Sebuah stimulus untuk pergerakan mahasiswi Sunken Court
Sudah
beberapa bulan, toilet wanita di Sunken Court tertutup. Entah sampai kapan,
mungkin hanya Tuhan dan Sarpras ITB yang tahu. Dalam waktu selama itu tidak ada
gejolak yang berarti bagi para wanita Sunken yang seringkali nongkrong di
sekrenya masing-masing. Lantas, kemana suaramu wahai wanita Sunken ?
Diam adalah emas. Begitulah kata pepatah yang familier di telinga
kita. Ternyata pepatah tersebut bukanlah sebuah teorema yang sifatnya final,
namun ia hanya sebuah definisi yang berada dalam ruang terbatas. Ruang terbatas
itu merupakan perkataan dimana hanya memiliki dua pengertian yaitu baik dan
buruk berdasarnya nilai-nilai yang dikandung agama. Sedangkan kebenaran berada
dalam lingkup lain. Kebenaran justru hanya memiliki satu opsi yaitu disuarakan.
Bahkan orang yang menyembunyikan atau bersembunyi dibalik kebenaran ternyata digolongkan
sebagai orang munafik. Oleh karenanya, diam sebab melihat ketidakbenaran tidak
dibenarkan.
Lantas bagaimana dengan diam karena malu menyarakan kebenaran ?.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telusuri apa yang melandasi
rasa malu tersebut. Perasaan malu dapat muncul disebebakan hal-hal berikut. Pertama, ketidaktahuan. Alasan ini
terjadi sebab ketidakadagairahan untuk mencari tahu sebab yang mendasari
timbulnya masalah. Masalah dibiarkan terjadi begitu saja asalkan masalah
tersebut tidak merugikan kepentingan diri sendiri. Kedua, Kekhawatiran berlebih. Timbulnya perasaan negatif ketika
mengungkapkan gagasan atau juga kehawatiran bahwa sikap yang akan diambil tersebut akan menyita waktu begitu banyak. Ketiga, tidak ada kesatuan. Individu
yang sudah memberontak hatinya untuk berbuat sesuatu dengan sendirinya akan
padam sebab tidak adanya rekan yang satu ide dengannya, kemudian Ia
merasionalisasi dan menjustifikasi kebenaran masalah dengan dalih yang dibuat
sendiri. Ketiga alasan tersebut jika diperas akan mengerucut pada kata
"berani". Sifat inilah yang merupakan antitesis dari malu. Bisa
dikatakan malu adalah tidak berani. Terkait hal ini agama memberikan rambu-rambu
bahwa malu untuk menyuarakan kebenaran digolongkan dalam orang dengan selemah-lemahnya
iman.
Toilet Sebagai Politik
Dalam pandangan Aristoteles, politik didefinisikan sebagai usaha
yang ditempuh warga negara untuk memperoleh kebaikan bersama. Kebaikan bersama
disini mewujud dalam berbagai hal asalkan yang berujung pada kemaslahatan
termasuk di dalamnya masalah toilet Sunken. Sudah begitu jelas di mata kita
selama beberapa bulan, toilet wanita Sunken Court tidak berfungsi. Akibatnya
mahasiswi yang kebelet buang air
besar atau kecil harus mencari lokasi toilet terdekat dengan Sunken Court
seperti halnya Comlabs, Perpustakaan, dan PAU. Juga kadangkala mereka terpaksa
ke toilet pria Sunken dengan penjagaan teman laki-lakinya. Hal ini memunculkan
pertanyaan bagi penulis, apakah mahasiswi yang beraktivitas di Sunken menikmati
kondisi ini ?
Kencleng toilet Sunken yang diinisiasi oleh Andrew Samosir pada Maret 2012 silam |
Bagi penulis, mahasiswi di Sunken lebih memilih bersikap nrimo alias pasrah dengan keadaan atau
malu seperti yang penulis jelaskan di atas. Berdasarkan konsep emansipasi
dimana hak pria dan wanita disetarakan, sikap nrimo diatas tidaklah cocok bagi seorang wanita apalagi wanitia
modern yang hidup di abad 21 seperti halnya mahasiswi ITB. Mahasiswi harus
berani menyuarakan hak-haknya seperti halnya mahasiswa. Masalah toilet wanita
di Sunken tersebut adalah masalah yang benar-benar dirasakan dampaknya oleh
mahasiswi bukan mahasiswa. Oleh karenanya mahasiswilah yang harus menjadi garda
terdepan untuk bergerak. Kini tinggal siapa inisiatornya.
Berkaca pada sejarah, pergerakan terkait toilet Sunken pernah
dilakukan oleh mahasiswa dan berhasil. Adalah Andrew Samosir (FI 08) yang
merupakan anggota unit Institut Sosial Humaniora "Tiang Bendera" menginiasi
gerakan kencleng toilet Sunken di Maret 2012 silam. Gerakan ini berawal dengan
kondisi toilet Sunken yang jauh dari memuaskan seperti menggenangnya air di
lantai toilet, tidak berfungsinya urinoir,
bahkan sampai mampetnya saluran kloset. Andrew dengan dibantu kawan-kawan
unitnya menyebarkan kencleng dan juga lembar dukungan ke unit-unit. Juga
menginisiasi forum Sunken untuk membahas gerakan ini dengan menghadirkan
Presiden KM ITB terpilih saat itu, Anjar Dimara Sakti (GD 08). Walhasil gerakan
pun direspon oleh pihak rektorat melalui Sarana Prasarana dan tidak lama
setelah itu toilet Sunken direnovasi dan hasilnya jauh lebih layak seperti yang
kita rasakan sekarang. Di sana Andrew dan kawan-kawan Sunken mengaplikasikan
konsep politik seperti yang diutarakan oleh Aristoteles diatas.
Wahai Wanita Sunken Bergeraklah !
Sejarah membuktikan bahwa kiprah perempuan dalam dunia pergerakan
politik tidak dapat dipandang sebelah mata. Kartini yang merupakan anak seorang
Bupati Jepara berani mengungkapkan aibnya sendiri (yang seorang bangsawan Jawa)
dengan memberikan gambaran yang terperinci seputar feodalisme para bangsawan
Jawa melalui surat-suratnya, juga seorang Konselir Jerman, Angela Merkel, yang
di tahun lalu menjadi wanita berpengaruh dunia berkat tangan dinginnya dapat
memulihkan kondisi perekonomian Eropa akibat krisis.
Kedua wanita besi diatas adalah sosok yang begitu peka akan
keadaan sekitar dan berani untuk mengambil resiko untuk mencapai tujuan demi kemaslahatan
bersama. Mereka mampu mengatasi malu dirinya sendiri. Jiwa kedua wanita besi tersebut
sepatutnya ditiru oleh mahasiswi ITB terutama yang berdomisili di Sunken Court.
Mahasiswi harus berani mempertanyakan alasan penutupan toilet kemudian
memperjuangkan untuk dibuka kembali toilet tersebut. Mahasiswi juga harus mampu
mengkonsolidasi gerakan dengan elemen-elemen lain sehingga terwujud gerakan
yang padu dan jelas. Disini dibutuhkan inisiator gerakan yang tentunya adalah
bagian dari mahasiswi itu sendiri. Dengan demikian, masalah toilet wanita
Sunken akan menunjukkan titik terangnya. Sekali lagi, wahai wanita Sunken
bergeraklah !
Uruqul Nadhif Dzakiy
Anggota Majalah Ganesha ITB
0 komentar:
Post a Comment