Sebuah gagasan guna menumbuhkan kultur intelektualisme mahasiswa
Gagasan berbusa-busa dari mulut akan mudah sirna seiring bertiupnya waktu. Berbeda dengan tulisan. Ia senantiasa abadi sampai waktu yang tidak ditentukan.
Gagasan berbusa-busa dari mulut akan mudah sirna seiring bertiupnya waktu. Berbeda dengan tulisan. Ia senantiasa abadi sampai waktu yang tidak ditentukan.
Agus M. Irkham dalam tulisannya
di tempo.co (17/5/2014) mengutip angka Book
Production Consumption (BPC) kita dari hasil riset Teddy Surianto pada 1995
yang dibukukan dengan judul "Potret Distribusi Buku di Indonesia" berada
di angka 0,1444 persen. BPC merupakan alat ukur untuk mengetahui seberapa besar
persentase pengeluaran suatu masyarakat (bangsa) yang digunakan untuk membeli
buku. Angka diatas menunjukkan bahwa harga buku di Indonesia lebih mahal 10
kali lipat dibandingkan dengan harga buku di negara maju. Setelah 1995, belum
ada riset sejenis yang dilakukan sampai sekarang.
Mahalnya harga buku sejalan
dengan tidak populernya dunia literasi di kalangan masyarakat Indonesia. Sudah
familier di telinga kita bahwa indeks membaca kita rendah. Ditambah dengan
ketidakberpihakan pemerintah terhadap produksi buku nasional yang diberi pajak
tinggi sehingga berimbas pada harga buku yang mahal. Berbeda dengan Singapura
yang menerapkan pajak 0 persen untuk industri buku sehingga disana harga buku
murah. Mahalnya harga buku ditambah dengan indeks membaca masyarakat kita yang
rendah. Lengkap sekali. Tak heran jika pengamat menilai bahwa kita sekedar
bangsa konsumtif.
Menulis sebagai Tugas Kaum
Intelektual
Bagi penulis, mahasiswa layak
digolongkan menjadi bagian dari kaum intelektual. Faktor terpenting dari
seorang mahasiswa adalah bahwa mereka menjunjung tinggi kebenaran ilmiah dan
juga menjadi bagian dari masyarakat (agent
of social change) yang juga diperjuangkan oleh kaum intelektual. Menurut
Anas S Machfudz dalam Kompas (19/5/2014), kaum intelektual harus mengambil
jarak dengan kekuasaan dan menjadi corong suara masyarakat. Ia tidak berpihak
pada kekuasaan semu, namun Ia taat pada kode etiknya sebagai kaum intelktual
(boleh salah tetapi tidak berbohong). Sumber objektivitas kaum intelektual
adalah nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi kebebasan, keadilan,
kesetaraan, dan kejujuran.
Ekonomi Indonesia di Mata Anak Muda UI, buku karya mahasiswa UI (doc. google.com) |
Dari definisi diatas, jelas bahwa
kaum intelektual cenderung dekat dengan dunia pemikiran. Sedangkan pemikiran
erat kaitannya dengan buku dan tulisan. Oleh karenanya, tidak salah jika publik
menilai bahwa kaum intelektual adalah kumpulan orang-orang pintar. Berfikir dan
menulis merupakan dua hal yang menjadi syarat mutlak seorang intelektual. Tanpa
kedua hal ini, pemikiran sebrilian bagaimanapun akan tertiup angin jika tidak
didokumentasikan dalam tulisan. Sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer, berkata
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama Ia tidak menulis, Ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian".
Tidak ada batasan dimana kaum intelektual
seharusnya menulis. Namun berkaca pada sejarah, kaum intelektual pra dan
periode awal masa kemerdekaan, menggunakan media massa sebagai arena mereka mencurahkan
seluruh pemikirannya disamping mencipta buku. Pikiran-pikiran mereka senantiasa
lestari sampai detik ini. Sebagai contoh pemikiran Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad
Wahib dalam buku Pergolakan Pemikiran
Islam. Kedua orang ini merupakan kaum intelektual dari kalangan mahasiswa.
