Sunday, July 06, 2014

Pendidikan yang Tersisih

Sebuah opini terkait visi-misi pendidikan Capres/Cawapres 2014

Kamis (19/6/2014) siang, saya mengikuti dialog menggagas visi Capres-Cawapres dengan Tim Sukses masing-masing di Perpustakaan Pusat ITB.

Pendidikan merupakan ujung tombak suatu bangsa. Undang-undang mengamanatkan 20 % dari APBN untuk anggaran pendidikan. Praktis, pembahasan terkait pendidikan patut kita berikan porsi besar. Kita harus mencermati dengan seksama seberapa besar perhatian pemerintah kedepan terkait masalah mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

Tidak Memahami Masalah

Dalam dialog yang diadakan oleh Kabinet KM ITB ini, kedua Capres/Cawapres diwakili masing-masing satu orang tim sukses. Keduanya berasal dari Komisi X DPR-RI biarpun berbeda partai. Keduanya sepakat bahwa pendidikan adalah untuk memperbaiki karakter bangsa. Namun sayangnya, tidak ada yang spesial dari gagasan yang dipaparkan keduanya. Sama-sama klasik-non-revolutif. Diantara kebijakan pendidikan yang dijanjikan oleh keduanya yaitu pendidikan gratis 12 tahun, mengevaluasi kebijakan Ujian Nasional (Tim Prabowo-Hatta menjadikan UN bukan sebagai faktor kelulusan, Tim Jokowi-JK menghapus UN sama sekali), dan meningkatkan kualitas pendidikan (keduanya sangat generalis). Kebanyakan mereka memaparkan terkait posisi pendidikan dalam konstitusi dan juga konsep definitif pendidikan yang penulis rasa tidak perlu disampaikan. Capaian pendidikan dalam 5 tahun kepemimpinan tidak disinggung secara tuntas dan menyeluruh. Dari sini terlihat bahwa kedua kandidat tidak memfokuskan pendidikan sebagai agenda terpenting mereka. Tegasnya keduanya kurang memahami masalah pendidikan.

Memperbaiki karakter bangsa lewat pendidikan seharusnya tidak perlu disinggung dalam program kerja kedua capres. Hal ini dikarenakan karena memang dalam definisi pendidikan mencakup itu. Tinggal sekarang bagaimana menganalisis kebobrokan pendidikan kita. Kedua Capres tidak faham bahwa sejatinya bukan kurikulum yang harus direvolusi namun guru. Guru merupakan faktor utama suksesnya pendidikan. Data tes kompetensi guru pada 2012 silam menunjukkan bahwa rata-rata nasional nilai ujian kompetensi awal guru-guru kita hanya 42.25 dari total nilai 100 (Depdikbud, 2012). Kita juga tidak kekurangan guru sehingga tidak terlalu diperlukan untuk menambah jumlah guru dalam kapasitas yang besar. Ide merekrut sebanyak 800 ribu guru baru selama lima tahun yang dilontarkan Prabowo-Hatta dalam visi-misinya patut dipertanyakan. Data UNESCO seperti yang dihimpun oleh Suharti di Media Indonesia (9/6/2014) menunjukkan bahwa rasio guru murid kita sejak kebijakan desentralisasi berlaku dari tahun 2000-2010 untuk SD (1:16), SMP (1:13), dan SMA/SMK (1:11). Rasio guru-murid tersebut terlampaui mewah dibandingkan negara-negara setara dengan Indonesia (menengah ke bawah) yaitu SD (1:29), SMP (1:24), dan SMA (1:20). Biarpun rasio guru-murid kita lebih dari cukup namun sayangnya tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan kita. Hal itu tercermin dari berbagai lembaga riset internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS yang menempatkan Indonesia dalam posisi buncit dalam penilaian di bidang science, matematika, bahasa, dan tingkat membaca. Selain itu, jumlah guru yang besar tersebut masih menumpuk di kota-kota terutama di pulau Jawa.

Hal penting lain dalam pendidikan yang luput dari perhatian kedua capres selain masalah kualitas dan pemerataan guru yaitu arus budaya yang menggerus moral dan karakter bangsa. Bagaimana tidak, abad 21 menawarkan derasnya arus informasi yang sukar dibendung. Budaya-budaya luar mudah sekali masuk tanpa adanya filter. Disini benteng yang dibangun pemerintah seakan jebol perlahan. Situs-situs porno dan tayangan televisi amoral dan menyesatkan tetap eksis biarpun pemerintah mengklaim bahwa telah dilakukan blokir dan sensor terhadap situs-situs dan tontonan yang merusak tersebut. Di lain sisi, keadaan demikian tidak lantas disikapi pemerintah dengan tepat dan sigap melalui revolusi di dunia pendidikan. Pendidikan formal kita masihlah menggunakan metode kuno nan jadul seperti minimnya pemakaian gadget dan instrumen lain penunjang pendidikan. Akibatnya siswa hanya mampu menggunakan gadget yang canggih tersebut untuk berjejaring sosial dan games, tidak lebih. Di sini terlihat keluputan guru dalam mendidik para siswa di abad informasi ini. Student centered masihlah gamang diterapkan oleh sekolah-sekolah yang masih berada di zona nyaman dengan teacher centered. Maklum saja keberanian dan kreativitas kita kebanyakan masihlah rendah.

