Profesor adalah intelektual. Begitulah sebagian besar masyarakat awam menilai. Karena hal itulah, apapun ucapan yang keluar dari mulut profesor didengar dan diikuti. Profesor menjadi simbol kebenaran umum. Lantas, benarkah anggapan publik tersebut ?
Abad 21 adalah zamannya internet. Melalui internet, kita bisa dapatkan informasi dari belahan dunia manapun dengan sekali klik. Akses yang cepat tersebut bukannya tanpa risiko. Konten/isi berita yang disajikan internet seringkali tidak valid bahkan cenderung bohong. Juga mengandung penggiringan opini publik untuk kepentingan pribadi atau golongan. Fenomena tersebut jelas menyesatkan publik. Publik terus saja dibodohi dengan sajian yang tidak bermutu. Di sinilah peran kaum intelektual sebagai penjaga moral publik.
Profesor Sebagai Intelektual
Gelar profesor adalah gelar akademis yang disematkan kepada dosen yang memenuhi kredit tertentu. Profesor bukanlah seorang generalis yang tahu segala solusi dari berbagai permasalahan. Ia hanya mendalami suatu bidang spesifik. Sebagai contoh profesor matematika bidang kombinatorika. Ia memahami betul perkembangan ilmu matematika bidang kombinatorika. Namun belum tentu Ia faham terhadap suatu konsep matematika bidang statistik apalagi disiplin bukan matematika seperti ekonomi dan politik.
Edward Said, seorang intelektual yang sepanjang hidupnya digunakan untuk membela Palestina (doc. heymancenter.org) |
Biarpun profesor adalah gelar akademis, tidak lantas membuat kita berpaling terhadap mereka yang menggeluti bidang lain di luar bidang keprofesorannya. Sebut saja profesor matematika kombinatorika yang mendalami pula bidang humaniora. Kita bisa menjadikannya sebagai salah satu sumber/referensi solusi dari berbagai permasalahan sosial yang terjadi di negara kita. Asalkan memenuhi satu syarat ; memenuhi kaidah intelektualisme. Mengutip opini Anas S. Machfudz dalam Kompas (19/5/2014) tentang kewajiban kaum intelektual. Menurutnya, kaum intelektual harus berjarak dan berani membebaskan diri dari pasungan ikatan primordialisme (SARA), termasuk pada keyakinannya sendiri. Jujur untuk tidak menitipkan pandangannya demi keuntungan politis jangka pendek. Kaum intelektual juga harus membebaskan diri dari semangat sektarian yang memecah belah dan berkutat dalam kebenaran kecil. Kaum intelektual harus menjadi juru bicara kebenaran dan keadilan di atas atap kekuasaan yang disalahgunakan. Rujukan kaum intelektual adalah fakta sosial dan bukan kumpulan opini yang telah dicemari kepentingan yang manipulatif. Pada akhirnya, sumber obyektivitas kaum intelektual adalah nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan kejujuran.
Epilog
Melihat kembali definisi intelektual diatas, sangat mungkin sekali seorang profesor bukanlah seorang intelektual. Profesor jenis ini biasanya suka menyebar informasi-informasi tidak jelas kebenarannya, suka merendahkan orang lain, bahkan menerbarkan fitnah yang meresahkan publik. Profesor jenis ini tak pantas kita jadikan rujukan/sumber dalam menyikapi berbagai permasalahan sosial yang terjadi. Kita cukup percayai mereka di bidang yang menjadi ciri khas keprofesorannya.
Fenomena profesor jenis demikian menjamur bak cendawan di musim hujan di musim pemilu seperti ini. Semoga kita mampu selektif dan berhati-hati.
Uruqul Nadhif Dzakiy
0 komentar:
Post a Comment