Tuesday, October 07, 2014

India, Gila !

Belajar dari visi besar India dalam kembangkan sains dan teknologi

 Di tengah media nasional ramai menyorot berita terkait disahkannya RUU Pilkada oleh DPR RI, muncul berita mengejutkan dari India. Negara Bollywood ini sukses lakukan misi penerbangan ke Mars yang menjadikannya negara pertama Asia dan keempat di dunia yang mampu mengirim wahana antariksa ke Mars. Gilanya, biaya misi ke Mars India hanya 74 juta dollar, seper sembilan dari proyek serupa yang dilakukan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, NASA.

India rasanya tak henti-hentinya membuat kejutan. Kini beritanya tidak lagi sebuah kecelakaan transportasi, kemiskinan, atau robohnya gedung, melainkan kemajuan sains dan teknologi. Negara yang mayoritas penduduknya beragama hindu ini ternyata memiliki visi besar dalam mengembangkan sains dan teknologi. Adalah Mangalyaan, wahana antariksa buatan putera-puteri India, yang sampai di orbit Mars pada 24 September lalu setelah diluncurkan pada Desember 2013. Suksesnya Mangalyaan, menjadikan India sejajar dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa yang lebih dulu melakukan misi serupa. Jepang pernah melakukannya namun gagal.

Prinsip India ; Murah Kualitas Sama

India memang masuk dalam kelompok BRIC yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok, namun negara ini masih berkutat dengan masalah kemiskinan. Tetapi bukan namanya India jika terut terlarut dalam permasalahan dalam negeri. Negara ini justru memiliki visi yang jauh lebih besar yang konon hanya dimiliki negara maju. Mangalyaan adalah buktinya. Wahana antariksa India ini sukses mengorbit ke Mars. Kita bersama tahu bahwa teknologi antariksa merupakan teknologi supercanggih yang hanya mampu dikembangkan oleh negara yang memiliki kualifikasi SDM mumpuni dan disertai dukungan politik yang kuat dari pemerintah. Di sini terlihat visi luar biasa besar dari India. India sadar bahwa PDB-nya tidak sebanding dengan Amerika, namun negara ini ingin melakukan hal yang pernah dilakukan Amerika. Solusinya, India menciptakan kreativitas dan inovasi berbiaya murah. Proyek Mangalyaan hanya butuh 74 juta dollar AS. Sementara itu, misi wahana MAVEN yang dijalankan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) menelan biaya sampai 671 juta dollar AS. Sepersembilannya !. Tak hanya itu, biaya misi Mangalyaan juga lebih murah daripada ongkos produksi film Gravity (2013), yakni sebesar 100 juta dollar AS dan juga harga pesawat kepresidenan RI yakni sebesar 89,6 juta dollar AS.[1]

Kualitas Mangalyaan tidak jauh berbeda dengan wahana antariksa yang dibuat oleh tiga negara sebelumnya. Seperti diberitakan Kompas (29/9/2014) bahwa pada Kamis (25/9), Mangalyaan mulai mengirim foto-foto permukaan Mars dari posisinya di orbit. Kamera di wahana itu juga akan memotret dua bulan Mars, Phobos dan Deimos. Semua itu menjadi bukti bahwa India tidak hanya asal mengirim benda buatan manusia ke planet itu, tetapi satelit ilmiahnya juga berfungsi penuh. Kunci dari biaya murah proyek Mangalyaan ini terletak dari ukuran wahana yang kecil. Berat muatannya hanya sekitar 15 kilogram saja. Namun biarpun demikian, India membawa perangkat yang menyasar objek penerbangan paling penting saat ini di Mars, yakni pengukur kadar gas metana di atmosfer planet itu.[2]
 
Mangalyaan siap meluncur ke Mars (doc. ndtv.com)
Penguasaan teknologi antariksa seperti halnya proyek Mangalyaan jelas akan menggairahkan segmen pengembangan teknologi lainnya seperti teknologi satelit yang mampu berperan dalam memantau permukaan bumi dengan beragam tujuan juga komunikasi luar angkasa (deep space communication) yang dapat dimanfaatkan untuk banyak hal misalnya kendali pesawan nirawak (drone) jarak jauh sampai kontrol peluru kendali antarbenua.[3] 

Murahnya biaya perngembangan sains dan teknologi ternyata tak hanya di proyek Mangalyaan saja, berbagai riset teknologi tepat guna India ternyata banyak yang terapkan konsep berinovasi hemat-cerdas. Dalam tulisannya,[4] Iwan pranoto mengisahkan Das Kanak, seorang tak lulus SMA di India yang sukses  membuat energi bagi sepedanya dari gundukan dan lubang di jalan yang tak rata. Inspirasi ini didapatkannya dari jalan berlubang yang selalu dilewatinya dan tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah setempat. Setidaknya tiga prinsip yang dapat diambil dari kisah Das Kanak.[5] Pertama, perilaku inovasi ini adalah kaum awam, masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Ini menegaskan bahwa berinovasi bukanlah hak esklusif kaum elite saja. Kedua, tempat berinovasi tidak hanya di labolatorium canggih, tetapi bisa di rumah sederhana di desa. Ketiga, solusi yang dibuat bukan sekadar tambal-sulam sementara, melainkan solusi mendasar permanen, menyeluruh, dan berparadigma baru. Das Kanak tak hanya berfikir "di luar kotak" melainkan juga "menciptakan sebuah kotak baru".

Indonesia Bagaimana ?

Ketika India menghentak dunia dengan keberhasilan ekspedisi ke Mars, Indonesia masih berkutat pada masalah politik dalam negeri. Setelah energi rakyat habis oleh masa Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres), kini masih menyisakan masalah politik lain yang benar-benar menguras energi. Disahkannya RUU Pilkada oleh DPR RI, ditambah lagi dengan pertikaian antarkubu di parlemen menambah ricuhnya perpolitikan nasional. Negara seolah hanya dimiliki oleh para elite dan  lagi-lagi rakyat sekedar sebagai penonton. Rakyat seolah tidak diberikan ruang untuk memimpikan Indonesia di masa depan. Berbeda halnya dengan India. Misi ke Mars memicu generasi muda India untuk bergegas kembangkan sains dan teknologi. Pemerintah India sadar bahwa untuk menjadikan India menjadi negara besar dibutuhkan penguasaan sains dan teknologi.

Di Indonesia, karena energi habis di urusan politik, riset sebagai bagian terpenting dari pengembangan sains dan teknologi seolah berjalan di tempat. Sebagai contoh jurnal internasional. Data scopus sampai 6 Februari 2014 menunjukkan bahwa jumlah publikasi 100 Perguruan Tinggi dan 5 lembaga penelitian negara sejumlah 19.974 buah. Bandingkan dengan satu universitas di Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yakni sejumlah 16.571 buah. Benar-benar tertinggal jauh.  Banyak hal yang sebabkan bangsa kita tertinggal dengan nagara-nagara lain dalam produktivitas riset. Salah satunya adalah minimnya jumlah peneliti. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa jumlah peneliti saat ini hanya sekitar 8.000 orang, sedangkan pengajar di lembaga perguruan tinggi dan swasta sekitar 160.000 orang. Fakta tersebut diperkuat laporan Kompas (13/8/2013) bahwa perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di Indonesia mencapai 205 peneliti dari setiap 1 juta jiwa. Perbandingan yang terlampaui besar.

Selain masalah minimnya jumlah peneliti, anggaran riset kita sangat kecil. Data Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Heru Susanto[6] menunjukkan bahwa dana pengembangan riset nasional masih berkisar 0,08 persen dari PDB. Sangat jauh dari angka ideal yang disarankan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yakni sebesar 2 persen dari PDB. Fakta tersebut diperkuat dengan ungkapan Mendikbud beberapa bulan lalu bahwa alokasi anggaran tahun 2014 untuk pendidikan tinggi (di seluruh Indonesia) hanya Rp 3,2 Triliun. Bandingkan dengan anggaran National University of Singapore (NUS) pada 2013 mencapai Rp 18 triliun. Sangat timpang.

Pelajaran untuk Generasi Muda

Kesuksesan India dalam melakukan misi ke Mars harus mampu menyetrum motivasi generasi muda Indonesia dalam mengembangkan sains dan teknologi di masa mendatang. Kita tidak boleh terus terlarut dalam masalah kontraproduktif seperti halnya isu politik yang terus digoreng oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. India dulu bukan apa-apanya Indonesia, lantas sekarang ? Kita kesalip sekian generasi dalam pengembangan sains dan teknologi. Kita harus bergegas.

Sebagai generasi muda yang akan memegang roda pemerintahan di masa mendatang, kita harus sadar bahwa bangsa ini jauh tertinggal dengan bangsa-bangsa lain dalam hal penguasaan sains dan teknologi. Mulai dari sekarang, mari kita bersama-sama fikirkan bagaimana mengelola Sumber Daya Alam (SDA) mentah sehingga menghasilkan nilai tambah (hilirisasi). Juga tentang bagaimana mengembangkan teknologi tepat guna untuk masyarakat sekitar. Intinya bagaimana kita kedepan mampu mamacu semangat seluruh elemen bangsa agar bergegas kembangkan sains teknologi. Dana minim bukanlah alasan. Generasi kita nanti harus mampu menciptakan rasa optimis seluruh warga Indonesia bahwa bangsa ini layak disebut bangsa besar. Kita dulu pada 1995 pernah bangga dengan proyek pesawat N250, namun setelah tiga tahun berselang nama besar N250 tidak terdengar lagi. N250 adalah masa lalu, kita harus berfikir untuk masa depan. India sudah, tinggal kita !.

Lamongan, 5 Oktober 2014



[1] Kompas, 29 September 2014. Hal 15.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Iwan Pranoto dan  Gautam Kumar Ja, Berinovasi Hemat-Cerdas, Tempo.co, 1 Oktober 2014.
[5] Ibid.
[6] Heru Susanto, Kompas, 5 Agustus 2014.


Daftar Pustaka :
1.      Harian KOMPAS, 29 September 2014. Hal 15.
2.      Susanto, Heru. 2014 . "Momentum Reformasi Riset", KOMPAS, 5 Agustus 2014.
3.      Redaksi Kompas. 2013 . "Minimnya Paten di Indonesia", KOMPAS, 13 Agustus 2013.
4.      Redaksi Kompas. 2013 . "Mundur demi Komersialisasi Paten", KOMPAS, 13 Agustus 2013.
5.      Pranoto, Iwan, Ja, Gautam Kumar,  "Berinovasi Hemat-Cerdas", TEMPO.CO, 1 Oktober 2014.

0 komentar: