Dari
Sumbing-Sindoro Menuju Kota Kenangan Jogjakarta
Ekspresi anak-anak AKS di Puncak Gunung Sumbing (doc. Febi) |
[1] Pendakian Sumbing Sindoro (24-28
Desember 2014)
Akhir tahun 2014 ditutup dengan
perjalanan panjang. Sebuah perjalanan melelahkan, mendebarkan, namun terasa ngangeni[1]
ketika diingat kembali. Akupun dibuat bergetar ketika harus menuliskan dalam sebuah catatan ini. I love you AKS Team, aku telah
menganggapmu saudaraku sendiri. Kamu Ibu, kakak, dan adikku.
Setahun perjalanan pendakian Semeru
berakhir, teman-teman AKS tak kehilangan ide untuk merayakan 1st anniversary. Dan akhirnya ditentukan,
pendakian akhir tahun 2014 jatuh pada Gunung Sumbing dan Sindoro. Gunung ini
letaknya di perbatasan Temanggung-Wonosobo, relatif jauh dengan kota Bandung. Sore hari pada 24 Desember 2014, kami berangkat dari terminal Caheum sekitar jam 17.00 WIB lebih. Ada dua pria ganteng yang
tertinggal bus ; Andre dan Ucup. Keduanya terpaksa
mengambil giliran bus pada jam 19.00 WIB. Kita semua naik bus Sinar Jaya atau
yang akrab disebut Sinjai. Bus ini cukup nyaman biar beberapa AC-nya bocor.
Perjalanan ke Terminal Wonosobo sekitar
10 jam. Saya sekursi ama Ita. Perjalanan cukup melelahkan tapi juga
menyenangkan. Sekitar jam 04.00 WIB esok harinya, saya dan rombongan sampai di
terminal Wonosobo. Terminal tampak lengang dengan beberapa toko yang bersiap-siap untuk buka.
Saya dan juga teman lain selain menunggu pagi, juga menunggu kehadiran dua pria
ganteng itu. Kami pun lakukan sholat subuh berjamaah ketika azan dikumandangkan
baru kemudian ngopi dan makan
gorengan. Kami menikmati pagi dengan obrolan, candaan, nonton film pendek Cinta Subuh[2] dan tentunya menyaksikan langsung pemandangan gunung
Sumbing-Sindoro yang akan kami daki.
Tak terasa matahari semakin meninggi
pertanda waktu dhuha akan segera datang. Saat dimana dua pria ganteng datang, angkot sudah siap. Namun, Abul, Dikun, dan Ita masih harus standby di terminal. Mereka harus
memesan tiket pulang kecuali Ita yang harus pulang ke rumahnya. Perjalanan
menuju basecamp pendakian Gunung
Sumbing tidak terlalu jauh ternyata. Sesampai disini, saya, Teh Nina, Ugun, dan Ucup
belanja di pasar setempat. Sementara yang lain, siap-siap menuju pendakian. Harga makanan di
kawasan pasar cukup terjangkau jika dibandingkan dengan yang ada di kota
Bandung. Kami menikmati gorengan
harga lima ratus rupiah.
**
Waktu pendakian segera datang. Kami
pun lakukan pemanasan dengan dipimpin Andre. Pemanasan berjalan sekitar 15
menit, dan sekitar jam 11.00 WIB, pendakian di mulai. Tertawa dan bercanda tak
bisa dilepaskan. Carier dengan bobot
puluhan kilo seakan nggak ada rasanya. Musik MP3 dan handphone diputar di load
speaker Nokia milik Agita. Tak
peduli aliran musik reggae, pop, rock, jazz, maupun dangdut. Kamipun bernyanyi dengan semangat, biarpun seringkali dipenuhi suara
Fals Andre dan Saya. Jalur yang kami lalui adalah track
lama ; dimulai
dari basecamp, menyusuri jalan
beraspal, berbatu, dan tanjakan tanah. Melewati perkampungan dan dilanjutkan
persawahan terasiring yang panjang dengan jalanan berbatu. Hampir tidak ada track landai, semuanya terjal dan curam. Panjang lintasan track terasa jauh sekali. Menuju pos 1
saja sudah sangat capek. Pakaian yang saya pakai basah. Ojan seakan abis
berenang. Kawan-kawan lain juga kelihatannya demikian. Di sepanjang jalananan,
seringkali kami berpapasan dengan warga sekitar yang membawa kayu bakar,
mengendarai motor off-road, atau
sekedar jalan pulang kerja di sawah.
Menuju pos 2 dan
pos 3, track berbatu nan menanjak
menjadi rintangan yang harus kami lalui. Biarpun terkesan susah, kami toh
sanggup. Alhamdulillah tidak hujan sehingga genangan air tidak terjadi.
Batu-batu dan track tanah tidak
terlalu licin. Di sepanjang jalanan terdapat beberapa pohon tumbang tapi
jumlahnya tidak banyak. Untuk mencoba hadirkan keceriaan, lagu pun diputar
kembali. Kami pun nyanyi bersama. Lagu melo maupun energik tak masalah yang
penting nyanyi. Indah sekali.
Perjalanan sudah
sekitar empat jam. Pos 3 terlewati, pertanda lokasi camp sudah dekat. Serangan kabut menyambut kami setibanya di lokasi
camp. Tapi itu bukan hujan biarpun seakan deras. Kami mendirikan camp di daerah antara Pos 3 dan Pestan.
Pendirian tenda cukup terganggu dengan serangan hujan kabut yang cukup deras.
Biar tidak lama tapi kami hectic.
Saya, Tami, dan Ugun harus berteduh di satu tenda yang belum jadi. Carier-carier dilempar masuk ke tenda
yang sudah berdiri. Sementara temen lainnya, mencari tempat berteduh yang aman.
Hujan tak berlangsung lama, cuaca pun kembali cerah. Semakin malam, kabut pun
pergi. Pemandangan di sekitaran camp indah sekali. Tak hanya kami, mereka yang
nge-camp di sini merasakannya dengan
berfoto ria. SLR, Camdig, dan kamera hape pun dikeluarkan untuk
mendokumentasikan momen yang indah ini.
Foto-foto
berlangsung cukup lama. Kami seakan melupakan nasib carier dan tenda. Semuanya kami tinggalkan untuk berfoto ria. Saya
pun tak ketinggalan turut serta dan menjadi model alay. Berbagai pose saya
peragakan dan berbagai kamera men-shot
saya. Tapi saya tidak se-ekstrem Dikun dan Andre yang berani lepas baju dan
menawarkan badan sixpack-nya kepada
kami untuk di-foto dan selanjutnya dikirim ke majalah Trubus. Peristiwa indah
tidak kami lewatkan. Awan yang beterbangan di langit juga sunset, ditambah dengan pemandangan lereng Gunung Sumbing dan
pemandangan utuh Gunung Sindoro terlihat di ketinggian dimana kami berada.
Semuanya indah sekali. Momen foto-foto berlangsung sampai matahari tenggelam.
Saya puas, begitupula teman-teman saya rasa. Selanjutnya, kami pun sholat dan
memasak. Namun, tiba-tiba saja mules pun menyerang. Saya pinjem golok Mila dan
mencari lokasi yang pas untuk GO. Alhamdulillah kentut saya bisa direm setelah
relatif sukses tunaikan hajat.
Habis GO, saya
tidak langsung menuju tenda olive
tempat dimana kami akan memasak. Saya menemui Joko. Joko adalah orang Purwerejo
yang bekerja di kawasan industri Karawang yang memberikan roti tawar selai saat
kami beristirahat di jalanan sebelum pos 3. Saya ngobrol lama sekali sampai ia
tawari saya makan beberapa snack dan
minuman teh dan kopi miliknya. Dia bercerita panjang lebar, begitu juga saya.
Selanjutnya saya mengajak Joko untuk turut serta bersama kami di tenda olive guna makan malam bersama. Menu
makanan malam ini, ayam ditambah dengan tumis. Enak sekali.
**
Sekitar jam 2
pagi, kami harus bangun. Kami akan menuju puncak Sumbing. Berbagai peralatan
dan bekal disiapkan. Pagi ini cuaca sangat dingin tetapi tidak sedingin Semeru.
Setelah semua punggawa AKS siap, kami pun berangkat. Kami lewati Pestan, batu
besar, dan juga track berbatu yang
curam. Perjalanan dari tempat kami camp
menuju puncak sekitar tiga jam. Kami terpaksa tunaikan sholat subuh di
perjalanan. Tinggal beberapa ratus meter lagi menuju puncak, namun track berbatu sangat curam. Kami harus
lebih berhati-hati. Dan perjalanan panjang nan keras itu terbayar lunas. Kami
sampai puncak Sumbing. Indah sekali.
Kami bisa melihat pemandangan wilayah Garut. Juga Gunung Sindoro yang akan kami
daki esok hari. Di sini, kami lakukan ritual wajib ; Foto-foto. Berbagai gaya
kami lakukan. Pokoke asik, jos !.
Ternyata ritual
berjalan sangat lama. Sebagian anak AKS menuju puncak yang lebih tinggi.[3]
Saya memilih untuk turun dan lekas menuju tenda. Saya ingin memasak. Perjalanan
turun gunung terasa lebih mudah namun tetap harus hati-hati. Di tengah perjalanan,
kabut menyerang dan saya sempat merasa kesasar.[4]
Namun alhamdulillah, tiba-tiba saya melihat sosok Febi. Saat itu posisi saya di
dekat batu besar. Saya pun menuggu Febi dan bareng-bareng menuju lokasi tenda.
Saya mengemasi
barang saya kemudian menyiapkan lokasi untuk membuat sarapan pagi. Keadaan saat
ini miskin air. Kami harus berhemat. Febi memasak nasi dan setengah jam
kemudian satu dua anak AKS sampai tenda. Ojan pun membikin nasi. Teh Nina
sesampainya di tenda langsung mengarahkan kami pada menu sarapan. Saya ditugasi
mengiris-ngiris bawang, cabai, dan daun bawang. Seingat saya yang ikut masak
selain saya dan Teh Nina ada Dikun, Ojan, dan Fadli. Lainnya pada tidur pulas
kecapekan.
Sarapan usai
sekitar jam 11 lebih. Selanjutnya kami berkemas-kemas, sholat, dan segera turun
menuju basecamp. Sekitar jam 14, kami
baru siap. Saya termasuk golongan santai bersama Teh Nina, Andre, Agita, Febi,
ucup, dan Tami. Di perjalanan kami menyanyi, bercanda, berfoto-foto, atau
sekedar mengikuti gaya jalan Ucup. Saya terkadang berfikir, betapa edannya saya
ketika itu. Maghrib, saat warga kampung sekitar tunaikan sholat, kami baru
sampai basecamp. Tapi pas, saat
sampai hujan lebat turun. Kami menunggu mobil jemputan menuju rumah Ita.
Mobil yang
menjemput kami berjalan menuju rumah Ita tak begitu lama. Seingat saya,
perjalanan ini memakan hanya sekitar tujuh lagu dari MP3 saya. Berarti sekitar
setengah jam. Sesampai di rumah Ita, kami disambut dengan gorengan, teh manis,
dan mie ayam. Nikmat sekali. Keluarga Ita juga sangat ramah. Ayah Ita terlihat
sangat akrab dengan kami. Aktivitas kami selanjutnya adalah mandi, makan malam,
dan kemudian tidur. Esoknya pasca subuh, saya, abul, dikun jalan-jalan
mengitari kawasan Parakan. Tiba-tiba hujan gerimis turun, kami segera menuju
rumah Ita. Kami tidur lagi.
Sekitar jam 9 kami
harus bersiap-siap menuju pendakian Gunung Sindoro. Namun sebelumnya dilakukan
potong kue untuk mengenang satu tahun AKS dan bertepatan dengan ulang tahun
Ita, 27 Desember. Hadir bersama kami keluarga Ita yang terdiri dari ayah, Ibu,
dan pamannya. Mereka tampak bahagia. Perut pun kenyang. Kami pun meninggalkan
rumah Ita dengan mobil angkot yang sama saat menjemput kami dari basecamp Sumbing kemarin. Perjalanan
menuju basecamp Sindoro (termasuk
belanja di Alfamart) sekitar sejam. Setiba disana, hujan gerimis menyambut. Basecamp
ini satu kompleks dengan balaidesa Kledung. Setelah pendaftaran selesai, kami
makan siang. Kala itu hujan cukup deras. Biarpun demikian, kami menerobos
dengan ojek motor yang membawa kami sampai pos satu. Saking ngebutnya, ditambah
dengan jalanan yang licin, motor honda grand tua yang membonceng saya sempat
akan jatuh ke kali. Saya sempat was-was. Tapi alhamdulillah, saya tak terjatuh.
Sepanjang
perjalanan, hujan terus. Cukup lebat. Saya coba nekad tidak pakai ponco. Baju
dan celana jeans saya basah semua. Jika
dibandingkan dengan Sumbing, track Sindoro relatif lebih mudah. Namun karena
hujan, terasa lebih berat. Perjalanan menuju pos tiga sekitar tiga jam.
Setibanya disana, badai menyambut. Hujan seolah bertambah deras. Saya pun sempoyongan
ditambah dingin menusuk badan. Ojan mencari spot
yang pas untuk mendirikan tenda. Setelah dapat, kami dengan susah-payah
mendirikan tenda. Intensitas hujan tak berkurang. Carier kami basah. Matahari perlahan redup lalu hilang. Malam pun
datang namun hujan tak kunjung berhenti. Kami terpaksa harus menghangatkan
diri. Kompor pun dinyalakan. Kami meletakkan telapak tangan di atas kompor. Kami
segera mengganti baju basah kami dengan baju kering. Saya yang memiliki
kelebihan baju kering berbagi dengan Mila. Malam ini saya merasakan penderitaan
di gunung. Biarpun demikian, penderitaan tidak saya tanggung sendiri. Saya
bangga memiliki teman-teman yang memiliki daya juang tinggi. Merekalah
motivator saya untuk dapat menikmati malam ini.
Saya bergabung di
tenda olive untuk ikut serta memasak.
Karena job habis, saya sekedar ikut menghibur. Ide game berasal dari Andre. Kami bermain tebak-tebakan untuk melupakan
sejenak kejenuhan malam ini. Setelah makanan masak, kami makan malam. Agenda
selanjutnya adalah tidur. Saya menuju tenda kecil yang dihuni Agita, Fadli, dan
dikun. Namun ternyata tenda ini bocor. Akhirnya saya dan dikun tidur di tenda olive. Sementara Agita dan Fadli
terpaksa bergabung dengan tenda cewe yang semula dihuni Nita, Ita, dan Mila. Tenda
Olive sebelumnya dihuni oleh Teh Nina, Tami, Andre, dan Febi yang menempati
sisi pinggir tenda. Saya dan dikun tempati sisi
tengah yang sebelumnya dipakai sebagai dapur. Awalnya saya bisa tidur
namun tidak berlangsung lama. Tenda ini ternyata bocor dan menetesi ujung kaki sleeping bag. Semula tidak parah
basahnya, namun kemudian basah sekali. Saya sama sekali tidak bisa tidur. Saya
pun bangun dan kemudian menyalakan kompor.
Saya merebus air
lalu menyeduh white koffie. Saat itu
kira-kira jam 1 lebih. Saya melakukannya sendiri. Saya bingung harus melakukan
aktivitas apa. Saya pun menyanyi, menghafal surat al-qur'an, dan juga
melantunkan puisi. Saya hanya bisa melakukan hal ini untuk menunggu pagi yang
akan datang beberapa jam lagi. Momen ini mengingatkan saya pada peristiwa serupa
di Gunung Cikuray pada Oktober 2013. Saya terkadang memikirkan, andai malam ini
adalah malam terakhir saya hidup di dunia. Intinya pikiran campur-aduk. Di
tengah kesendirian saya ini, saya mendengar Tami yang merengek "Ibu ..
Ibu..". Betul, Tami sedang kedinginan. Teh Nina mencoba menenangkan dan
Andre memberikan sleeping bag-nya
untuk dipakai Tami. Sekitar jam 3 pagi, Andre bangun dan membuat mie rebus.
Dikun pun turut serta. Fajar subuh segera mendekat, namun hujan tak juga surut.
Akhirnya, summit attack batal kami
lakukan. Hari semakin siang, kami semua berkumpul di tenda olive, berdesak-desakan. Seperti biasa, gurauan, nyanyian, tebak-tebakan,
dan foto-foto kami lakukan sembari menunggu sarapan tiba.
Setelah sarapan,
kami packing dan kemudian turun.
Seperti saat tiba, hujan tak juga reda. Kami coba melupakan dinginnya air hujan
dengan goyang poco-poco. Bernyanyi, berjoget. Pokokoe asik, jos !. Kaki kami segera meninggalkan pos tiga dan
hujan pun perlahan reda. Sinar matahari cukup bisa mengeringkan baju kami yang
basah. Kami turun sekitar dua jam dan tiba di pos satu, saya naik ojek menuju
masjid dekat basecamp. Saya pun
bebersih, mandi, dan sholat. Tak lama kemudian momen perpisahaan pun tiba.
Namun sebelumnya kami berfoto bersama di depan basecamp. Ita, Teh Nina, dan Ojan menuju rumah Ita. Ketiganya akan
menuju Sulawesi untuk mendaki Latimojong esok harinya. Sementara lainnya menuju
Bandung kecuali saya yang akan menuju rumah Fauzan (Power 09). Selamat jalan
kawan, love you full !
[2] Jogja Setelah
Sekian Tahun Tak Bertemu (29 Desember 2014- 1 Januari 2015)
Pasca perjalanan
dari kota Temanggung, saya langsung menuju ke kota Yogyakarta dengan kendarai
bus kota. Saya pamit dengan diantar Fauzan ke pertigaan Maron sekitar jam 13.30
WIB. Dari Temanggung bus menuju ke terminal Magelang. Terminal tidak jauh
berubah dengan beberapa tahun lalu dimana saya pernah singgah. Dari sini saya
naik lagi bus tua reot[5]
menuju kota Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, saya tak lepas dari MP3 Qube
dengan dengarkan lagu-lagu barat. Memasuki kota Yogyakarta, saya pandangi
keadaan jalanan sekitar. Setelah singgah di depan terminal Jombor, bus melewati
ring road menuju Terminal Giwangan,
pemberhentian terakhir. Terminal ini tak jauh berubah. Termasuk ongkos peron
yang hanya Rp. 500,00.
Pasca menunaikan hajat
kecil, saya langsung menuju kawasan Rumah Sakit Sardjito, tempat dimana teman
saya, Mukhlis, tinggal. Perjalanan dari terminal ke sini memakan waktu lebih
dari 1,5 jam. Waktu yang relatif lama untuk ukuran kota Jogja. Saya memakai Bus
TransJogja jalur III B tanpa pindah jalur lain. Dari bus, saya pandangi
pemandangan kota Jogja yang cukup berubah. Kota ini jauh lebih macet dari lima
tahun lalu. Jalanan dipenuhi aneka mobil dan motor. Namun yang unik dari kota
ini adalah di hampir semua perempatan disediakan tempat pemberhentian khusus
sepeda. Bukan motor seperti di kota besar lain. Jogja rasanya berusaha
memanusiakan pesepeda. Namun biarpun begitu jarang sekali saya menemukan orang
yang mengayuh sepeda dan parkir di tempat yang telah disediakan tersebut.
Menumpangi TransJogja seakan menyelami
masa lalu, saat saya bersekolah SMP dan SMA dulu. Harga sekali naik transportasi
massal ini Rp. 4000,00. Relatif mahal tapi cukup nyaman.
Azan maghrib
bertalu-talu. Saya menunggu kedatangan Mukhlis di halte bus di kawasan RS
Sardjito depan kampus UGM. Sekitar seperempat jam saya menunggu, akhirnya
jemputan pun datang. Mukhlis tak banyak berubah dengan karakter konyolnya yang
unik itu. Saya dibawa ke kosannya yang tak jauh dari kampus UGM. Ini adalah
perjumpaan pertama dengan Mukhlis setelah dua tahun, di kosan yang sama pula.
Sesampai di kosan, setelah tunaikan sholat maghrib berjamaah, saya pun ngobrol
panjang lebar dengan dia. Seputar aktivitas kampus, rencana masa depan, politik,
dan jodoh. Kompleks sekali. Sikap Mukhlis tak jauh berbeda dengan enam tahun
lalu saat duduk di bangku SMA. Pikiran ia sederhana namun logis. Mungkin karena
Ia memang pandai bermain catur, saya tidak tahu. Sehabis azan Isya bertalu,
Dimas yang juga dari Elins UGM dan juga teman satu almamater saya, datang
dengan membawa martabak. Obrolan semakin menghangat apalagi setelah ditambah
dengan bergitar dan bernyanyi bersama. Tak terasa jam menunjukkan lebih dari
jam 1 pagi. Dimas pun undur diri pulang ke kosannya sementara saya siap untuk
tidur di kamar Mukhlis, sementara Ia terpaksa terusir dengan tidur di tempat
Jaja.
**
Esok hari 30
Desember 2014 saya isi dengan mengikuti pengajian akhir tahun di kampus 1
Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dekat stadion Mandala Krida. Saya datang ke
lokasi telat sekitar satu jam. Namun, untung saya masih sempat dengarkan
ceramah Pak Amien Rais sekitar setengah jam lebih. Ceramah beliau seputar
problematika umat terutama terkait berbagai permasalahan yang ada di Indonesia.
Kadangkala di sela-sela pidatonya Ia menyoroti tindakan Jokowi dan juga pemerintah.
Terlihat sekali, Pak MAR sangat lihai sebagai politisi senior. Pasca acara,
saya dan Mukhlis menuju kosan Budi Barata atau yang akrab dipanggil Baroto.
Kosannya tak jauh dari kampus 1 UAD ini. Di sini, sampai sore sekitar jam 16.00
WIB sembari menunggu Fuad, teman satu angkatan yang lain. Pertemuan saya dengan
Baroto dan Fuad adalah pertama sejak lulus dari Muallimin tahun 2009. Kami
ngobrol dan bercerita panjang lebar, ngalor-ngidul.[6]
Selanjutnya, saya
menuju kosan Mukhlis kembali, mandi. Kemudian saya ke Mas Aam, sepupu saya, di
Jalan Kaliurang KM 12. Di rumah kontrakan beliau, saya ngobrol panjang lebar
sampai malam sekitar jam 22.00 WIB lebih dengan tentunya diselingi makan malam
di depan kampus Universitas Islam Indonesia (UII). Obrolan mulai dari seputar
pekerjaan, nostalgia masa lalu, riwayat almarhum ayah beliau, jodoh, dan
sebagainya. Saat saya masih bersekolah di Muallimin dulu, Mas Aam adalah sepupu
saya yang cukup dekat. Saat saya Tsanawiyah (SMP) hampir tiap jum’at saya ke
kosan beliau untuk sekedar menginap semalam menikmati liburan pekanan. Beliau
adalah alumni UII Jurusan Arsitektur. Pelajaran yang dapat saya ambil dari
perjumpaan dengan beliau adalah bahwa prinsip hidup harus selalu dipegang,
kapanpun dimanapun, biarpun pahit.
Sepulang dari Mas
Aam, saya menuju ke kosan Mukhlis. Sial, ternyata saya lupa dengan jalan menuju
kosan dia. Entah berapa kali saya coba muter-muter gang sekitar kosan dia.
Akhirnya setelah kirim pesan WhatsApp
ke Fuad, saya baru sadar dan kosan Mukhlis pun ketemu. Di kamar Mukhlis sudah
ada Baroto ditambah Fuad dan Mukhlis sendiri. Ngobrol pun berlanjut sampai
tengah malam. Saat itu kami berempat belum sholat Isya. Kami pun keluar dengan
kendarai motor menuju masjid yang cukup jauh dari kosan Mukhlis. Nama masjid
saya lupa, namun masjid ini begitu asri. Saya sholat Isya malam itu seperti
sholat malam di bulan Ramadhan. Pasca sholat, tak lama kemudian Fuad dan Baroto
pun pulang ke kosan masing-masing. Malam yang penuh dengan pelajaran tentang
arti sebuah pertemanan tak kenal sekat dan waktu.
**
Hari ini hari
terakhir di tahun 2014, Rabu, 31
Desember 2014. Pagi-pagi saya ajak Mukhlis keluar untuk cari makan khas Jogja.
Kami pun menuju kawasan Jalan S. Parman, jalan dimana almamater SMA/SMP saya
berada. Di perjalanan, kami terjebak hujan dan terpaksa harus menepikan motor
ke rumah kosong. Hujan sudah cukup reda tetapi masih rintik-rintik, kami pun
meluncur menuju lokasi. Soto Pak Margo ternyata sudah tidak ada, kami langsung
menuju Soto Bu Cip. Seingat saya ini adalah pengalaman kedua saya makan soto Bu
Cip. Bentuk warung Bu Cip tidak berubah. Tukang Parkirnya juga tetap. Rasa
Soto-nya juga pasti tetap nikmat. Saya menikmati pagi yang habis terguyur hujan
dengan sarapan yang mantab, rasanya tak dapat diungkapkan. Pokoknya mantab.
Setelah sarapan,
kami segera bertolak ke almamater tercinta, Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah,
yang letaknya di Jalan S. Parman 68 kota Yogyakarta. Sekolah saya tak banyak
berubah dari segi bentuknya. Tetap gagah jika dilihat dari jalan raya. Hanya
ada tambahan taman di sebelah barat perpustakaan. Kami mengobrol bersama
satpam, para karyawan, sampai guru Mu'allimin. Panjang lebar sekali. Ini
semacam flashback 5,5 tahun lalu saat
saya masih kelas XII di sekolah ini. Kebanyakan karyawan didominasi muka lama,
sehingga banyak dari mereka kenal kami. Selain taman, ada kabar baru terkait
pembangunan asrama VIII, dibongkarnya asrama V, dan rencana pemindahan sekolah
ini pada 10 tahun mendatang di Kulonprogo. Terkait dengan asrama VIII, saya
ngecek ke lokasi dan ternyata benar. Bangunan asrama ini megah sekali dengan
perluasan lokasi di sebelah barat bangunan lama.
Nostalgia berlalu,
kami menuju kos Mukhlis dan istirahat. Sorenya saya dengan memakai motor Jaja menuju
shopping centre[7]
Jogja sendiri. Saya disini sampai
maghrib dan berhasil dapatkan tiga buku. Ketiganya novel dengan judul Hikayat
dari Italia karya Maxim Gorky, Kabar dari Penjara karya Nawal El Sa'dawi, dan
Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran. Selanjutnya saya kembali ke kosan
Mukhlis dan malamnya kami menuju kosan Dimas. Di sini saya ketemu Jamal, Anwar,
Agus, dan Aji untuk pertama kali sejak lulus dari Muallimin 2009 lalu. Di kosan
ini pula kami bakar jagung bersama-sama untuk menunggu pergantian tahun. Perbincangan
pada malam terakhir tahun 2014 ini mulai dari seputar pengalaman organisasi
teman-teman sampai tentang jodoh. Sangat hangat.
Kurang dari sejam menuju
pergantian tahun, saya dan mukhlis pamit dari kosan Dimas. Kami harus putar
jalan menuju arah Sleman untuk hindari kemacetan. Di jalanan kota banyak yang
macet. Jalanan yang kami lewati lengang sekali. Awalnya saya khawatir akan
kesasar, tapi ternyata hipotesa saya keliru. Justru ini adalah jalan pintas
menuju arah kampus UGM. Di perjalanan saya melihat penduduk menyalakan kembang
api dengan suka cinta. Tak hanya di kota, di perumahan penduduk Sleman pun
demikian. Ada juga penduduk yang sekedar menonton dipinggir jalan. Kabarnya di
titik nol kilometer kawasan Malioboro pada beberapa jam sebelum tahun baru,
macet total. Kendaraan tidak bisa bergerak.
Saya tidak
langsung menuju kosan tetapi ke angkringan dekat kosan dulu. Bagi saya ke jogja
tanpa mampir ke angkringan seperti sayur tanpa garam, benar-benar kurang. Saya
mencoba menikmati dini hari pada 1 Januari 2015 tanpa ditemani teman-teman yang
saya kenal. Saya kira menu masakan angkringan ini tidak jauh berbeda dengan
angkringan Pak Suroso. Nyatanya, jauh sekali kualitasnya. Sate daleman pahit,
rasa tehnya kurang nonjok. Nyesel saya milih angkringan ini. Tetapi karena hari
sudah mendekati waktu tahajjud, apa daya. Saya sudah malas jika harus ke
angkringan lagi. Terpaksa saya pulang ke kosan Mukhlis dan selanjutnya tidur di
kamar Jaja. Dengan diiringi lagu-lagu dari MP3, saya menutup mata untuk
menghadapi hari ini.
**
Pagi harinya saya
harus bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman saya, Lamongan. Dengan
diantar Mukhlis, saya menuju terminal Giwangan. Saya ingin bernostalgia dengan
jalur Bus Jogja-Solo-Ngawi-Bojonegoro-Lamongan. Sekitar jam 9 saya sudah standby untuk berangkat memakai bus
ekonomi MIRA. Dalam perjalanan, saya amati ada dua terminal yang berubah.
Terminal Solo sedang dibongkar dan masih belum berbentuk, dan terminal Ngawi yang
sudah berpindah lokasi. Biarpun sudah berpindah, kualitas terminal Ngawi tak
terlalu bagus, tidak begitu jauh dengan terminal lama. Bus yang antarkan saya
dari Ngawi ke Bojonegoro masihlah bus kecil sekelas dengan Bus Garut-Bandung
atau Jogja-Tempel/Jogja-Kaliurang.
Saya sampai di
rumah sekitar jam setengah 17.00 WIB saat langit sangat mendung pertanda hujan
akan datang. Kakak saya sudah standby
di depan kampus Unisda untuk menjemput saya turun dari bus. Saya akan habiskan
waktu di rumah hanya sampai tanggal 4 januari 2015 karena tanggal 5 harus sudah
di bandung untuk kuliah perdana Magister Studi Pembangunan. Saya harus
memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Di rumah, hanya ada Ibu. Beliau
menyambut saya dengan bahagia, tak lama kemudian saat saya sholat, ayah datang.
Saat itu hujan cukup deras. Namun kemudian mereda saat maghrib. Saya tunaikan
sholat di mushola alm. Pak De Nan. Di sana saya bertemu dengan keluarga paman
yang sebagian besar bersekolah/ berkuliah di Jogja. Saya pun ngobrol panjang
lebar dengan mereka. Sangat hangat.
Habis Isya saya
tidak ke mana-mana, hanya di rumah. Saya terlelap tidak sampai malam banget.
Sekitar jam setengah 22.00 WIB saya sudah tidur. Hari berikutnya, 2 Januari
2014, bertepatan hari jum'at. Saya habiskan hari ini di toko sekaligus rumah di
Made. Saya tidak menjaga Toko karena kakak sudah standby jaga. Di sini saya bertemu dengan Cak Zun. Dia berikan
nasehat panjang lebar terkait masa depan. Bapak juga memberikan wejangan
serupa. Menjelang jumatan, rambut saya pangkas tipis sekitar 0,5 cm. Kumis dan
jenggot juga saya cukur. Saya ingin tampil berbeda saat pertama kali
menginjakkan kaki di Bandung nanti. Hari ini tidak terlalu istimewa. Seperti
biasa, malam saya habiskan dengan ngobrol dengan sepupu pasca sholat Isya
berjamaah.
Tanggal 3 Januari
2015 adalah nikahan rival saya dulu di Sekolah Dasar, Fenita. Saya sebenarnya
tidak diundang sama dia. Berawal dari saat saya menginjakkan kaki di rumah,
saya diberi tahu sama ibu jika Nita akan nikah sabtu ini, saya langsung kirim
pesan WhatsApp ke dia. Saya berikan
ucapan selamat. Tak lama pesan saya dibalas dengan meminta saya hadir di hari
pernikahannnya. Tak berfikir panjang, saya bilang ok. Biarpun Nita teman lama
sekali, tetapi dia telah membantu saya dalam berbagai hal seperti saat sukses
adakan reuni akbar MI di awal kuliah dulu. Sekitar jam setengah 14.00 WIB saya
datang ke lokasi pernikahannya di Gedung KPRI depan RSUD Lamongan. Tanpa
ditemani siapapun, saya datang sendiri. Agak gerogi ketika saya injakkan kaki di
gedung. Sebagian besar tamu undangan adalah golongan tua. Saya tidak memiliki
teman bicara yang enak. Setelah sekitar semenit dalam diam, saya menuju
panggung pelaminan, menyalami orang tua Nita, lalu Nita dan pasangannya. Saya
pun mengobrol ama Nita. Tidak lama tapi cukup. Saya berikan hadiah ke Nita buku
Sayap-Sayap Patah Kahlil Gibran yang
saya bungkus dengan kertas kado. Bagi saya buku adalah segalanya, maka saya
hadiahkan buku. Jika saya tahu nikahan Nita saat di Jogja, mungkin saya akan
berikan buku yang jauh lebih baik.
Malamnya saya ikut
di pengajian ranting Muhammadiyah se-kecamatan Sukodadi di Dusun Cuping, tidak
terlalu jauh dari desa saya. Di pengajian ini hadir Bupati Lamongan, Fadeli,
dan juga anggota DPR RI dari PAN, Kuswiyanto. Keduanya memberikan ceramah.
Bupati menyampaikan program-program yang akan dan yang telah dilakukan sejauh
ini. Titik penekanan sambutannya adalah kampanye. Seperti program pemberian
dana bantuan pada imam masjid dan guru TPA. Beliau lebih dari sekali bilang kepada
audiens "Jangan lupa ya..". Fakta seperti ini nampaknya umum
dilakukan oleh banyak pejabat lain. Lamongan pada sekitar Oktober tahun ini
akan melangsungkan Pilkada. Wajar saja sikap bupati demikian.
Siang hari, 4
Januari 2015, saya dengan diantar Ibu dan ayah menuju stasion Gubeng Surabaya.
Sebelum sampai Gubeng, kami bertemu dulu dengan adik yang sedang berkuliah di
Unair. Malam sekitar jam 19.00 WIB kereta berangkat menuju Bandung. Tak sengaja
saya satu kursi dengan Ghozali (Elektro 09). Kami pun berbicara ngalor-ngidul...
Bandung, 30/01/15
0:42
[2] Film Cinta Subuh merupakan film pendek berdurasi sekitar 15 menit yang
menceritakan perjuangan seorang pemuda untuk melakukan sholat subuh tepat
waktu.
[6] Ngalor-ngidul merupakan istilah Jawa yang berarti mengobrol tanpa arahan, tanpa tema
ataupun topik.
[7] Shopping Centre merupakan pusat penjualan buku di kota Jogja. Lokasinya satu kompleks
dengan Taman Pintar Jogja.
0 komentar:
Post a Comment