Sebuah hasil wawancara dengan Yasraf Amir
Piliang (Dosen FSRD ITB)
Siang
kemarin (2/12/2014), redaksi ITB Magz mendatangi kantor Yasraf Amir Piliang di
KK Budaya Visual Gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi
Bandung. Selain dikenal sebagai dosen, Yasraf dikenal sebagai salah satu
akademisi ITB yang konsisten menelurkan buah pemikiran baik dalam bentuk seminar,
buku maupun tulisan di berbagai media. Tulisan dan pandangan Yasraf seringkali
berupa kritik sosial budaya dan juga tentunya karya-karya lain di bidang
semiotika yang menjadi keahliannya. Dalam kesempatan ini, redaksi bermaksud
mengupas pemikiran Yasraf terkait Kampus ideal sebagai kelanjutan dari kuliah
umum "ITB dan Perubahan Budaya" pada 3 November 2014 di ruang seminar
FSRD ITB dimana Yasraf menjadi salah satu pembicaranya.
Kampus ideal adaalah sebuah tempat berkumpulnya
orang-orang yang mencintai pengetahuan. Jika dalam perusahaan multinasional,
suatu yang dianggap bernilai tinggi adalah materi/uang, namun di kampus bukan
itu tetapi pengetahuan. Perguruan Tinggi itu tempat mencari dan mengembangkan
ilmu serta mendisemasikan/menyebarluaskannya kepada masyarakat. Ketiga hal
tersebut harusnya dimiliki oleh kampus kita. Keluarannya adalah sarjana yang
disamping memilih keahlian profesional di bidangnya juga turut berpartisipasi
menyebarkan ilmunya ke masyarakat. Dalam kata lain lulusan kampus adalah seorang
cendekiawan/intelektual.
Mengambil Sepotong
Seiring dengan berubahnya zaman, peran kampus pun
bergeser. Dalam masyarakat kita pembangunan ekonomi/industri menjadi prioritas.
Arti pembangunan pun akhirnya dikerucutkan hanya pada tataran ekonomi saja. Perguruan
Tinggi pun terkena imbasnya. Kampus akhirnya hanya menjadi supplier industri saja, sementara kegiatan mengembangkan ilmu
dengan mereproduksi pemikiran-pemikiran atau teori-teori baru pun tidak
berjalan dengan semestinya. Fakta tersebut tak lepas dari peran pemerintah
dalam mendesain kurikulum dan berbagai kebijakan terkait pendidikan. Dulu pada
zaman orde baru dikenal istilah Link
and Match, selanjutnya Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK), dan juga istilah Triple
Helix (Academic-Business-Government).
Biarpun namanya berbeda, sebenarnya esensinya sama saja yakni lulusan yang hanya
menjadi tenaga profesional, tidak lebih.
Dari situlah, nilai Perguruan Tinggi direduksi hanya
sebagai wadah untuk hasilkan orang-orang yang siap dikaryakan di
industri/pemerintahan. Dari situ terlihat bahwa satu-satunya yang dipandang
adalah kompetensi/kecakapannya saja. Lantas siapa yang mengembangkan ilmu?.
Entahlah. Peran sebagai pengembang dan pendiseminasi ilmu jadi terkikis.
Sebagai konsekuesi kuliah-kuliah yang tidak memiliki nilai ekonomi seperti halnya
filsafat, sastra sepi peminat. Perguruan Tinggi hanya menciptakan pekerja.
Kampus menjadi pincang.
Kampus ideal harus memenuhi tiga pokok seperti yang
telah disinggung dimuka yakni tempat mencari, mengembangkan, dan mendisemasikan
ilmu. Yasraf mencontohkan sebuah kampus top di Amerika, Mesachussets Institut
of Technology (MIT). Selain hasilkan lulusan profesional, kampus tersebut juga
menghasilkan pemikir-pemikir atau para intelektual. Merekalah yang membentuk
kita sekarang. Banyak dari kampus kita yang memakai buku karangan mereka. Sekarang,
bandingkan dengan kampus-kampus di Indonesia, berapa konsep/teori yang kita
hasilkan ? Sangat sedikiti.
Membentuk Wadah
Kampus kita seolah bergerak di tempat. Upaya
menciptakan lulusan yang berjiwa intelektual nampaknya tidak ada atau mungkin
saja ada namun tidak berjalan. Para pemegang kebijakan kampus kita seharusnya
membuat wadah guna memberikan tempat untuk para scholar kampus. Sebagai contoh di MIT terdapat Sains and Technology
Studies (STS). Di wadah tersebut dianalisis bagaimana keterkaitan kemajuan
teknologi dan perkembangannya terhadap masyarakat. Tegasnya keterkaitan antara
teknologi dan sosial budaya. ITB seharusnya bisa juga menciptakan wadah serupa.
Yasraf merasa bahwa ITB hanya sekedar mengikuti arus. Di luar butuh apa, ITB
menyiapkan. Mustinya ITB menciptakan arus baru.
ITB selain menyiapkan orang yang siap pakai di dunia
kerja, harusnya juga memberikan ruang kepada para pemikir, penulis dan
sebagainya. Ini tidak lain adalah sebagai jawaban atas kepincangan orientasi
pendidikan di Perguruan Tinggi seperti yang dijelaskan di muka. Yasraf
mencontohkan bahwa orientasi pendidikan di kampus kita masih menonjolkan
kerharmonian dimana konflik sebisa mungkin dijauhi. "Misalkan di kampus, ada yang berfikir aneh sedikit dikucilkan lalu
tenggelam. Muncul lagi, nasibnya sama. Jadi, manejemennya harus manajemen konflik.
Jangan cari orang yang harmoni, aman. Ya, nggak bisa maju.", ungkap
Yasraf.
"Pengetahuan
itu bisa hidup karena dikritik", tambah Yasraf. Dari sini, Yasraf
menyarankan untuk membuat wadah sebagai tempat dimana kritik itu diberi ruang.
Hal ini guna mendorong si pembuat karya untuk lebih baik lagi.
Membuat Sistem
Selain membuat wadah, ITB perlu menciptakan sistem
guna menciptakan iklim baru dalam Perguruan Tinggi. Tentunya iklim kampus
ideal. Yasraf mencontohkan proses kaderisasi yang ada di Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI). Ospek UPI berlangsung empat-enam bulan. Yang unik dari
kaderisasi di kampus ini adalah materi kaderisasi yang disusun secara
sistematis yang melatih para mahasiswa baru akan kegigihan dan keras. Seperti
pada minggu diajarkan berbicara sistematis, selanjutnya berturut-turut mahasiswa
baru (maba) disuruh untuk menyanyi dan berteater guna melatih keberanian,
menulis untuk melatih merangkai pemikiran, dan kemudian disuruh membuat
proposal pengabdian masyarakat dan mengaplikasikannya guna melatih kepemimpinan.
Setelah itu maba menjalani kegiatan outbond
dengan dilepas di tengah hutan pada malam hari untuk merasakan penderitaan.
Kesemuannya itu dilakukan untuk melatih hardskill,
softskill, dan lifeskill
mahasiswa baru. Kiranya program kaderisasi di UPI tersebut dapat dicontoh oleh
ITB.
ITB juga bisa mewajibkan mahasiswa untuk menulis di
media massa di salah satu mata kuliahnya. Ini tak lain untuk melatih
intelektualitas mahasiswa. Selain itu, kampus bisa membuat kontrak belajar
dengan mahasiswa seperti halnya mahasiswa tidak diperbolehkan merokok di kelas,
memakai sandal jepit di kelas, tidak hadir di kelas maksimal 25 % di semua mata
kuliah, dan sebagainya. Ini tak lain untuk melatih kedisiplinan mahasiswa.
0 komentar:
Post a Comment