Bagian 2 : Potensi Ekonomi
Pada
tulisan kali ini saya akan singgung beberapa potensi ekonomi yang ada di laut.
Sangat mungkin deskripsi saya kurang lengkap. Namun setidaknya, berikut adalah
gambaran umum dari sumber pendapatan negara dari sektor laut. Jika bangsa ini
dapat mengelolanya dengan optimal, akan berdampak positif dalam pertumbuhan
ekonomi kita di masa mendatang.
Sampai tulisan ini diturunkan, data potensi yang
cukup lengkap dari sektor kelautan saya dapatkan dari tulisan Guru Besar
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Rokhmin Dahuri, di SINAR HARAPAN, 27
September 2014. Dalam tulisannya Rokhmin sebutkan bahwa Indonesia merupakan
negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas 17.504 pulau
(baru 13.466 pulau yang diberi nama dan didaftarkan ke PBB), memiliki 95.181 km
garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan 75 persen wilayahnya berupa
laut (5,8 juta km2) termasuk zona ZEEI (Zona Ekonomi Esklusif Indonesia). Wilayah
pesisir dan laut mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik
berupa Sumber Daya Alam (SDA) terbarukan seperti perikanan, terumbu karang,
hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi, SDA tak terbarukan
seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bouksit, dan mineral lainnya,
energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion/OTEC,
dan juga jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi
laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.
Rokhmin selanjutnya menjelaskan bahwa dari melalui kelautan sedikitnya ada 11
sektor ekonomi kelautan dimana memiliki potensi ekonomi sekitar US$ 1,2
triliun. Kesebelas sektor tersebut adalah : (1) perikanan tangkap, (2)
perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, )4) industri
bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7)
hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau
kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional. Sementara
itu, Muhammad Karim dalam tulisannya di harian yang sama pada 5 September 2014,
mengutip pemikiran Kildowetall (2009) dan Colgan (2007) bahwa ekonomi kelautan
mencakup enam katagori.
Pertama
adalah konstruksi yang berkaitan dengan bangunan kelautan. Seperti pelabuhan
laut, penahan gelombang, dan jetty. Kedua
adalah sumber daya hayati kelautan yang meliputi pembenihan dan budi daya
perikanan, penangkapan ikan, pemrosesan, dan pemasaran hasil laut. Ketiga adalah mineral yang meliputi batu
gamping, pasir laut dan kerikil, dan produksi hingga eksplorasi minyak dan gas
lepas pantai. Keempat adalah
pembangunan kapal dan perahu yang terdiri atas galangan kapal buat memperbaiki
dan membangun kapal/perahu. Kelima
adalah jasa pariwisata bahari dan rekreasi yang terdiri atas jasa hiburan dan
rekreasi laut semacam banana boat dan
ski, penyewaan perahu/boat, restoran
makanan dan minuman, hotel dan penginapan (cottage
dan homestay), marina, lokasi
rekreasi dan kamp wilayah pesisir, tur menikmati pemandangan air laut (oceanic water tour), bisnis dan
penyewaan olahraga air (scuba diving,
surfing), dan pembangunan akuarium laiu. Keenam adalah transportasi laut mencakup transportasi laut dalam (deep sea), kapal penumpang, jasa
transportasi laut, pencarian dan navigasi laut, dan pergudangan.
Kerugian Yang Tercatat
Potensi ekonomi yang luar biasa besar tersebut
teryata sampai kini belum maksimal digarap oleh pemerintah. Salah satu
akibatnya adalah maraknya illegal fishing
yang seperti data BPK pada 2012 mencatat bahwa Indonesia merugi sampai Rp. 365
triliun. Itu belum lagi ditambah dengan praktik penyelundupan, perusakan
lingkungan, dan pencurian artefak di laut. Jelas semakin besar lagi
kerugiannya. Potensi lain yang lost
adalah masalah jalur transportasi. Seperti yang disinggung oleh Achmad Soetjipto dalam tulisannya di MEDIA
INDONESIA (2/9/2014) bahwa sekitar 90 persen pergerakan perdagangan dunia
memanfaatkan transportasi laut. Sekitar 75 persen melalui laut Indonesia dengan
nilai sekitar US$ 1.300 triliun per tahun. Kurang maksimalnya pengelolaan
sektor maritim ini berdampak juga pada kecilnya kontribusi sektor kelautan
Indonesia pada PDB nasional yakni sekitar 22 persen saja. Padahal Jepang, Korea
Selatan, dan Tiongkok yang lautnya lebih kecil dari Indonesia mampu memberikan
kontribusi hingga 48,4 persen bagi PDB nasionalnya. Vietnam yang juga bukan
negara kepulauan, sektor kepulauannya mampu menyumbang 57,63 % terhadap PDB
nasionalnya.
Kembali mengutip tulisan Rokhmin Dahuri di media
lain, MEDIA INDONESIA edisi 9 September 2014, bahwa lebih dari 80 persen barang
yang kita ekspor harus melalui pelabuhan Singapura. Akibatnya ongkos untuk
mengangkut satu peti kemas (kontainer) dari Jakarta ke Surabaya dua kali lipat
lebih mahal dari biaya pengiriman dari Singapura ke Los Angeles. Biaya logistik
kita sejauh ini termahal di dunia dengan mencapai 27 persen dari PDB.
Bandingkan dengan biaya logistik di Singapura yang hanya 6 persen dari PDB,
Thailand, Vietnam, dan Tiongkok masing-masing hanya 7 persen dari PDB, dan
sementara Malaysia 8 persen dari PDB. Disini buruknya konektivitas maritim
sebabkan harga satu sak semen di pulau Jawa Rp 65 ribu, sedangkan di Papua Rp
500 ribu. Sangat timpang perbedaannya.
Belum Selesai
Sejak Presiden Jokowi mengangkat isu poros maritim,
seakan pembangunan sektor kelautan akan selesai di masa kepemimpinan Jokowi
lima tahun mendatang. Menurut saya tidak begitu. Berita yang digembar-gemborkan
media nasional dan ramai di publik seperti kebijakan penenggelaman kapal saya
rasa cuma masalah kecil. Apalagi jumlah kapal asing yang berhasil
ditenggelamkan hanya hitungan jari, sementara itu setiap harinya ribuan kapal
asing menjarah ikan di perairan Indonesia. Saya berkesimpulan bahwa masalah
maritim ini tidak akan selesai dalam waktu lima tahun mendatang. Oleh karenanya
dibutuhkan kajian yang lebih mendalam terkait hal ini.
Dalam teori pembangunan ekonomi seperti yang ditulis
oleh Sahala Hutabarat dalam SUARA MERDEKA (11/8/2014) menyatakan bahwa negara
akan berhasil apabila pembangunannya didasarkan pada kondisi objektif geografis
negara tersebut. Secara geografis, laut kita jelas lebih luas dari daratan. Sudah
seharusnya kita lebih prioritaskan menggarap sektor laut.
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip
epistemologi maritim seperti yang ditulis Tridoyo Kusumastanto di KORAN SINDO
(1/9/2014) bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, harus
dipenuhi empat kriteria. Pertama,
berdaulat di wilayah NKRI dan disegani negara lain atas wilayahnya. Kedua, menguasai seluruh wilayah darat,
laut, dan udara melalui effective
occupancy dan memiliki sea power
yang diandalkan secara nasional dan global. Ketiga,
mampu mengelola dan memanfaatkan berbagai potensi pembangunan sesuai aturan
nasional dan internasional. Keempat,
menghasilkan kemakmuran bagi segenap rakyat Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment