Wednesday, August 20, 2014

Restorasi Pendidikan Melalui Penghapusan Ujian Nasional*

Terpilihnya Jokowi-JK dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 membawa angin segar dalam dunia pendidikan. Pasalnya Ujian Nasional yang menurut banyak pakar pendidikan mengebiri hakekat pendidikan akan dihapuskan.

Surat terbuka Nurmillaty Abadiah, siswa SMA Khadijah Surabaya, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh beberapa hari pasca berlangsungnya Ujian Nasional (UN) SMA tahun ini membuat tensi penolakan UN sebagai parameter kelulusan semakin meninggi. Melalui surat tersebut, Nurmillaty menantang M. Nuh jika sanggup mengerjakan dengan benar 50 persen soal saja, bocah SMA ini akan mengakui M.Nuh layak sebagai seorang menteri. Di samping itu, dalam surat terbuka itu tertulis berbagai alasan penolakan UN sebagai instrumen utama kelulusan siswa. Hadirnya surat terbuka dari seorang bocah SMA tersebut merupakan tamparan keras bagi pemerintah selaku pemangku kebijakan dan menguatkan perspektif publik bahwa kebijakan UN selayaknya dihentikan.

Alasan Penolakan

Setiap tahun pemerintah memperbaiki kualitas keberjalanan UN, tetapi penolakan oleh publik tidak pernah padam. Belum lama ini, banyak pakar pendidikan, guru besar, dan tokoh masyarakat membuat petisi di change.org guna menolak UN sebagai indikator kelulusan siswa. Sampai saat ini, setidaknya terdapat 18.527 tanda tangan di petisi tersebut. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui amar putusannya pada 21 Mei 2007 sebenarnya sudah jelas memutuskan bahwa pemerintah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN. Namun, pemerintah tetap saja kukuh menerapkan kebijakaan ini.
 
Suasana Ujian Nasional (doc. google.com)
Alasan banyak pihak menolak UN bukan karena pelaksanaannya yang dirasa kurang namun esensi dari dilaksanakannya kebijakan UN ini yang dirasa melumpuhkan kualitas pendidikan. Sejak pertama kali kebijakan UN dilakukan sampai saat ini, kualitas pendidikan kita tetap berada pada status quo. Tidak meningkat secara signifikan. Berikut adalah beberapa alasan yang mendasari penolakan terhadap sistem UN saat ini.

Pertama, pola soal di UN merupakan low order thinking atau berfikir tingkat rendah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan perkembangan abad 21 yang menonjolkan problem solving dimana menuntut kreativitas para siswa. Suasana pengajaran di kelas pun harus berprinsip selalu baru, menantang dan aman (Iwan Pranoto, Kompas, 31/7/2014). Lembaga survei pendidikan internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA), The Learning Curve, dan Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) yang fokus pada pemahaman di bidang matematika, science, dan bahasa menunjukkan bahwa secara umum nilai siswa kita rendah. Sebagai contoh untuk tes PISA terakhir untuk mata pelajaran matematika, 50 persen siswa kita hanya mencapai level 1 (terendah), 25 persen berikutnya mencapai level 2, dan tidak satu pun yang mencapai level 5 dan 6 (tertinggi).

Kedua, UN merupakan faktor utama kelulusan siswa. Sampai pada tahun ajaran 2013/2014, UN masih berperan besar menentukan kelulusan siswa dengan 60 persen. Sisanya ditentukan oleh Ujian Sekolah (US). Dominasi ini yang membuat sekolah lebih memprioritaskan UN dibandingkan US. Apalagi UN memiliki fungsi lain disamping kelulusan yakni sebagai bahan pertimbangan  masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya termasuk di dalamnya Perguruan Tinggi Negeri. Multifungsi hasil UN inilah yang menggerogoti otentisitas proses belajar serta memiliki dampak psikologis, pedagogis, ataupun kultural (Doni Koesoma A, Kompas, 22/10/2013). Akibatnya kejahatan sistemik seperti kecurangan kerap terjadi saat penyelenggaraan UN. Sebagai contoh di Kabupaten Lamongan pada UN tahun ini 70 kepala sekolah dan guru terindikasi berkomplot mencuri soal UN.

Ketiga, UN menstardardisasi kemampuan siswa. Manusia berbeda dengan produk pabrik yang dapat distandardisasi outputnya sesuai dengan rencana awal (logika pabrik). Manusia memiliki kreativitas yang harus terus dilatih. Praktis, UN membendung kreativitas karena siswa di-drill agar mampu menjawab berbagai macam variasi soal biarpun ia sejatinya tidak faham. Hal ini ditambah dengan pemaksaan sepihak pemerintah agar sekolah-sekolah menjalankan kurikulum 2013. Melalui penerapan kurikulum baru ini, sekolah tidak lagi boleh menyusun kurikulumnya  sendiri. Bahkan guru diminta untuk menjalankan lesson plan dari tim pusat, buku ajar dan materi lain juga dipasok dari pusat. Implikasinya, materi ajar dan proses pengajaran untuk kota megapolitan Jakarta sampai desa pelosok terpencil diharapkan sama. Guru pada akhirnya sekedar sebagai penyampai informasi yang minim akan kreativitas mengajar. Akibatnya, sekolah tak ubahnya rumah ibadah dan guru sebagai pengkhotbah dengan segala hal yang terucap dari mulutnya sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah oleh siswa.

Fungsi Pemetaan

Mendikbud, M. Nuh, dalam tulisannya di Kompas (23/10/2013) berujar bahwa pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP No.32/2013 tentang standar nasional pendidikan, menjadi satu kesatuan baik pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu. Terkait hal ini barangkali pertimbangan pemerintah efisiensi yakni borongan ; satu UN multi-tujuan. Akibatnya selain berdampak buruk, tak satupun tujuan tercapai. Hasil UN tidak menunjukkan realita sebenarnya dari kondisi pendidikan kita (M. Abduhzen, Kompas, 3/10/2013).

Ujian Nasional ibarat termometer rusak atau dalam istilah Kreshna Aditya ibarat kuda mati (Media Indonesia, 15/10/2012). Pasalnya sejak UN dipakai sebagai ujian kelulusan siswa secara nasional, tidak ada perubahan signifikan kualitas pendidikan kita seperti yang ditunjukkan penilaian internasional di atas. Penghentian UN sebagai parameter kelulusan siswa sudah menjadi keniscayaan saat ini. Fungsi UN cukup sebagai pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan yang penyelenggaraannya bisa empat atau lima tahun sekali. Selanjutnya pertimbangan kelulusan siswa sepenuhnya diberikan kepada guru sebagaimana tertuang dalam pasal 58 UU No.20/2003 dan UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pemaksaan UN sebagai faktor utama kelulusan siswa cerminkan ketidakpercayaan akut terhadap kapasitas profesional guru sebagai ujung tombak pendidikan (Anindito Aditomo, Media Indonesia, 19/5/2014). Selain guru diberikan hak profesionalnya, pemerintah juga melakukan pemeraatan distibusi guru dan juga meningkatkan kapasitas guru dimana sejauh ini masih menjadi kendala serius di republik ini.

Data BPSDMP-PMP Kemdikbud (2011) menunjukkan persebaran guru masih sentralistik. Di perkotaan guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan juga kelebihan sampai 68 persen. Namun, di wilayah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) kekurangan guru hingga 66 persen. Hal ini dipertegas studi World Bank Indonesia (2011) bahwa kita kelebihan jumlah guru. Selain masalah pemerataan, masalah kualitas guru patut mendapat perhatian serius bagi pemerintahan Jokowi-JK kedepan. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diselenggarakan oleh Kemdikbud seperti yang dihimpun Amich Alhumami dalam Media Indonesia (8/7/2013) menunjukkan bahwa gabungan kompetensi profesional dan pedagogi guru-guru yang diuji (sekitar 878 ribu orang) rata-rata hanya 45,85 persen. Sangat jauh di bawah kemampuan ideal menurut standar guru profesional.

Setidaknya ada dua cara untuk meningkatkan kapasitas mutu guru seperti yang ditulis Amich Alhumami dalam Media Indonesia (8/7/2013). Pertama, program continous professional development yakni berupa pelatihan sistemik kepada guru-guru di Indonesia. Program ini perlu dilakukan untuk mengatasi kegamangan guru dalam meramu metode pengajaran yang tepat bagi murid. Juga sebagai jawaban atas kebijakan sertifikasi guru yang dinilai gagal oleh Bank Dunia. Kedua, memulai dari hulu yakni pre-service education yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Lembaga ini menseleksi ketat serta mendoktin bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian kepada calon guru. Di samping kedua hal ini, rekruitmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) berdasarkan akademik merit dan kesadaran guru untuk selalu belajar menjadi hal yang penting pula.

Restorasi Arah Pendidikan

Terpilihnya Jokowi-JK dalam pilpres tahun ini memunculkan harapan bagi perbaikan pendidikan secara fundamental. Dalam visi-misinya, Jokowi-JK memaparkan bahwa pendidikan sebagai ujung tombak pembentukan karakter bangsa melalui sepuluh program prioritas. Poin ketiga berbunyi ; Kami tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional – termasuk di dalamnya Ujian Nasional. Ini menegaskan bahwa Jokowi-JK serius mengakhiri polemik UN dengan tidak menjadikannya sebagai faktor penentu kelulusan siswa.

Kebijakan penghapusan UN Jokowi-JK patut diapresiasi. Publik mengharapkan langkah ini bukan sekedar retoris dan jargonistik, namun benar-benar diaplikasikan kedepan. Langkah ini juga harus diikuti dengan restorasi pendidikan secara menyeluruh. Setidaknya berikut ini menjadi masukan Jokowi-JK terkait agenda pendidikan kedepan seperti yang ditulis M. Abduhzen di Kompas (1/8/2014). Pertama, kebijakan pendidikan berdasarkan strategi pembangunan budaya. Kedua, pola pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan strategi pembangunan ekonomi. Ketiga, mengangkat Mendikbud yang kredibel dan faham masalah pendidikan. Keempat, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan. Keempat agenda ini dibarengi dengan paradigma berfikir sebagai bangsa maritim, bangsa pejuang, bangsa Indonesia.

Uruqul Nadhif Dzakiy
Mahasiswa Matematika ITB

*essay terbaik ketiga di kompetisi essay nasional Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) 2014

0 komentar: