Friday, January 30, 2015

Mewujudkan Kampus Ideal

Sebuah hasil wawancara dengan Yasraf Amir Piliang (Dosen FSRD ITB)

Siang kemarin (2/12/2014), redaksi ITB Magz mendatangi kantor Yasraf Amir Piliang di KK Budaya Visual Gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung. Selain dikenal sebagai dosen, Yasraf dikenal sebagai salah satu akademisi ITB yang konsisten menelurkan buah pemikiran baik dalam bentuk seminar, buku maupun tulisan di berbagai media. Tulisan dan pandangan Yasraf seringkali berupa kritik sosial budaya dan juga tentunya karya-karya lain di bidang semiotika yang menjadi keahliannya. Dalam kesempatan ini, redaksi bermaksud mengupas pemikiran Yasraf terkait Kampus ideal sebagai kelanjutan dari kuliah umum "ITB dan Perubahan Budaya" pada 3 November 2014 di ruang seminar FSRD ITB dimana Yasraf menjadi salah satu pembicaranya.

Kampus ideal adaalah sebuah tempat berkumpulnya orang-orang yang mencintai pengetahuan. Jika dalam perusahaan multinasional, suatu yang dianggap bernilai tinggi adalah materi/uang, namun di kampus bukan itu tetapi pengetahuan. Perguruan Tinggi itu tempat mencari dan mengembangkan ilmu serta mendisemasikan/menyebarluaskannya kepada masyarakat. Ketiga hal tersebut harusnya dimiliki oleh kampus kita. Keluarannya adalah sarjana yang disamping memilih keahlian profesional di bidangnya juga turut berpartisipasi menyebarkan ilmunya ke masyarakat. Dalam kata lain lulusan kampus adalah seorang cendekiawan/intelektual.

Mengambil Sepotong

Seiring dengan berubahnya zaman, peran kampus pun bergeser. Dalam masyarakat kita pembangunan ekonomi/industri menjadi prioritas. Arti pembangunan pun akhirnya dikerucutkan hanya pada tataran ekonomi saja. Perguruan Tinggi pun terkena imbasnya. Kampus akhirnya hanya menjadi supplier industri saja, sementara kegiatan mengembangkan ilmu dengan mereproduksi pemikiran-pemikiran atau teori-teori baru pun tidak berjalan dengan semestinya. Fakta tersebut tak lepas dari peran pemerintah dalam mendesain kurikulum dan berbagai kebijakan terkait pendidikan. Dulu pada zaman orde baru dikenal istilah Link and Match, selanjutnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan juga istilah Triple Helix (Academic-Business-Government). Biarpun namanya berbeda, sebenarnya esensinya sama saja yakni lulusan yang hanya menjadi tenaga profesional, tidak lebih.
 
Aula Barat ITB (dok. Majalah Ganesha ITB)
Dari situlah, nilai Perguruan Tinggi direduksi hanya sebagai wadah untuk hasilkan orang-orang yang siap dikaryakan di industri/pemerintahan. Dari situ terlihat bahwa satu-satunya yang dipandang adalah kompetensi/kecakapannya saja. Lantas siapa yang mengembangkan ilmu?. Entahlah. Peran sebagai pengembang dan pendiseminasi ilmu jadi terkikis. Sebagai konsekuesi kuliah-kuliah yang tidak memiliki nilai ekonomi seperti halnya filsafat, sastra sepi peminat. Perguruan Tinggi hanya menciptakan pekerja. Kampus menjadi pincang.

Kampus ideal harus memenuhi tiga pokok seperti yang telah disinggung dimuka yakni tempat mencari, mengembangkan, dan mendisemasikan ilmu. Yasraf mencontohkan sebuah kampus top di Amerika, Mesachussets Institut of Technology (MIT). Selain hasilkan lulusan profesional, kampus tersebut juga menghasilkan pemikir-pemikir atau para intelektual. Merekalah yang membentuk kita sekarang. Banyak dari kampus kita yang memakai buku karangan mereka. Sekarang, bandingkan dengan kampus-kampus di Indonesia, berapa konsep/teori yang kita hasilkan ? Sangat sedikiti.

Membentuk Wadah

Kampus kita seolah bergerak di tempat. Upaya menciptakan lulusan yang berjiwa intelektual nampaknya tidak ada atau mungkin saja ada namun tidak berjalan. Para pemegang kebijakan kampus kita seharusnya membuat wadah guna memberikan tempat untuk para scholar kampus. Sebagai contoh di MIT terdapat Sains and Technology Studies (STS). Di wadah tersebut dianalisis bagaimana keterkaitan kemajuan teknologi dan perkembangannya terhadap masyarakat. Tegasnya keterkaitan antara teknologi dan sosial budaya. ITB seharusnya bisa juga menciptakan wadah serupa. Yasraf merasa bahwa ITB hanya sekedar mengikuti arus. Di luar butuh apa, ITB menyiapkan. Mustinya ITB menciptakan arus baru.

ITB selain menyiapkan orang yang siap pakai di dunia kerja, harusnya juga memberikan ruang kepada para pemikir, penulis dan sebagainya. Ini tidak lain adalah sebagai jawaban atas kepincangan orientasi pendidikan di Perguruan Tinggi seperti yang dijelaskan di muka. Yasraf mencontohkan bahwa orientasi pendidikan di kampus kita masih menonjolkan kerharmonian dimana konflik sebisa mungkin dijauhi. "Misalkan di kampus, ada yang berfikir aneh sedikit dikucilkan lalu tenggelam. Muncul lagi, nasibnya sama. Jadi, manejemennya harus manajemen konflik. Jangan cari orang yang harmoni, aman. Ya, nggak bisa maju.", ungkap Yasraf.

"Pengetahuan itu bisa hidup karena dikritik", tambah Yasraf. Dari sini, Yasraf menyarankan untuk membuat wadah sebagai tempat dimana kritik itu diberi ruang. Hal ini guna mendorong si pembuat karya untuk lebih baik lagi.

Membuat Sistem

Selain membuat wadah, ITB perlu menciptakan sistem guna menciptakan iklim baru dalam Perguruan Tinggi. Tentunya iklim kampus ideal. Yasraf mencontohkan proses kaderisasi yang ada di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ospek UPI berlangsung empat-enam bulan. Yang unik dari kaderisasi di kampus ini adalah materi kaderisasi yang disusun secara sistematis yang melatih para mahasiswa baru akan kegigihan dan keras. Seperti pada minggu diajarkan berbicara sistematis, selanjutnya berturut-turut mahasiswa baru (maba) disuruh untuk menyanyi dan berteater guna melatih keberanian, menulis untuk melatih merangkai pemikiran, dan kemudian disuruh membuat proposal pengabdian masyarakat dan mengaplikasikannya guna melatih kepemimpinan. Setelah itu maba menjalani kegiatan outbond dengan dilepas di tengah hutan pada malam hari untuk merasakan penderitaan. Kesemuannya itu dilakukan untuk melatih hardskill, softskill, dan lifeskill mahasiswa baru. Kiranya program kaderisasi di UPI tersebut dapat dicontoh oleh ITB.

ITB juga bisa mewajibkan mahasiswa untuk menulis di media massa di salah satu mata kuliahnya. Ini tak lain untuk melatih intelektualitas mahasiswa. Selain itu, kampus bisa membuat kontrak belajar dengan mahasiswa seperti halnya mahasiswa tidak diperbolehkan merokok di kelas, memakai sandal jepit di kelas, tidak hadir di kelas maksimal 25 % di semua mata kuliah, dan sebagainya. Ini tak lain untuk melatih kedisiplinan mahasiswa.


0 komentar: