarta ke ITB H-3 bulan
menjelang Pilpres tersebut sebagai bentuk politisasi kampus.
"Kampus Netral Harga Mati",
"Tolak Politisasi Kampus" begitulah beberapa bunyi spanduk yang
dibentangkan mahasiswa ITB saat Jokowi mampir ke Aula Timur ITB kemarin
(17/4/2014). Spanduk-spanduk dibentangkan mengular sepanjang gerbang depan
dengan iring-iringan mahasiswa ITB yang jumlahnya ratusan. Konsentrasi massa
tidak hanya disitu. Tepat di depan Aula Timur, orasi pun digelar. Orang-orang
yang tidak mendapat tiket masuk Aula Timur pun secara sukarela melebur bersama
mahasiswa ITB untuk turut orasi. Bergabungnya banyak orang dalam orasi manambah
daya untuk melecutkan asa meraih tujuan. Sementara itu, mahasiswa ITB lainnya
mengadakan aksi di dalam ruangan. Mereka dengan PD-nya membentangkan spanduk
tepat di kerumunan massa Studium Generale
(SG). Bagi Jokowi, tersirat dalam
pidatonya, keadaan demikian tidak memungkinkan untuk memberi kuliah umum.
Praktis kuliahnya adalah pidato pamitannya dari ITB.
Kronologi
Malam itu (15/4/2014) di tengah
Kongres KM ITB 2013/2014 adakan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) kinerjanya di
hadapan massa kampus, sekelompok random mahasiswa kelaparan menuju Sedap Malam di depan Parkiran Seni Rupa.
Dalam perjalanannya menuju lokasi, terbersit ide dari salah satu orang yang
bunyinya "Kita harus melakukan sesuatu saat Jokowi datang nanti". Ide
tersebut muncul bukan dari sayap mahasiswa/kader parpol tertentu, namun murni
dari mahasiswa yang jenuh dengan maraknya deal
politik antarpolitisi dengan kaum akademikus. Berkaca dari kejadian di
Universitas Padjajaran (Unpad) beberapa bulan silam. Ketika itu Abu Rizal
Bakrie (ARB) datang dengan helikopter yang terparkir di lapangan bola Unpad.
Singkat cerita, Ia berikan kuliah di sana dan BEM Unpad yang menggambarkan
mahasiswa Unpad secara menyeluruh tidak mampu memberikan impresi dan sikap yang
tegas. ARB ketika itu sudah pasti menjadi Capres salah satu partai dan tengah
berjuang meningkatkan elektabilitas dia dan partainya. Sekumpulan mahasiswa
Unpad yang datang mengunjungi lembah SC E-04 beberapa bulan setelah kejadian
mengungkapkan kekecewaannya atas kejadian ini. "Kami tidak mau hal ini
serupa terjadi di ITB", begitulah kiranya gejolak hati para mahasiswa
kelaparan tersebut.
"Kampus Netral Harga Mati !" bunyi spanduk yang dibentangkan beberapa mahasiswa ITB saat Jokowi naik mimbar (doc. pribadi) |
Pembahasan dilakukan sembari
makan di teras gedung putih punya Kementerian ESDM. Fokus diskusi
dititikberatkan pada akan diadakannya aksi namun detailnya masih random. Nasi
pun tinggal beberapa putir, sementara es teh tinggal es batunya saja. Pertemuan disudahi dengan
satu konklusi "Besok malam jam 19.00 WIB akan diadakan rapat di Lembah
SC-E04". Sekelompok mahasiswa random tersebut selanjutnya lakukan aktivitasnya
masing-masing. Ada yang kembali turut serta hadir di LPJ Kongres, ada yang
sekedar nongkrong di unit, dan mungkin ada yang pulang. Namun, pertemuan malam
ini akan selalu membekas dalam setiap kepala mereka masing-masing. Fikiran
mereka akan gaduh memikirkan konsep dan teknis yang sistematis dari gerakan
ini.
Aura rapat terbatas malam itu
merembet ke berbagai kelompok mahasiswa ITB. Ada yang menamakan dirinya unit,
ada yang menamakan dirinya aktivis non Kabinet, dan juga tentunya Kabinet KM
ITB. Ternyata gerakan yang difikirkan oleh mahasiswa random kelaparan semalam,
juga difikirkan oleh kelompok mahasiswa ITB di atas biarpun kontennya ada beberapa
yang berbeda. Sesuai rencana jam 19.00 WIB (16/4/2014) rapat khusus diadakan.
Kali ini tidak hanya dihadiri mereka yang makan di Sedap Malam semalam, namun para swasta kampus 2008 pun ada.
Mahasiswa angkatan 2013 sampai 2008 minus 2010 hadir. Lembah SC-04 riuh dengan
ide-ide baru. Dielektika dan perdebatan muncul bahkan terkadang panas. Konsep
didesain dari A-Z dengan algoritma menyeluruh. Pembagian peran pun dibangun
dengan rapi. Di atas jam 21.30 WIB, peserta ratas (rapat terbatas) di lembah
SC-04 berkonsolidasi dengan poros massa lain. Jobdesk antarporos dibangun. Semua sepakat bahwa gerakan di
17/4/2014 adalah gerakan bersama satu mahasiswa ITB tolak politisasi kampus.
Kampus harus netral dari semua unsur politik. Propaganda pun disebar oleh
aktivis SC-E04 sebagai unit media berpengalaman. Like dan command dalam
waktu sekejap naik secara eksponensial. Gaduh dunia maya mulai terasa. Singkat
cerita, persiapan berakhir di sekitar jam 04.00 WIB di hari H.
Aula Timur dipenuhi lautan
manusia. Orang-orang di-stop memasuki
gedung ini karena sudah overload.
Pemandangan di gerbang depan ITB maupun di depan Aula Timur dipenuhi teriakan
orasi dan bentangan spanduk persuasif tolak kehadiran Jokowi karena dinilai mengandung
unsur politisasi kampus. Penulis yang baru hadir di lokasi sekitar jam 13.20
WIB terpaksa menerobos kerumunan massa dan ucapkan kata sakti pada penjaga
pintu "wartawan majalah rektorat" untuk dapat memasuki lokasi kuliah
umum. Riuh di luar, di dalam gedung pun sama. Kursi yang disediakan oleh pihak
SG tidak mampu menampung ledakan peserta kuliah umum ini. Banyak peserta terpaksa
berdiri. Sekitar jam 13.40 WIB, Jokowi didampingi Akhmaloka naik podium lalu
berada di satu mimbar. Akhmaloka terlebih dahulu memberikan sambutan singkat,
kemudian dilanjutkan Jokowi. Tepat saat Jokowi berada di mimbar, spanduk
bertuliskan "Kampus Netral Harga Mati", "Tolak Politisasi
Kampus" dibentangkan di barisan belakang peserta kuliah umum oleh
sekelompok mahasiswa. Tulisan berwarna merah darah tersebut menyiratkan
perlawanan dan penolakan atas kehadiran Jokowi di ITB. Tak lama berada di
mimbar, Jokowi berujar "Mohon maaf siang ini saya tidak bisa memberikan
kuliah umum". Statement Jokowi
ini menandakan kuliah SG berakhir. Banyak peserta SG yang kecewa, namun banyak
pula yang menyambut sukacita seperti halnya peserta SG yang hadir hanya untuk
absen dan tentunya para mahasiswa yang demonstrasi.
Dengan tempo cepat, Jokowi
meninggalkan Aula Timur melalui pintu belakang gedung. Wartawan berjibun mewawancarainya,
namun Jokowi tidak berkata banyak. Mobil Toyota Camry hitam bernomor polisi D
99 PY yang terparkir tepat di depan gedung 9009 dengan sigap membawa Jokowi
meninggalkan ITB. Mobil ini tidak melewati gerbang depan ITB yang penuh dengan
lautan demonstran, namun melalui gerbang SBM atau rumah rektor ITB. Sumber
terkuat yang didapatkan penulis informasikan bahwa mobil Jokowi meninggalkan
ITB melalui rumah rektor. Kini, fisik Jokowi telah menghilang dari Ganesha 10.
Para demonstran menyambutnya dengan aksi long
march sepanjang jalanan di dalam kampus. Spanduk dibentangkan, mulut
berulang kali berkumandang "Kampus Netral Harga Mati".
Momentum
Persiapan matang malam itu
terbayar lunas, biarpun masih menyisakan banyak catatan. Mahasiswa ITB yang seringkali
dikaitkan dengan mahasiswa apolitis g
bisa demo tidak terjadi pada aksi kemarin. Gajah telah mendobrak kandangnya
sendiri. Begitulah kiranya gambaran yang mewakili. Kamus kemahasiswaan hanya
dimiliki oleh Kabinet dan Kongres KM ITB tidak berlaku lagi. Gerakan kamarin
tegaskan bahwa kemahasiswaan adalah milik semua mahasiswa ITB, tidak peduli
mahasiswa biasa maupun aktivis organisasi. Aksi dengan tujuan dangkal, miskin
gagasan dan strategi, minus massa serta salah alamat (seperti kasus demonstrasi
di Gedung ESDM Jakarta beberapa bulan lalu) sudah waktunya dipensiunkan.
Gerakan hari kemarin adalah momentum untuk menyatupadukan gerakan satu ITB.
Gerakan hari kemarin harus menjadi pelecut kepekaan mahasiswa ITB akan berbagai
masalah yang terjadi di bangsa ini. Mahasiswa telah memilih sebagai agent of social change, kini waktunya
untuk menunjukkan ke khalayak bahwa Mahasiswa ITB tidak tinggal diam. Mahasiswa
ITB siap turut lebur bersama rakyat untuk bergerak bersama demi terciptanya
negara yang berdaulat dan bermartabat.
Genderang telah ditabuh.
Kesuksesan gerakan hari kemaren tidak lantas membuat pongah. Justru itu menjadi
motivasi bersama dalam pergerakan. Gerakan kemarin akan menjadi sia-sia jika
setelah itu mahasiswa ITB kembali ke kasurnya masing-masing. Perlu diingat
bersama bahwa kampus adalah tempat bersatunya gerakan, tempat dimana mahasiswa
bertanya dan mendapatkan jawabannya. Oleh karenanya, kesalahan dalam bergerak
tidak menjadi soal, justru itu menjadi bahan evaluasi. Bergerak lebih mulia
dari diam. Bergerak sama halnya dengan ijtihad.
Jika salah tetap mendapatkan satu pahala. Akhirnya, hanya ada satu kata
pamungkas sebagai penutup tulisan ini "Gerakken !".
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika
ITB
2 komentar:
Standar ganda.
https://www.facebook.com/mahendraganza/posts/10152331916574764
#menyimak
Post a Comment