Seri Opini Tentang Ide Poros Maritim Dunia
Ide
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia kembali berhembus sejak Joko
Widodo memplokamirkannya sebagai program unggulan pemerintahannya. Kementerian
Koordinator Bidang Maritim dibentuk. Tetapi yang agak aneh disini justru
mengapa nama kabinetnya justru "Kabinet Kerja", bukan "Kabinet Maritim"?.
Pepatah bilang "Apa arti sebuah nama",
namun bagi saya, nama merupakan bentuk simbolik yang merepresentasikan niat
utuh yang akan akan diperjuangkan. Visi ambisius negara maritim Jokowi-JK tak
selaras dengan nama kabinetnya ; "Kabinet Kerja". Jokowi memang
menginginkan dalam lima tahun memerintah, menteri-menterinya bekerja keras
realisasikan program-program yang akan dilakukannya. Jokowi mengangkat ide
poros maritim, tetapi mengapa tidak menamakan kabinetnya "Kabinet
Maritim" ?. Lantas, apa susahnya memberikan nama "Kabinet Maritim"
?. Dari sini, saya menduga bahwa Tim Transisi Jokowi-JK belum mengkaji secara
menyeluruh terkait ide poros maritim ini. Padahal poros maritim tak sekedar
bicara diplomasi dan ekonomi, melainkan juga aspek pendidikan, budaya, dan
sebagainya.
Berfikir Menyeluruh
Kerangka pembangunan kita sejauh ini masih sangat
tersentral di darat (land based
development), belum terintegrasi dengan pembangunan berbasis kelautan (ocean based development).[1]
Padahal negeri ini merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang
tersusun atas 17.504 pulau (baru 13.466 pulau yang diberi nama dan didaftarkan
ke PBB), memiliki 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan
75 persen wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) termasuk ZEEI (Zona Ekonomi
Esklusif Indonesia).[2]
Selain fakta geografis, konon di masa lampau, nenek
moyang kita adalah seorang pelaut handal. Sebut saja kerajaan Majapahit,
kerajaan Sriwijaya, dan kerajaan Islam, terkenal dengan armada lautnya yang
kuat. Cerita terkait hal ini sudah menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut,
namun sejauh ini cerita yang maha hebat tersebut belum diliterasikan secara
lengkap oleh para sejarawan kita. Wajar saja jika cerita terkait asal-mula
bangsa ini belum masuk box-office
sejarah populer bangsa-bangsa di dunia.
Pengangkatan ide poros maritim dunia oleh
pemerintahan Jokowi-JK harus menjadi pelecut segenap elemen bangsa untuk bangun
dari tidur panjang sebagai bangsa kontinental yang mulai diperkanalkan oleh
penjajah Belanda. Pemerintah harus menjadi terdepan dalam mengkampanyekan ide
poros maritim ini. Tak hanya sekedar jargon masa kampanye, melainkan pemerintah
harus mampu menanamkan mindset maritim
di segala pos kementerian. Pemerintah tak sekedar bicara ide poros maritim
dunia di aspek ekonomi saja seperti ide tol laut dan mencegah pencurian ikan oleh
negara asing, namun pemerintah harus mampu berbicara lebih luas dari pada itu. Jika
hal ini tidak juga dilakukan pemerintah, dikhawatirkan upaya bangsa ini untuk
menjadi poros maritim dunia bisa jadi hanya menjadi kelakar internasional. Ini
karena belum juga kita teguh memahami ide tersebut.[3]
Salah satu cara untuk meningkatkan animo masyarakat
atas ide poros maritim ini adalah dengan mengadakan Gerakan Nasional Makan
Ikan.[4]
Gerakan ini akan mampu menciptakan perubahan pola konsumsi untuk menyiapkan
generasi sehat dan cerdas, perilaku tidak mengotori lingkungan laut,
mempercepat kesejahteraan nelayan, membuka 10 juta lapangan pekerjaan baru,
memperkuat peran strategis bahari Nusantara, merangsang tumbuh kembangnya riset
dan teknologi kelautan, industri pengolahan ikan dan bioteknologi, industri
perkapalan, pembenahan pelabuhan, termasuk pada akhirnya memperkukuh kedaulatan
dengan mempersempit masuknya kapal-kapal ikan asing ke laut Indonesia.[5]
Mendirikan Pusat Studi di Kampus
Universitas (kampus) mengutip pendapat Aristoteles
(384-322 SM) merupakan wadah untuk melakukan penelitian. Artinya mereproduksi
pengetahuan baru. Bukan sekedar pendidikan seperti yang diungkapkan Cicero
(106-43 SM). Ide Aristoteles beribu-ribu tahun lalu ternyata juga menjadi
nafas kampus kita. Kita mengenal Tridharma
Perguruan Tinggi ; Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat
sebagai nilai luhur kampus kita. Fakta ini menegaskan bahwa didirikannya kampus
adalah untuk menjawab masalah bangsa. Kampus tidak sekedar menyiapkan tenaga
kerja untuk industri.
Melihat fungsi kampus yang demikian strategis, Jokowi-JK
harusnya mendorong kampus-kampus di Indonesia terutama Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) untuk menggiatkan riset terkait maritim. Pemerintah Jokowi-JK tidak
sekedar menghimbau seperti yang sering dilakukan pemerintah-pemerintah
sebelumnya, tetapi juga mendorong secara konkret seperti halnya memberikan
insentif dana riset berlebih dan melibatkan kampus dalam menentukan kebijakan
pemerintah terkait maritim. Hal lain yang juga tak kalah penting yaitu
mendorong kampus-kampus untuk mendirikan Pusat Studi Maritim guna mengkaji
segala hal terkait poros maritim dunia. Keluaran dari ini semua adalah terbentuknya
konsep menyeluruh (comprehensive concept)
terkait maritim sehingga ide Indonesia sebagai poros maritim dunia bisa
tercapai sesuai rencana.
[1] Dahuri,
Rochmin, Menggagas Poros Maritim Dunia,
SINAR HARAPAN, 27 September 2014.
[2] Ibid.
[3] Dahana, Radhar
P., Poros Budaya Maritim Dunia, SINAR
HARAPAN, 24 September 2014.
[4] Damanik,
M. Riza, Menggerakkan Poros Maritim,
KOMPAS, 6 September 2014.
[5] Ibid.
0 komentar:
Post a Comment