Saya bukanlah seorang pakar pembangunan. Juga bukan seorang ekonom dan
juga pakar kebijakan publik. Juga bukan pula teknolog dan ilmuwan. Saya hanya
seorang rakyat Indonesia yang hanya mengetahui kerak dari berbagai permasalahan
yang ada di Indonesia. Lebih tepatnya masalah sektoral yang menurut saya harus
ditemukan solusi untuk menggarapnya. Masalah sektoral ini yang seringkali abai
disinggung oleh mereka yang katanya memegang jabatan publik. Justru masalah
kecil lagi kurang penting yang disorot dan menjadi buah bibir masyarakat secara
luas. Saya rasa masalah sektoral yang belum tergarap ini harus segera ditemukan
jalan agar segera digarap. Ini tak lain demi masa depan anak-cucu kita.
Tenaga kita akan terkuras habis
jika sepanjang hari kita hanya membahas dan memperdebatkan masalah remeh temeh
yang sama sekali tidak fundamental dalam upaya memajukan sebuah bangsa. Media mainstream dan juga dibantu secara sukarela
oleh aktivis jejaring sosial pun dengan senang hati menyebarluaskan informasi
ini ke khalayak. Publik pun dibuat penasaran dan terkadang naik darah. Hal ini
menjadikan hari-hari dipenuhi oleh hal yang kontraproduktif yang sebabkan diri
lelah ketika diajak ke ranah yang lebih substansial. Selain publik yang terbawa
arus semacam itu, para pejabat publik juga seringkali menyebarkan informasi
yang rentan menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat luas. Informasi
tersebut didapat dari berbagai kebijakan/wacana kebijakan yang tidak
substansial seperti halnya isu server e-KTP di luar negeri, isu kenaikan harga
BBM dengan alasan klasiknya, wacana pengangkatan direksi BUMN dari luar negeri,
isu penjualan aset BUMN demi efisiensi, isu pembatasan undangan pernikahan
untuk PNS, dan masih banyak lagi. Bagi saya isu tersebut sangat remeh temeh
yang akhirnya menimbulkan perdebatan dan terkadang permusuhan di kalangan
bangsa Indonesia. Pemerintah seolah menutup diri dengan berbagai masalah
fundamental yang ada saat ini. Dari sini saya menduga bahwa sejatinya para
pejabat publik ini bukanlah seorang pemimpin yang memberikan harapan dan
mendidik rakyat, melainkan seorang yang hanya memikirkan jabatan. Bukan tulus
sebagai pengabdian.
Kemandirian Bangsa Sebagai Fokus
Definisi kata kemandirian ini
seringkali dipolitisasi oleh para oknum politisi maupun partai politik. Seperti
halnya iklan layanan publik. Ada salah satu partai politik yang giat kampanye
akan kemandirian pangan, energi, dan sebagainya tetapi ketika partai tersebut
berkuasa justru keluar berbagai wacana privatisasi BUMN demi efektivitas dan
efisiensi, wacana pengembangan energi alternatif sebagai imbas semakin
menipisnya cadangan energi nasional dan harga BBM yang naik tetapi
pelaksanaannya nol besar, dan lain sebagainya. Dari sini saya berkesimpulan
bahwa para pejabat publik ini masihlah setengah hati melakukan riset dan
pengkajian terkait makna kemandirian ini. Mereka jarang atau tidak pernah
berdiskusi/duduk satu meja dengan mereka para expert pembangunan, teknolog, ilmuwan, praktisi ilmu humaniora, dan
sebagainya yang sebagian besar bermukim di kampus. Akibatnya apa yang keluar
dari mulut mereka biarpun sampai berbusa-busa hanyalah pepesan kosong. Sangat
normatif. Pada akhirnya, saat mereka menjabat posisi tertentu, mereka langsung
berkonsultasi dengan para expert dari
luar negeri. Padahal di negeri kita saya yakin SDM yang qualified masih ada. Mereka entah tidak tahu atau tidak mau tahu
alias mencari jalan pintas.
Lautan adalah salah satu SDA yang belum tergarap (doc. google.com) |
Masalah kemandirian dekat sekali
dengan masalah perekonomian bangsa. Memang roda perekonomian bergerak terus,
namun pengkajian dan pembahasan terkait kemandirian di bidang ini harus terus
digalakkan. Perekonomian kita saat ini kebanyakan ditopang oleh industri
ekstraktif (mentahan) seperti minyak bumi, batubara, biji besi, dan sebagainya.
Kita memang kaya akan hal ini dan cara paling mudah untuk hasilkan devisa
negara dari komoditas ini adalah melalui penjualan langsung tanpa pengolahan.
Padahal, jika komoditas ini diolah pasti akan hasilkan devisa berkali-kali
lipat. Pengolahan secara mandiri yang memberikan nilai tambah ini salah satu
bagian dari kemandirian. Masalah lain seperti pertanian, berbagai komoditas
pangan kita banyak yang impor. Jika kemandirian sebagai nafas ekonomi kita,
maka tak ada kata lain selain bergegas untuk mencapai swasembada pangan. Di
sektor lain seperti perikanan. Jangan sampai kita di waktu-waktu mendatang
impor ikan laut dari negara asing. Oleh karenanya dibutuhkan cara yang tidak
biasa untuk menuju cita-cita kemandirian di bidang pangan dan energi yakni
penguasaan sains dan teknologi.
Pengembangan Sains dan Teknologi
Satu-satunya cara untuk dapat
mengelola kekayaan alam kita adalah dengan menguasai cara mengelolanya. Hal ini
tak lain adalah pekerjaan para saintis dan teknolog. Tentunya dibantu pula
dengan kemampuan manajerial, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Tetapi dua profesi
penting tersebut masih sangat kurang. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) menunjukkan bahwa jumlah peneliti kita saat ini hanya sekitar 8.000
orang, sedangkan pengajar di lembaga perguruan tinggi dan swasta hanya sekitar
160.000 orang. Data lain dari Kompas
(13/8/2013) menunjukkan bahwa perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di
Indonesia adalah 205 peneliti dari setiap 1 juta jiwa. Sangat timpang sekali. Itu
belum ditambah dengan produktivitas riset kita yang sampai saat ini masih
rendah.
Jika pemerintah punya kesadaran
untuk memberikan nilai tambah dalam SDA yang kita miliki, maka seharusnya
pemerintah me-reorientasi lembaga riset
dan kampus agar riset-risetnya terkait pengelolaan SDA. Mengutip kata I Gede
Wanten, bahwa labolatorium Indonesia itu terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Luas sekali. Wilayah yang sangat luas tersebut ternyata kebanyakan belum
tergarap dengan baik. Tegasnya belum tersentuh oleh lembaga riset dan Perguruan
Tinggi. Oleh karenanya, kampus sebagai penjaga gawang ilmu pengetahuan harus
diubah orientasinya dari sekedar pembentukan insan terampil yang hanya sekedar
mengisi kursi dunia industri menjadi para cendekia/ilmuwan/peneliti dan juga
insan industri yang ketika lulus sudah siap untuk mengelola/membuka industri
pengelola SDA. Ini dibutuhkan niat yang serius dari pemerintah dan juga para
pemangku kepentingan di kampus.
0 komentar:
Post a Comment