Thursday, May 22, 2014

1 Tahun 1 Buku

Sebuah gagasan guna menumbuhkan kultur intelektualisme mahasiswa

Gagasan berbusa-busa dari mulut akan mudah sirna seiring bertiupnya waktu. Berbeda dengan tulisan. Ia senantiasa abadi sampai waktu yang tidak ditentukan.

Agus M. Irkham dalam tulisannya di tempo.co (17/5/2014) mengutip angka Book Production Consumption (BPC) kita dari hasil riset Teddy Surianto pada 1995 yang dibukukan dengan judul "Potret Distribusi Buku di Indonesia" berada di angka 0,1444 persen. BPC merupakan alat ukur untuk mengetahui seberapa besar persentase pengeluaran suatu masyarakat (bangsa) yang digunakan untuk membeli buku. Angka diatas menunjukkan bahwa harga buku di Indonesia lebih mahal 10 kali lipat dibandingkan dengan harga buku di negara maju. Setelah 1995, belum ada riset sejenis yang dilakukan sampai sekarang.

Mahalnya harga buku sejalan dengan tidak populernya dunia literasi di kalangan masyarakat Indonesia. Sudah familier di telinga kita bahwa indeks membaca kita rendah. Ditambah dengan ketidakberpihakan pemerintah terhadap produksi buku nasional yang diberi pajak tinggi sehingga berimbas pada harga buku yang mahal. Berbeda dengan Singapura yang menerapkan pajak 0 persen untuk industri buku sehingga disana harga buku murah. Mahalnya harga buku ditambah dengan indeks membaca masyarakat kita yang rendah. Lengkap sekali. Tak heran jika pengamat menilai bahwa kita sekedar bangsa konsumtif.

Menulis sebagai Tugas Kaum Intelektual

Bagi penulis, mahasiswa layak digolongkan menjadi bagian dari kaum intelektual. Faktor terpenting dari seorang mahasiswa adalah bahwa mereka menjunjung tinggi kebenaran ilmiah dan juga menjadi bagian dari masyarakat (agent of social change) yang juga diperjuangkan oleh kaum intelektual. Menurut Anas S Machfudz dalam Kompas (19/5/2014), kaum intelektual harus mengambil jarak dengan kekuasaan dan menjadi corong suara masyarakat. Ia tidak berpihak pada kekuasaan semu, namun Ia taat pada kode etiknya sebagai kaum intelktual (boleh salah tetapi tidak berbohong). Sumber objektivitas kaum intelektual adalah nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan kejujuran.    

Ekonomi Indonesia di Mata Anak Muda UI, buku karya mahasiswa UI
(doc. google.com)
Dari definisi diatas, jelas bahwa kaum intelektual cenderung dekat dengan dunia pemikiran. Sedangkan pemikiran erat kaitannya dengan buku dan tulisan. Oleh karenanya, tidak salah jika publik menilai bahwa kaum intelektual adalah kumpulan orang-orang pintar. Berfikir dan menulis merupakan dua hal yang menjadi syarat mutlak seorang intelektual. Tanpa kedua hal ini, pemikiran sebrilian bagaimanapun akan tertiup angin jika tidak didokumentasikan dalam tulisan. Sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer, berkata "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama Ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Tidak ada batasan dimana kaum intelektual seharusnya menulis. Namun berkaca pada sejarah, kaum intelektual pra dan periode awal masa kemerdekaan, menggunakan media massa sebagai arena mereka mencurahkan seluruh pemikirannya disamping mencipta buku. Pikiran-pikiran mereka senantiasa lestari sampai detik ini. Sebagai contoh pemikiran Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam. Kedua orang ini merupakan kaum intelektual dari kalangan mahasiswa. Gie merupakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) sedangkan Wahib seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).   

Menjadi Kaum Intelektual (Lagi)

Mahasiswa dulu dan sekarang bisa dikatakan jauh berbeda. Budaya intelektualisme ; berfikir dan menulis, seolah jauh dari kultur mahasiswa saat ini. Mungkin kondisi tersebut sebagai akibat dari pengaruh arus informasi yang berhembus kencang dan tak terbendung seperti halnya internet. Peran internet bisa dikatakan sangat signifikan mengingat mampu menggantikan peran buku. Dulu mahasiswa mencari informasi dari sumber primer yakni buku, kini mahasiswa mendapat opsi baru yaitu internet dimana seringkali berupa sumber sekunder sehingga tidak didapatkan analisis yang tajam. Selain itu, melalui media internet tercipta budaya negatif baru di dunia intelektualisme ; plagiarisme.

Jauhnya mahasiswa dari kultur intelektualisme coba dihidupkan kembali oleh berbagai elemen mahasiswa yang sadar akan jati diri seorang mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual. Penulis sebut "mahasiswa yang intelektual". Sebagai contoh masih eksisnya berbagai unit-unit pemikiran yang menekankan pada pola pikir dan publikasi berupa tulisan, juga masih eksisnya berbagai media kampus yang melestarikan kultur menulis biarpun minoritas (bandingkan dengan jumlah total mahasiswa). Belum lama ini Mahasiswa Universitas Indonesia mencipta sebuah buku berjudul Ekonomi Indonesia di Mata Anak Muda UI. Penerbitan buku layak menjadi contoh bagi mahasiswa lainnya termasuk di dalamnya mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Mahasiswa ITB yang tergabung dalam himpunan dan unit penulis rasa mampu membuat karya serupa mengingat ITB sebagai salah satu kampus tertua yang didalamnya berkumpul berbagai macam pakar di berbagai bidang. Kemudahan akses mahasiswa terhadap institusi-institusi besar baik nasional maupun internasional menjadi nilai tambah tersendiri. Oleh  karenanya, sangat memalukan jika ITB tidak mampu berbuat banyak dalam menyikapi masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Pada akhirnya, jumlah terbatas dari mahasiswa yang intelektual diatas harus dimultiplikasi oleh mahasiswa yang intelektual sendiri.

 1 Tahun 1 Buku

Beberapa unit dan himpunan di ITB telah melakukan kajian/diskusi yang rutin terkait masalah-masalah yang terjadi di Indonesia khususnya yang menjadi bagian dari disiplin ilmunya. Seperti halnya HIMATIKA ITB dengan Himatika Learning Club (HLC)-nya yang rutin diadakan setiap 1 atau 2 pekan sekali. Kultur yang coba dihidupkan tersebut rasanya harus ditopang dengan dokumentasi berupa buku sehingga mampu dirasakan oleh banyak pihak. Buku merupakan medium dokumentasi yang utuh dimana pengaruhnya akan senantiasa lestari sampai waktu yang tidak ditentukan. Melalui buku, pemikiran mahasiswa periode tertentu akan senantiasa diperbaiki oleh periode selanjutnya. Tidak memulai dari nol lagi. Selain itu, buku mampu mencipa pendapatan baru bagi himpunan/unit dimana lebih elegan dibandingkan sekedar jualan bunga di perempatan jalan.

Periodesasi kepengurusan himpunan/unit adalah satu tahun. Penulis rasa, satu periode mencipta sebuah buku tidaklah menjadi beban. Toh konten dari buku adalah hasil dari diskusi/kajian rutin yang diadakan himpunan/unit. Notula diskusi/kajian ada, tinggal dirapikan. Terkait ketidakdalaman dalam analisis masalah tidak menjadi soal. Publik akan memaklumi sebab yang membuat buku adalah mahasiswa. Terkait dengan siapa inisiatornya jelas mahasiswa yang intelektual. Bisa jadi dari mereka yang menjadi bagian dari otoritas kemahasiswaan atau sekedar anggota biasa dari himpunan/unit. Tinggal dibutuhkan kemauan dan keberanian. Pada akhirnya melalui penciptaan buku, menjadi himpunan/unit tersohor di dunia tak sekedar mimpi di siang bolong.


Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB

0 komentar: