Tuesday, April 15, 2014

Ujian Nasional dan Ide Dasar Pendidikan

Pengantar Kajian HLC HIMATIKA ITB 16/04/2014

"Hasil UN itu sudah seperti MRI", ungkap Mendikbud, Mohammad Nuh,  dalam salah satu talkshow tentang manfaat UN

Sejak 14 April 2014 lalu, siswa SMA sederajat menjalani Ujian Nasional (UN). Ujian ini akan berlangsung sampai 17 April 2014. Pada tahun ini, format UN sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya. Hasil UN bisa dipakai untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pengetatan distribusi soal dari pusat ke tiap rayon satuan pendidikan. Di setiap pos distribusi dilibatkanlah Perguruan Tinggi sebagai pengawas. Terkait berbagai kecurangan akademik, Mohammad Nuh menjamin tidak adanya kebocoran soal seperti yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Polemik UN

Pro kontra terkait penyelenggaraan UN terus saja terjadi sampai saat ini. Bahkan ada petisi di change.org yang ditandatangani oleh berbagai kalangan seperti guru besar se-Indonesia, para pakar pendidikan, dan tokoh masyarakat. Sejauh ini terdapat 10.472 tanda tangan di petisi tersebut. Mengutip alasan di petisi tersebut setidaknya ada enam alasan mengapa UN harus ditolak. Pertama, menjadikan UN sebagai parameter kelulusan siswa akan berisiko penyepelean terhadap proses pendidikan. Kedua, UN akan mengubah stigma siswa dari belajar dengan kesenangan menjadi belajar dengan keterpaksaan. Ketiga, standardisasi kelulusan siswa melalui UN kepada seluruh sekolah di tanah air adalah bentuk ketidakadilan dan penyederhanaan permasalahan di tengah tidak meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. Keempat, mutu soal UN hanya bersifat kognitif rendah dimana sangat minim penalaran dan logika yang kedua hal ini sangat dibutuhkan di abad 21. Kelima, Mendikbud mengabaikan putusan Mahkamah Agung pada 2009 terkait pelarangan penyelanggaraan UN dengan dalih tidak adanya kata "menghentikan" dalam amar putusan. Keenam, UN telah menghabiskan dana yang besar padahal dana tersebut dalam digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional seperti perbaikan mutu guru. Budayawan Acep Iwan Saidi menanggapi pendapat Jusuf Kalla terkait UN. JK mengungkapkan bahwa siswa tidak akan belajar jika tidak ada UN. Menurut Acep, jelas pendapat JK ini memakai logika dagang dimana menganggap manusia sebagai barang dalam transaksi dagang ; tidak ada uang, tidak ada barang (Kompas,3/20/2013). Pendapat senada diungkapkan oleh pengamat pendidikan, Doni Koesoema A. Ia menilai bahwa UN sebagai pengendali mutu memakai logika pabrik dimana diasumsikan siswa barang mentah dan guru sebagai alat produksi. Ketika alat produksinya standar, otomatis hasilnya juga standar (Kompas,13/11/2013). Jelas ini keliru sebab manusia memiliki kreativitas yang tak terhingga dan tak bisa distandarkan.

Ditengah gempuran banyak pihak terkait UN, Mohammad Nuh menanggapi datar. Melalui tulisannya di Kompas (23/20/2013) tersirat bahwa penyelengaraan UN sudah merupakan kebijakan final. Ia mengutip PP No 32/2013 yang membahas tentang standar nasional pendidikan. Menurut PP itu ungkap Nuh, UN melingkupi fungsi pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu. Dalam sebuah talkshow Nuh berujar "Hasil UN itu seperti MRI". Praktis ini menunjukkan bahwa hasil UN itu sangat akurat sehingga cocok untuk menjalankan keempat fungsi diatas. UN merupakan satu-satunya instrumen untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional.

UN dan Ide Dasar Pendidikan

Diatas telah dijelaskan panjang lebar terkait polemik UN baik dari kalangan pro maupun kontra. Perlu disadari bersama bahwa UN merupakan salah satu instrumen dalam satu proses pendidikan. Lembaga penyelenggara proses pendidikan selanjutnya disebut sekolah. Kata sekolah berasal dari kata Inggris school yang merupakan akar kata skole yang berarti waktu senggang. Sekolah pada awalnya memang dinikmati oleh kaum bangsawan. Mereka memiliki waktu luang lebih panjang dibanding oleh orang biasa. Merekalah yang pada akhirnya menemukan konsep dasar ilmu modern. Sebagai contoh Aristoteles yang sampai saat ini karyanya menjadi rujukan di banyak cabang ilmu modern seperti filsafat. Meninjau ide dasar sekolah diatas bahwa sekolah pada awal mulanya diselenggarakan untuk kesenangan.

Pada era perkembangannya, sekolah memiliki tujuan yang beraneka macam. Pada era kapitalisme seperti sekarang, sekolah diperuntukkan untuk menyiapkan orang-orang yang akan mengisi pos produksi. Sekolah diciptakan agar para peserta didiknya siap untuk bekerja. Namun, biarpun demikian nilai dasar sekolah yakni untuk kesenangan tidak dapat diganti. Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed yang dalam versi Indonesia berjudul Pendidikan Kaum Tertindas menambahkan bahwa pendidikan adalah untuk membebaskan. Tegasnya tidak ada objek dalam pendidikan. Guru dan murid sama-sama menjadi subjek pendidikan. Pendidikan gaya bank yang menganggap murid sebagai objek sedang guru sebagai subjek harus disudahi. Freire manawarkan konsep hadap masalah sebagai solusi dalam penyelenggaraan pendidikan. Tegasnya pendidikan untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia.

Terkait pro-kontra penyelenggaraan UN diatas, perlu dipikirkan apakah dengan adanya UN telah mencakup ide dasar sekolah yakni untuk kesenangan dan mengandung fungsi pembebasan seperti dikatakan Freire. Jika dua hal tersebut belum ter-cover, sudah selayaknya UN kita tolak.


Uruqul Nadhif Dzakiy

**) Gambar diambil dari google.com

0 komentar: