Tuesday, December 23, 2014

Membangun Sektor Laut

Bagian 2 : Potensi Ekonomi

Pada tulisan kali ini saya akan singgung beberapa potensi ekonomi yang ada di laut. Sangat mungkin deskripsi saya kurang lengkap. Namun setidaknya, berikut adalah gambaran umum dari sumber pendapatan negara dari sektor laut. Jika bangsa ini dapat mengelolanya dengan optimal, akan berdampak positif dalam pertumbuhan ekonomi kita di masa mendatang.

Sampai tulisan ini diturunkan, data potensi yang cukup lengkap dari sektor kelautan saya dapatkan dari tulisan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Rokhmin Dahuri, di SINAR HARAPAN, 27 September 2014. Dalam tulisannya Rokhmin sebutkan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas 17.504 pulau (baru 13.466 pulau yang diberi nama dan didaftarkan ke PBB), memiliki 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan 75 persen wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) termasuk zona ZEEI (Zona Ekonomi Esklusif Indonesia). Wilayah pesisir dan laut mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa Sumber Daya Alam (SDA) terbarukan seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi, SDA tak terbarukan seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bouksit, dan mineral lainnya, energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion/OTEC, dan juga jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.
 
Potensi ekonomi dari sektor kelautan luar biasa besar (doc.google.com)
Rokhmin selanjutnya menjelaskan  bahwa dari melalui kelautan sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan dimana memiliki potensi ekonomi sekitar US$ 1,2 triliun. Kesebelas sektor tersebut adalah : (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, )4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional. Sementara itu, Muhammad Karim dalam tulisannya di harian yang sama pada 5 September 2014, mengutip pemikiran Kildowetall (2009) dan Colgan (2007) bahwa ekonomi kelautan mencakup enam katagori.

Pertama adalah konstruksi yang berkaitan dengan bangunan kelautan. Seperti pelabuhan laut, penahan gelombang, dan jetty. Kedua adalah sumber daya hayati kelautan yang meliputi pembenihan dan budi daya perikanan, penangkapan ikan, pemrosesan, dan pemasaran hasil laut. Ketiga adalah mineral yang meliputi batu gamping, pasir laut dan kerikil, dan produksi hingga eksplorasi minyak dan gas lepas pantai. Keempat adalah pembangunan kapal dan perahu yang terdiri atas galangan kapal buat memperbaiki dan membangun kapal/perahu. Kelima adalah jasa pariwisata bahari dan rekreasi yang terdiri atas jasa hiburan dan rekreasi laut semacam banana boat dan ski, penyewaan perahu/boat, restoran makanan dan minuman, hotel dan penginapan (cottage dan homestay), marina, lokasi rekreasi dan kamp wilayah pesisir, tur menikmati pemandangan air laut (oceanic water tour), bisnis dan penyewaan olahraga air (scuba diving, surfing), dan pembangunan akuarium laiu. Keenam adalah transportasi laut mencakup transportasi laut dalam (deep sea), kapal penumpang, jasa transportasi laut, pencarian dan navigasi laut, dan pergudangan.

Kerugian Yang Tercatat

Potensi ekonomi yang luar biasa besar tersebut teryata sampai kini belum maksimal digarap oleh pemerintah. Salah satu akibatnya adalah maraknya illegal fishing yang seperti data BPK pada 2012 mencatat bahwa Indonesia merugi sampai Rp. 365 triliun. Itu belum lagi ditambah dengan praktik penyelundupan, perusakan lingkungan, dan pencurian artefak di laut. Jelas semakin besar lagi kerugiannya. Potensi lain yang lost adalah masalah jalur transportasi. Seperti yang disinggung  oleh Achmad Soetjipto dalam tulisannya di MEDIA INDONESIA (2/9/2014) bahwa sekitar 90 persen pergerakan perdagangan dunia memanfaatkan transportasi laut. Sekitar 75 persen melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1.300 triliun per tahun. Kurang maksimalnya pengelolaan sektor maritim ini berdampak juga pada kecilnya kontribusi sektor kelautan Indonesia pada PDB nasional yakni sekitar 22 persen saja. Padahal Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok yang lautnya lebih kecil dari Indonesia mampu memberikan kontribusi hingga 48,4 persen bagi PDB nasionalnya. Vietnam yang juga bukan negara kepulauan, sektor kepulauannya mampu menyumbang 57,63 % terhadap PDB nasionalnya.

Kembali mengutip tulisan Rokhmin Dahuri di media lain, MEDIA INDONESIA edisi 9 September 2014, bahwa lebih dari 80 persen barang yang kita ekspor harus melalui pelabuhan Singapura. Akibatnya ongkos untuk mengangkut satu peti kemas (kontainer) dari Jakarta ke Surabaya dua kali lipat lebih mahal dari biaya pengiriman dari Singapura ke Los Angeles. Biaya logistik kita sejauh ini termahal di dunia dengan mencapai 27 persen dari PDB. Bandingkan dengan biaya logistik di Singapura yang hanya 6 persen dari PDB, Thailand, Vietnam, dan Tiongkok masing-masing hanya 7 persen dari PDB, dan sementara Malaysia 8 persen dari PDB. Disini buruknya konektivitas maritim sebabkan harga satu sak semen di pulau Jawa Rp 65 ribu, sedangkan di Papua Rp 500 ribu. Sangat timpang perbedaannya.

Belum Selesai

Sejak Presiden Jokowi mengangkat isu poros maritim, seakan pembangunan sektor kelautan akan selesai di masa kepemimpinan Jokowi lima tahun mendatang. Menurut saya tidak begitu. Berita yang digembar-gemborkan media nasional dan ramai di publik seperti kebijakan penenggelaman kapal saya rasa cuma masalah kecil. Apalagi jumlah kapal asing yang berhasil ditenggelamkan hanya hitungan jari, sementara itu setiap harinya ribuan kapal asing menjarah ikan di perairan Indonesia. Saya berkesimpulan bahwa masalah maritim ini tidak akan selesai dalam waktu lima tahun mendatang. Oleh karenanya dibutuhkan kajian yang lebih mendalam terkait hal ini.

Dalam teori pembangunan ekonomi seperti yang ditulis oleh Sahala Hutabarat dalam SUARA MERDEKA (11/8/2014) menyatakan bahwa negara akan berhasil apabila pembangunannya didasarkan pada kondisi objektif geografis negara tersebut. Secara geografis, laut kita jelas lebih luas dari daratan. Sudah seharusnya kita lebih prioritaskan menggarap sektor laut.

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip epistemologi maritim seperti yang ditulis Tridoyo Kusumastanto di KORAN SINDO (1/9/2014) bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, harus dipenuhi empat kriteria. Pertama, berdaulat di wilayah NKRI dan disegani negara lain atas wilayahnya. Kedua, menguasai seluruh wilayah darat, laut, dan udara melalui effective occupancy dan memiliki sea power yang diandalkan secara nasional dan global. Ketiga, mampu mengelola dan memanfaatkan berbagai potensi pembangunan sesuai aturan nasional dan internasional. Keempat, menghasilkan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia.

0 komentar: