Sebuah refleksi pasca lima tahun belajar di kampus ITB
Pada 18
Oktober 2014 nanti , jika tidak ada halang merintang saya akan disumpah sebagai
alumni Institut Teknologi Bandung.
Saya berkesempatan mengenyam pendidikan di Institut Teknologi
Bandung (ITB) sejak 2009 silam. Ketika itu, saya diterima di Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Jalur tersebut merupakan jalur masuk
PTN terakhir, setelah saya gagal lolos di tiga ujian mandiri ; SIMAK UI, UM UGM,
dan USM Terpusat ITB. Pada tahun kedua, saya dijuruskan di Program Studi
Sarjana Matematika, jurusan paling kompetitif saat itu.
Saya orang ketiga dari sekolah saya yang masuk ITB. Karena hal
inilah saya relatif buta dengan kondisi ITB. Di tahun pertama saya relatif
gamang dan cenderung gugup ketika berinteraksi dengan teman-teman lain yang
sebagian besar berasal dari SMA favorit dari seluruh penjuru nusantara. Namun
di tahun-tahun setelahnya saya cukup familier dengan kondisi kampus setelah
terlibat akitif di berbagai organisasi. Saya mencoba memaksimalkan peran saya
sebagai mahasiswa. Banyak pengalaman baru saya coba, mulai dari aktif di unit
media dan kajian, mengikuti berbagai konferensi, berinteraksi dengan nama
besar, berpolitik sampai dengan pengalaman cinta. Namun pengalaman berharga
tersebut memang harus dibayar mahal dengan tidak fokusnya saya dalam
menyelesaikan studi di Matematika. Sejak semester tiga sampai semester
sembilan, minimal satu mata kuliah berbobot 4 SKS tidak lulus. Saya juga
mencetak rekor di Matematika dengan menjalani seminar Tugas Akhir I & II
masing-masing diulangi sebanyak dua kali.
Pengalaman Organisasi
Berlatar belakang alumni pondok pesantren, awal mula di ITB saya
terlibat aktif di Majelis Taklim Salman (Mata') ITB. Saya menjadi salah satu
anggota muda yang rutin hadiri halaqah
dan pengajian pekanan di kompleks Salman. Memang selain Mata', saya tercatat
juga sebagai anggota Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA), anggota Majalah
Ganesha ITB dan Staff dari Kementerian Pendidikan dan Kajian Keluarga Mahasiswa
ITB. Namun sayangnya ketiganya tidak terlalu aktif. Saking aktifnya, saya di
tahun kedua didaulat menjadi Koordinator Kesekretariatan Mata'. Seringkali saya
menginap di sekre dan juga berinteraksi dengan Badan Pengurus (BP) lain yang
didominasi angkatan 2008. Di akhir kepengurusan saya sebagai BP, saya ditawari
oleh MPOPS (setingkat Majelis Syoro di Gamais) untuk menjadi kandidat
Koordinator umum (Korum), tetapi saya menolak. Saya sadar diri bahwa saya belum
layak untuk menduduki posisi puncak tersebut. Dua tahun berselang, saya tak
lagi aktif di Mata' biarpun memang saya tercatat sebagai staff internal. Saya kembali
terlibat aktif di organisasi yang bukan merupakan barang baru bagi saya "Majalah
Ganesha- Kelompok Studi Ekonomi Politik (MG-KSSEP)". Di organisasi tersebut saya memang pernah tercatat
sebagai anggota, namun pernah juga kabur selama satu semester.
Tak lama kembali aktif di unit ini, saya diangkat sebagai ketua
unit. Saat itu, anggota unit dari 2009 hanyalah saya. Saat menjabat ketua, saya
berusaha adakan kajian rutin tiap jumat sore dengan mengundang pembicara dari berbagai
pihak seperti Kabinet KM ITB dan alumni unit. Saat itu juga saya mulai menjalin
hubungan harmonis dengan para politisi kampus. Majalah Ganesha pun semakin
dikenal publik kampus. Namun, karena kajian bukanlah spesialisasi saya, saya
mengandalkan senior untuk mengisi dan memandu kajian. Tiba saatnya pada
semester kedua periode saya, saya menjadikan unit MG benar-benar berbeda dari
sebelumnya. Majalah edisi Januari 2012 pun terbit setelah sembilan tahun vakum.
Biarpun tanpa latar belakang jurnalistik, saya nekad untuk memberikan sajian
terbaik pada edisi ini. Saya wawancara Jokowi pada 27 Desember 2011 di
Balaikota Solo. Selain itu headline
pada edisi kali ini adalah "SBY Turun !" dengan dibalut dengan cover
majalah yang cukup sensual. Banyak pihak yang memuji terbitnya majalah ini
namun juga banyak pula yang mencecar.
Pola majalah memang belum terbentuk, namun saya mencoba di setiap
edisi terdapat perubahan. Setelah edisi perdana ini berturut-turut dalam
rentang sekitar dua bulan sekali majalah terbit. Edisi Maret 2012 berjudul
"Tolak Kenaikan Harga BBM !", edisi Mei 2012 berjudul "Menarik
Benang Kusut Dunia Pendidikan ", dan edisi khusus OHU pada Agustus 2012
berjudul " ITB, masihkah Terbaik?".
Sejak April 2012, saya melakukan open
recruitment untuk menambah amunisi
redaksi. Dua puluhan mahasiswa
angkatan 2011 yang kala itu TPB mendaftar. Sejak awal 2012 sekitar Februari,
saya membuat website baru dengan
alamat majalahganesha.com. Aktivitas twitter dan facebook kembali digiatkan untuk mempromosikan karya-karya redaksi.
Pada masa inilah MG lebih nge-pop.
Unit ini seringkali diajak menjadi media partner berbagai kegiatan. Tak hanya
ITB, bahkan kampus lain pun meminta.
Saat memimpin unit, saya tercatat sebagai peserta asrama
kepemimpinan PPSDMS Nurul Fikri. Saya mulai aktif di asrama tersebut sejak
tingkat dua. Kegiatan di asrama ini sungguh sangat padat. Bahkan di tiga bulan
pertama, waktu tidur saya seharinya berkisar 3-5 jam. Begadang menjadi agenda
harian. Liburan pun harus dipangkas. Tercatat dalam memori saya selama di
asrama, biarpun liburan panjang, saya di rumah maksimal hanya dua minggu. Tidak
lebih. Namun di sisi lain, dari asrama inilah saya untuk pertama kali ke luar
negeri yakni mengunjungi Singapura dan Johor Malaysia pada bulan Puasa tahun
2011.
Selama di asrama, kesibukan menjadi hal yang sangat familier bagi
saya. Minimal sekali setiap semester, saya harus ke Lenteng Agung untuk Latihan
Gabungan dengan Regional dari UI dan IPB, dan setiap satu tahun sekali harus
mengikuti National Leadership Camp (NLC)
yang dihadiri oleh seluruh regional. Dari asrama lah saya mengenal banyak
aktivis kampus lain selain dari regional saya seperti UI, IPB, UGM, Unair, dan
ITS. Bahkan saat saya menjadi peserta, Ketua BEM ITB, UI, ITS, dan UGM dijabat
oleh anak PPSDMS. Ketika menjadi peserta, saya tergolong peserta yang jauh dari
keteladanan. Prestasi tidak ada, akademik amburadul. Konsekuensinya, di hampir
setiap evaluasi pada akhir semester, saya mendapat predikat lulus bersyarat. Bahkan
di evaluasi final, saya sangat yakin bahwa tidak akan menjadi alumni asrama. Namun
takdir berkata lain. Saya lulus evaluasi. Saya tidak tahu mengapa pengurus
pusat meluluskan saya.
