Belajar dari visi besar India dalam kembangkan sains dan teknologi
Di
tengah media nasional ramai menyorot berita terkait disahkannya RUU Pilkada
oleh DPR RI, muncul berita mengejutkan dari India. Negara Bollywood ini sukses
lakukan misi penerbangan ke Mars yang menjadikannya negara pertama Asia dan
keempat di dunia yang mampu mengirim wahana antariksa ke Mars. Gilanya, biaya
misi ke Mars India hanya 74 juta dollar, seper sembilan dari proyek serupa yang
dilakukan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, NASA.
India rasanya tak henti-hentinya membuat
kejutan. Kini beritanya tidak lagi sebuah kecelakaan transportasi, kemiskinan,
atau robohnya gedung, melainkan kemajuan sains dan teknologi. Negara yang
mayoritas penduduknya beragama hindu ini ternyata memiliki visi besar dalam
mengembangkan sains dan teknologi. Adalah Mangalyaan, wahana antariksa buatan
putera-puteri India, yang sampai di orbit Mars pada 24 September lalu setelah
diluncurkan pada Desember 2013. Suksesnya Mangalyaan, menjadikan India sejajar
dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa yang lebih dulu melakukan misi serupa.
Jepang pernah melakukannya namun gagal.
Prinsip India ; Murah Kualitas Sama
India memang masuk dalam kelompok BRIC
yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok, namun negara ini masih
berkutat dengan masalah kemiskinan. Tetapi bukan namanya India jika terut
terlarut dalam permasalahan dalam negeri. Negara ini justru memiliki visi yang
jauh lebih besar yang konon hanya dimiliki negara maju. Mangalyaan adalah
buktinya. Wahana antariksa India ini sukses mengorbit ke Mars. Kita bersama tahu
bahwa teknologi antariksa merupakan teknologi supercanggih yang hanya mampu
dikembangkan oleh negara yang memiliki kualifikasi SDM mumpuni dan disertai
dukungan politik yang kuat dari pemerintah. Di sini terlihat visi luar biasa
besar dari India. India sadar bahwa PDB-nya tidak sebanding dengan Amerika,
namun negara ini ingin melakukan hal yang pernah dilakukan Amerika. Solusinya,
India menciptakan kreativitas dan inovasi berbiaya murah. Proyek Mangalyaan
hanya butuh 74 juta dollar AS. Sementara itu, misi wahana MAVEN yang dijalankan
Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) menelan biaya sampai 671 juta dollar
AS. Sepersembilannya !. Tak hanya itu, biaya misi Mangalyaan juga lebih murah
daripada ongkos produksi film Gravity (2013), yakni sebesar 100 juta dollar AS
dan juga harga pesawat kepresidenan RI yakni sebesar 89,6 juta dollar AS.[1]
Kualitas Mangalyaan tidak jauh berbeda
dengan wahana antariksa yang dibuat oleh tiga negara sebelumnya. Seperti
diberitakan Kompas (29/9/2014) bahwa pada
Kamis (25/9), Mangalyaan mulai mengirim foto-foto permukaan Mars dari posisinya
di orbit. Kamera di wahana itu juga akan memotret dua bulan Mars, Phobos dan
Deimos. Semua itu menjadi bukti bahwa India tidak hanya asal mengirim benda
buatan manusia ke planet itu, tetapi satelit ilmiahnya juga berfungsi penuh.
Kunci dari biaya murah proyek Mangalyaan ini terletak dari ukuran wahana yang
kecil. Berat muatannya hanya sekitar 15 kilogram saja. Namun biarpun demikian,
India membawa perangkat yang menyasar objek penerbangan paling penting saat ini
di Mars, yakni pengukur kadar gas metana di atmosfer planet itu.[2]
Penguasaan teknologi antariksa seperti
halnya proyek Mangalyaan jelas akan menggairahkan segmen pengembangan teknologi
lainnya seperti teknologi satelit yang mampu berperan dalam memantau permukaan
bumi dengan beragam tujuan juga komunikasi luar angkasa (deep space communication) yang dapat dimanfaatkan untuk banyak hal
misalnya kendali pesawan nirawak (drone)
jarak jauh sampai kontrol peluru kendali antarbenua.[3]
Murahnya biaya perngembangan sains dan
teknologi ternyata tak hanya di proyek Mangalyaan saja, berbagai riset
teknologi tepat guna India ternyata banyak yang terapkan konsep berinovasi
hemat-cerdas. Dalam tulisannya,[4]
Iwan pranoto mengisahkan Das Kanak, seorang tak lulus SMA di India yang
sukses membuat energi bagi sepedanya
dari gundukan dan lubang di jalan yang tak rata. Inspirasi ini didapatkannya
dari jalan berlubang yang selalu dilewatinya dan tak kunjung diperbaiki oleh
pemerintah setempat. Setidaknya tiga prinsip yang dapat diambil dari kisah Das
Kanak.[5] Pertama, perilaku inovasi ini adalah
kaum awam, masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Ini menegaskan bahwa
berinovasi bukanlah hak esklusif kaum elite saja. Kedua, tempat berinovasi tidak hanya di labolatorium canggih,
tetapi bisa di rumah sederhana di desa. Ketiga,
solusi yang dibuat bukan sekadar tambal-sulam sementara, melainkan solusi
mendasar permanen, menyeluruh, dan berparadigma baru. Das Kanak tak hanya
berfikir "di luar kotak" melainkan juga "menciptakan sebuah
kotak baru".
Indonesia Bagaimana ?
Ketika India menghentak dunia dengan
keberhasilan ekspedisi ke Mars, Indonesia masih berkutat pada masalah politik
dalam negeri. Setelah energi rakyat habis oleh masa Pemilu Legislatif (Pileg)
dan Pemilu Presiden (Pilpres), kini masih menyisakan masalah politik lain yang
benar-benar menguras energi. Disahkannya RUU Pilkada oleh DPR RI, ditambah lagi
dengan pertikaian antarkubu di parlemen menambah ricuhnya perpolitikan
nasional. Negara seolah hanya dimiliki oleh para elite dan lagi-lagi rakyat sekedar sebagai penonton. Rakyat
seolah tidak diberikan ruang untuk memimpikan Indonesia di masa depan. Berbeda
halnya dengan India. Misi ke Mars memicu generasi muda India untuk bergegas
kembangkan sains dan teknologi. Pemerintah India sadar bahwa untuk menjadikan
India menjadi negara besar dibutuhkan penguasaan sains dan teknologi.
Di Indonesia, karena energi habis di
urusan politik, riset sebagai bagian terpenting dari pengembangan sains dan
teknologi seolah berjalan di tempat. Sebagai contoh jurnal internasional. Data scopus sampai 6 Februari 2014
menunjukkan bahwa jumlah publikasi 100 Perguruan Tinggi dan 5 lembaga
penelitian negara sejumlah 19.974 buah. Bandingkan dengan satu universitas di
Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yakni sejumlah 16.571 buah. Benar-benar
tertinggal jauh. Banyak hal yang
sebabkan bangsa kita tertinggal dengan nagara-nagara lain dalam produktivitas
riset. Salah satunya adalah minimnya jumlah peneliti. Data Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa jumlah peneliti saat ini hanya
sekitar 8.000 orang, sedangkan pengajar di lembaga perguruan tinggi dan swasta
sekitar 160.000 orang. Fakta tersebut diperkuat laporan Kompas
(13/8/2013) bahwa perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di Indonesia
mencapai 205 peneliti dari setiap 1 juta jiwa. Perbandingan yang terlampaui
besar.
Selain masalah minimnya jumlah peneliti,
anggaran riset kita sangat kecil. Data Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Heru
Susanto[6]
menunjukkan bahwa dana pengembangan riset nasional masih berkisar 0,08 persen
dari PDB. Sangat jauh dari angka ideal yang disarankan Organisasi Pendidikan,
Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yakni
sebesar 2 persen dari PDB. Fakta tersebut diperkuat dengan ungkapan Mendikbud
beberapa bulan lalu bahwa alokasi anggaran tahun 2014 untuk pendidikan tinggi
(di seluruh Indonesia) hanya Rp 3,2 Triliun. Bandingkan dengan anggaran
National University of Singapore (NUS) pada 2013 mencapai Rp 18 triliun. Sangat
timpang.
Pelajaran untuk Generasi Muda
Kesuksesan India dalam melakukan misi ke
Mars harus mampu menyetrum motivasi
generasi muda Indonesia dalam mengembangkan sains dan teknologi di masa
mendatang. Kita tidak boleh terus terlarut dalam masalah kontraproduktif
seperti halnya isu politik yang terus digoreng oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. India dulu bukan apa-apanya Indonesia, lantas sekarang ?
Kita kesalip sekian generasi dalam pengembangan sains dan teknologi. Kita harus
bergegas.
Sebagai generasi muda yang akan memegang
roda pemerintahan di masa mendatang, kita harus sadar bahwa bangsa ini jauh
tertinggal dengan bangsa-bangsa lain dalam hal penguasaan sains dan teknologi.
Mulai dari sekarang, mari kita bersama-sama fikirkan bagaimana mengelola Sumber
Daya Alam (SDA) mentah sehingga menghasilkan nilai tambah (hilirisasi). Juga tentang
bagaimana mengembangkan teknologi tepat guna untuk masyarakat sekitar. Intinya
bagaimana kita kedepan mampu mamacu semangat seluruh elemen bangsa agar
bergegas kembangkan sains teknologi. Dana minim bukanlah alasan. Generasi
kita nanti harus mampu menciptakan rasa optimis seluruh warga Indonesia bahwa
bangsa ini layak disebut bangsa besar. Kita dulu pada 1995 pernah bangga dengan
proyek pesawat N250, namun setelah tiga tahun berselang nama besar N250 tidak
terdengar lagi. N250 adalah masa lalu, kita harus berfikir untuk masa depan.
India sudah, tinggal kita !.
Lamongan, 5 Oktober 2014
[1] Kompas,
29 September 2014. Hal 15.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Iwan
Pranoto dan Gautam Kumar Ja, Berinovasi
Hemat-Cerdas, Tempo.co, 1 Oktober 2014.
[5] Ibid.
[6] Heru
Susanto, Kompas, 5 Agustus 2014.
Daftar Pustaka :
1. Harian KOMPAS, 29 September 2014. Hal 15.
2. Susanto, Heru. 2014 . "Momentum Reformasi Riset", KOMPAS, 5 Agustus 2014.
3. Redaksi Kompas. 2013 . "Minimnya Paten di Indonesia", KOMPAS, 13 Agustus 2013.
4. Redaksi Kompas. 2013 . "Mundur demi Komersialisasi Paten", KOMPAS, 13 Agustus 2013.
5. Pranoto, Iwan, Ja, Gautam Kumar, "Berinovasi Hemat-Cerdas", TEMPO.CO, 1 Oktober 2014.
0 komentar:
Post a Comment