Bagian 1 : Gambaran Umum
Indonesia
memiliki pulau yang jumlahnya lebih dari
17 ribu buah. Garis pantainya terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Wilayah
Indonesia 2/3-nya adalah lautan yang tentunya terdiri dari banyak sumber daya
seperti ikan, minyak bumi, pariwisata, dan masih banyak lagi. Namun Sampai
sekarang, potensi yang luar biasa dari sektor kelautan tersebut belum tergarap
dengan baik.
Salah satu faktor utama dari belum tergarapnya sektor
kelautan kita adalah karena fokus pembangunan kita masih berkutat pada daratan
(land-based development). Saya belum
tahu pasti asal muasalnya dari mana. Namun saya rasa paradigma tersebut muncul
salah satu sebabnya adalah berkat penjajah Belanda. Seperti halnya pembangunan
jalan sepanjang Anyer sampai Panarukan. Juga berbagai gedung-gedung tinggi
menjulang di Pulau Jawa. Pada masa tersebut pembangunan terkonsentrasi di
daratan terutama Pulau Jawa. Mindset
penduduk asli Indonesia (pribumi) pun lambat laun mengikuti. Profesi dokter, insinyur,
dan ahli hukum menjadi pekerjaan primadona. Sementara nelayan dan petani menjadi
profesi yang termarginalkan. Ironisnya, paradigma ini berkembang sampai
sekarang. Salah satu akibatnya, Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA)
belum mampu untuk melakukan swasembada pangan.
Ide untuk kembali pada jati diri sebagai bangsa
maritim kembali diumumkan ke publik oleh Jokowi sejak ketika masa kampanye
Pemilu Presiden beberapa bulan lalu. Biarpun memang gagasan Jokowi bisa
terbilang populis dan kurang menyeluruh dalam memandang arti poros maritim
dunia, tapi setidaknya cukup membuka mata segenap elemen bangsa. Berikut saya
tautkan ide poros maritim dunia ala Jokowi yang disampaikan pada East Asia
Summit IX di Naypyidaw, Myanmar, 13 November 2014 [1]:
”Pertama, kami akan membangun kembali budaya
maritim Indonesia. Sebagai negara yang terdiri dari 17.000 pulau, bangsa
Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang
identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya, sangat ditentukan oleh
bagaimana kita mengelola samudra.
Kedua, kami akan menjaga dan mengelola sumber daya
laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan
industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Kekayaan
maritim kami akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat kami.
Ketiga, kami akan memberi prioritas pada
pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol
laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.
Keempat, melalui diplomasi maritim, kami mengajak
semua mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Bersama-sama
kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan,
pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut
harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua.
Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu
dua samudra, Indonesia memiliki kewajiban membangun kekuatan pertahanan
maritim. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan
maritim, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam menjaga
keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.”
Lima pilar yang diungkapkan Jokowi diatas saya rasa belum
cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Definisi maritim
yang saya tahu tak sekedar memaksimalkan potensi ekonomi yang ada di laut melainkan
yang lebih penting yakni menggunakan instrumen teknologi dalam memaksimalkan
potensi laut tersebut. Disini, riset terkait laut berkembang secara signifikan.
Tegasnya, kampus dan berbagai lembaga riset dilibatkan dalam melakukan
pembangunan di laut. Jokowi memang mengundang banyak investor dari luar negeri
untuk menanamkan modalnya di sektor laut ini, namun bukannya investasi hanya
menguntungkan mereka yang sudah sustain
dengan teknologi canggih ?. Keluarannya nanti ekonomi kita akan tumbuh memang,
tapi kita tidak pernah belajar mengelola kekayaan alam laut kita sendiri.
Pemerintah seakan lupa dengan banyaknya SDA di daratan kita yang terkuras habis
oleh investor asing sementara kita tak lebih sekedar penonton. Tak ada ruang
bagi kita untuk belajar dari teknologi yang mereka pakai untuk mengekspolotasi
kekayaan alam ini. Lulusan Perguruan Tinggi pun sekedar menjadi tenaga pekerja
di perusahaan yang orang asing dirikan.
Mengubah Mindset
Pandangan hidup atau akur disebut mindset memegang peran sangat vital
dalam proses pembangunan. Mengubahnya pun membutuhkan strategi yang amat sulit.
Paradigma berfikir masyarakat sebagai bangsa daratan dan mengubahnya menjadi
bangsa bahari membutuhkan waktu relatif lama namun ini harus dilakukan guna
melancarkan ide ocean-based development.
Hal ini tak sekedar diucapkan dan di-pop-kan
di media-media mainstream dan juga
sosial media namun diimplementasikan strategi pelaksanaannya seperti di dunia
pendidikan. Konten terkait laut di-input
di berbagai buku yang dipasok di sekolahan mulai dari jenjang pendidikan dini
sampai atas. Kampus atau Pendidikan Tinggi dipacu risetnya terkait laut. Juga
pemerintah mendirikan dan menstimulus segenap elemen bangsa (terutama kaum
terdidik) mendirikan berbagai industri dan perusahaan pengolahan sumber daya
laut. Saya rasa melalui jalan ini segenap rakyat akan sudi berpartisipasi dalam
proses pembangunan laut. Terkait turut berpartisipasinya segenap rakyat dalam
pembangunan, banyak ekonom menyebutnya sebagai pembangunan inklusif.
Selaras dengan membangun mindset segenap elemen bangsa akan laut, politik yang menjadi ujung
dalam membuat kebijakan pembangunan sektor laut harus dibangun nalarnya. Seperti
yang ditulis Ali Rif'an[2]
bahwa setidaknya ada tiga faktor
penting yang menyebakan nalar politik maritim harus segera dibangun. Pertama, nenek moyang kita adalah seorang
pelaut. Kedua, dari sisi geopolitik,
sektor maritim sangat vital, apalagi dalam kasus Indonesia. Ketiga, laut dapat menjadi kekuatan
ekonomi.
Strategi taktis sebagai upaya untuk mengubah mindset ini bisa dilakukan seperti
halnya membuat gerakan makan ikan atau menetapkan tanggal tertentu sebagai hari
maritim. Pemerintah memang telah tetapkan 13 Desember sebagai hari nusantara,
tetapi dengungnya di publik kurang dirasakan. Padahal, dipilihnya hari itu
adalah sebagai reminder deklarasi
Djuanda pada 13 Desember 1957 dimana melalui deklarasi tersebut, Indonesia yang
selepas Belanda luasnya hanya 0,2 juta km2 dengan batas laut 3 mil laut dari
pantai, kini menjadi 5,8 juta km2 dengan batas wilayah 12 mil laut dari pantai
terluar. Deklarasi ini juga melahirkan konsepsi wawasan nusantara yang menyatukan
keseluruhan tanah-air Indonesia yang selanjutnya diakui dunia melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982.
Epilog
Pekerjaan Rumah untuk mewujudukan visi poros maritim
dunia dengan Ocean-Based Development
masih sangat banyak. Pemerintah Jokowi cukuplah menjadi semacam pembuka ide
besar ini dimana sudah sekian tahun luput dari pembahasan segenap elemen
bangsa. Selama industri yang berkaitan dengan sektor laut dan juga riset
terkait itu tidak berkembang secara masif, kita tidak bisa berharap banyak dari
pemerintahan Jokowi selama lima tahun ke depan. Oleh karenanya, dibutuhkan sumbangsih
pemikiran dan tindakan segenap elemen bangsa khusunya kaum intelektual untuk
bersama-sama memikirkan konsep poros maritim dunia yang belum tuntas itu. Kita
berharap ide besar tersebut akan tercapai di saat Indonesia berusia 100 Tahun
pada 2045 nanti atau bahkan jauh sebelum itu biarpun memang kemungkinannya
kecil.
[1] Kutipan
ini diambil dari tulisan GPF Luhulima di KOMPAS, 10 Desember 2014 dengan judul "Jalur Sutra Maritim".
[2] Artikel
yang ditulis Ali Rif'an berjudul "Menghidupkan
Nalar Politik Maritim", SINAR HARAPAN, 8 September 2014.
0 komentar:
Post a Comment