Wednesday, October 22, 2014

RISET SEBAGAI UJUNG TOMBAK PERGURUAN TINGGI[1]


Riset (penelitian) merupakan salah satu dari pilar Tridharma Perguruan Tinggi yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap kampus di Indonesia. Tanpa riset, kampus ibarat lembaga kursus yang hanya sekedar menyiapkan para pekerja baru di berbagai lapangan pekerjaan.

Hampir dapat dipastikan negara maju identik dengan riset yang masif. Berdasarkan laporan  scimagojr.com, lima negara dengan jumlah publikasi terbanyak berturut-turut ; Amerika Serikat (7.063.329 dokumen), Tiongkok (2.680.395 dokumen), Britania Raya (1.918.650 dokumen), Jerman (1.782.920 dokumen), dan  Jepang (1.776.473 dokumen). Kita bersama tahu bahwa kelima negara tersebut merupakan negara yang maju secara ekonomi. Negara lain yang digadang-gadang menjadi salah satu kekuatan baru ekonomi dunia yakni India dan Brazil berturut-turut menduduki peringkat 10 dan 15 dengan 750.777 dan 461.118 dokumen. Sementara Indonesia terpuruk di posisi 61 dengan 20.166 dokumen.

Mengapa Riset

Dalam tulisannya di Kompas (7/4/2014), Daoed Joesoef  mengungkapkan bahwa suatu bangsa bisa maju dalam peradaban hanya bila sub-komunitas ilmiahnya lebih maju dibandingkan dengan sub-komunitas lainnya. Tulisan Daoed diperkuat oleh pernyataan mantan Gubernur Lemhanas, Sayidiman Suryohadiprojo, di media yang sama bahwa bangsa Indonesia hanya dapat hidup bahagia dan sejahtera bila kita bergotong-royong mengembangkan iptek modern, sesuai dengan tuntutan zaman (Kompas, 7/4/2014).  Secara tidak langsung, dua tokoh ini mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar segera sadar untuk menciptakan iklim riset yang masif. Riset berperan besar bagi peningkatan ekonomi suatu negara.

Sebagai contoh Amerika Serikat. Ketika kebanggaan bangsa Amerika tersentuh karena Uni Soviet sudah lebih dulu mengirim satelit Sputnik ke luar angkasa pada 1957, anggaran riset AS melonjak dari 0,5 persen PDB menjadi 2,2 persen PDB. Hasilnya ? AS bukan hanya megejar Uni Soviet dengan mengirim Aldrin dan Armstrong untuk menginjak bulan, melainkan juga embrio revolusi di bidang teknologi informasi (ponsel, internet, dan lain-lain). Namun, sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an, anggaran riset AS turun hingga di bawah 1 persen PDB dan bertahan hingga pemerintahan Obama. Sementara Jepang dan China melipatgandakan anggaran riset. Akibatnya ? General Motors kalah melawan Toyota dan lain-lain hingga Detroit pun bangkrut. [2]

Iklim Riset di Indonesia

Riset ternyata kurang mendapatkan tempat di Indonesia. Sejauh ini anggaran terkait pengembangan iptek di tanah air, baik Perguruan Tinggi maupun lembaga litbang, berkutat di bawah 0,1 persen dari PDB. Sangat jauh dari angka ideal yang disarankan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yakni sebesar 2 persen dari PDB. Fakta tersebut diperkuat dengan ungkapan Mendikbud beberapa bulan lalu bahwa alokasi anggaran tahun 2014 untuk pendidikan tinggi (di seluruh Indonesia) hanya Rp 3,2 Triliun. Sebagai perbandingan, anggaran National University of Singapore (NUS) pada 2013 mencapai Rp 18 triliun. Sangat timpang. Wajar saja jika publikasi kita sangat tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia. Data scopus per 6 Februari 2014 menunjukkan bahwa jumlah publikasi 100 Perguruan Tinggi dan 5 lembaga penelitian  negara sejumlah 19.974 buah, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan satu universitas di Malaysia yaitu Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yakni sejumlah 16.571 buah.
 
Institut Teknologi Bandung, salah satu universitas terkemuka di Indonesia
(doc. Redaksi Majalah Ganesha ITB)
Selain jumlah publikasi internasional, paten yang merupakan hak eksklusif yag diberikan kepada penemu (inventor) termasuk di dalamnya para ilmuwan atas hasil temuannya berupa proses dan produk teknologi ternyata sangat minim. Berdasarkan data United States Patent and Trademark Office (UNSPTO) pada 2010, paten dari Indonesia hanya enam, sedangkan dari Jepang mencapai 44.811 peten. Sementara data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), permohonan paten dalam negeri tahun 2011 berjumlah 820 permohonan, sementara permohonan paten asing berjumlah 5.432 permohonan. Tahun-tahun selanjutnya ternyata tidak jauh berbeda.

Kendala

Kultur riset belum membudaya di tanah air kita disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, anggaran riset. Data Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Heru Susanto dalam Kompas (5/8/2014) menunjukkan bahwa dana pengembangan riset nasional masih berkisar 0,08 persen dari PDB. Nilai tersebut jauh dari yang disarankan oleh UNESCO seperti yang telah disinggung di muka yakni sebesar 2 persen dari PDB. Kedua, kapasitas SDM. Dana riset yang tidak diimbangi dengan kualitas SDM riset yang mumpuni akan menghasilkan riset berkualitas rendah. Saat ini kita kekurangan peneliti. Mengutip Heru Susanto[3], dosen berkualifikasi doktor masih di bawah 10 persen dari jumlah keseluruhan dosen. Doktor sejumlah tersebut termasuk di dalamnya yang sudah mengalami pembusukan akademik[4].

Ketiga,  produktivitas riset. Berdasarkan indeks scopus dan scimagojr.com seperti yang telah disinggung di atas, publikasi ilmiah kita sangat rendah. Bahkan di Asia Tenggara, kita berada di urutan keempat setelah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Secara khusus, produktivitas karya ilmiah internasional Indonesia dibandingkan dengan Malayia adalah 1:7. Keempat, manajemen anggaran. Penganggaran riset masih mengikuti pola APBN. Akibatnya pencairan dana penelitian untuk tahun anggaran tertentu selalu dilakukan di tengah tahun anggaran atau paling cepat di kuartal pertama. Sementara proses penelitian harus dilakukan tepat waktu. Selain itu pembiayaan penelitian sering juga disamakan dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Kelima, tata kelola riset. Saat ini, lembaga-lembaga kementerian maupun non-kementerian sama-sama mengelola riset. Akibatnya saling tumpang tindih. Selain itu,  tidak tampak adanya road map pengembangan tema-tema penelitian yang menunjang pembangunan bangsa.[5] 

Langkah Selanjutnya

Terry Mart dalam tulisannya di Kompas[6] mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang harus segera dilakukan untuk memperbaiki kualitas riset kita yakni perbaikan sistem, infrastruktur riset, dan kualitas SDM. Perbaikan sistem mencakup peningkatan investasi riset besar-besaran serta perubahan sistem penggunaan dana yang banyak dikeluhkan menguras tenaga dan membingungkan periset. Perbaikan infrastruktur  termasuk pengadaan peralatan baru yang tentu tidak murah. Syamsul Rizal menambahkan dalam media yang sama[7] bahwa untuk menggenjot kualitas dan kuantitas riset di Perguruan Tinggi diperlukan rektor yang fokus pada masalah akademik, sementara masalah non-akademik seperti halnya administrasi diserahkan kepada manajemen non-akademik yang terdiri atas orang-orang yang berkompetensi tinggi di bidang keuangan, administrasi, dan lain-lain.

Menjawab kendala yang diterangkan di muka, Heru Susanto dalam tulisannya[8] mengungkapkan bahwa untuk mereformasi riset diperlukan beberapa hal berikut. Pertama, peningkatan efektivitas tata kelola riset. Hal ini untuk menjawab tumpang-tindih pengelolaan riset baik dalam penentuan tema penelitian, jenis penelitian, maupun skema penelitian antarlembaga pengelola riset. Kedua, meningkatkan anggaran riset seperti yang disarankan UNESCO yakni sebesar 1 persen dari PDB. Ketiga, meningkatkan kapasitas SDM seperti halnya memanggil peneliti-peneliti Indonesia di luar negeri untuk pulang membangun riset tanah air dengan jaminan kesejahteraan dan dukungan infrastruktur riset.

Sembari menunggu kemauan politik bangsa ini untuk riset, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah.[9] Pertama, segera bebaskan "penghasilan" institusi untuk setor sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kebijakan PNBP menggusur minat funding agencies, swasta, dan lain-lain karena tidak pas ke dalam sistem mereka. Kedua, lebih fokus pada proses dan produk riset ketimbang birokratisasi parameter capaian, seperti presensi atau aturan teknis lainnya. Ketiga, penghargaan bagi peneliti yang berhasil. Keempat, menambah dana paket-paket penelitian seperti pada Program Riset Unggulan. Demi menambah kapasitas, pemerintah perlu memfasilitasi swasta yang menyediakan dana seperti itu, misalnya melalui program CSR dan tax holiday.


[1] Artikel ini diikutkan dalam kompetisi essay nasional tentang pendidikan yang diadakan oleh Sentra Kegiatan Islam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret pada 30 September 2014.
[2] Hermawan Sulistyo, "Riset untuk Masa Depan Bangsa", Kompas, 21 September 2013.
[3] Heru Susanto, "Momentum Reformasi Riset", Kompas, 5 Agustus 2014.
[4] Terry Mart, "Darurat Riset", Kompas, 13 Agustus 2014.
[5] Heru Susanto, Loc.Cit.
[6] Terry Mart, Loc.Cit.
[7] Syamsul Rizal, "Meningkatkan Kualitas Riset", Kompas, 5 Agustus 2014.
[8] Heru Susanto, Loc.Cit.
[9] Hermawan Sulistyo, Loc.Cit.

0 komentar: