Pengantar Kajian HLC HIMATIKA ITB 16/04/2014
"Hasil UN itu sudah seperti MRI",
ungkap Mendikbud, Mohammad Nuh, dalam
salah satu talkshow tentang manfaat
UN
Sejak 14 April 2014 lalu, siswa
SMA sederajat menjalani Ujian Nasional (UN). Ujian ini akan berlangsung sampai
17 April 2014. Pada tahun ini, format UN sedikit berbeda dengan tahun
sebelumnya. Hasil UN bisa dipakai untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pengetatan distribusi soal dari pusat
ke tiap rayon satuan pendidikan. Di setiap pos distribusi dilibatkanlah
Perguruan Tinggi sebagai pengawas. Terkait berbagai kecurangan akademik, Mohammad
Nuh menjamin tidak adanya kebocoran soal seperti yang terjadi di tahun-tahun
sebelumnya.
Polemik UN
Pro kontra terkait
penyelenggaraan UN terus saja terjadi sampai saat ini. Bahkan ada petisi di
change.org yang ditandatangani oleh berbagai kalangan seperti guru besar
se-Indonesia, para pakar pendidikan, dan tokoh masyarakat. Sejauh ini terdapat
10.472 tanda tangan di petisi tersebut. Mengutip alasan di petisi tersebut
setidaknya ada enam alasan mengapa UN harus ditolak. Pertama, menjadikan UN sebagai parameter kelulusan siswa akan
berisiko penyepelean terhadap proses pendidikan. Kedua, UN akan mengubah stigma siswa dari belajar dengan kesenangan
menjadi belajar dengan keterpaksaan. Ketiga,
standardisasi kelulusan siswa melalui UN kepada seluruh sekolah di tanah air
adalah bentuk ketidakadilan dan penyederhanaan permasalahan di tengah tidak
meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. Keempat,
mutu soal UN hanya bersifat kognitif rendah dimana sangat minim penalaran
dan logika yang kedua hal ini sangat dibutuhkan di abad 21. Kelima, Mendikbud mengabaikan putusan
Mahkamah Agung pada 2009 terkait pelarangan penyelanggaraan UN dengan dalih
tidak adanya kata "menghentikan" dalam amar putusan. Keenam, UN telah menghabiskan dana yang
besar padahal dana tersebut dalam digunakan untuk memperbaiki kualitas
pendidikan nasional seperti perbaikan mutu guru. Budayawan Acep Iwan Saidi
menanggapi pendapat Jusuf Kalla terkait UN. JK mengungkapkan bahwa siswa tidak
akan belajar jika tidak ada UN. Menurut Acep, jelas pendapat JK ini memakai
logika dagang dimana menganggap manusia sebagai barang dalam transaksi dagang ;
tidak ada uang, tidak ada barang (Kompas,3/20/2013). Pendapat senada
diungkapkan oleh pengamat pendidikan, Doni Koesoema A. Ia menilai bahwa UN
sebagai pengendali mutu memakai logika pabrik dimana diasumsikan siswa barang
mentah dan guru sebagai alat produksi. Ketika alat produksinya standar,
otomatis hasilnya juga standar (Kompas,13/11/2013). Jelas ini keliru sebab
manusia memiliki kreativitas yang tak terhingga dan tak bisa distandarkan.
Ditengah gempuran banyak pihak
terkait UN, Mohammad Nuh menanggapi datar. Melalui tulisannya di Kompas (23/20/2013)
tersirat bahwa penyelengaraan UN sudah merupakan kebijakan final. Ia mengutip
PP No 32/2013 yang membahas tentang standar nasional pendidikan. Menurut PP itu
ungkap Nuh, UN melingkupi fungsi pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan
untuk meningkatkan mutu. Dalam sebuah talkshow
Nuh berujar "Hasil UN itu seperti MRI". Praktis ini menunjukkan bahwa
hasil UN itu sangat akurat sehingga cocok untuk menjalankan keempat fungsi
diatas. UN merupakan satu-satunya instrumen untuk meningkatkan kualitas
pendidikan secara nasional.
UN dan Ide Dasar Pendidikan
Diatas telah dijelaskan panjang
lebar terkait polemik UN baik dari kalangan pro maupun kontra. Perlu disadari
bersama bahwa UN merupakan salah satu instrumen dalam satu proses pendidikan.
Lembaga penyelenggara proses pendidikan selanjutnya disebut sekolah. Kata
sekolah berasal dari kata Inggris school
yang merupakan akar kata skole yang
berarti waktu senggang. Sekolah pada awalnya memang dinikmati oleh kaum
bangsawan. Mereka memiliki waktu luang lebih panjang dibanding oleh orang
biasa. Merekalah yang pada akhirnya menemukan konsep dasar ilmu modern. Sebagai
contoh Aristoteles yang sampai saat ini karyanya menjadi rujukan di banyak
cabang ilmu modern seperti filsafat. Meninjau ide dasar sekolah diatas bahwa
sekolah pada awal mulanya diselenggarakan untuk kesenangan.
Pada era perkembangannya, sekolah
memiliki tujuan yang beraneka macam. Pada era kapitalisme seperti sekarang,
sekolah diperuntukkan untuk menyiapkan orang-orang yang akan mengisi pos
produksi. Sekolah diciptakan agar para peserta didiknya siap untuk bekerja.
Namun, biarpun demikian nilai dasar sekolah yakni untuk kesenangan tidak dapat
diganti. Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy
of the Oppressed yang dalam versi Indonesia berjudul Pendidikan Kaum Tertindas menambahkan bahwa pendidikan adalah untuk
membebaskan. Tegasnya tidak ada objek dalam pendidikan. Guru dan murid
sama-sama menjadi subjek pendidikan. Pendidikan gaya bank yang menganggap murid
sebagai objek sedang guru sebagai subjek harus disudahi. Freire manawarkan
konsep hadap masalah sebagai solusi dalam penyelenggaraan pendidikan. Tegasnya
pendidikan untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia.
Terkait pro-kontra
penyelenggaraan UN diatas, perlu dipikirkan apakah dengan adanya UN telah mencakup
ide dasar sekolah yakni untuk kesenangan dan mengandung fungsi pembebasan seperti
dikatakan Freire. Jika dua hal tersebut belum ter-cover, sudah selayaknya UN kita tolak.
Uruqul Nadhif Dzakiy
**) Gambar diambil dari google.com
0 komentar:
Post a Comment