Saturday, December 20, 2014

Menggarap Yang Belum Tergarap

Saya bukanlah seorang pakar pembangunan. Juga bukan seorang ekonom dan juga pakar kebijakan publik. Juga bukan pula teknolog dan ilmuwan. Saya hanya seorang rakyat Indonesia yang hanya mengetahui kerak dari berbagai permasalahan yang ada di Indonesia. Lebih tepatnya masalah sektoral yang menurut saya harus ditemukan solusi untuk menggarapnya. Masalah sektoral ini yang seringkali abai disinggung oleh mereka yang katanya memegang jabatan publik. Justru masalah kecil lagi kurang penting yang disorot dan menjadi buah bibir masyarakat secara luas. Saya rasa masalah sektoral yang belum tergarap ini harus segera ditemukan jalan agar segera digarap. Ini tak lain demi masa depan anak-cucu kita.

Tenaga kita akan terkuras habis jika sepanjang hari kita hanya membahas dan memperdebatkan masalah remeh temeh yang sama sekali tidak fundamental dalam upaya memajukan sebuah bangsa. Media mainstream dan juga dibantu secara sukarela oleh aktivis jejaring sosial pun dengan senang hati menyebarluaskan informasi ini ke khalayak. Publik pun dibuat penasaran dan terkadang naik darah. Hal ini menjadikan hari-hari dipenuhi oleh hal yang kontraproduktif yang sebabkan diri lelah ketika diajak ke ranah yang lebih substansial. Selain publik yang terbawa arus semacam itu, para pejabat publik juga seringkali menyebarkan informasi yang rentan menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat luas. Informasi tersebut didapat dari berbagai kebijakan/wacana kebijakan yang tidak substansial seperti halnya isu server e-KTP di luar negeri, isu kenaikan harga BBM dengan alasan klasiknya, wacana pengangkatan direksi BUMN dari luar negeri, isu penjualan aset BUMN demi efisiensi, isu pembatasan undangan pernikahan untuk PNS, dan masih banyak lagi. Bagi saya isu tersebut sangat remeh temeh yang akhirnya menimbulkan perdebatan dan terkadang permusuhan di kalangan bangsa Indonesia. Pemerintah seolah menutup diri dengan berbagai masalah fundamental yang ada saat ini. Dari sini saya menduga bahwa sejatinya para pejabat publik ini bukanlah seorang pemimpin yang memberikan harapan dan mendidik rakyat, melainkan seorang yang hanya memikirkan jabatan. Bukan tulus sebagai pengabdian.

Kemandirian Bangsa Sebagai Fokus

Definisi kata kemandirian ini seringkali dipolitisasi oleh para oknum politisi maupun partai politik. Seperti halnya iklan layanan publik. Ada salah satu partai politik yang giat kampanye akan kemandirian pangan, energi, dan sebagainya tetapi ketika partai tersebut berkuasa justru keluar berbagai wacana privatisasi BUMN demi efektivitas dan efisiensi, wacana pengembangan energi alternatif sebagai imbas semakin menipisnya cadangan energi nasional dan harga BBM yang naik tetapi pelaksanaannya nol besar, dan lain sebagainya. Dari sini saya berkesimpulan bahwa para pejabat publik ini masihlah setengah hati melakukan riset dan pengkajian terkait makna kemandirian ini. Mereka jarang atau tidak pernah berdiskusi/duduk satu meja dengan mereka para expert pembangunan, teknolog, ilmuwan, praktisi ilmu humaniora, dan sebagainya yang sebagian besar bermukim di kampus. Akibatnya apa yang keluar dari mulut mereka biarpun sampai berbusa-busa hanyalah pepesan kosong. Sangat normatif. Pada akhirnya, saat mereka menjabat posisi tertentu, mereka langsung berkonsultasi dengan para expert dari luar negeri. Padahal di negeri kita saya yakin SDM yang qualified masih ada. Mereka entah tidak tahu atau tidak mau tahu alias mencari jalan pintas.
Lautan adalah salah satu SDA yang belum tergarap (doc. google.com)
Masalah kemandirian dekat sekali dengan masalah perekonomian bangsa. Memang roda perekonomian bergerak terus, namun pengkajian dan pembahasan terkait kemandirian di bidang ini harus terus digalakkan. Perekonomian kita saat ini kebanyakan ditopang oleh industri ekstraktif (mentahan) seperti minyak bumi, batubara, biji besi, dan sebagainya. Kita memang kaya akan hal ini dan cara paling mudah untuk hasilkan devisa negara dari komoditas ini adalah melalui penjualan langsung tanpa pengolahan. Padahal, jika komoditas ini diolah pasti akan hasilkan devisa berkali-kali lipat. Pengolahan secara mandiri yang memberikan nilai tambah ini salah satu bagian dari kemandirian. Masalah lain seperti pertanian, berbagai komoditas pangan kita banyak yang impor. Jika kemandirian sebagai nafas ekonomi kita, maka tak ada kata lain selain bergegas untuk mencapai swasembada pangan. Di sektor lain seperti perikanan. Jangan sampai kita di waktu-waktu mendatang impor ikan laut dari negara asing. Oleh karenanya dibutuhkan cara yang tidak biasa untuk menuju cita-cita kemandirian di bidang pangan dan energi yakni penguasaan sains dan teknologi.

Pengembangan Sains dan Teknologi

Satu-satunya cara untuk dapat mengelola kekayaan alam kita adalah dengan menguasai cara mengelolanya. Hal ini tak lain adalah pekerjaan para saintis dan teknolog. Tentunya dibantu pula dengan kemampuan manajerial, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Tetapi dua profesi penting tersebut masih sangat kurang. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa jumlah peneliti kita saat ini hanya sekitar 8.000 orang, sedangkan pengajar di lembaga perguruan tinggi dan swasta hanya sekitar 160.000 orang. Data lain dari Kompas (13/8/2013) menunjukkan bahwa perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di Indonesia adalah 205 peneliti dari setiap 1 juta jiwa. Sangat timpang sekali. Itu belum ditambah dengan produktivitas riset kita yang sampai saat ini masih rendah.

Jika pemerintah punya kesadaran untuk memberikan nilai tambah dalam SDA yang kita miliki, maka seharusnya pemerintah me-reorientasi  lembaga riset dan kampus agar riset-risetnya terkait pengelolaan SDA. Mengutip kata I Gede Wanten, bahwa labolatorium Indonesia itu terbentang dari Sabang sampai Merauke. Luas sekali. Wilayah yang sangat luas tersebut ternyata kebanyakan belum tergarap dengan baik. Tegasnya belum tersentuh oleh lembaga riset dan Perguruan Tinggi. Oleh karenanya, kampus sebagai penjaga gawang ilmu pengetahuan harus diubah orientasinya dari sekedar pembentukan insan terampil yang hanya sekedar mengisi kursi dunia industri menjadi para cendekia/ilmuwan/peneliti dan juga insan industri yang ketika lulus sudah siap untuk mengelola/membuka industri pengelola SDA. Ini dibutuhkan niat yang serius dari pemerintah dan juga para pemangku kepentingan di kampus.

0 komentar: