Penerapan kurikulum 2013 telah berjalan sekitar setahun.
Namun, justru berbagai masalah baru
hadir seperti halnya terlambatnya
percetakaan dan distribusi buku dan belum berhasilnya program pelatihan
guru . Selain permasalahan teknis tersebut, ternyata ada hal yang jauh lebih
penting untuk disorot yakni substansi dari kurikulum 2013. Banyak pakar
pendidikan menilai bahwa landasan teoretis-konseptual kurikulum ini rapuh. Hal
inilah yang menjadi sebab inti berbagai
aksi penolakan publik terhadap implementasi kurikulum pengganti KTSP ini.
Pendidikan ibarat benih
yang siap disemai. Benih ini selanjutnya bertransformasi menjadi buah yang siap
dikonsumsi. Kualitas buah bergantung pada proses penyemaian benih ini. Jika
proses penyemaian berlangsung secara terukur, jelas, dan berkualitas akan
hasilkan buah yang berkualitas pula. Sebaliknya, jika proses penyemaian
berlangsung secara serampangan, maka akan hasilkan buah dengan kadar kualitas
rendah. Dalam ilustrasi tersebut, proses belajar-mengajar merupakan proses
penyemaian dan kurikulum sebagai salah satu instrumen terpenting dalam proses
tersebut. Kurikulum menjadi semacam road
map arah capaian pendidikan. Oleh karenanya, konsep kurikulum perlu
difikirkan secara matang landasan teoretis-konseptualnya apakah relevan atau
tidak.
Jika landasan
teoretis-konseptual dari kurikulum dibuat atas dasar kepentingan jangka pendek
lagi politis, maka dampak dari pengubahan kurikulum sekedar menjadikan siswa
sebagai kelinci percobaan. Masa depan Indonesia melalui fungsionalisasi
pembangunan jiwa dan badan anak-anak kita dipertaruhkan. Perlu diingat bahwa
usaha membangun sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi
pertanyaan how should we live atau what kind of educated people do we want our
citizens to be ?.[2]
Jika memang kurikulum 2013 tidak mampu menjawab secara eksak (tidak normatif)
akan pertanyaan tersebut, maka opsi kembali ke kurikulum 2006 atau
penyempurnaan kurikulum menjadi semacam wacana yang perlu ditindaklanjuti.
Substansi Kurikulum
Hal pertama yang patut
disorot dari substansi kurikulum 2013 adalah agamanisasi kurikulum seperti yang
ditulis oleh Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema A..[3]
Menurut Doni, kurikulum 2013 menimbulkan kekacauan dalam memahami kompetensi
disiplin ilmu dengan kompetensi karakter. Pemaksaan integrasi antara kompetensi
pendidikan karakter, yang diredusir pada pendekatan kerohanian dan sikap, serta
kompetensi disiplin ilmu (pengetahuan dan keterampilan) melahirkan untuk
pertama kalinya dalam sejarah kurikulum nasional proses agamanisasi kurikulum.
Satu kekeliruan fundamental dalam kurikulum 2013 adalah usaha untuk
spiritualisasi semua mata pelajaran. Alhasil, setiap mata pelajaran akan
dinilai keberhasilannya berdasarkan terpenuhinya kompetensi inti 1 (sikap
spiritual), kompetensi inti 2 (sikap sosial), kompetensi inti 3 (pengetahuan),
dan kompetensi inti 4 (keterampilan).
Bayangkan satu mata
pelajaran harus mengandung empat kompetensi diatas. Bagaimana menilai sikap
spiritual dan sikap sosial dalam matematika?. Memasukkan dua kompetisi ini
dalam pengajaran matematika di sekolah seperti pada bentuk soal merupakan
bentuk pemaksaaan. Di mata pelajaran lain juga sama. Hal ini membuat proses
pembelajaran justru jauh dari rel utamanya yaitu akuisisi ilmu pengetahuan.[4]
Lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa dan guru. Jadwal siswa di kelas
menjadi sangat padat, penuh dengan tugas-tugas sekolah setiap harinya. Siswa
menjadi tidak enjoy dalam belajar di
sekolah. Sementara guru juga dipusingkan dengan lembar penilaian observasi.
Katakan dalam satu kelas guru memiliki 30 siswa, maka setidaknya ada 210 kolom
yang harus diisi oleh guru untuk menilai kompetensi sikap siswa mengingat
lembar penilaian observasi tersebut terdiri dari tujuh kompetisi yang harus
dinilai yaitu tanggung jawab, jujur, peduli, kerja sama, santun, percaya diri,
dan disiplin. Apakah mungkin guru mampu mengisi secara mendalam penilaian sikap
ini dalam dua atau tiga jam tatap muka ?.
Faktor agamanisasi dalam
kurikulum 2013 dengan proses pelaksanaan yang ribet yang dipaparkan diatas
belum cukup. Faktor lain yang perlu disorot adalah naskah dari rancangan kurikulum 2013.
Setidaknya ada enam poin yang menjadi kelemahan.[5] Pertama, rancangan kurikulum 2013 belum
dituliskan ke dalam format dokumen negara maupun naskah budaya layaknya sebuah
dokumen negara, sebagai rujukan hukum negara. Kedua, gagasan inti dalam rancangan kurikulum 2013 belum
tersampaikan dengan lugas, bahkan dalam beberapa hal justru menunjukkan
keraguan. Ketiga, sejumlah istilah yang tidak dikenal secara luas telah
digunakan dalam rancangan kurikulum 2013, menyebabkan kurikulum ini tidak mudah
dipahami dalam tataran implementasi. Utamanya bila diterapkan oleh para
pendidik di lapangan.
Keempat, rancangan kurikulum 2013
belum mampu mengungkapkan gagasan intinya dengan bahasan yang lugas tanpa
mengandung keraguan dan pengertian multitafisir, guna mendudukan untaian pemikiran yang menjadi tujuan
sehingga mudah dipahami oleh para pendidik di lapangan. Kelima, rancangan kurikulum 2013 belum menunjukkan keterkaitan
basis filosofi yang digunakan dengan perwujudannya para tataran teknis,
kompetensi inti dan kompetensi dasar. Keenam,
rancangan kurikulum 2013 belum mencantumkan sikap dan nilai-nilai luhur
kemanusiaan, yang memperhatikan hakikat STEAM (Science-Technology-Engineering-Art-Mathematics), yaitu ciri budaya
ilmiah di balik kemajuan ilmu pengetahuan yang diserasikan perkembangannya
dengan pembangunan karakter bangsa dalam menghadapi dunia di masa depan.
Pelaksanaan Kurikulum
Dalam pelaksanaannya di
lapangan, muncul banyak permasalahan. Pertama,
kurikulum ini tidak memberi ruang kemerdekaan berfikir kritis kepada guru.[6]
Lebih lanjut menurut Ifa H Misbah, pemaksaan buku kurikulum 2013 yang isinya
sama untuk semua wilayah di Indonesia jelas berlawanan dengan prinsip
menghilangkan keseragaman dalam pendidikan karakter yang ingin diperbarui
pemerintahan mendatang. Argumen bahwa kurikulum 2013 meringankan guru karena
pusat yang membuatkan silabus menunjukkan betapa kaum elite di pusat tidak
percaya bahwa guru mampi berfikir mandiri. Guru diposisikan sebagai pihak
inferior.
Kedua, ketidaksiapan pemerintah
menyediakan infrastruktur implementasi kurikulum. Banyak guru yang mengampu
pelajaran di kelas belum mendapat pelatihan kurikulum 2013. Padahal, salah satu
indikator keberhasilan kurikulum ini adalah semua guru telah dilatih kurikulum
2013 dan mampu mengimplementasikannya. Ketiga,
indikator keberhasilan lain kurikulum 2013 adalah tersedianya buku bagi murid
dan guru di sekolah pada awal tahun pejaran 2014/2015, namun yang terjadi
adalah murid dan guru sampai kini belum kunjung memegang buku kurikulum 2013.
Menangnya perusahaan kecil di tender pengadaan buku disinyalir menjadi biang
keladi permasalahan. Perusahaan yang menang tender ternyata berkapasitas
produksi rendah sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan
pemerintah. Di sini terlihat kelalaian pemerintah di mana kurang melakukan
vitasi ke perusahaan percetakan. Pemenang lelang hanya didasarkan pada
penawaran terendah saja. Keempat,
kurikulum 2013 diprediksi akan layu sebelum berkembang. Ini disebabkan karena
pemerintahan SBY-Boediono akan berakhir di Oktober 2014 dan diikuti dengan
penggantian Mendikbud. Perubahan politik
akan berimbas pada intensitas dukungan birokrasi Kemendikbud terhadap kurikulum
2013.[7]
Tindak Lanjut
Seperti yang telah
dijelaskan dimuka, landasaan teoretis-substansial kurikulum 2013 tidak kuat.
Ditambah dengan implementasi di lapangan dari kurikulum ini ditemui banyak
cacat dan permasalahan. Oleh karenanya perlu adanya langkah strategis untuk
menindaklanjuti hal ini bagi pemerintahan mendatang. Ada tiga opsi yang dapat
dilakukan.[8]
Pertama, kurikulum 2013 dihentikan
dan kembali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum
2006 ini telah berjalan relatif lama. Guru sudah terbiasa menjalankannya.
Buku-buku pelajaran yang memuat kurikulum ini masih terjual bebas di pasar.
Tinggal bagaimana pemerintah terus menyempurnakan kurikulum ini. Kedua, kurikulum 2013 tetap berjalan
sampai maksimal dua tahun setelah berhasil disusunnya kurikulum baru
berdasarkan sintesis antara Kurikulum 2013 dan KTSP atau tidak sama sekali.
Penyusunan kurikulum dimulai sejak kajian dan evaluasi atas dua kurikulum
selesai dilaksanakan. Ketiga,
merevisi sebagian kurikulum 2013, menyiapkan guru lebih matang, dan mencetak
kembali buku berdasarkan revisi. Kerugian materi dari opsi ketiga ini lebih
kecil, namun tidak menjawab permasalahan mengingat inti penolakan kurikulum
2013 terletak pada substansi dari kurikulum ini yang bermasalah.
[1] Artikel ini diikutkan dalam kompetisi essay nasional
tentang pendidikan yang diadakan oleh Sentra Kegiatan Islam Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret pada 30 September 2014.
[2] Daoed Joesoef, "Jangan Mempermainkan
Pendidikan", Kompas, 17
September 2014.
[4] Ibid.
[5] Pendapat Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung
tentang Rancangan Kurikulum Nasional 2013, http://mgb.itb.ac.id/?p=16 diakses tanggal 30 September 2014.
[6] Ifa H Misbach, "Potret Guru Indonesia", Kompas, 17 September 2014.
[7] Febri Hendri AA, "Layu Sebelum Berkembang", Kompas, 19 September 2014.
[8] Ibid.
0 komentar:
Post a Comment