Kesibukan di asrama memacu saya untuk menjadi pelopor di berbagai
tempat. Pada 2012, saya beranikan diri menginiasi berdirinya Forum Mahasiswa
Lamongan (Formala) biarpun kemudian vakum dan menjadi ketua Keluarga Mahasiswa
Muslim Matematika (KM3) biarpun cuma sebulan. Saat menjadi ketua KM3, saya
sedang menjabat juga sebagai ketua unit. Namun, saya mencoba menikmati itu
semua biarpun sungguh sangat berat. Berkumpul dengan teman-teman asrama yang
kebanyakan aktivis kampus menjadi semacam motivasi untuk menjadi orang yang
tahan banting. "Menjadikan Indonesia Lebih Baik dan Bermartabat"
adalah motto yang seringkali didengungkan di "Idealisme Kami" di hampir
semua acara formal asrama. Motto tersebut menjadi semacam spirit di saat saya jatuh.
Oktober 2012, saya harus turun sebagai ketua MG. Saat itu,
angkatan 2011 sudah tingkat dua. Sebagai konsekuensinya, mereka mengikuti osjur
dan berbagai kegiatan himpunan. Irfan yang juga angkatan 2011 kemudian naik
sebagai ketua gantikan saya. MG diarahkan kepada "kajian intelektual".
Saya menilainya sebagai langkah maju biarpun memang unit ini kembali ke periode
awal saya memimpin "relatif sepi peminat". Target-target pun dibangun
oleh periode baru ini. Biarpun status saya kini tidak lagi menjadi ketua, namun
saya seringkali berkunjung dan turut serta di acara yang diadakan unit. Pada
masa-masa inilah, saya mengenal budaya baru "membaca" dan "menulis
opini". Dari sini saya mulai belajar. Saat itu saya tingkat empat semester
dua. Saya mulai mengkoleksi buku setiap bulannya. Seingat saya lebih dari satu
buku saya beli setiap bulan.
Pada Mei 2013, saya memutuskan maju sebagai calon Ketua Dewan
Majelis Wali Amanat (MWA-WM) ITB. Saya maju bukan di masa Pemira, melainkan pada
saat proses referendum. Pendaftaran, hearing,
sampai proses pencoblosan berlangsung sekitar dua minggu. Sangat padat. Majunya
saya ini adalah sebagai respon atas gerakan gerbang belakang yang diinisiasi
oleh Yudki dari Tiben ITB. Saat itu saya menjadi bagian dari tim inti di
gerakan ini. Saya kecewa sekali dengan pihak rektorat yang menganggap angin
lalu gerakan ini. Biarpun MWA-WM secara badan hukum belum disahkan, namun
karena legalitas MWA-WM di kemahasiswaan terpusat diakui, saya sangat yakin
jika saya terpilih maka saya akan dapat menciptakan gerakan yang lebih masif
dan terarah. Namun, takdir berkata lain. Saat referendum digelar, saya kalah.
Biarpun setelah itu saya masuk bagian dari Tim MWA-WM, namun kuasa saya di sana
tidak besar. Saat itu saya diamanahi sebagai Ketua Urusan Media MWA-WM sampai
akhirnya saya mengundurkan diri pada awal 2014.
Berbisnis, Mengkaji, dan Menjadi Jurnalis Kembali
Kuliah saja bagi saya membosankan. Saya mencari kesibukan di luar
kuliah seperti menjadi pengajar privat dan juga menjadi Sahabat Museum
Konperensi Asia Afrika (SMKAA). Saya juga mulai merintis bisnis dengan Rivani, Teknik
Industri 2009, teman unit sekaligus asrama saya. Saya menjual alat-alat tulis
unik, kabel data unik, dompet unik, dan lain-lain yang didapatkan dari
Hongkong. Saya menjualnya di Forum Jual Beli (FJB) ITB dan juga di Gasibu.
Seingat saya di Gasibu hanya bertahan 2-3 kali saja. Selain bisnis itu, saya
mencoba bisnis properti. Saya punya keinginan menjadi developer rumah seperti Ezra Karamoy, senior saya di Matematika,
yang relatif berhasil membuat tiga perumahan. Saya mengikuti sekitar lima kali
training gratis di S28 Jalan Sulanjana bersama beliau. Teori yang disampaikan
beliau langsung saya praktikkan dengan menjualkan tiga rumah warga di kawasan
Cikaso. Namun, pada akhirnya usaha saya ini gagal.
Berbisnis yang dapat dilakukan semua orang ini membuat saya bosan.
Saya kembali ke aktivitas semula menjadi aktivis kampus. Setelah gagal menjadi
Ketua Dewan MWA-WM, saya menambah wawasan saya dalam berfikir dan menanggapi
fenomena yang ada dengan aktif berdiskusi dengan aktivis ITB lain dan juga para
dosen ITB. Saya relatif dekat dengan Pak Iwan Pranoto, Pak Hendra Gunawan, dan
Pak Acep Iwan Saidi. Forum yang mereka bentuk coba saya ikuti. Bacaan buku saya
tambah. Saya mengunjungi Perpustakaan Batuapi di Jatinangor dan juga ikut serta
di diskusi yang diadakan oleh LPPMD Unpad. Sejak saat itulah, saya mengenal
dekat sosok Pramoedya Ananta Toer Lewat buku-bukunya terutama Tetralogi Buru. Saya
juga mulai familier dengan pemikir-pemikir lain seperti Marx, Heagel, Chomsky,
Nietszche, M. Iqbal dan lain-lainnya. Opini-opini para pakar dari media massa
khususnya Kompas menjadi bacaan rutin
saya, juga tulisan-tulisan anak MG maupun aktivis ITB lainnya. Saya juga
mencoba menambah kapasitas dengan turut serta dalam konferensi internasional.
Saya lolos di Harvard Project for Asian
and International Relations (HPAIR) di Dubai pada Agustus 2013 silam, namun
pada akhirnya tidak jadi berangkat karena uang sponsor yang saya kumpulkan
kurang. Namun biarpun begitu, saya pernah mengikuti International Microfinance Conference (IMC) pada Oktober 2012 di
Yogyakarta. Konferensi tersebut dihadiri oleh banyak pakar microfinance dari berbagai negara termasuk halnya Muhammad Yunus,
peraih nobel perdamaian pada 2006.
Selain itu, saya juga mencatatkan diri sebagai kontributor ITB
Magz, majalah di bawah rektorat ITB. Pada masa ini, saya pernah wawancara
dengan Pak Syoni Soeprianto, guru besar metalurgi ITB, dan juga Pak Sukhyar,
kepala bidang geologi Kementerian ESDM. Saat itu, masalah yang diangkat dalam
majalah adalah terkait Logam Tanah Jarang. Bagi saya, majalah ini jauh dari
kata produktif. Targetan per tahun adalah dua kali, tetapi usaha untuk
mewujudkannya kurang sekali. Rapat-rapat rutin sulit dilakukan. Mungkin karena
sistemnya masih di bawah ITB maka geraknya sangat birokratis. Mimpi saya
kedepannya bahwa majalah ini akan menjadi otonom dan bertransformasi menjadi
majalah terdepan seputar science dan
teknologi di Indonesia. Jika MIT
memiliki MIT Tech Review, maka ITB
memiliki ITB Magz. Analogi tersebut bagai langit dan bumi, tetapi itu bisa kita
wujudkan.
Jiwa jurnalis saya kembali muncul, tetapi sama sekali saya tidak
ingin menjadi seorang jurnalis. Saya lebih tertarik sebagai penulis opini.