Gie merupakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) sedangkan Wahib seorang
mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menjadi Kaum Intelektual (Lagi)
Mahasiswa dulu dan sekarang bisa
dikatakan jauh berbeda. Budaya intelektualisme ; berfikir dan menulis, seolah
jauh dari kultur mahasiswa saat ini. Mungkin kondisi tersebut sebagai akibat
dari pengaruh arus informasi yang berhembus kencang dan tak terbendung seperti
halnya internet. Peran internet bisa dikatakan sangat signifikan mengingat
mampu menggantikan peran buku. Dulu mahasiswa mencari informasi dari sumber
primer yakni buku, kini mahasiswa mendapat opsi baru yaitu internet dimana
seringkali berupa sumber sekunder sehingga tidak didapatkan analisis yang
tajam. Selain itu, melalui media internet tercipta budaya negatif baru di dunia
intelektualisme ; plagiarisme.
Jauhnya mahasiswa dari kultur
intelektualisme coba dihidupkan kembali oleh berbagai elemen mahasiswa yang
sadar akan jati diri seorang mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual. Penulis
sebut "mahasiswa yang intelektual". Sebagai contoh masih eksisnya
berbagai unit-unit pemikiran yang menekankan pada pola pikir dan publikasi
berupa tulisan, juga masih eksisnya berbagai media kampus yang melestarikan
kultur menulis biarpun minoritas (bandingkan dengan jumlah total mahasiswa). Belum
lama ini Mahasiswa Universitas Indonesia mencipta sebuah buku berjudul Ekonomi Indonesia di Mata Anak Muda UI. Penerbitan
buku layak menjadi contoh bagi mahasiswa lainnya termasuk di dalamnya mahasiswa
Institut Teknologi Bandung (ITB). Mahasiswa ITB yang tergabung dalam himpunan
dan unit penulis rasa mampu membuat karya serupa mengingat ITB sebagai salah
satu kampus tertua yang didalamnya berkumpul berbagai macam pakar di berbagai
bidang. Kemudahan akses mahasiswa terhadap institusi-institusi besar baik
nasional maupun internasional menjadi nilai tambah tersendiri. Oleh karenanya, sangat memalukan jika ITB tidak
mampu berbuat banyak dalam menyikapi masalah-masalah sosial yang ada di
masyarakat. Pada akhirnya, jumlah terbatas dari mahasiswa yang intelektual
diatas harus dimultiplikasi oleh mahasiswa yang intelektual sendiri.
1 Tahun 1 Buku
Beberapa unit dan himpunan di ITB
telah melakukan kajian/diskusi yang rutin terkait masalah-masalah yang terjadi
di Indonesia khususnya yang menjadi bagian dari disiplin ilmunya. Seperti
halnya HIMATIKA ITB dengan Himatika
Learning Club (HLC)-nya yang rutin diadakan setiap 1 atau 2 pekan sekali.
Kultur yang coba dihidupkan tersebut rasanya harus ditopang dengan dokumentasi
berupa buku sehingga mampu dirasakan oleh banyak pihak. Buku merupakan medium
dokumentasi yang utuh dimana pengaruhnya akan senantiasa lestari sampai waktu
yang tidak ditentukan. Melalui buku, pemikiran mahasiswa periode tertentu akan
senantiasa diperbaiki oleh periode selanjutnya. Tidak memulai dari nol lagi.
Selain itu, buku mampu mencipa pendapatan baru bagi himpunan/unit dimana lebih
elegan dibandingkan sekedar jualan bunga di perempatan jalan.
Periodesasi kepengurusan
himpunan/unit adalah satu tahun. Penulis rasa, satu periode mencipta sebuah
buku tidaklah menjadi beban. Toh konten
dari buku adalah hasil dari diskusi/kajian rutin yang diadakan himpunan/unit.
Notula diskusi/kajian ada, tinggal dirapikan. Terkait ketidakdalaman dalam
analisis masalah tidak menjadi soal. Publik akan memaklumi sebab yang membuat
buku adalah mahasiswa. Terkait dengan siapa inisiatornya jelas mahasiswa yang
intelektual. Bisa jadi dari mereka yang menjadi bagian dari otoritas
kemahasiswaan atau sekedar anggota biasa dari himpunan/unit. Tinggal dibutuhkan
kemauan dan keberanian. Pada akhirnya melalui penciptaan buku, menjadi
himpunan/unit tersohor di dunia tak sekedar mimpi di siang bolong.
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika
ITB
0 komentar:
Post a Comment