Riset (penelitian) merupakan salah satu dari pilar Tridharma
Perguruan Tinggi yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap kampus di Indonesia.
Tanpa riset, kampus ibarat lembaga kursus yang hanya sekedar menyiapkan para
pekerja baru di berbagai lapangan pekerjaan.
Hampir dapat dipastikan
negara maju identik dengan riset yang masif. Berdasarkan laporan scimagojr.com, lima negara dengan jumlah
publikasi terbanyak berturut-turut ; Amerika Serikat (7.063.329 dokumen),
Tiongkok (2.680.395 dokumen), Britania Raya (1.918.650 dokumen), Jerman
(1.782.920 dokumen), dan Jepang
(1.776.473 dokumen). Kita bersama tahu bahwa kelima negara tersebut merupakan
negara yang maju secara ekonomi. Negara lain yang digadang-gadang menjadi salah
satu kekuatan baru ekonomi dunia yakni India dan Brazil berturut-turut
menduduki peringkat 10 dan 15 dengan 750.777 dan 461.118 dokumen. Sementara
Indonesia terpuruk di posisi 61 dengan 20.166 dokumen.
Mengapa Riset
Dalam tulisannya di Kompas (7/4/2014), Daoed Joesoef mengungkapkan bahwa suatu bangsa bisa maju
dalam peradaban hanya bila sub-komunitas ilmiahnya lebih maju dibandingkan
dengan sub-komunitas lainnya. Tulisan Daoed diperkuat oleh pernyataan mantan
Gubernur Lemhanas, Sayidiman Suryohadiprojo, di media yang sama bahwa bangsa
Indonesia hanya dapat hidup bahagia dan sejahtera bila kita bergotong-royong
mengembangkan iptek modern, sesuai dengan tuntutan zaman (Kompas, 7/4/2014). Secara tidak langsung, dua tokoh ini
mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar segera sadar untuk menciptakan iklim
riset yang masif. Riset berperan besar bagi peningkatan ekonomi suatu negara.
Sebagai contoh Amerika
Serikat. Ketika kebanggaan bangsa Amerika tersentuh karena Uni Soviet sudah
lebih dulu mengirim satelit Sputnik ke luar angkasa pada 1957, anggaran riset
AS melonjak dari 0,5 persen PDB menjadi 2,2 persen PDB. Hasilnya ? AS bukan
hanya megejar Uni Soviet dengan mengirim Aldrin dan Armstrong untuk menginjak
bulan, melainkan juga embrio revolusi di bidang teknologi informasi (ponsel,
internet, dan lain-lain). Namun, sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an, anggaran
riset AS turun hingga di bawah 1 persen PDB dan bertahan hingga pemerintahan
Obama. Sementara Jepang dan China melipatgandakan anggaran riset. Akibatnya ?
General Motors kalah melawan Toyota dan lain-lain hingga Detroit pun bangkrut. [2]
Iklim Riset di Indonesia
Riset ternyata kurang
mendapatkan tempat di Indonesia. Sejauh ini anggaran terkait pengembangan iptek
di tanah air, baik Perguruan Tinggi maupun lembaga litbang, berkutat di bawah
0,1 persen dari PDB. Sangat jauh dari angka ideal yang disarankan Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNESCO), yakni sebesar 2 persen dari PDB. Fakta tersebut diperkuat dengan
ungkapan Mendikbud beberapa bulan lalu bahwa alokasi anggaran tahun 2014 untuk
pendidikan tinggi (di seluruh Indonesia) hanya Rp 3,2 Triliun. Sebagai
perbandingan, anggaran National University of Singapore (NUS) pada 2013
mencapai Rp 18 triliun. Sangat timpang. Wajar saja jika publikasi kita sangat
tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia. Data scopus per 6
Februari 2014 menunjukkan bahwa jumlah publikasi 100 Perguruan Tinggi dan 5
lembaga penelitian negara sejumlah
19.974 buah, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan satu universitas di
Malaysia yaitu Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yakni sejumlah 16.571
buah.
Institut Teknologi Bandung, salah satu universitas terkemuka di Indonesia (doc. Redaksi Majalah Ganesha ITB) |
Selain jumlah publikasi
internasional, paten yang merupakan hak eksklusif yag diberikan kepada penemu (inventor) termasuk di dalamnya para
ilmuwan atas hasil temuannya berupa proses dan produk teknologi ternyata sangat
minim. Berdasarkan data United States
Patent and Trademark Office (UNSPTO) pada 2010, paten dari Indonesia hanya
enam, sedangkan dari Jepang mencapai 44.811 peten. Sementara data yang dihimpun
oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Kemenkumham), permohonan paten dalam negeri tahun 2011 berjumlah
820 permohonan, sementara permohonan paten asing berjumlah 5.432 permohonan.
Tahun-tahun selanjutnya ternyata tidak jauh berbeda.
Kendala
Kultur riset belum
membudaya di tanah air kita disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, anggaran riset. Data Bank Dunia
sebagaimana dikutip oleh Heru Susanto dalam Kompas
(5/8/2014) menunjukkan bahwa dana pengembangan riset nasional masih berkisar
0,08 persen dari PDB. Nilai tersebut jauh dari yang disarankan oleh UNESCO
seperti yang telah disinggung di muka yakni sebesar 2 persen dari PDB. Kedua, kapasitas SDM. Dana riset yang
tidak diimbangi dengan kualitas SDM riset yang mumpuni akan menghasilkan riset
berkualitas rendah. Saat ini kita kekurangan peneliti. Mengutip Heru Susanto[3],
dosen berkualifikasi doktor masih di bawah 10 persen dari jumlah keseluruhan
dosen. Doktor sejumlah tersebut termasuk di dalamnya yang sudah mengalami
pembusukan akademik[4].
Ketiga, produktivitas riset. Berdasarkan indeks
scopus dan scimagojr.com seperti yang telah disinggung di atas, publikasi
ilmiah kita sangat rendah. Bahkan di Asia Tenggara, kita berada di urutan
keempat setelah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Secara khusus, produktivitas
karya ilmiah internasional Indonesia dibandingkan dengan Malayia adalah 1:7. Keempat, manajemen anggaran.
Penganggaran riset masih mengikuti pola APBN. Akibatnya pencairan dana
penelitian untuk tahun anggaran tertentu selalu dilakukan di tengah tahun
anggaran atau paling cepat di kuartal pertama. Sementara proses penelitian
harus dilakukan tepat waktu. Selain itu pembiayaan penelitian sering juga disamakan
dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Kelima,
tata kelola riset. Saat ini, lembaga-lembaga kementerian maupun non-kementerian
sama-sama mengelola riset. Akibatnya saling tumpang tindih. Selain itu, tidak tampak adanya road map pengembangan tema-tema penelitian yang menunjang
pembangunan bangsa.[5]
Langkah Selanjutnya
Terry Mart dalam tulisannya
di Kompas[6]
mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang harus segera dilakukan untuk memperbaiki
kualitas riset kita yakni perbaikan sistem, infrastruktur riset, dan kualitas
SDM. Perbaikan sistem mencakup peningkatan investasi riset besar-besaran serta
perubahan sistem penggunaan dana yang banyak dikeluhkan menguras tenaga dan
membingungkan periset. Perbaikan infrastruktur
termasuk pengadaan peralatan baru yang tentu tidak murah. Syamsul Rizal
menambahkan dalam media yang sama[7]
bahwa untuk menggenjot kualitas dan kuantitas riset di Perguruan Tinggi
diperlukan rektor yang fokus pada masalah akademik, sementara masalah
non-akademik seperti halnya administrasi diserahkan kepada manajemen
non-akademik yang terdiri atas orang-orang yang berkompetensi tinggi di bidang
keuangan, administrasi, dan lain-lain.
Menjawab kendala yang
diterangkan di muka, Heru Susanto dalam tulisannya[8]
mengungkapkan bahwa untuk mereformasi riset diperlukan beberapa hal berikut. Pertama, peningkatan efektivitas tata
kelola riset. Hal ini untuk menjawab tumpang-tindih pengelolaan riset baik
dalam penentuan tema penelitian, jenis penelitian, maupun skema penelitian
antarlembaga pengelola riset. Kedua,
meningkatkan anggaran riset seperti yang disarankan UNESCO yakni sebesar 1
persen dari PDB. Ketiga, meningkatkan
kapasitas SDM seperti halnya memanggil peneliti-peneliti Indonesia di luar
negeri untuk pulang membangun riset tanah air dengan jaminan kesejahteraan dan
dukungan infrastruktur riset.
Sembari menunggu kemauan
politik bangsa ini untuk riset, ada beberapa langkah strategis yang dapat
dilakukan pemerintah.[9] Pertama, segera bebaskan
"penghasilan" institusi untuk setor sebagai Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Kebijakan PNBP menggusur minat funding agencies, swasta, dan lain-lain karena tidak pas ke dalam
sistem mereka. Kedua, lebih fokus
pada proses dan produk riset ketimbang birokratisasi parameter capaian, seperti
presensi atau aturan teknis lainnya. Ketiga,
penghargaan bagi peneliti yang berhasil. Keempat, menambah dana paket-paket penelitian seperti pada Program
Riset Unggulan. Demi menambah kapasitas, pemerintah perlu memfasilitasi swasta
yang menyediakan dana seperti itu, misalnya melalui program CSR dan tax holiday.
[1] Artikel ini diikutkan dalam kompetisi essay nasional
tentang pendidikan yang diadakan oleh Sentra Kegiatan Islam Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret pada 30 September 2014.
[2] Hermawan Sulistyo, "Riset untuk Masa Depan
Bangsa", Kompas, 21 September
2013.
[3] Heru Susanto, "Momentum Reformasi Riset", Kompas, 5 Agustus 2014.
[4] Terry Mart, "Darurat Riset", Kompas, 13 Agustus 2014.
[5] Heru Susanto, Loc.Cit.
[6] Terry Mart, Loc.Cit.
[7] Syamsul Rizal, "Meningkatkan Kualitas
Riset", Kompas, 5 Agustus 2014.
[8] Heru Susanto, Loc.Cit.
[9] Hermawan Sulistyo, Loc.Cit.
0 komentar:
Post a Comment