Persaingan di Depan Mata

Sungguh ironi di zaman yang mengunggulkan ketatnya persaingan antar-bangsa dan antar-negara, visi pendidikan Capres/Cawapres kedepan hanya berkutat pada pendidikan dasar. Itupun tidak dibarengi dengan rasa "mendesak" untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan. Kebijakan peningkatan kualitas guru melalui pengetatan seleksi calon guru, mengadakan training guru berkelanjutan, dan pemberhentian guru yang tidak sesuai standar, pembaharuan sarana-prasarana pendidikan terutama pengadaan buku-buku berkualitas (bukan buku pedoman belajar), dan perombakan isi kurikulum yang lebih menekankan pada aspek yang sangat dibutuhkan di abad 21 seperti science dan teknologi tidak terdengar sama sekali. Praktis, keadaan dunia pendidikan kita lima tahun ke depan tidak akan jauh berbeda dengan hari ini. Pemerintah seolah menutup mata dengan keadaan dunia saat ini yang penuh akan persaingan. Asian Economic Community (AEC) pada 2015 nanti sebagai contoh yang paling dekat. Pemerintah sejauh ini mengklaim bahwa kita telah siap menghadapi itu. Lantas persiapan apa yang telah dilakukan ? Peningkatan kualitas SDM ?. Saya katakan tidak. Sebagai bukti, lembaga-lembaga pendidikan yang berkontribusi besar terhadap penyumbangan tenaga kerja terampil seperti Perguruan Tinggi (PT) tidak diberikan porsi lebih dalam mengembangkan riset dan inovasi. Pemerintah memang melakukan kampanye kewirausahaan secara kontinu tetapi abai pada riset dan inovasi, akibatnya usaha-usaha yang dijalankan oleh para start-up bisnis adalah bisnis skala Usaha Kecil Menengah (UKM), padahal kita sedang membutuhkan perusahaan-perusahaan besar dengan teknologi modern mutakhir yang mampu mengelola SDA sendiri. 

Memang betul bahwa krisis 2008 yang dialami Eropa dan Amerika tidak membuat ekonomi kita clash seperti pada 1998 adalah salah satu sebabnya berkat jasa UKM. Namun seberapa lama UKM-UKM ini menjadi nyawa bagi ekonomi kita ?. Perlu disadari, UKM-UKM kita sejauh ini bukanlah usaha-usaha dengan mengandalkan pengkayaan riset dan inovasi teknologi seperti yang ada di berbagai negara maju melainkan usaha-usaha  yang mengandalkan keuletan dan tenaga fisik. Supply bahan baku yang dipakai UKM-UKM tersebut berada pada monopoli perusahaan besar (kebanyakan asing) yang sudah sustain. Oleh karenanya yang dibutuhkan disini adalah perusahaan-perusahaan baru yang dapat mengelola bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi yang mempunyai nilai tambah. SDM-SDM yang mampu merealisasikan hal ini adalah para lulusan PT yang unggul dimana telah dipersiapkan dengan paripurna oleh pemerintah lewat peningkatan kualitas PT (diukur dengan jumlah riset berkualitas dan aplikatif serta PT yang berdaya saing) juga pelaksanaan triple helix ABG (Academics – Business- Government).

Pada akhirnya pendidikan dasar 12 tahun saja tidaklah cukup. Lulusan SMA/SMK kita sejauh ini sebagian besar hanya menjadi buruh/pekerja kasar. Padahal agar mampu mengelola SDA secara mandiri dibutuhkan SDM-SDM berkualitas terutama para scientist dan engineer dengan kualifikasi internasional. Memang kita tidak bisa mengharapkan lebih dari para Capres/Cawapres untuk periode lima tahun kedepan, namun masih ada harapan untuk Capres/Cawapres beberapa tahun mendatang guna untuk merealisasikan Indonesia menjadi 7 raksasa ekonomi dunia pada 2030 seperti yang diramalkan Bank Dunia. Saat ini daya saing kita rendah. Seperti yang ditulis Dedy Saputra dalam Media Indonesia (2/7/2014) bahwa berdasarkan World Economic Forum (WEF) dalam laporannya tentang The Global Competitiveness Report 2013-2014  menempatkan posisi Indonesia pada posisi 38 dimana masih tertinggal dari Malaysia (24) dan Thailand (37). Presiden kita kedepan perlu belajar dari Abdul Kalam di India, Mahathir Mohamad di Malaysia, dan Bhumibol Adulyadej di Thailand. Presiden Abdul Kalam menjadikan India disegani dunia dalam bidang persenjataan, ruang angkasa, dan IT dengan open source yang mengurangi ketergantungan dengan produk luar. Perdana Menteri Mahathir Mohamad berhasil meletakkan dasar-dasar kebangkitan iptek di Malaysia melalui visi 2020-nya dengan membangun konsep multimedia super corridor (MSC). Raja Bhumibol Adulyadedj berhasil merevolusi pertanian Thailand sehingga negara 'Gajah Putih' ini menjadi salah satu raksasa pertanian dunia (Media Indonesia, 2/7/2014). 2030 sudah di depan mata, lantas siapa presiden Indonesia yang visioner itu ?.

Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB

0 komentar: