Orasi kebudayaan awal tahun : (PETA)KA 2014 oleh
Forum Studi Kebudayaan (FSK) ITB di Lapangan Merah ITB (22/1/2014)
menjadi semacam tamparan bagi generasi muda - mahasiswa ITB – yang kalah
start dengan golongan tua -
dosen ITB - dalam mengkritisi kondisi bangsa melalui pendekatan budaya.
Permasalahan
bangsa semakin kompleks sejalan dengan perkembangan science dan teknologi. Namun, kekompleksan masalah tidak dikaji dan disikapi secara menyeluruh oleh para unsur bangsa termasuk di dalamnya mahasiswa. Mahasiswa
justru bermain tak ubahnya seperti pengamat politik dan ekonom berbayar. Mereka
berlelah-lelah turut menyoroti masalah 'remeh-temeh' yang tiap tahun berulang
seperti halnya perpolitikan nasional. Hal ini sangat ironi mengingat mahasiswa
adalah elemen dari kaum cendekia yang akan mengambil estafet kepemimpinan masa
depan.
Mahasiswa
seolah tidak menyadari bahwa mereka memiliki kans besar untuk mengubah kondisi
bangsa di masa yang akan datang. Latar
belakang ilmu yang dimiliki mahasiswa menjadi senjata jitu
untuk menggali permasalahan bangsa secara detail sampai ke tahapan teknis.
Kemampuan tersebut didukung dengan keikutsertaan unsur cendekia lain seperti
halnya dosen dan pakar yang berada di satu lingkaran besar kaum cendekia.
Mahasiswa dengan 'idealisme'-nya dipadang mampu menyatukan kekuatan besar
tersebut. Dengan demikian, terciptalah solusi kebangsaan di berbagai bidang secara menyeluruh dan up to date. Diharapkan di kemudiaan hari ketika mahasiswa memimpin Indonesia, bangsa ini
akan mencapai puncak kegemilangannya karena bangsa ini
dipimpin oleh kaum cendekia yang visioner dan faham akan kondisi kebangsaan
secara menyeluruh.
Memunculkan
Keberanian
Masalah
fundamental ditengah lesunya pergerakan mahasiswa pasca 98 adalah rendahnya
keberanian mahasiswa guna mencipta pola pergerakan baru yang jauh dari
bayang-bayang pergerakan mahasiwa era Soe Hok Gie sampai Hariman Siregar.
Mahasiswa terlalu terbuai dengan nostalgia masa lalu, padahal era abad 21 ini
musuh mahasiswa tak lagi apple to apple
melainkan apple to apples. Sebagai
bukti, banyak pimpinan politik mahasiswa saat ini yang
menjadikan kedua tokoh tersebut atau sejenis sebagai hero
dengan dibacanya buku-buku mereka secara 'mentah-mentah'.
Mahasiswa
mengidolakan para senior mereka dan cenderung enggan untuk menjadi hero baru. Akibatnya pola gerakan yang dilakukan dan diperjuangkan adalah pola lama yang luput dari
partisipasi mahasiswa secara umum. Itupun dilakukan oleh elemen kecil mahasiswa
yang bernaung dibawah atap Kabinet Keluarga Mahasiswa / Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Yang lebih
miris dan ironi, justru mahasiswa yang manjadi pucuk kepemimpinan di Kabinet Keluarga
Mahasiswa/BEM adalah mereka yang mencari
hasrat manusiawi sesaat seperti popularitas, karier pasca kampus, atau melicinkan jalan menjadi kader parpol tertentu. Tidak lagi sebagai bentuk nyata pengabdian total sebagai kaum cendekia yg
mengunggulkan gagasan dan ide dalam memimpin.
Pola gerakan
lama yg dilakukan mahasiswa masa kini mengindikasikan bahwa mahasiswa saat ini
tidak berani membuat terobosan baru dalam pergerakan. Hal ini menurut hemat
penulis adalah sebab hilangnya budaya cendekia mahasiswa seperti membaca,
berdiskusi, dan kolaborasi. Mahasiswa cenderung esklusif - dibalut dg arogansi
golongan- dan bermental instan serta tendensius. Mental generalis - bertanya
dan mempertanyakan - tidak lagi menjadi nilai yg unik dari seorang mahasiswa. Akibatnya
mahasiswa cenderung kaku dan gegabah dalam mensikapi berbagai permasalahan yang
ada di Indonesia.
Keberanian untuk keluar dari kondisi kekinian dengan membuat terobosan baru dalam
pergerakan menurut penulis adalah wajib 'ain. Mahasiswa harus memandang
tiap dirinya adalah pemimpin yang berhak menginisiasi gerakan. Mahasiswa harus
kembali menjadi cendekia seutuhnya sehingga gerakan yang dilakukan adalah
gerakan yang dilandasi oleh gagasan yang utuh dan paripurna. Dengan demikian krisis
kepemimpinan yang berulang kali didengungkan oleh para pengamat tak lagi
terjadi.
Malam
Kebudayaan Ganesha Sebagai Bentuk Nyata Gerakan Mahasiswa ITB
Adalah Abdul
Haris Wirabrata (MA 12) - seorang anggota unit Tiang
Bendera (Tiben) dan Majalah Ganesha (MG) - sosok
dibalik terselenggaranya Malam Kebudayaan Ganesha (MABUGA) I pada 25 April 2014. Guna menyukseskan acara
tersebut, Haris menggandeng unit-unit ITB : Majalah Ganesha (MG), Lingkar Sastra
(LS), Studi Teater Mahasiswa (Stema), dan Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KMSR) untuk berkolaborasi. Kolaborasi antarelemen
mahasiswa tersebut menjadikan acara yang bertemakan "Per(empu)an" ini memilki keunikan tersendiri. Biarpun malam itu hujan, partisipasi
massa kampus yang turut nonton tidak bisa dipandang sedikit.
Forum
tersebut menyuarakan gagasan dan ide mahasiswa yang dikenal sumbang melalui
medium seni yang hidup. Kekakuan dalam menyampaikan gagasan politis
menjadi halus oleh sentuhan seni. Akibatnya massa kampus yang belum 'ngeh'
dengan isu politik menjadi melek secara perlahan. Penulis sangat yakin jika
acara tersebut diadakan secara rutin seperti sebulan sekali akan menjadi pola
gerakan baru mahasiswa khususnya mahasiswa ITB.
MABUGA berisikan pertunjukan seni seperti pembacaan puisi, pementasan
drama, dan seni teatrikal-musikal (kolaboratif). Kedepan, diharapkan ditambah dengan orasi kebudayaan dengan tema beragam seperti
industri, energi, ekonomi, teknologi, bisnis, sains dan seni itu sendiri dengan melibatkan unsur-unsur mahasiswa lain
seperti unit dan himpunan. Melalui medium MABUGA, diharapkan akan memunculkan kesadaran dan kepekaan sosial secara natural dari mahasiswa.
MABUGA adalah bukti nyata bahwa personalia unit mampu menginiasi gerakan
yang berdampak besar tanpa dikomandoi oleh Kabinet Keluarga Mahasiswa. Melalui
MABUGA, diharapkan akan memunculkan gerakan mahasiswa kolaboratif serupa
sehingga tercipta pola pergerakan baru mahasiswa abad 21 yang diamini oleh
segenap elemen mahasiswa seluruh kampus di Indonesia.
Uruqul
Nadhif Dzakiy
Mahasiswa
Matematika ITB
0 komentar:
Post a Comment