Tuesday, August 26, 2014

Momen Bersama Jokowi

Terpilihnya Joko Widodo alias Jokowi sebagai Presiden RI 2014/2019 adalah fenomenal. Pasalnya Jokowi bukanlah turunan nigrat, petinggi partai, atau juga seorang militer. Ia adalah rakyat biasa dengan berlatar pengusaha mebel yang dipercaya oleh masyarakat Solo sebagai walikotanya. Atas jasanya membangun Solo, nama Jokowi kian dikenal publik. Pada 2012, Ia terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan dua tahun berselang, Ia memenangkan Pemilihan Presiden 2014.

Saat nama Jokowi sesekali masuk media nasional atas perannya membangun Solo dan merakyat, saya yang penasaran dengan sosok unik ini tanpa berfikir panjang segera menuju Solo. Tujuan saya satu ; mewawancarai Jokowi. Saya ingin membuktikan bagaimana perkembangan kota Solo pasca dipimpin Jokowi. Kala itu malam natal 24 Desember 2011, dengan kereta ekonomi Kahuripan saya menuju Solo. Sendirian.

Pagi esok harinya, saya sampai di stasiun Balapan Solo lalu segera menuju kompleks balaikota. Ternyata tutup. Saya tidak sadar jika hari ini tanggal merah. Tanpa berfikir panjang, saya menuju rumah dinas Jokowi. Disini, saya mendapatkan info dari satpam bahwa Jokowi berada di luar kota dan baru ngantor lagi pada 27 Desember 2011.  Saya kecewa berat. Namun, bermodalkan jiwa bonek, saya kekeuh akan tetap wawancara Jokowi. Sebagai inputan pertanyaan wawancara, saya mengelilingi kota Solo dengan disertai wawancara dengan warga Solo secara langsung. Saya berkunjung ke pasar klithikan, pasar klewer, alon-alon, dan stadion manahan. Saya amati bagaimana arsitektur kota dan bagaimana pandangan masyarakat Solo terhadap Jokowi. Dua hari berkeliling Solo sangat melelahkan, namun saya cukup beruntung bisa menginap di rumah dan asrama teman saya.
 
Saya -Jokowi-Amri pasca wawancara di Balaikota Solo
Tiba saatnya hari H. 27 Desember 2011. Dengan percaya diri saya menuju Balaikota Solo dari asrama mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), tempat saya bermukim malam itu. Di perjalanan saya mengontak Amri (FTMD 2011) untuk memastikan dia mendampingi saya saat wawancara. Rencana pertemuan saya dengan Jokowi ini tanpa perjanjian sebelumnya. Saya bahkan datang kesana tanpa kartu pers ataupun surat keterangan dari kampus. Bahkan sebelumnya, sekretaris Jokowi menolak niat saya tersebut. Karena ditolak, segera saya cari cara lain. Saya mendekati seorang satpol PP yang sedang duduk santai di depan balaikota. Dia memberikan tips. Saat Jokowi datang, saya langsung salami beliau lalu mengutarakan rencana saya untuk mewawancarainya. Melihat kesungguhan saya, tanpa basa-basi Jokowi mengiyakan dan mempersilahkan saya dan Amri menunggu di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, saya dipanggil dan proses wawancara dengan Jokowi berlangsung.  Wawancara berlangsung lebih dari setengah jam. Pertanyaan wawancara lebih saya tekankan pada bagaimana Jokowi membangun Solo termasuk didalamnya pemindahan PKL tanpa anarkisme satpol PP. Wawancara berlangsung cukup lancar namun kurang dalam. Ini adalah pengalaman pertama saya wawancara sejak menjabat sebagai Ketua unit Majalah Ganesha ITB. Hasil wawancara ini dimuat di majalah GANESHA edisi Januari 2012, edisi pertama sejak 2003.

Pertemuan kedua saya dengan Jokowi berlangsung di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekitar Juni 2012. Kala itu saya iseng aja main di gedung KPK pasca wawancara dengan senior unit, Fadjroel Rachman, di kantornya. Berbekal kartu pers unit, saya diizinkan satpam memasuki gedung KPK. Kala itu puluhan media lalu lalang di gedung angker ini mulai dari stasiun TV, radio, sampai media cetak. Tak sengaja saat keluar gedung, saya menyaksikan Jokowi memasuki gedung. Jokowi saat itu akan diperiksa KPK perihal harta kekayaannya. Walikota Solo ini dicalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2012. Mulai saat itu, nama Jokowi tak pernah berhenti dari pemberitaan media. Pada Oktober 2012, Jokowi resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta didampingi oleh Ahok yang sebelumnya menjabat Anggota DPR RI dan Bupati Belitung Timur. Selama memerintah Ibukota, gerak-gerik Jokowi hampir selalu disorot publik. Istilah "blusukan" merasuki alam bawah sadar rakyat Indonesia.

Jokowi menjadi magnet bagi media. Tidak kaget banyak orang menjuluki Jokowi sebagai media darling. Tahun 2014 adalah tahun politik. Selain pemilu legislatif (Pileg), pemilu Presiden (Pilpres) juga akan digelar. Nama Jokowi cukup dapat menaikkan suara PDI Perjuangan sehingga menjadi Pemenang di Pileg April 2014. Beberapa minggu sebelum Pileg berlangsung, Jokowi dideklarasikan sebagai calon presiden dari partai banteng tersebut. Elektabilitas Jokowi saat itu jauh melampui kandidat lain seperti Prabowo Subianto. Menjelang Pileg, suhu politik semakin memanas. Jokowi diundang oleh pihak ITB untuk memberikan kuliah umum Studium Generale pada 17 April 2014. Pengundangan ini terlihat terburu-buru dan cenderung dipaksakan. Tema kuliah tidak diberikan. Saat penulis klarifikasi di kantor Lembaga Kemahasiswaan (LK), para officer di sana berdalih tidak tahu menahu akan hal ini. Hal ini sontak membuat saya dan sebagian mahasiswa lain menginisiasi sebuah gerakan pada H-2 acara. Gerakan kami bertemakan "Tolak Politisasi Kampus". Kami bukan menolak kedatangan Jokowi ke ITB, namun kami mempertanyakan kepada pihak pengundang (rektorat) tujuan pengundangan Jokowi itu apa. Gerakan berlangsung sistematis dengan melibatkan beberapa elemen mahasiswa. Saya pada hari H acara mendapatkan tugas sebagai dokumentator acara.

Tiba saatnya hari H. Aula Timur ITB penuh lautan manusia. Saya yang telat datang di acara sekitar setengah jam karena ujian, harus menerobos kerumunan manusia. Job saya di dalam aula. Berbekal identitas saya sebagai bagian dari majalah rektorat, ITB Magz, saya diperkenankan masuk ruangan oleh satpam. Suasana di sini tak kalah dengan yang di luar. Padat. Bahkan banyak sekali peserta kuliah yang terpaksa berdiri. Acara tak lama kemudian dimulai. Jokowi beberapa saat masuk ruangan lewat pintu belakang aula. Peserta kuliah bersorak. Saya bolak-balik mengelilingi ruangan berharap mendapat spot terbaik. Jokowi merasa kedatangannya di ITB menimbulkan polemik dari internal ITB (mahasiswa) sendiri. Gubernur DKI ini batal memberikan kuliah. Ia hanya memberikan statement beberapa menit di panggung acara dan langsung meninggalkan aula lewat pintu belakang. Saya berdesak-desakan dengan banyak wartawan lain meliput kejadian ini.

Pertemuan keempat saya dengan Jokowi berlangsung tepat seminggu lalu (19/8/2014) di hotel Four Seasons Kuningan Jakarta. Saat itu saya yang menjadi juara ketiga kompetisi essay nasional Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) 2014 diundang pihak panitia di acara 5th Annual SSSG Award 2014 di hotel tersebut. Acara berlangsung cukup meriah dan didominasi oleh pendukung Jokowi. Sebut saja ada Puan Maharani, Pramono Anung, Sidharto Danusubroto, Wimar Witoelar, Tri Rismaharini, Anies Baswedan, dan masih banyak lagi. Acara dibuka oleh Olga Lydia sekitar jam 19.30 WIB – telat satu setengah jam dari jadwal semula. Tak lama setelah dibukanya acara, Jokowi datang. Suasana ruangan menjadi sangat riuh. Media tak henti-hentinya meliput Jokowi. Begitu pula para undangan yang berebut berfoto selfie dengan Jokowi.

Saya dan para pemenang lomba essay SSSG 2014 berfoto dengan Jokowi
Acara kembali dilanjutkan. Jokowi telah duduk di bangku terdepan dengan host acara ini, Soegeng Sarjadi. Tak lama kemudian, saya dan pemenang essay lain dipanggil ke depan untuk menerima hadiah. Jokowi pun berfoto bersama kami lalu menyalami masing-masing dari kami. Setelah prosesi sakral tersebut, saya kembali duduk di barisan khusus para pemenang essay kemudian mendengarkan kuliah umum dari Jokowi. Presiden terpilih ini memberikan paparan terkait program kerja sekitar sejam. Program Indonesia Pintar, Indonesia Sehat, proyek drone, tol laut, dan berbagai program strategis lainnya diterangkan secara gamblang oleh Jokowi. Bagi saya program Jokowi tersebut –terutama masalah pendidikan – bukan suatu hal revolutif seperti yang didengungkannya selama kampanye, "Revolusi Mental". Namun biarpun demikian, Jokowi adalah presiden kita untuk lima tahun mendatang. Ide Jokowi untuk mengembalikan Indonesia sebagai pusat maritim dunia patut kita dukung dan juga kita evaluasi keberjalanannya.

Pelajaran dari Jokowi

Karier Jokowi dalam perpolitikan nasional bisa dikatakan "akselerasi". Hanya dalam tempo tiga tahun (2012-2014) tiga jabatan strategis politik - walikota, gubernur dan (kini) presiden – diperoleh Jokowi. Fenomena ini bisa dikatakan sejarah di republik ini. Karena bukan hal lumrah, maka tidak selayaknya kita bermimpi seperti Jokowi. Kita patut mencontoh Jokowi dari kesederhanaannya dan kedekatannya dengan masyarakat. Saya rasa dua poin tersebut paling utama yang menjadikan Jokowi menjadi orang nomor satu di Indonesia. Tertunya dibalik itu semua ada media yang selalu menyorot gerak-gerik Jokowi dan pihak-pihak yang secara sukarela maupun tidak mendukung langkah Jokowi. 

Bagi saya, Jokowi menumbuhkan semangat bagi diri saya. Orang biasa seperti saya juga memiliki kans yang sama untuk menjadi presiden. "Jokowi saja bisa, masak kamu tidak bisa?". Begitulah kiranya ungkapan penyemangatnya. Tinggal sekarang bagaimana kita mencapainya. Namun, perlu diingat bahwa menjadi presiden bukanlah tujuan, melainkan dampak dari kerja keras kita membangun bangsa. Bangsa ini butuh mereka yang ikhlas berjuang untuknya, bukan untuk kelompok, golongan, maupun pribadi masing-masing. Pada akhirnya, coretan ini akan saya tutup dengan satu pesan dari Bung karno, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuanganmu lebih berat karena melawan bangsamu sendiri". 

0 komentar: