Terpilihnya
Jokowi-JK dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 membawa angin segar dalam
dunia pendidikan. Pasalnya Ujian Nasional yang menurut banyak pakar pendidikan
mengebiri hakekat pendidikan akan dihapuskan.
Surat terbuka
Nurmillaty Abadiah, siswa SMA Khadijah Surabaya, kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh beberapa hari pasca berlangsungnya Ujian Nasional
(UN) SMA tahun ini membuat tensi penolakan UN sebagai parameter kelulusan
semakin meninggi. Melalui surat tersebut, Nurmillaty menantang M. Nuh jika sanggup
mengerjakan dengan benar 50 persen soal saja, bocah SMA ini akan mengakui M.Nuh
layak sebagai seorang menteri. Di samping itu, dalam surat terbuka itu tertulis
berbagai alasan penolakan UN sebagai instrumen utama kelulusan siswa. Hadirnya
surat terbuka dari seorang bocah SMA tersebut merupakan tamparan keras bagi
pemerintah selaku pemangku kebijakan dan menguatkan perspektif publik bahwa
kebijakan UN selayaknya dihentikan.
Alasan Penolakan
Setiap tahun pemerintah
memperbaiki kualitas keberjalanan UN, tetapi penolakan oleh publik tidak pernah
padam. Belum lama ini, banyak pakar pendidikan, guru besar, dan tokoh
masyarakat membuat petisi di change.org
guna menolak UN sebagai indikator kelulusan siswa. Sampai saat ini, setidaknya terdapat 18.527 tanda
tangan di petisi tersebut. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui
amar putusannya pada 21 Mei
2007 sebenarnya sudah jelas memutuskan bahwa pemerintah lalai dalam memberikan
pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi
korban UN. Namun, pemerintah tetap saja kukuh menerapkan
kebijakaan ini.
Alasan banyak pihak
menolak UN bukan karena pelaksanaannya yang dirasa kurang namun esensi dari
dilaksanakannya kebijakan UN ini yang dirasa melumpuhkan kualitas pendidikan. Sejak pertama
kali kebijakan UN dilakukan sampai saat ini, kualitas pendidikan kita tetap berada
pada status quo. Tidak meningkat secara signifikan. Berikut adalah beberapa
alasan yang mendasari penolakan terhadap sistem UN saat ini.
Pertama,
pola soal di UN merupakan low order
thinking atau berfikir tingkat rendah. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan perkembangan abad 21 yang menonjolkan problem solving dimana menuntut kreativitas para siswa. Suasana
pengajaran di kelas pun harus berprinsip selalu baru, menantang dan aman (Iwan
Pranoto, Kompas, 31/7/2014). Lembaga
survei pendidikan internasional seperti Programme
for International Student Assessment (PISA), The Learning Curve, dan Trends
in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) yang fokus pada
pemahaman di bidang matematika, science,
dan bahasa menunjukkan bahwa secara umum nilai siswa kita rendah. Sebagai
contoh untuk tes PISA terakhir untuk mata pelajaran matematika, 50 persen siswa
kita hanya mencapai level 1 (terendah), 25 persen berikutnya mencapai level 2,
dan tidak satu pun yang mencapai level 5 dan 6 (tertinggi).
Kedua,
UN
merupakan faktor utama kelulusan siswa. Sampai pada tahun ajaran 2013/2014, UN
masih berperan besar menentukan kelulusan siswa dengan 60 persen. Sisanya
ditentukan oleh Ujian Sekolah (US). Dominasi ini yang membuat sekolah lebih
memprioritaskan UN dibandingkan US. Apalagi UN memiliki fungsi lain disamping
kelulusan yakni sebagai bahan pertimbangan
masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya termasuk di dalamnya Perguruan
Tinggi Negeri. Multifungsi hasil UN inilah yang menggerogoti otentisitas proses
belajar serta memiliki dampak psikologis, pedagogis, ataupun kultural (Doni
Koesoma A, Kompas, 22/10/2013). Akibatnya
kejahatan sistemik seperti kecurangan kerap terjadi saat penyelenggaraan UN. Sebagai
contoh di Kabupaten Lamongan pada UN tahun ini 70 kepala sekolah dan guru
terindikasi berkomplot mencuri soal UN.
Ketiga,
UN menstardardisasi kemampuan siswa. Manusia berbeda dengan produk pabrik yang
dapat distandardisasi outputnya sesuai dengan rencana awal (logika pabrik).
Manusia memiliki kreativitas yang harus terus dilatih. Praktis, UN membendung
kreativitas karena siswa di-drill
agar mampu menjawab berbagai macam variasi soal biarpun ia sejatinya tidak
faham. Hal ini ditambah dengan pemaksaan sepihak pemerintah agar
sekolah-sekolah menjalankan kurikulum 2013. Melalui penerapan kurikulum baru
ini, sekolah tidak lagi boleh menyusun kurikulumnya sendiri. Bahkan guru diminta untuk
menjalankan lesson plan dari tim
pusat, buku ajar dan materi lain juga dipasok dari pusat. Implikasinya, materi
ajar dan proses pengajaran untuk kota megapolitan Jakarta sampai desa pelosok
terpencil diharapkan sama. Guru pada akhirnya sekedar sebagai penyampai
informasi yang minim akan kreativitas mengajar. Akibatnya, sekolah tak ubahnya
rumah ibadah dan guru sebagai pengkhotbah dengan segala hal yang terucap dari
mulutnya sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah oleh siswa.
Fungsi Pemetaan
Mendikbud, M. Nuh,
dalam tulisannya di Kompas
(23/10/2013) berujar bahwa pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP
No.32/2013 tentang standar nasional pendidikan, menjadi satu kesatuan baik
pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu. Terkait
hal ini barangkali pertimbangan pemerintah efisiensi yakni borongan ; satu UN
multi-tujuan. Akibatnya selain berdampak buruk, tak satupun tujuan tercapai.
Hasil UN tidak menunjukkan realita sebenarnya dari kondisi pendidikan kita (M.
Abduhzen, Kompas, 3/10/2013).
Ujian Nasional ibarat
termometer rusak atau dalam istilah Kreshna Aditya ibarat kuda mati (Media Indonesia, 15/10/2012). Pasalnya
sejak UN dipakai sebagai ujian kelulusan siswa secara nasional, tidak ada
perubahan signifikan kualitas pendidikan kita seperti yang ditunjukkan
penilaian internasional di atas. Penghentian UN sebagai parameter kelulusan
siswa sudah menjadi keniscayaan saat ini. Fungsi UN cukup sebagai pemetaan mutu
program dan atau satuan pendidikan yang penyelenggaraannya bisa empat atau lima
tahun sekali. Selanjutnya pertimbangan kelulusan siswa sepenuhnya diberikan
kepada guru sebagaimana tertuang dalam pasal 58 UU No.20/2003 dan UU No.14
tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pemaksaan UN sebagai faktor utama kelulusan
siswa cerminkan ketidakpercayaan akut terhadap kapasitas profesional guru
sebagai ujung tombak pendidikan (Anindito Aditomo, Media Indonesia, 19/5/2014). Selain guru diberikan hak
profesionalnya, pemerintah juga melakukan pemeraatan distibusi guru dan juga
meningkatkan kapasitas guru dimana sejauh ini masih menjadi kendala serius di
republik ini.
Data BPSDMP-PMP Kemdikbud (2011)
menunjukkan persebaran guru masih sentralistik. Di perkotaan guru berkelebihan
hingga 52 persen, di pedesaan juga kelebihan sampai 68 persen. Namun, di
wilayah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) kekurangan guru hingga 66 persen.
Hal ini dipertegas studi World Bank Indonesia (2011) bahwa kita kelebihan
jumlah guru. Selain masalah pemerataan, masalah kualitas guru patut mendapat
perhatian serius bagi pemerintahan Jokowi-JK kedepan. Hasil Uji Kompetensi Guru
(UKG) yang diselenggarakan oleh Kemdikbud seperti yang dihimpun Amich Alhumami
dalam Media Indonesia (8/7/2013)
menunjukkan bahwa gabungan kompetensi profesional dan pedagogi guru-guru yang
diuji (sekitar 878 ribu orang) rata-rata hanya 45,85 persen. Sangat jauh di
bawah kemampuan ideal menurut standar guru profesional.
Setidaknya ada dua cara untuk
meningkatkan kapasitas mutu guru seperti yang ditulis Amich Alhumami dalam Media Indonesia (8/7/2013). Pertama, program continous professional development yakni berupa pelatihan sistemik
kepada guru-guru di Indonesia. Program ini perlu dilakukan untuk mengatasi
kegamangan guru dalam meramu metode pengajaran yang tepat bagi murid. Juga
sebagai jawaban atas kebijakan sertifikasi guru yang dinilai gagal oleh Bank
Dunia. Kedua, memulai dari hulu yakni
pre-service education yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Lembaga ini
menseleksi ketat serta mendoktin bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian kepada
calon guru. Di samping kedua hal ini, rekruitmen Pegawai Negeri Sipil (PNS)
berdasarkan akademik merit dan kesadaran guru untuk selalu belajar menjadi hal
yang penting pula.
Restorasi Arah Pendidikan
Terpilihnya Jokowi-JK dalam pilpres
tahun ini memunculkan harapan bagi perbaikan pendidikan secara fundamental.
Dalam visi-misinya, Jokowi-JK memaparkan bahwa pendidikan sebagai ujung tombak
pembentukan karakter bangsa melalui sepuluh program prioritas. Poin ketiga
berbunyi ; Kami tidak akan memberlakukan
lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional – termasuk di dalamnya
Ujian Nasional. Ini menegaskan bahwa Jokowi-JK serius mengakhiri polemik UN
dengan tidak menjadikannya sebagai faktor penentu kelulusan siswa.
Kebijakan penghapusan UN Jokowi-JK patut
diapresiasi. Publik mengharapkan langkah ini bukan sekedar retoris dan
jargonistik, namun benar-benar diaplikasikan kedepan. Langkah ini juga harus diikuti
dengan restorasi pendidikan secara menyeluruh. Setidaknya berikut ini menjadi
masukan Jokowi-JK terkait agenda pendidikan kedepan seperti yang ditulis M.
Abduhzen di Kompas (1/8/2014). Pertama, kebijakan pendidikan
berdasarkan strategi pembangunan budaya. Kedua,
pola pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan strategi pembangunan ekonomi. Ketiga, mengangkat Mendikbud yang
kredibel dan faham masalah pendidikan. Keempat,
meningkatkan akses dan kualitas pendidikan. Keempat agenda ini dibarengi dengan
paradigma berfikir sebagai bangsa maritim, bangsa pejuang, bangsa Indonesia.
Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB
*essay terbaik ketiga di kompetisi essay nasional Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) 2014
0 komentar:
Post a Comment