Berbekal website uruqulnadhif.com
sentuhan desain dari Tarjo (a.k.a Hifsan alias Senartogok), saya mencoba
merutinkan menulis opini terkait berbagai permasalahan yang ada. Biarpun memang
tulisan saya belum pernah dimuat di media cetak dari beberapa kali mengirim,
namun pola tulisan saya lambat laun terlihat. Jalan cerita dalam tulisan coba
saya bangun. Pada Agustus 2014 silam, saya mendapat juara ketiga dalam
kompetisi essay nasional Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG). Ini
adalah pengalaman pertama saya. Semoga menjadi penunjuk langkah ke
depannya.
Dari Alam Sampai Pengalaman Suka
Tahun 2013 merupakan tahun awal saya mulai berinteraksi dengan
alam. Di awal-awal tahun tersebut, saya menginjakkan kaki di gunung Papandayan,
kemudian berlanjut di gunung Cikuray pada Oktober 2013. Di akhir tahun, saya
mendaki puncak tertinggi pulau Jawa "Gunung Semeru". Disinilah awal
mula saya berinteraksi lebih dekat dengan para pecinta alam. Mereka semua yang
menjadi alumni pendakian semeru masuk dalam kelompok AKS. Entah apa filosofi
nama ini saya tidak tahu. Awalnya YKS tetapi mungkin karena nama tersebut
menyamai acara kontroversial di Trans TV jadinya diganti. Perjalanan berlanjut
secara kontinu dan terjadwal pasca Semeru. Mulai dari gunung sampai pantai.
Semua dijelajahi. Di tahun 2014 ini, saya baru ikut tiga kali perjalanan dengan
para anggota AKS yakni Pantai Sawarna pada April, Gunung Guntur pada Juni, dan
Pulau Semak Daun pada September. Agenda AKS selain wisata alam juga berolahraga
bareng, karaokean, sampai makan-makan. Untuk yang kedua saya belum pernah
ikutan.
Kampus benar-benar saya maksimalkan sebagai tempat melakukan
eksperimen. Termasuk juga masalah cinta. Saya terakhir berteman sekelas dengan
perempuan adalah saat SD. Selama SMP dan SMA hampir tidak pernah saya
berinteraksi secara dekat dengan perempuan kecuali kakak dan adik saya. Di dua
tahun pertama di ITB pun saya sukar untuk berinteraksi dengan perempuan.
Organisasi yang saya masuki merupakan organisasi taklim dimana interaksi antara
laki-laki dan perempuan sangat terbatas. Mulai tingkat tiga, saya mencoba
belajar bagaimana bergaul dengan orang lain dari berbagai macam latar belakang
termasuk di dalamnya perempuan.
Dari sinilah, saya mulai memberanikan diri untuk menyatakan sikap
suka terhadap perempuan. Pertama ketika saya menjadi ketua unit. Kedua pasca
gagalnya saya dalam pencalonan sebagai Ketua Dewan MWA-WM. Ketiga pasca mendaki
Gunung Guntur. Namun cara/metode yang saya lalukan dari tiga pengalaman
tersebut tidak langsung alias melalui perantara seperti halnya Blackberry Messager, Faceebook, dan Short Message Service (SMS). Karena
ketiganya sekedar letupan "suka" secara instan, saya sekedar
mengungkapkan saja. Tidak lebih. Untuk dua yang pertama saya terang-terangan
ditolak sebab keduanya sudah memiliki pacar, sedangkan untuk yang ketiga masih
didiamkan. Belum ada jawaban ketika saya mengajaknya untuk bertemu. Namun minimal
saya pernah mencoba. Minimal saya cukup tahu bagaimana perasaan perempuan, tentang
bagaimana memahami logika wanita.
Pengabdian Masyarakat
Selama menjadi peserta asrama PPSDMS, membuat acara yang
bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar adalah suatu keharusan.
Program asrama terkait hal ini bernama Community
Development "Kampung Mandiri". Acaranya selain mengajar anak-anak
sekitar asrama, juga menjadikan mereka mandiri dengan berikan bekal
keterampilan ke mereka. Namun yang kedua tidak berjalan mulus. Gebyar di awal,
tetapi akhirnya mati. Sisanya tinggal mengajar anak-anak di asrama dan juga
turut serta menjadi penceramah subuh di masjid saat Ramadhan.
Setelah lulus dari asrama, saya dan teman kosan mencoba menginiasi
rumah belajar matematika. Kami mengajar seminggu sekali yakni setiap minggu
pagi jam sembilan. Kami mencoba menjadikan anak-anak yang sebagian besar usia
Sekolah Dasar mencintai matematika. Kami memakai metode baru seperti halnya games, namun pada akhirnya kembali ke
cara manual yakni "ceramah". Karena memang kami sangat kurang
berpengalaman dalam mengajar. Kami juga susah mengkondisikan kelas. Sekolah
kecil ini berjalan beberapa bulan saja, dan pada akhirnya mati. Anak-anak sudah
malas hadir. Namun setidaknya, ini merupakan langkah mendekatkan diri dengan
masyarakat.
Beberapa bulan setelah matinya sekolah ini, saya didaulat menjadi
ketua panitia Ramadhan tahun 2013. Saya pun relatif dekat dengan berbagai tokoh
masyarakat dan tentunya juga para pemuda yang kebanyakan SMA dan mahasiswa. Hal
baru coba saya lakukan seperti halnya tadarusan setelah tarawih. Menjadi ketua
panitia menjadikan saya harus berusaha stand
by setiap hari di masjid. Seringkali saya menjadi MC tarawih dan dua kali
saya menjadi penceramah subuh. Setahun berselang, saya didaulat kembali menjadi
ketua panitia Ramadhan 2014. Namun, suasana pada tahun ini relatif berbeda.
Para remaja mulai malas datang ke masjid. Biarpun demikian, anak-anak TPA cukup
bersemangat ikuti agenda ramadhan. Sebelum ramadhan saya diamanahi menjadi
pengajar TPA untuk mengajar bahasa Arab. Karena hal inilah, anak-anak relatif
dekat dengan saya.
Peningkatan prestasi pada ramadhan tahun ini cukup signifikan.
Anak-anak yang saya asuh menjadi juara I dan III dalam lomba menggambar di
Universitas Padjararan. Selain itu di perlombaan yang berbeda, anak-anak mendapatkan
juara azan, fashion show, dan
menggambar di masjid Al hasanah, Titimplik, tidak jauh dengan Gedung Pusat Telkom
Bandung. Di perlombaan lain yakni Persadin 2014 di kompleks Al Falah Cisitu
minggu lalu (28/9/2014), empat anak di tiga cabang perlombaan berbeda ;
mewarnai, kaligrafi, dan lari 100 meter, kalah semua. Sebagai guru, saya
kecewa. Namun, melihat semangat dan kerja keras mereka, justu rasa bangga itu
muncul. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus dididik dan diarahkan.
Epilog
Kampus ITB memberikan pelajaran sungguh berharga bagi saya.
Kegagalan demi kegagalan yang saya dapatkan selama di ITB membuat saya lebih
kuat menghadapi realita hidup. Selain itu, kesempatan bertemu dengan berbagai cendekia
ITB, nasional, dan Internasional seperti Cedric Villani (Field Medals 2010),
Muhammad Yunus (Nobel Prize in Peace 2006), Rizal Ramli, Budi Rahardjo, Yasraf
Amir Piliang, dan masih banyak lagi membuat lebih terbuka pemikiran saya. Rencana saya ke depan lebih jelas. Aktivitas yang saya lakukan selama ITB seolah
menjadi penunjuk jalan ke mana saya akan melangkah pasca lulus dari ITB.
Terima kasih almamaterku. Sekali lagi terima kasih.
2 komentar:
...saya terang-terangan ditolak sebab keduanya sudah memiliki pacar...
Ora thok pengalaman Qul, tapi nekat iki jenenge, hoho.
hahaha. Aku g terlalu lama mikir, yg penting aksi :)
Post a Comment