Sebuah opini terkait visi-misi pendidikan
Capres/Cawapres 2014
Kamis (19/6/2014) siang, saya
mengikuti dialog menggagas visi Capres-Cawapres dengan Tim Sukses masing-masing
di Perpustakaan Pusat ITB.
Pendidikan
merupakan ujung tombak suatu bangsa. Undang-undang mengamanatkan 20 % dari APBN
untuk anggaran pendidikan. Praktis, pembahasan terkait pendidikan patut kita
berikan porsi besar. Kita harus mencermati dengan seksama seberapa besar
perhatian pemerintah kedepan terkait masalah mencerdaskan kehidupan bangsa ini.
Tidak
Memahami Masalah
Dalam
dialog yang diadakan oleh Kabinet KM ITB ini,
kedua Capres/Cawapres diwakili masing-masing satu orang tim sukses. Keduanya
berasal dari Komisi X DPR-RI biarpun berbeda partai. Keduanya sepakat bahwa pendidikan adalah untuk memperbaiki karakter
bangsa. Namun sayangnya, tidak
ada yang spesial dari gagasan yang dipaparkan keduanya. Sama-sama
klasik-non-revolutif. Diantara kebijakan pendidikan yang dijanjikan oleh
keduanya yaitu pendidikan gratis 12 tahun, mengevaluasi
kebijakan Ujian Nasional (Tim Prabowo-Hatta menjadikan UN bukan sebagai faktor kelulusan, Tim
Jokowi-JK menghapus UN sama sekali), dan meningkatkan kualitas pendidikan
(keduanya sangat generalis). Kebanyakan mereka
memaparkan terkait posisi pendidikan dalam konstitusi dan juga konsep definitif
pendidikan yang penulis rasa tidak perlu disampaikan. Capaian pendidikan dalam
5 tahun kepemimpinan tidak disinggung secara tuntas dan menyeluruh. Dari
sini terlihat bahwa kedua kandidat tidak memfokuskan pendidikan sebagai agenda
terpenting mereka. Tegasnya keduanya kurang memahami masalah pendidikan.
Memperbaiki
karakter bangsa lewat pendidikan seharusnya tidak perlu disinggung dalam program kerja
kedua capres. Hal ini dikarenakan karena memang dalam definisi pendidikan
mencakup itu. Tinggal sekarang bagaimana menganalisis kebobrokan pendidikan
kita. Kedua Capres tidak faham bahwa sejatinya bukan kurikulum yang harus
direvolusi namun guru. Guru merupakan faktor utama suksesnya pendidikan. Data
tes kompetensi guru pada 2012 silam menunjukkan bahwa rata-rata nasional nilai ujian kompetensi awal
guru-guru kita hanya 42.25 dari total nilai 100 (Depdikbud,
2012). Kita juga tidak kekurangan guru sehingga
tidak terlalu diperlukan untuk menambah jumlah guru dalam kapasitas yang besar. Ide merekrut sebanyak 800 ribu guru baru selama lima
tahun yang dilontarkan Prabowo-Hatta dalam visi-misinya patut dipertanyakan.
Data UNESCO seperti yang dihimpun oleh Suharti di Media Indonesia (9/6/2014) menunjukkan bahwa rasio guru murid kita
sejak kebijakan desentralisasi berlaku dari tahun 2000-2010 untuk SD (1:16),
SMP (1:13), dan SMA/SMK (1:11). Rasio guru-murid tersebut terlampaui mewah
dibandingkan negara-negara setara dengan Indonesia (menengah ke bawah) yaitu SD
(1:29), SMP (1:24), dan SMA (1:20). Biarpun
rasio guru-murid kita lebih dari cukup namun sayangnya tidak dibarengi dengan
kualitas pendidikan kita. Hal itu tercermin dari berbagai lembaga riset
internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS yang menempatkan Indonesia dalam
posisi buncit dalam penilaian di bidang science,
matematika, bahasa, dan tingkat membaca. Selain itu, jumlah guru yang besar
tersebut masih menumpuk di kota-kota terutama di pulau Jawa.
Hal
penting lain dalam pendidikan yang luput dari perhatian kedua capres selain masalah kualitas dan pemerataan guru yaitu
arus budaya yang
menggerus moral dan karakter bangsa. Bagaimana tidak, abad 21 menawarkan
derasnya arus informasi yang sukar dibendung. Budaya-budaya luar mudah sekali masuk tanpa
adanya filter. Disini benteng yang dibangun
pemerintah seakan jebol perlahan. Situs-situs porno dan tayangan televisi
amoral dan menyesatkan tetap eksis biarpun pemerintah mengklaim bahwa telah
dilakukan blokir dan sensor terhadap situs-situs dan tontonan yang merusak
tersebut. Di lain sisi, keadaan demikian tidak lantas disikapi pemerintah
dengan tepat dan sigap melalui revolusi di dunia pendidikan. Pendidikan formal
kita masihlah menggunakan metode kuno nan jadul seperti minimnya pemakaian gadget dan instrumen lain penunjang
pendidikan. Akibatnya siswa hanya mampu menggunakan gadget yang canggih tersebut untuk berjejaring sosial dan games, tidak lebih. Di sini terlihat
keluputan guru dalam mendidik para siswa di abad informasi ini. Student centered masihlah gamang
diterapkan oleh sekolah-sekolah yang masih berada di zona nyaman dengan teacher centered. Maklum saja keberanian
dan kreativitas kita kebanyakan masihlah rendah.
Persaingan di Depan Mata
Sungguh ironi di zaman yang mengunggulkan ketatnya
persaingan antar-bangsa dan antar-negara, visi pendidikan Capres/Cawapres
kedepan hanya berkutat pada pendidikan dasar. Itupun tidak dibarengi dengan
rasa "mendesak" untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan.
Kebijakan peningkatan kualitas guru melalui pengetatan seleksi calon guru,
mengadakan training guru
berkelanjutan, dan pemberhentian guru yang tidak sesuai standar, pembaharuan
sarana-prasarana pendidikan terutama pengadaan buku-buku berkualitas (bukan
buku pedoman belajar), dan perombakan isi kurikulum yang lebih menekankan pada
aspek yang sangat dibutuhkan di abad 21 seperti science dan teknologi tidak terdengar sama sekali. Praktis, keadaan
dunia pendidikan kita lima tahun ke depan tidak akan jauh berbeda dengan hari
ini. Pemerintah seolah menutup mata dengan keadaan dunia saat ini yang penuh
akan persaingan. Asian Economic Community
(AEC) pada 2015 nanti sebagai contoh yang paling dekat. Pemerintah sejauh ini
mengklaim bahwa kita telah siap menghadapi itu. Lantas persiapan apa yang telah
dilakukan ? Peningkatan kualitas SDM ?. Saya katakan tidak. Sebagai bukti,
lembaga-lembaga pendidikan yang berkontribusi besar terhadap penyumbangan
tenaga kerja terampil seperti Perguruan Tinggi (PT) tidak diberikan porsi lebih
dalam mengembangkan riset dan inovasi. Pemerintah memang melakukan kampanye
kewirausahaan secara kontinu tetapi abai pada riset dan inovasi, akibatnya
usaha-usaha yang dijalankan oleh para start-up
bisnis adalah bisnis skala Usaha Kecil Menengah (UKM), padahal kita sedang
membutuhkan perusahaan-perusahaan besar dengan teknologi modern mutakhir yang
mampu mengelola SDA sendiri.
Memang betul bahwa krisis 2008 yang dialami Eropa dan
Amerika tidak membuat ekonomi kita clash seperti
pada 1998 adalah salah satu sebabnya berkat jasa UKM. Namun seberapa lama
UKM-UKM ini menjadi nyawa bagi ekonomi kita ?. Perlu disadari, UKM-UKM kita
sejauh ini bukanlah usaha-usaha dengan mengandalkan pengkayaan riset dan
inovasi teknologi seperti yang ada di berbagai negara maju melainkan
usaha-usaha yang mengandalkan keuletan
dan tenaga fisik. Supply bahan baku yang
dipakai UKM-UKM tersebut berada pada monopoli perusahaan besar (kebanyakan
asing) yang sudah sustain. Oleh
karenanya yang dibutuhkan disini adalah perusahaan-perusahaan baru yang dapat
mengelola bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi yang
mempunyai nilai tambah. SDM-SDM yang mampu merealisasikan hal ini adalah para lulusan
PT yang unggul dimana telah dipersiapkan dengan paripurna oleh pemerintah lewat
peningkatan kualitas PT (diukur dengan jumlah riset berkualitas dan aplikatif
serta PT yang berdaya saing) juga pelaksanaan triple helix ABG (Academics –
Business- Government).
Pada akhirnya pendidikan dasar 12 tahun saja tidaklah
cukup. Lulusan SMA/SMK kita sejauh ini sebagian besar hanya menjadi
buruh/pekerja kasar. Padahal agar mampu mengelola SDA secara mandiri dibutuhkan
SDM-SDM berkualitas terutama para scientist
dan engineer dengan kualifikasi
internasional. Memang kita tidak bisa mengharapkan lebih dari para
Capres/Cawapres untuk periode lima tahun kedepan, namun masih ada harapan untuk
Capres/Cawapres beberapa tahun mendatang guna untuk merealisasikan Indonesia menjadi
7 raksasa ekonomi dunia pada 2030 seperti yang diramalkan Bank Dunia. Saat ini
daya saing kita rendah. Seperti yang ditulis Dedy Saputra dalam Media Indonesia (2/7/2014) bahwa
berdasarkan World Economic Forum (WEF) dalam laporannya tentang The
Global Competitiveness Report 2013-2014 menempatkan posisi Indonesia
pada posisi 38 dimana masih tertinggal dari Malaysia (24) dan Thailand (37).
Presiden kita kedepan perlu belajar dari Abdul Kalam di India, Mahathir Mohamad
di Malaysia, dan Bhumibol Adulyadej di Thailand. Presiden Abdul Kalam
menjadikan India disegani dunia dalam bidang persenjataan, ruang angkasa, dan IT
dengan open source yang mengurangi
ketergantungan dengan produk luar. Perdana Menteri Mahathir Mohamad berhasil
meletakkan dasar-dasar kebangkitan iptek di Malaysia melalui visi 2020-nya
dengan membangun konsep multimedia super
corridor (MSC). Raja Bhumibol Adulyadedj berhasil merevolusi pertanian
Thailand sehingga negara 'Gajah Putih' ini menjadi salah satu raksasa pertanian
dunia (Media Indonesia, 2/7/2014). 2030 sudah di depan mata, lantas siapa
presiden Indonesia yang visioner itu ?.
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB
0 komentar:
Post a Comment