Saturday, June 21, 2014

Pendidikan Tinggi Kita dan Ekonomi

Kompleks. Begitulah kiranya masalah pendidikan kita. Dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, masalah selalu ada dan sangat banyak. Saya hanya akan membahas keterkaitan pendidikan tinggi dengan ekonomi.

Pendidikan adalah investasi. Artinya Ia adalah bekal bagi manusia yang mengalami pendidikan untuk bertahan hidup. Jika ingin hidup dengan lebih sejahtera (material) maka pendidikan adalah solusinya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka Ia akan memperoleh hidup lebih baik. Dari sini terlihat bahwa pendidikan erat kaitannya dengan ekonomi.

Indonesia Kini

Kemajuan pendidikan negara kita tentunya bergantung dengan visi ekonomi kita. Pemerintah mengklaim bahwa keadaan ekonomi nasional kita semakin membaik. Pemerintah memakai  parameter pertumbuhan ekonomi kita yang cukup tinggi, pendapatan per kapita naik, APBN yang membesar, rasio utang terhadap PDB turun, pelunasan utang kepada IMF, cadangan devisa menembus angka di atas 100 miliar dollar AS, serta penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (Kompas, 17/6/2014). Keberhasilan tersebut menjadikan Indonesia sebagai bagian dari G20 bersama dengan Tiongkok, Brazil, dan India. Namun di lain sisi, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Rasio gini pada 2013 mencapai 0,413, padahal pada 2004 berada pada kisaran 0,32.
Kampus ITB (doc. www.international.itb.ac.id)
Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) diklaim pemerintah sebagai solusi jangka panjang untuk menjadikan parameter-parameter ekonomi di atas semakin membaik lagi. MP3EI mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada 2025 dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi rill diharapkan rata-rata sekitar 7-9 persen per tahun secara berkelanjutan. PDB US$ 3,8-4,5 Triliun, pendapatan per kapita US $13.000-16.100 atau setaraf dengan high income country pada tahun 2025 mendatang (Ganesha, September 2012). Kebijakan ini memberikan porsi lebih kepada pihak swasta seperti yang tercantum dalam dokumen MP3EI. Penguatan SDM dan IPTEK nasional juga disinggung dalam dokumen namun tidak dalam realisanya. Proyek-proyek besar dalam MP3EI terutama untuk men-supply 6 (enam) koridor ekonomi jelas membutuhkan peran serta riset science dan teknologi. Namun anehnya, kebijakan tersebut  tidak melibatkan Perguruan Tinggi (PT) dalam pembahasan serta implementasinya. Padahal, di negara maju manapun PT selalu dilibatkan dalam perkembangan (riset) science dan teknologi yang akan diimplementasikan oleh korporasi/industri. Lantas apa gunanya PT didirikan ?

Kampus kita sejauh ini hanya sekedar sebagai kampus pengajaran. Mengajarkan teori-teori lama dari para penemu Barat. Praktis, inovasi dan riset tidak menjadi kefokusan di hampir semua universitas kita. Berdasarkan data scopus pada Januari 2014, jumlah riset seluruh kampus kita jika digabung setara dengan jumlah riset satu kampus di Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dengan sekitar 16 ribu paper. Data tersebut semakin mempertegas bahwa pemerintah tidak concern terhadap peningkatan science dan teknologi. Maklum saja bila lulusan kampus kita kebanyakan hanya sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan, sementara bos perusahaan dimiliki asing. Fakta ini memperlihatkan bahwa fondasi ekonomi kita (riset science teknologi) rapuh dan gagasan Indonesia sebagai negara maju di masa yang akan datang hanyalah mimpi belaka. Tindakan ke arah sana tidak ada.

Memakai logika Developer

Pengembang perumahan atau yang akur disebut developer adalah seorang yang mampu memanfaatkan lahan kosong untuk dimanfaatkan sebagai perumahan/ladang bisnis yang jelas menguntungkan. Developer yang cerdik memakai lahan tanpa membayar. Ia melakukan negosiasi sedemikian hingga tuan tanah mau bekerja sama dengan developer. Biasanya bentuk kerjasamanya berupa profit sharing yang tergantung pada kesepakatan awal. Jika developer licik dan tuan tanah blo'on maka tuan tanah akan ditipu demi keuntungan sebesar-besarnya pihak developer. Profit sharingnya bisa 60 :40 bahkan 70 : 30 untuk developer. Sistem ekonomi kita yang menitikberatkan pada pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) mentah dapat dianalogikan seperti sistem yang berlaku di dunia bisnis perumahan diatas. Pemerintah sebagai tuan tanah dan investor plus sebagai developer.

Jika persetujuan awal pemerintah dengan investor berpihak pada pemerintah, maka pemerintah relatif diuntungkan. Namun sebaliknya jika investor cerdik dan pemerintah blo'on bisa dipastikan keuntungan terbesar berada pada investor. Sebagai contoh kejadian PT. Freeport yang jauh lebih menguntungkan investor asing. Sebenarnya ada langkah yang jelas menguntungkan tetapi berisiko tinggi yakni mengolah SDA sendiri. Jika pemerintah memakai opsi ini, maka jelas pemerintah akan memberikan porsi lebih terhadap perkembangan science dan teknologi. Perguruan Tinggi akan dipacu risetnya. Juga lembaga riset yang dimiliki pemerintah seperti LIPI, BPPT, Lembaga Eijkman, PPKI, dan BATAN. Pendirian kampus-kampus baru yang fokus pada bidang tertentu digalakkan. Nafas universitas sebagai kampus riset dikampanyekan secara kontinu.

Konsep ABG (Academic-Business-Government) direalisasikan. Korporasi-korporasi baru dibangun dengan peran serta perguruan tinggi didalamnya. Korporasi yang dimaksud bukan perusahaan yang hanya menjual SDA mentah alias sebagai suplier korporasi asing apalagi Usaha Kecil Menengah (UKM) tetapi korporasi hilir yang memberikan nilai tambah. Pemerintah memacu kuantitas scientist dan engineer kelas dunia guna mengisi korporasi-korporasi diatas dan juga perguruan tinggi. Dengan demikian, bangsa ini ibarat tuan tanah yang menggarap sendiri lahannya. Menjadi pemilik tanah sekaligus developer.

Manusia Indonesia yang Unggul

Pendidikan didesain untuk mencetak manusia-manusia unggul yang berdaya saing serta berkepribadian mulia. Manusia inilah yang akan menggerakkan roda perekonomian bangsa ke arah kemandirian. Jika demikian yang terjadi, bangsa ini akan disegani sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Bangsa ini mampu mengelola SDA sendiri dengan memberikan prioritas lebih kepada anak bangsa untuk mengelolanya. Tidak ada lagi kebijakan pengiriman tenaga kerja ber-skill rendah seperti Tenaga Kerja Wanita (TKW) dimana sekedar menjadi pembantu Rumah Tangga di negara lain karena lapangan kerja di Indonesia tidak memadai. Bangsa ini tidak lagi dikenal sebagai bangsa konsumen, melainkan dikenal sebagai bangsa yang gigih menerapkan science dan teknologi untuk men-supply kebutuhan rumah tangganya sendiri dan dunia. Hanya dengan itu, bangsa ini akan mencapai puncak kejayaannya kembali.

Uruqul Nadhif Dzakiy 

0 komentar: