Ujian Nasional (UN) sampai tahun ini masih
menjadi parameter kelulusan biarpun persentasenya 60 : 40 dengan Ujian Sekolah.
Tegasnya negara masih dominan dalam pengambilan keputusan lulus/tidak lulus
siswa. Siswa yang belajar bertahun-tahun dengan guru, ternyata nasibnya ditentukan
pemerintah yang hampir tidak pernah berinteraksi langsung dengan siswa. Jika pun wakil
pemerintah
datang ke sekolah, itupun dalam momen khusus seperti peresmian gedung baru.
Egoisme pemerintah dalam
penentuan 'nasib' siswa itu demi jargon memajukan pendidikan secara nasional
versi mereka. Pemerintah berulang kali mengklaim bahwa kualitas pendidikan kita
naik sebab rata-rata nilai UN naik. Ujian Nasional dianggap memiliki keampuhan yang luar
biasa karena memenuhi empat fungsi sekaligus : pemetaan, seleksi, kelulusan, dan
pembinaan untuk meningkatkan mutu. Jika kita memakai logika sederhana, anggapan pemerintah
tersebut sangat tidak fair.
Pemerintah memakai termometer yang dibuat sendiri. Harusnya pemerintah memakai
termometer lain yang jelas-jelas diakui oleh dunia internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS.
Budaya Instan
Pendidikan tiga tahun hanya ditentukan empat hari. Itulah kenyataan
yang terjadi. Bobot Ujian Sekolah yang mencapai 40 % dalam kelulusan tidak menjadi kefokusan
sekolah. Siswa dipermudah dalam kelulusannya, meskipun siswa tersebut bodoh
sama sekali. Asalkan UN lulus, Ujian Sekolah pun lewat. Kenyataan ini membuat
sekolah terkait memforsir siswa-siswanya untuk mendalami berbagai variasi soal
UN. Belajar tak lagi
memfokuskan pada pemahaman siswa, melainkan melatih seterampil mungkin siswa
agar mampu menjawab berbagai variasi soal. Padahal soal-soal di UN menurut banyak
pakar pendidikan merupakan low order
thinking alias berfikir tingkat rendah nir-logika.
Para orang tua pun
rasional melihat kenyataan UN tersebut. Mereka pun mengkursuskan anak-anaknya di
berbagai lembaga bimbingan belajar terkemuka. Alasan yang umum yakni agar anak-anaknya lulus UN dengan nilai tinggi
sehingga mudah memasuki sekolah-sekolah favorit yang memiliki fasilitas yang
relatif lebih lengkap dari pada sekolah-sekolah biasa. Secara umum, bimbel memakai metode drill soal dengan dilengkapi ringkasan
materi. Praktis pemahaman dikesampingkan demi para siswa bimbel mampu menjawab
aneka jenis soal. Jika bimbel melakukan metode drill, sekolah pun tidak jauh berbeda. Sekolah menambah jumlah guru
mata pelajaran yang akan di-UN-kan. Guru-guru tersebut seringkali impor dari
bimbel. Tak jarang soal-soal yang dibahas pun sama dengan soal-soal yang dibahas di bimbel.
Sekolah pun menjelma menjadi bimbingan belajar.
Nyatanya metode bimbel ini
hanya diterapkan saat siswa berada di tahun terakhir dalam proses studi. Metode
ini sekali lagi hanya dipakai demi kelulusan siswa di UN. Karena sekolah tak ubahnya
sebuah bimbel, budaya instan pun tumbuh subur. Proses belajar yang
bertahun-tahun diajarkan seolah dilupakan begitu saja. Demi citra sekolah,
apapun dilakukan demi kelulusan UN siswanya. Tak jarang kita dapati guru-guru
sekolah memberikan kunci jawaban saat UN dilangsungkan. Sekolah menjadi
produsen manusia-manusia instan yang lemah dan bermental loser. Sekolah menjelma sebagai pabrik calon koruptor.
Tak Lagi Jadi Parameter
Kelulusan
Masalah di atas setiap
tahun terjadi biarpun pengetaan sistem pengawasan dilakukan. Hal ini
diakibatkan karena UN menjadi faktor dominan kelulusan siswa. Karena hal inilah, UN menjelma sebagai makhluk
yang sangat menakutkan. Belajar di tahun terakhir tingkat satuan pendidikan
menjadi sangat membosankan karena setiap hari dijejali aneka tips dan trik
menjawab soal dengan mengenyampingkan pemahaman. Bahkan tragisnya, saking
takutnya dengan UN ada siswa yang bunuh diri. Ada juga yang udunan membeli
kunci jawaban. Juga siswa-siswa berlagak relijius dengan aneka ritual sholawatan
semalam suntuk. Itulah yang umum terjadi di masyarakat kita. Oleh karenanya
menghapus UN sebagai parameter kelulusan siswa merupakan cara terbaik melihat
semenjak diselenggaraknnya UN kualitas pendidikan kita sama saja. Berbagai
riset internasional menujukkan itu. UN sebaiknya dilakukan untuk pemetaan saja
yang penyelenggaraannya tidak setiap tahun. Kelulusan siswa dilakukan oleh guru
di setiap sekolah. Negera menjamin segala fasilitas yang dibutuhkan sekolah
termasuk didalamnya kuantitas dan kualitas guru. Sekolah menyelenggarakan
pendidikan utuh yang menonjolkan proses belajar. Dengan demikian pendidikan
instan ala bimbel dapat direduksi secara perlahan demi terciptanya kasmaran
belajar siswa.
Uruqul Nadhif
Dzakiy
Mahasiswa
Matematika ITB
0 komentar:
Post a Comment