Thursday, October 23, 2014

MENGGUGAT KURIKULUM 2013[1]

 Penerapan kurikulum 2013 telah berjalan sekitar setahun. Namun,  justru berbagai masalah baru hadir seperti halnya terlambatnya  percetakaan dan distribusi buku dan belum berhasilnya program pelatihan guru . Selain permasalahan teknis tersebut, ternyata ada hal yang jauh lebih penting untuk disorot yakni substansi dari kurikulum 2013. Banyak pakar pendidikan menilai bahwa landasan teoretis-konseptual kurikulum ini rapuh. Hal inilah  yang menjadi sebab inti berbagai aksi penolakan publik terhadap implementasi kurikulum pengganti KTSP ini.  

Pendidikan ibarat benih yang siap disemai. Benih ini selanjutnya bertransformasi menjadi buah yang siap dikonsumsi. Kualitas buah bergantung pada proses penyemaian benih ini. Jika proses penyemaian berlangsung secara terukur, jelas, dan berkualitas akan hasilkan buah yang berkualitas pula. Sebaliknya, jika proses penyemaian berlangsung secara serampangan, maka akan hasilkan buah dengan kadar kualitas rendah. Dalam ilustrasi tersebut, proses belajar-mengajar merupakan proses penyemaian dan kurikulum sebagai salah satu instrumen terpenting dalam proses tersebut. Kurikulum menjadi semacam road map arah capaian pendidikan. Oleh karenanya, konsep kurikulum perlu difikirkan secara matang landasan teoretis-konseptualnya apakah relevan atau tidak.

Jika landasan teoretis-konseptual dari kurikulum dibuat atas dasar kepentingan jangka pendek lagi politis, maka dampak dari pengubahan kurikulum sekedar menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan. Masa depan Indonesia melalui fungsionalisasi pembangunan jiwa dan badan anak-anak kita dipertaruhkan. Perlu diingat bahwa usaha membangun sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi pertanyaan how should we live atau what kind of educated people do we want our citizens to be ?.[2] Jika memang kurikulum 2013 tidak mampu menjawab secara eksak (tidak normatif) akan pertanyaan tersebut, maka opsi kembali ke kurikulum 2006 atau penyempurnaan kurikulum menjadi semacam wacana yang perlu ditindaklanjuti.

Substansi Kurikulum

Hal pertama yang patut disorot dari substansi kurikulum 2013 adalah agamanisasi kurikulum seperti yang ditulis oleh Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema A..[3] Menurut Doni, kurikulum 2013 menimbulkan kekacauan dalam memahami kompetensi disiplin ilmu dengan kompetensi karakter. Pemaksaan integrasi antara kompetensi pendidikan karakter, yang diredusir pada pendekatan kerohanian dan sikap, serta kompetensi disiplin ilmu (pengetahuan dan keterampilan) melahirkan untuk pertama kalinya dalam sejarah kurikulum nasional proses agamanisasi kurikulum. Satu kekeliruan fundamental dalam kurikulum 2013 adalah usaha untuk spiritualisasi semua mata pelajaran. Alhasil, setiap mata pelajaran akan dinilai keberhasilannya berdasarkan terpenuhinya kompetensi inti 1 (sikap spiritual), kompetensi inti 2 (sikap sosial), kompetensi inti 3 (pengetahuan), dan kompetensi inti 4 (keterampilan).
 
Logo Kurikulum 2013 (doc. google.com)
Bayangkan satu mata pelajaran harus mengandung empat kompetensi diatas. Bagaimana menilai sikap spiritual dan sikap sosial dalam matematika?. Memasukkan dua kompetisi ini dalam pengajaran matematika di sekolah seperti pada bentuk soal merupakan bentuk pemaksaaan. Di mata pelajaran lain juga sama. Hal ini membuat proses pembelajaran justru jauh dari rel utamanya yaitu akuisisi ilmu pengetahuan.[4] Lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa dan guru. Jadwal siswa di kelas menjadi sangat padat, penuh dengan tugas-tugas sekolah setiap harinya. Siswa menjadi tidak enjoy dalam belajar di sekolah. Sementara guru juga dipusingkan dengan lembar penilaian observasi. Katakan dalam satu kelas guru memiliki 30 siswa, maka setidaknya ada 210 kolom yang harus diisi oleh guru untuk menilai kompetensi sikap siswa mengingat lembar penilaian observasi tersebut terdiri dari tujuh kompetisi yang harus dinilai yaitu tanggung jawab, jujur, peduli, kerja sama, santun, percaya diri, dan disiplin. Apakah mungkin guru mampu mengisi secara mendalam penilaian sikap ini dalam dua atau tiga jam tatap muka ?.

Faktor agamanisasi dalam kurikulum 2013 dengan proses pelaksanaan yang ribet yang dipaparkan diatas belum cukup. Faktor lain yang perlu disorot adalah  naskah dari rancangan kurikulum 2013. Setidaknya ada enam poin yang menjadi kelemahan.[5] Pertama, rancangan kurikulum 2013 belum dituliskan ke dalam format dokumen negara maupun naskah budaya layaknya sebuah dokumen negara, sebagai rujukan hukum negara. Kedua, gagasan inti dalam rancangan kurikulum 2013 belum tersampaikan dengan lugas, bahkan dalam beberapa hal justru menunjukkan keraguan. Ketiga, sejumlah  istilah yang tidak dikenal secara luas telah digunakan dalam rancangan kurikulum 2013, menyebabkan kurikulum ini tidak mudah dipahami dalam tataran implementasi. Utamanya bila diterapkan oleh para pendidik di lapangan.

Keempat, rancangan kurikulum 2013 belum mampu mengungkapkan gagasan intinya dengan bahasan yang lugas tanpa mengandung keraguan dan pengertian multitafisir, guna mendudukan  untaian pemikiran yang menjadi tujuan sehingga mudah dipahami oleh para pendidik di lapangan. Kelima, rancangan kurikulum 2013 belum menunjukkan keterkaitan basis filosofi yang digunakan dengan perwujudannya para tataran teknis, kompetensi inti dan kompetensi dasar. Keenam, rancangan kurikulum 2013 belum mencantumkan sikap dan nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang memperhatikan hakikat STEAM (Science-Technology-Engineering-Art-Mathematics), yaitu ciri budaya ilmiah di balik kemajuan ilmu pengetahuan yang diserasikan perkembangannya dengan pembangunan karakter bangsa dalam menghadapi dunia di masa depan.

Pelaksanaan Kurikulum

Dalam pelaksanaannya di lapangan, muncul banyak permasalahan. Pertama, kurikulum ini tidak memberi ruang kemerdekaan berfikir kritis kepada guru.[6] Lebih lanjut menurut Ifa H Misbah, pemaksaan buku kurikulum 2013 yang isinya sama untuk semua wilayah di Indonesia jelas berlawanan dengan prinsip menghilangkan keseragaman dalam pendidikan karakter yang ingin diperbarui pemerintahan mendatang. Argumen bahwa kurikulum 2013 meringankan guru karena pusat yang membuatkan silabus menunjukkan betapa kaum elite di pusat tidak percaya bahwa guru mampi berfikir mandiri. Guru diposisikan sebagai pihak inferior.

Kedua, ketidaksiapan pemerintah menyediakan infrastruktur implementasi kurikulum. Banyak guru yang mengampu pelajaran di kelas belum mendapat pelatihan kurikulum 2013. Padahal, salah satu indikator keberhasilan kurikulum ini adalah semua guru telah dilatih kurikulum 2013 dan mampu mengimplementasikannya. Ketiga, indikator keberhasilan lain kurikulum 2013 adalah tersedianya buku bagi murid dan guru di sekolah pada awal tahun pejaran 2014/2015, namun yang terjadi adalah murid dan guru sampai kini belum kunjung memegang buku kurikulum 2013. Menangnya perusahaan kecil di tender pengadaan buku disinyalir menjadi biang keladi permasalahan. Perusahaan yang menang tender ternyata berkapasitas produksi rendah sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pemerintah. Di sini terlihat kelalaian pemerintah di mana kurang melakukan vitasi ke perusahaan percetakan. Pemenang lelang hanya didasarkan pada penawaran terendah saja. Keempat, kurikulum 2013 diprediksi akan layu sebelum berkembang. Ini disebabkan karena pemerintahan SBY-Boediono akan berakhir di Oktober 2014 dan diikuti dengan penggantian Mendikbud.  Perubahan politik akan berimbas pada intensitas dukungan birokrasi Kemendikbud terhadap kurikulum 2013.[7]

Tindak Lanjut

Seperti yang telah dijelaskan dimuka, landasaan teoretis-substansial kurikulum 2013 tidak kuat. Ditambah dengan implementasi di lapangan dari kurikulum ini ditemui banyak cacat dan permasalahan. Oleh karenanya perlu adanya langkah strategis untuk menindaklanjuti hal ini bagi pemerintahan mendatang. Ada tiga opsi yang dapat dilakukan.[8]

Pertama, kurikulum 2013 dihentikan dan kembali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 2006 ini telah berjalan relatif lama. Guru sudah terbiasa menjalankannya. Buku-buku pelajaran yang memuat kurikulum ini masih terjual bebas di pasar. Tinggal bagaimana pemerintah terus menyempurnakan kurikulum ini. Kedua, kurikulum 2013 tetap berjalan sampai maksimal dua tahun setelah berhasil disusunnya kurikulum baru berdasarkan sintesis antara Kurikulum 2013 dan KTSP atau tidak sama sekali. Penyusunan kurikulum dimulai sejak kajian dan evaluasi atas dua kurikulum selesai dilaksanakan. Ketiga, merevisi sebagian kurikulum 2013, menyiapkan guru lebih matang, dan mencetak kembali buku berdasarkan revisi. Kerugian materi dari opsi ketiga ini lebih kecil, namun tidak menjawab permasalahan mengingat inti penolakan kurikulum 2013 terletak pada substansi dari kurikulum ini yang bermasalah.



[1] Artikel ini diikutkan dalam kompetisi essay nasional tentang pendidikan yang diadakan oleh Sentra Kegiatan Islam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret pada 30 September 2014.
[2] Daoed Joesoef, "Jangan Mempermainkan Pendidikan", Kompas, 17 September 2014.
[3] Doni Koesoema A.," Sandera Kurikulum 2013", Kompas, 20 September 2014.
[4] Ibid.
[5] Pendapat Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung tentang Rancangan Kurikulum Nasional 2013, http://mgb.itb.ac.id/?p=16 diakses tanggal 30 September 2014.
[6] Ifa H Misbach, "Potret Guru Indonesia", Kompas, 17 September 2014.
[7] Febri Hendri AA, "Layu Sebelum Berkembang", Kompas, 19 September 2014.
[8] Ibid.

0 komentar: