Terpilihnya Joko Widodo alias
Jokowi sebagai Presiden RI 2014/2019 adalah fenomenal. Pasalnya Jokowi bukanlah
turunan nigrat, petinggi partai, atau juga seorang militer. Ia adalah rakyat
biasa dengan berlatar pengusaha mebel yang dipercaya oleh masyarakat Solo
sebagai walikotanya. Atas jasanya membangun Solo, nama Jokowi kian dikenal
publik. Pada 2012, Ia terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan dua tahun
berselang, Ia memenangkan Pemilihan Presiden 2014.
Saat nama Jokowi
sesekali masuk media nasional atas perannya membangun
Solo dan merakyat, saya yang penasaran dengan sosok unik ini tanpa berfikir
panjang segera menuju Solo. Tujuan saya satu ; mewawancarai Jokowi. Saya ingin
membuktikan bagaimana perkembangan kota Solo pasca dipimpin Jokowi. Kala itu
malam natal 24 Desember 2011, dengan kereta ekonomi Kahuripan saya menuju Solo.
Sendirian.
Pagi esok harinya, saya sampai di stasiun Balapan Solo lalu segera menuju
kompleks balaikota. Ternyata tutup. Saya tidak sadar jika hari ini tanggal
merah. Tanpa berfikir panjang, saya menuju rumah dinas Jokowi. Disini, saya
mendapatkan info dari satpam bahwa Jokowi berada di luar kota dan baru ngantor lagi pada 27 Desember 2011. Saya kecewa berat. Namun, bermodalkan jiwa
bonek, saya kekeuh akan tetap wawancara Jokowi. Sebagai inputan pertanyaan
wawancara, saya mengelilingi kota Solo dengan disertai wawancara dengan warga
Solo secara langsung. Saya berkunjung ke pasar klithikan, pasar klewer,
alon-alon, dan stadion manahan. Saya amati bagaimana arsitektur kota dan
bagaimana pandangan masyarakat Solo terhadap Jokowi. Dua hari berkeliling Solo
sangat melelahkan, namun saya cukup beruntung bisa menginap di rumah dan asrama
teman saya.
Tiba saatnya hari H. 27 Desember 2011. Dengan percaya diri saya menuju
Balaikota Solo dari asrama mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS),
tempat saya bermukim malam itu. Di perjalanan saya mengontak Amri (FTMD 2011)
untuk memastikan dia mendampingi saya saat wawancara. Rencana pertemuan saya dengan Jokowi ini tanpa perjanjian sebelumnya. Saya bahkan datang
kesana tanpa kartu pers ataupun surat keterangan dari kampus. Bahkan sebelumnya, sekretaris Jokowi menolak niat saya tersebut. Karena ditolak, segera saya cari cara
lain. Saya mendekati seorang satpol PP yang sedang duduk santai di depan
balaikota. Dia memberikan tips. Saat Jokowi datang, saya langsung
salami beliau lalu mengutarakan rencana saya untuk mewawancarainya. Melihat kesungguhan saya, tanpa basa-basi Jokowi mengiyakan dan mempersilahkan saya dan Amri menunggu di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, saya dipanggil dan proses wawancara dengan
Jokowi berlangsung. Wawancara berlangsung
lebih dari setengah jam. Pertanyaan wawancara lebih saya tekankan pada bagaimana Jokowi membangun
Solo termasuk didalamnya pemindahan PKL tanpa anarkisme satpol PP. Wawancara
berlangsung cukup lancar namun kurang dalam. Ini adalah pengalaman pertama saya wawancara sejak
menjabat sebagai Ketua unit Majalah Ganesha ITB. Hasil wawancara ini dimuat di
majalah GANESHA edisi Januari 2012, edisi pertama sejak 2003.
Pertemuan
kedua saya dengan Jokowi berlangsung di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sekitar Juni 2012. Kala itu saya iseng aja main di gedung KPK pasca wawancara dengan senior unit, Fadjroel Rachman, di kantornya.
Berbekal kartu pers unit, saya diizinkan satpam memasuki gedung KPK. Kala itu
puluhan media lalu lalang di gedung angker ini mulai dari stasiun TV, radio,
sampai media cetak. Tak sengaja saat keluar gedung, saya menyaksikan Jokowi
memasuki gedung. Jokowi saat itu akan diperiksa KPK perihal
harta kekayaannya. Walikota Solo ini dicalonkan sebagai
Gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2012. Mulai saat
itu, nama Jokowi tak pernah berhenti dari pemberitaan media. Pada
Oktober 2012, Jokowi resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta didampingi oleh Ahok
yang sebelumnya menjabat Anggota DPR RI
dan Bupati Belitung Timur. Selama memerintah Ibukota, gerak-gerik Jokowi hampir selalu
disorot publik. Istilah "blusukan" merasuki alam bawah sadar rakyat Indonesia.
Jokowi menjadi magnet bagi media. Tidak kaget banyak orang
menjuluki Jokowi sebagai media darling.
Tahun 2014 adalah tahun politik. Selain pemilu legislatif (Pileg), pemilu Presiden
(Pilpres) juga akan digelar. Nama Jokowi cukup dapat menaikkan suara PDI
Perjuangan sehingga menjadi Pemenang di Pileg April 2014. Beberapa minggu
sebelum Pileg berlangsung, Jokowi dideklarasikan sebagai calon presiden dari
partai banteng tersebut. Elektabilitas Jokowi saat itu jauh melampui kandidat
lain seperti Prabowo Subianto. Menjelang Pileg, suhu politik semakin memanas.
Jokowi diundang oleh pihak ITB untuk memberikan kuliah umum Studium Generale pada 17 April 2014. Pengundangan ini terlihat
terburu-buru dan cenderung dipaksakan. Tema kuliah tidak diberikan. Saat
penulis klarifikasi di kantor Lembaga Kemahasiswaan (LK), para officer di sana berdalih tidak tahu
menahu akan hal ini. Hal ini sontak membuat saya dan sebagian mahasiswa lain
menginisiasi sebuah gerakan pada H-2 acara. Gerakan kami bertemakan "Tolak
Politisasi Kampus". Kami bukan menolak kedatangan Jokowi ke ITB, namun
kami mempertanyakan kepada pihak pengundang (rektorat) tujuan pengundangan
Jokowi itu apa. Gerakan berlangsung sistematis dengan melibatkan beberapa
elemen mahasiswa. Saya pada hari H acara mendapatkan tugas sebagai dokumentator
acara.
Tiba saatnya hari H. Aula Timur ITB penuh lautan manusia.
Saya yang telat datang di acara sekitar setengah jam karena ujian, harus
menerobos kerumunan manusia. Job saya di dalam aula. Berbekal identitas saya
sebagai bagian dari majalah rektorat, ITB Magz, saya diperkenankan masuk
ruangan oleh satpam. Suasana di sini tak kalah dengan yang di luar. Padat.
Bahkan banyak sekali peserta kuliah yang terpaksa berdiri. Acara tak lama
kemudian dimulai. Jokowi beberapa saat masuk ruangan lewat pintu belakang aula.
Peserta kuliah bersorak. Saya bolak-balik mengelilingi ruangan berharap mendapat spot terbaik. Jokowi merasa kedatangannya di ITB menimbulkan polemik dari internal ITB
(mahasiswa) sendiri. Gubernur DKI ini batal memberikan kuliah. Ia hanya
memberikan statement beberapa menit
di panggung acara dan langsung meninggalkan aula lewat pintu belakang. Saya
berdesak-desakan dengan banyak wartawan lain meliput kejadian ini.
Pertemuan keempat saya dengan Jokowi berlangsung tepat
seminggu lalu (19/8/2014) di hotel Four Seasons Kuningan Jakarta. Saat itu saya
yang menjadi juara ketiga kompetisi essay nasional Soegeng Sarjadi School of
Government (SSSG) 2014 diundang pihak panitia di acara 5th Annual SSSG Award
2014 di hotel tersebut. Acara berlangsung cukup meriah dan didominasi oleh
pendukung Jokowi. Sebut saja ada Puan Maharani, Pramono Anung, Sidharto
Danusubroto, Wimar Witoelar, Tri Rismaharini, Anies Baswedan, dan masih banyak
lagi. Acara dibuka oleh Olga Lydia sekitar jam 19.30 WIB – telat satu setengah
jam dari jadwal semula. Tak lama setelah dibukanya acara, Jokowi datang. Suasana
ruangan menjadi sangat riuh. Media tak henti-hentinya meliput Jokowi. Begitu
pula para undangan yang berebut berfoto selfie
dengan Jokowi.
Saya dan para pemenang lomba essay SSSG 2014 berfoto dengan Jokowi |
Pelajaran dari Jokowi
Karier Jokowi dalam perpolitikan nasional bisa dikatakan
"akselerasi". Hanya dalam tempo tiga tahun (2012-2014) tiga jabatan
strategis politik - walikota, gubernur dan (kini) presiden – diperoleh Jokowi.
Fenomena ini bisa dikatakan sejarah di republik ini. Karena bukan hal lumrah,
maka tidak selayaknya kita bermimpi seperti Jokowi. Kita patut mencontoh Jokowi
dari kesederhanaannya dan kedekatannya dengan masyarakat. Saya rasa dua
poin tersebut paling utama yang menjadikan Jokowi menjadi orang nomor satu di
Indonesia. Tertunya dibalik itu semua ada media yang selalu menyorot
gerak-gerik Jokowi dan pihak-pihak yang secara sukarela maupun tidak mendukung
langkah Jokowi.
Bagi saya, Jokowi menumbuhkan semangat bagi diri saya.
Orang biasa seperti saya juga memiliki kans yang sama untuk menjadi presiden.
"Jokowi saja bisa, masak kamu tidak
bisa?". Begitulah kiranya ungkapan penyemangatnya. Tinggal sekarang
bagaimana kita mencapainya. Namun, perlu diingat bahwa menjadi presiden
bukanlah tujuan, melainkan dampak dari kerja keras kita membangun bangsa. Bangsa
ini butuh mereka yang ikhlas berjuang untuknya, bukan untuk kelompok, golongan,
maupun pribadi masing-masing. Pada akhirnya, coretan ini akan saya tutup dengan
satu pesan dari Bung karno, "Perjuanganku
lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuanganmu lebih berat karena
melawan bangsamu sendiri".
0 komentar:
Post a Comment