Tuesday, December 16, 2014

Membangun Sektor Laut

Bagian 1 : Gambaran Umum

Indonesia memiliki  pulau yang jumlahnya lebih dari 17 ribu buah. Garis pantainya terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Wilayah Indonesia 2/3-nya adalah lautan yang tentunya terdiri dari banyak sumber daya seperti ikan, minyak bumi, pariwisata, dan masih banyak lagi. Namun Sampai sekarang, potensi yang luar biasa dari sektor kelautan tersebut belum tergarap dengan baik.
 
Wilayah Indonesia 2/3 adalah lautan (doc. google.com) 
Salah satu faktor utama dari belum tergarapnya sektor kelautan kita adalah karena fokus pembangunan kita masih berkutat pada daratan (land-based development). Saya belum tahu pasti asal muasalnya dari mana. Namun saya rasa paradigma tersebut muncul salah satu sebabnya adalah berkat penjajah Belanda. Seperti halnya pembangunan jalan sepanjang Anyer sampai Panarukan. Juga berbagai gedung-gedung tinggi menjulang di Pulau Jawa. Pada masa tersebut pembangunan terkonsentrasi di daratan terutama Pulau Jawa. Mindset penduduk asli Indonesia (pribumi) pun lambat laun mengikuti. Profesi dokter, insinyur, dan ahli hukum menjadi pekerjaan primadona. Sementara nelayan dan petani menjadi profesi yang termarginalkan. Ironisnya, paradigma ini berkembang sampai sekarang. Salah satu akibatnya, Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) belum mampu untuk melakukan swasembada pangan.

Ide untuk kembali pada jati diri sebagai bangsa maritim kembali diumumkan ke publik oleh Jokowi sejak ketika masa kampanye Pemilu Presiden beberapa bulan lalu. Biarpun memang gagasan Jokowi bisa terbilang populis dan kurang menyeluruh dalam memandang arti poros maritim dunia, tapi setidaknya cukup membuka mata segenap elemen bangsa. Berikut saya tautkan ide poros maritim dunia ala Jokowi yang disampaikan pada East Asia Summit IX di Naypyidaw, Myanmar, 13 November 2014 [1]:

”Pertama, kami akan membangun kembali budaya maritim Indonesia. Sebagai negara yang terdiri dari 17.000 pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya, sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudra.

Kedua, kami akan menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Kekayaan maritim kami akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat kami.

Ketiga, kami akan memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.
Keempat, melalui diplomasi maritim, kami mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua.

Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudra, Indonesia memiliki kewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.”

Lima pilar yang diungkapkan Jokowi diatas saya rasa belum cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Definisi maritim yang saya tahu tak sekedar memaksimalkan potensi ekonomi yang ada di laut melainkan yang lebih penting yakni menggunakan instrumen teknologi dalam memaksimalkan potensi laut tersebut. Disini, riset terkait laut berkembang secara signifikan. Tegasnya, kampus dan berbagai lembaga riset dilibatkan dalam melakukan pembangunan di laut. Jokowi memang mengundang banyak investor dari luar negeri untuk menanamkan modalnya di sektor laut ini, namun bukannya investasi hanya menguntungkan mereka yang sudah sustain dengan teknologi canggih ?. Keluarannya nanti ekonomi kita akan tumbuh memang, tapi kita tidak pernah belajar mengelola kekayaan alam laut kita sendiri. Pemerintah seakan lupa dengan banyaknya SDA di daratan kita yang terkuras habis oleh investor asing sementara kita tak lebih sekedar penonton. Tak ada ruang bagi kita untuk belajar dari teknologi yang mereka pakai untuk mengekspolotasi kekayaan alam ini. Lulusan Perguruan Tinggi pun sekedar menjadi tenaga pekerja di perusahaan yang orang asing dirikan.

Mengubah Mindset

Pandangan hidup atau akur disebut mindset memegang peran sangat vital dalam proses pembangunan. Mengubahnya pun membutuhkan strategi yang amat sulit. Paradigma berfikir masyarakat sebagai bangsa daratan dan mengubahnya menjadi bangsa bahari membutuhkan waktu relatif lama namun ini harus dilakukan guna melancarkan ide ocean-based development. Hal ini tak sekedar diucapkan dan di-pop-kan di media-media mainstream dan juga sosial media namun diimplementasikan strategi pelaksanaannya seperti di dunia pendidikan. Konten terkait laut di-input di berbagai buku yang dipasok di sekolahan mulai dari jenjang pendidikan dini sampai atas. Kampus atau Pendidikan Tinggi dipacu risetnya terkait laut. Juga pemerintah mendirikan dan menstimulus segenap elemen bangsa (terutama kaum terdidik) mendirikan berbagai industri dan perusahaan pengolahan sumber daya laut. Saya rasa melalui jalan ini segenap rakyat akan sudi berpartisipasi dalam proses pembangunan laut. Terkait turut berpartisipasinya segenap rakyat dalam pembangunan, banyak ekonom menyebutnya sebagai pembangunan inklusif.

Selaras dengan membangun mindset segenap elemen bangsa akan laut, politik yang menjadi ujung dalam membuat kebijakan pembangunan sektor laut harus dibangun nalarnya. Seperti yang ditulis Ali Rif'an[2] bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebakan nalar politik maritim harus segera dibangun. Pertama, nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Kedua, dari sisi geopolitik, sektor maritim sangat vital, apalagi dalam kasus Indonesia. Ketiga, laut dapat menjadi kekuatan ekonomi.

Strategi taktis sebagai upaya untuk mengubah mindset ini bisa dilakukan seperti halnya membuat gerakan makan ikan atau menetapkan tanggal tertentu sebagai hari maritim. Pemerintah memang telah tetapkan 13 Desember sebagai hari nusantara, tetapi dengungnya di publik kurang dirasakan. Padahal, dipilihnya hari itu adalah sebagai reminder deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 dimana melalui deklarasi tersebut, Indonesia yang selepas Belanda luasnya hanya 0,2 juta km2 dengan batas laut 3 mil laut dari pantai, kini menjadi 5,8 juta km2 dengan batas wilayah 12 mil laut dari pantai terluar. Deklarasi ini juga melahirkan konsepsi wawasan nusantara yang menyatukan keseluruhan tanah-air Indonesia yang selanjutnya diakui dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982.

Epilog

Pekerjaan Rumah untuk mewujudukan visi poros maritim dunia dengan Ocean-Based Development masih sangat banyak. Pemerintah Jokowi cukuplah menjadi semacam pembuka ide besar ini dimana sudah sekian tahun luput dari pembahasan segenap elemen bangsa. Selama industri yang berkaitan dengan sektor laut dan juga riset terkait itu tidak berkembang secara masif, kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintahan Jokowi selama lima tahun ke depan. Oleh karenanya, dibutuhkan sumbangsih pemikiran dan tindakan segenap elemen bangsa khusunya kaum intelektual untuk bersama-sama memikirkan konsep poros maritim dunia yang belum tuntas itu. Kita berharap ide besar tersebut akan tercapai di saat Indonesia berusia 100 Tahun pada 2045 nanti atau bahkan jauh sebelum itu biarpun memang kemungkinannya kecil.  


[1] Kutipan ini diambil dari tulisan GPF Luhulima di KOMPAS, 10 Desember 2014 dengan judul "Jalur Sutra Maritim".
[2] Artikel yang ditulis Ali Rif'an berjudul "Menghidupkan Nalar Politik Maritim", SINAR HARAPAN, 8 September 2014. 

0 komentar: