Kompleks. Begitulah kiranya
masalah pendidikan kita. Dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi, masalah selalu ada
dan sangat banyak. Saya hanya akan
membahas keterkaitan pendidikan tinggi dengan ekonomi.
Pendidikan
adalah investasi. Artinya Ia adalah bekal bagi manusia yang mengalami
pendidikan untuk bertahan hidup. Jika ingin hidup dengan lebih sejahtera
(material) maka pendidikan adalah solusinya. Semakin tinggi pendidikan
seseorang, maka Ia akan memperoleh hidup lebih baik. Dari sini terlihat bahwa
pendidikan erat kaitannya dengan ekonomi.
Indonesia
Kini
Kemajuan
pendidikan negara kita tentunya bergantung dengan visi ekonomi kita. Pemerintah
mengklaim bahwa keadaan ekonomi nasional
kita semakin membaik. Pemerintah
memakai parameter pertumbuhan ekonomi kita yang cukup
tinggi, pendapatan per kapita naik, APBN yang membesar, rasio utang terhadap
PDB turun, pelunasan utang kepada IMF, cadangan devisa menembus angka di atas
100 miliar dollar AS, serta penurunan angka kemiskinan dan pengangguran (Kompas, 17/6/2014).
Keberhasilan tersebut menjadikan Indonesia sebagai bagian
dari G20 bersama dengan Tiongkok, Brazil, dan India. Namun di lain sisi,
kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar. Rasio gini pada 2013
mencapai 0,413, padahal pada 2004 berada pada kisaran 0,32.
Program
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) diklaim pemerintah
sebagai solusi jangka panjang untuk menjadikan parameter-parameter ekonomi di atas semakin membaik
lagi. MP3EI mendorong Indonesia menjadi negara maju dan
termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada 2025 dengan pertumbuhan
ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Pertumbuhan
ekonomi rill diharapkan rata-rata sekitar 7-9 persen per tahun secara
berkelanjutan. PDB US$ 3,8-4,5 Triliun, pendapatan per kapita US $13.000-16.100
atau setaraf dengan high income country pada tahun 2025 mendatang (Ganesha, September
2012). Kebijakan
ini memberikan porsi lebih kepada pihak swasta seperti yang tercantum dalam
dokumen MP3EI. Penguatan SDM dan IPTEK nasional juga disinggung dalam dokumen
namun tidak dalam realisanya. Proyek-proyek besar dalam MP3EI terutama untuk
men-supply 6 (enam) koridor ekonomi jelas membutuhkan peran serta riset science
dan teknologi. Namun anehnya, kebijakan
tersebut tidak
melibatkan Perguruan Tinggi (PT) dalam pembahasan serta implementasinya. Padahal, di negara maju manapun PT selalu dilibatkan
dalam perkembangan (riset) science
dan teknologi yang akan diimplementasikan oleh korporasi/industri. Lantas
apa gunanya PT didirikan ?
Kampus kita sejauh ini hanya sekedar
sebagai kampus pengajaran. Mengajarkan teori-teori lama dari para penemu Barat.
Praktis, inovasi dan riset tidak menjadi kefokusan di hampir semua universitas
kita. Berdasarkan data scopus pada Januari 2014, jumlah riset seluruh
kampus kita jika digabung setara dengan jumlah riset satu kampus di Malaysia,
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dengan sekitar 16 ribu paper. Data
tersebut semakin mempertegas bahwa pemerintah tidak concern terhadap peningkatan science dan teknologi.
Maklum saja bila lulusan kampus
kita kebanyakan hanya sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan,
sementara bos perusahaan dimiliki asing. Fakta ini memperlihatkan bahwa fondasi
ekonomi kita (riset science teknologi) rapuh dan gagasan Indonesia
sebagai negara maju di masa yang akan datang hanyalah mimpi belaka. Tindakan ke
arah sana tidak ada.
Memakai
logika Developer
Pengembang
perumahan atau yang akur disebut developer adalah seorang yang mampu
memanfaatkan lahan kosong untuk dimanfaatkan sebagai perumahan/ladang bisnis
yang jelas menguntungkan. Developer yang cerdik memakai lahan tanpa membayar.
Ia melakukan negosiasi sedemikian hingga tuan tanah mau bekerja sama dengan
developer. Biasanya bentuk kerjasamanya berupa profit sharing yang tergantung pada kesepakatan
awal. Jika developer licik dan tuan tanah blo'on
maka tuan tanah akan ditipu demi keuntungan sebesar-besarnya pihak developer. Profit
sharingnya bisa 60 :40 bahkan 70
: 30 untuk developer. Sistem ekonomi kita yang
menitikberatkan pada pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) mentah dapat
dianalogikan seperti sistem yang berlaku di dunia bisnis perumahan diatas. Pemerintah
sebagai tuan tanah dan investor plus sebagai developer.
Jika
persetujuan awal pemerintah dengan investor berpihak pada pemerintah, maka
pemerintah relatif diuntungkan. Namun sebaliknya jika investor cerdik dan
pemerintah blo'on bisa dipastikan
keuntungan terbesar berada pada investor. Sebagai contoh kejadian PT. Freeport
yang jauh lebih menguntungkan investor asing. Sebenarnya ada langkah yang jelas
menguntungkan tetapi
berisiko tinggi yakni mengolah SDA sendiri. Jika pemerintah memakai opsi ini,
maka jelas pemerintah akan memberikan porsi lebih terhadap perkembangan science
dan teknologi. Perguruan Tinggi akan dipacu risetnya. Juga lembaga riset yang dimiliki pemerintah seperti
LIPI, BPPT, Lembaga Eijkman, PPKI, dan BATAN. Pendirian kampus-kampus baru yang fokus
pada bidang tertentu digalakkan.
Nafas universitas sebagai kampus riset dikampanyekan
secara kontinu.
Konsep
ABG (Academic-Business-Government) direalisasikan. Korporasi-korporasi baru
dibangun dengan peran serta perguruan tinggi didalamnya. Korporasi yang dimaksud
bukan perusahaan yang hanya menjual SDA mentah alias sebagai suplier korporasi asing apalagi Usaha Kecil Menengah (UKM) tetapi
korporasi hilir yang memberikan nilai tambah. Pemerintah memacu kuantitas scientist dan engineer kelas dunia guna mengisi korporasi-korporasi diatas dan
juga perguruan tinggi. Dengan demikian, bangsa ini ibarat tuan tanah yang
menggarap sendiri lahannya. Menjadi pemilik tanah
sekaligus developer.
Manusia Indonesia yang Unggul
Pendidikan didesain untuk mencetak manusia-manusia unggul
yang berdaya saing serta berkepribadian mulia. Manusia inilah yang akan
menggerakkan roda perekonomian bangsa ke arah kemandirian. Jika demikian yang
terjadi, bangsa ini akan disegani sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas
kaki sendiri. Bangsa ini mampu mengelola SDA sendiri dengan memberikan
prioritas lebih kepada anak bangsa untuk mengelolanya. Tidak ada lagi kebijakan
pengiriman tenaga kerja ber-skill
rendah seperti Tenaga Kerja Wanita (TKW) dimana sekedar menjadi pembantu Rumah
Tangga di negara lain karena lapangan kerja di Indonesia tidak memadai. Bangsa
ini tidak lagi dikenal sebagai bangsa konsumen, melainkan dikenal sebagai
bangsa yang gigih menerapkan science
dan teknologi untuk men-supply
kebutuhan rumah tangganya sendiri dan dunia. Hanya dengan itu, bangsa ini akan
mencapai puncak kejayaannya kembali.
Uruqul Nadhif Dzakiy
0 komentar:
Post a Comment