Tuesday, June 24, 2014

Ujian Nasional dan Manusia Instan

Ujian Nasional (UN) sampai tahun ini masih menjadi parameter kelulusan biarpun persentasenya 60 : 40 dengan Ujian Sekolah. Tegasnya negara masih dominan dalam pengambilan keputusan lulus/tidak lulus siswa. Siswa yang belajar bertahun-tahun dengan guru, ternyata nasibnya ditentukan pemerintah yang hampir tidak pernah berinteraksi langsung dengan siswa. Jika pun wakil pemerintah datang ke sekolah, itupun dalam momen khusus seperti peresmian gedung baru.

Egoisme pemerintah dalam penentuan 'nasib' siswa itu demi jargon memajukan pendidikan secara nasional versi mereka. Pemerintah berulang kali mengklaim bahwa kualitas pendidikan kita naik sebab rata-rata nilai UN naik. Ujian Nasional dianggap memiliki keampuhan yang luar biasa karena memenuhi empat fungsi sekaligus : pemetaan, seleksi, kelulusan, dan pembinaan untuk meningkatkan mutu. Jika kita memakai logika sederhana, anggapan pemerintah tersebut sangat tidak fair. Pemerintah memakai termometer yang dibuat sendiri. Harusnya pemerintah memakai termometer lain yang jelas-jelas diakui oleh dunia internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS.

Budaya Instan

Pendidikan tiga tahun hanya ditentukan empat hari. Itulah kenyataan yang terjadi. Bobot Ujian Sekolah yang mencapai 40 % dalam kelulusan tidak menjadi kefokusan sekolah. Siswa dipermudah dalam kelulusannya, meskipun siswa tersebut bodoh sama sekali. Asalkan UN lulus, Ujian Sekolah pun lewat. Kenyataan ini membuat sekolah terkait memforsir siswa-siswanya untuk mendalami berbagai variasi soal UN. Belajar tak lagi memfokuskan pada pemahaman siswa, melainkan melatih seterampil mungkin siswa agar mampu menjawab berbagai variasi soal. Padahal soal-soal di UN menurut banyak pakar pendidikan merupakan low order thinking alias berfikir tingkat rendah nir-logika.
 
doc. google.com
Para orang tua pun rasional melihat kenyataan UN tersebut. Mereka pun mengkursuskan anak-anaknya di berbagai lembaga bimbingan belajar terkemuka. Alasan yang umum yakni agar anak-anaknya lulus UN dengan nilai tinggi sehingga mudah memasuki sekolah-sekolah favorit yang memiliki fasilitas yang relatif lebih lengkap dari pada sekolah-sekolah biasa. Secara umum, bimbel memakai metode drill soal dengan dilengkapi ringkasan materi. Praktis pemahaman dikesampingkan demi para siswa bimbel mampu menjawab aneka jenis soal. Jika bimbel melakukan metode drill, sekolah pun tidak jauh berbeda. Sekolah menambah jumlah guru mata pelajaran yang akan di-UN-kan. Guru-guru tersebut seringkali impor dari bimbel. Tak jarang soal-soal yang dibahas pun sama dengan soal-soal yang dibahas di bimbel. Sekolah pun menjelma menjadi bimbingan belajar.

Nyatanya metode bimbel ini hanya diterapkan saat siswa berada di tahun terakhir dalam proses studi. Metode ini sekali lagi hanya dipakai demi kelulusan siswa di UN. Karena sekolah tak ubahnya sebuah bimbel, budaya instan pun tumbuh subur. Proses belajar yang bertahun-tahun diajarkan seolah dilupakan begitu saja. Demi citra sekolah, apapun dilakukan demi kelulusan UN siswanya. Tak jarang kita dapati guru-guru sekolah memberikan kunci jawaban saat UN dilangsungkan. Sekolah menjadi produsen manusia-manusia instan yang lemah dan bermental loser. Sekolah menjelma sebagai pabrik calon koruptor.

Tak Lagi Jadi Parameter Kelulusan

Masalah di atas setiap tahun terjadi biarpun pengetaan sistem pengawasan dilakukan. Hal ini diakibatkan karena UN menjadi faktor dominan kelulusan siswa.  Karena hal inilah, UN menjelma sebagai makhluk yang sangat menakutkan. Belajar di tahun terakhir tingkat satuan pendidikan menjadi sangat membosankan karena setiap hari dijejali aneka tips dan trik menjawab soal dengan mengenyampingkan pemahaman. Bahkan tragisnya, saking takutnya dengan UN ada siswa yang bunuh diri. Ada juga yang udunan membeli kunci jawaban. Juga siswa-siswa berlagak relijius dengan aneka ritual sholawatan semalam suntuk. Itulah yang umum terjadi di masyarakat kita. Oleh karenanya menghapus UN sebagai parameter kelulusan siswa merupakan cara terbaik melihat semenjak diselenggaraknnya UN kualitas pendidikan kita sama saja. Berbagai riset internasional menujukkan itu. UN sebaiknya dilakukan untuk pemetaan saja yang penyelenggaraannya tidak setiap tahun. Kelulusan siswa dilakukan oleh guru di setiap sekolah. Negera menjamin segala fasilitas yang dibutuhkan sekolah termasuk didalamnya kuantitas dan kualitas guru. Sekolah menyelenggarakan pendidikan utuh yang menonjolkan proses belajar. Dengan demikian pendidikan instan ala bimbel dapat direduksi secara perlahan demi terciptanya kasmaran belajar siswa.

Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB

0 komentar: