Friday, January 30, 2015

Sepenggal Cerita Akhir Tahun

Dari Sumbing-Sindoro Menuju Kota Kenangan Jogjakarta
Ekspresi anak-anak AKS di Puncak Gunung Sumbing (doc. Febi)
[1] Pendakian Sumbing Sindoro (24-28 Desember 2014)

Akhir tahun 2014 ditutup dengan perjalanan panjang. Sebuah perjalanan melelahkan, mendebarkan, namun terasa ngangeni[1] ketika diingat kembali. Akupun dibuat bergetar ketika harus menuliskan dalam sebuah catatan ini. I love you AKS Team, aku telah menganggapmu saudaraku sendiri. Kamu Ibu, kakak, dan adikku.

Setahun perjalanan pendakian Semeru berakhir, teman-teman AKS tak kehilangan ide untuk merayakan 1st anniversary. Dan akhirnya ditentukan, pendakian akhir tahun 2014 jatuh pada Gunung Sumbing dan Sindoro. Gunung ini letaknya di perbatasan Temanggung-Wonosobo, relatif jauh dengan kota Bandung. Sore hari pada 24 Desember 2014, kami berangkat dari terminal Caheum sekitar jam 17.00 WIB lebih. Ada dua pria ganteng yang tertinggal bus ; Andre dan Ucup. Keduanya terpaksa mengambil giliran bus pada jam 19.00 WIB. Kita semua naik bus Sinar Jaya atau yang akrab disebut Sinjai. Bus ini cukup nyaman biar beberapa AC-nya bocor.

Perjalanan ke Terminal Wonosobo sekitar 10 jam. Saya sekursi ama Ita. Perjalanan cukup melelahkan tapi juga menyenangkan. Sekitar jam 04.00 WIB esok harinya, saya dan rombongan sampai di terminal Wonosobo. Terminal tampak lengang dengan beberapa toko yang bersiap-siap untuk buka. Saya dan juga teman lain selain menunggu pagi, juga menunggu kehadiran dua pria ganteng itu. Kami pun lakukan sholat subuh berjamaah ketika azan dikumandangkan baru kemudian ngopi dan makan gorengan. Kami menikmati pagi dengan obrolan, candaan, nonton film pendek Cinta Subuh[2] dan tentunya menyaksikan langsung pemandangan gunung Sumbing-Sindoro yang akan kami daki.

Tak terasa matahari semakin meninggi pertanda waktu dhuha akan segera datang. Saat dimana dua pria ganteng datang, angkot sudah siap. Namun, Abul, Dikun, dan Ita masih harus standby di terminal. Mereka harus memesan tiket pulang kecuali Ita yang harus pulang ke rumahnya. Perjalanan menuju basecamp pendakian Gunung Sumbing tidak terlalu jauh ternyata. Sesampai disini, saya, Teh Nina, Ugun, dan Ucup belanja di pasar setempat. Sementara yang lain, siap-siap menuju pendakian. Harga makanan di kawasan pasar cukup terjangkau jika dibandingkan dengan yang ada di kota Bandung. Kami menikmati gorengan harga lima ratus rupiah.

**

Waktu pendakian segera datang. Kami pun lakukan pemanasan dengan dipimpin Andre. Pemanasan berjalan sekitar 15 menit, dan sekitar jam 11.00 WIB, pendakian di mulai. Tertawa dan bercanda tak bisa dilepaskan. Carier dengan bobot puluhan kilo seakan nggak ada rasanya. Musik MP3 dan handphone diputar di load speaker Nokia milik Agita. Tak peduli aliran musik reggae, pop, rock, jazz, maupun dangdut. Kamipun bernyanyi dengan semangat, biarpun seringkali dipenuhi suara Fals Andre dan Saya. Jalur yang kami lalui adalah track lama ; dimulai dari basecamp, menyusuri jalan beraspal, berbatu, dan tanjakan tanah. Melewati perkampungan dan dilanjutkan persawahan terasiring yang panjang dengan jalanan berbatu. Hampir tidak ada track landai, semuanya terjal dan curam. Panjang lintasan track terasa jauh sekali. Menuju pos 1 saja sudah sangat capek. Pakaian yang saya pakai basah. Ojan seakan abis berenang. Kawan-kawan lain juga kelihatannya demikian. Di sepanjang jalananan, seringkali kami berpapasan dengan warga sekitar yang membawa kayu bakar, mengendarai motor off-road, atau sekedar jalan pulang kerja di sawah.

Menuju pos 2 dan pos 3, track berbatu nan menanjak menjadi rintangan yang harus kami lalui. Biarpun terkesan susah, kami toh sanggup. Alhamdulillah tidak hujan sehingga genangan air tidak terjadi. Batu-batu dan track tanah tidak terlalu licin. Di sepanjang jalanan terdapat beberapa pohon tumbang tapi jumlahnya tidak banyak. Untuk mencoba hadirkan keceriaan, lagu pun diputar kembali. Kami pun nyanyi bersama. Lagu melo maupun energik tak masalah yang penting nyanyi. Indah sekali.

Perjalanan sudah sekitar empat jam. Pos 3 terlewati, pertanda lokasi camp sudah dekat. Serangan kabut menyambut kami setibanya di lokasi camp. Tapi itu bukan hujan biarpun seakan deras. Kami mendirikan camp di daerah antara Pos 3 dan Pestan. Pendirian tenda cukup terganggu dengan serangan hujan kabut yang cukup deras. Biar tidak lama tapi kami hectic. Saya, Tami, dan Ugun harus berteduh di satu tenda yang belum jadi. Carier-carier dilempar masuk ke tenda yang sudah berdiri. Sementara temen lainnya, mencari tempat berteduh yang aman. Hujan tak berlangsung lama, cuaca pun kembali cerah. Semakin malam, kabut pun pergi. Pemandangan di sekitaran camp indah sekali. Tak hanya kami, mereka yang nge-camp di sini merasakannya dengan berfoto ria. SLR, Camdig, dan kamera hape pun dikeluarkan untuk mendokumentasikan momen yang indah ini.

Foto-foto berlangsung cukup lama. Kami seakan melupakan nasib carier dan tenda. Semuanya kami tinggalkan untuk berfoto ria. Saya pun tak ketinggalan turut serta dan menjadi model alay. Berbagai pose saya peragakan dan berbagai kamera men-shot saya. Tapi saya tidak se-ekstrem Dikun dan Andre yang berani lepas baju dan menawarkan badan sixpack-nya kepada kami untuk di-foto dan selanjutnya dikirim ke majalah Trubus. Peristiwa indah tidak kami lewatkan. Awan yang beterbangan di langit juga sunset, ditambah dengan pemandangan lereng Gunung Sumbing dan pemandangan utuh Gunung Sindoro terlihat di ketinggian dimana kami berada. Semuanya indah sekali. Momen foto-foto berlangsung sampai matahari tenggelam. Saya puas, begitupula teman-teman saya rasa. Selanjutnya, kami pun sholat dan memasak. Namun, tiba-tiba saja mules pun menyerang. Saya pinjem golok Mila dan mencari lokasi yang pas untuk GO. Alhamdulillah kentut saya bisa direm setelah relatif sukses tunaikan hajat.

Habis GO, saya tidak langsung menuju tenda olive tempat dimana kami akan memasak. Saya menemui Joko. Joko adalah orang Purwerejo yang bekerja di kawasan industri Karawang yang memberikan roti tawar selai saat kami beristirahat di jalanan sebelum pos 3. Saya ngobrol lama sekali sampai ia tawari saya makan beberapa snack dan minuman teh dan kopi miliknya. Dia bercerita panjang lebar, begitu juga saya. Selanjutnya saya mengajak Joko untuk turut serta bersama kami di tenda olive guna makan malam bersama. Menu makanan malam ini, ayam ditambah dengan tumis. Enak sekali.

**

Sekitar jam 2 pagi, kami harus bangun. Kami akan menuju puncak Sumbing. Berbagai peralatan dan bekal disiapkan. Pagi ini cuaca sangat dingin tetapi tidak sedingin Semeru. Setelah semua punggawa AKS siap, kami pun berangkat. Kami lewati Pestan, batu besar, dan juga track berbatu yang curam. Perjalanan dari tempat kami camp menuju puncak sekitar tiga jam. Kami terpaksa tunaikan sholat subuh di perjalanan. Tinggal beberapa ratus meter lagi menuju puncak, namun track berbatu sangat curam. Kami harus lebih berhati-hati. Dan perjalanan panjang nan keras itu terbayar lunas. Kami sampai puncak Sumbing.  Indah sekali. Kami bisa melihat pemandangan wilayah Garut. Juga Gunung Sindoro yang akan kami daki esok hari. Di sini, kami lakukan ritual wajib ; Foto-foto. Berbagai gaya kami lakukan. Pokoke asik, jos !.

Ternyata ritual berjalan sangat lama. Sebagian anak AKS menuju puncak yang lebih tinggi.[3] Saya memilih untuk turun dan lekas menuju tenda. Saya ingin memasak. Perjalanan turun gunung terasa lebih mudah namun tetap harus hati-hati. Di tengah perjalanan, kabut menyerang dan saya sempat merasa kesasar.[4] Namun alhamdulillah, tiba-tiba saya melihat sosok Febi. Saat itu posisi saya di dekat batu besar. Saya pun menuggu Febi dan bareng-bareng menuju lokasi tenda.

Saya mengemasi barang saya kemudian menyiapkan lokasi untuk membuat sarapan pagi. Keadaan saat ini miskin air. Kami harus berhemat. Febi memasak nasi dan setengah jam kemudian satu dua anak AKS sampai tenda. Ojan pun membikin nasi. Teh Nina sesampainya di tenda langsung mengarahkan kami pada menu sarapan. Saya ditugasi mengiris-ngiris bawang, cabai, dan daun bawang. Seingat saya yang ikut masak selain saya dan Teh Nina ada Dikun, Ojan, dan Fadli. Lainnya pada tidur pulas kecapekan.

Sarapan usai sekitar jam 11 lebih. Selanjutnya kami berkemas-kemas, sholat, dan segera turun menuju basecamp. Sekitar jam 14, kami baru siap. Saya termasuk golongan santai bersama Teh Nina, Andre, Agita, Febi, ucup, dan Tami. Di perjalanan kami menyanyi, bercanda, berfoto-foto, atau sekedar mengikuti gaya jalan Ucup. Saya terkadang berfikir, betapa edannya saya ketika itu. Maghrib, saat warga kampung sekitar tunaikan sholat, kami baru sampai basecamp. Tapi pas, saat sampai hujan lebat turun. Kami menunggu mobil jemputan  menuju rumah Ita.

Mobil yang menjemput kami berjalan menuju rumah Ita tak begitu lama. Seingat saya, perjalanan ini memakan hanya sekitar tujuh lagu dari MP3 saya. Berarti sekitar setengah jam. Sesampai di rumah Ita, kami disambut dengan gorengan, teh manis, dan mie ayam. Nikmat sekali. Keluarga Ita juga sangat ramah. Ayah Ita terlihat sangat akrab dengan kami. Aktivitas kami selanjutnya adalah mandi, makan malam, dan kemudian tidur. Esoknya pasca subuh, saya, abul, dikun jalan-jalan mengitari kawasan Parakan. Tiba-tiba hujan gerimis turun, kami segera menuju rumah Ita. Kami tidur lagi.

Sekitar jam 9 kami harus bersiap-siap menuju pendakian Gunung Sindoro. Namun sebelumnya dilakukan potong kue untuk mengenang satu tahun AKS dan bertepatan dengan ulang tahun Ita, 27 Desember. Hadir bersama kami keluarga Ita yang terdiri dari ayah, Ibu, dan pamannya. Mereka tampak bahagia. Perut pun kenyang. Kami pun meninggalkan rumah Ita dengan mobil angkot yang sama saat menjemput kami dari basecamp Sumbing kemarin. Perjalanan menuju basecamp Sindoro (termasuk belanja di Alfamart) sekitar sejam. Setiba disana, hujan gerimis menyambut.  Basecamp ini satu kompleks dengan balaidesa Kledung. Setelah pendaftaran selesai, kami makan siang. Kala itu hujan cukup deras. Biarpun demikian, kami menerobos dengan ojek motor yang membawa kami sampai pos satu. Saking ngebutnya, ditambah dengan jalanan yang licin, motor honda grand tua yang membonceng saya sempat akan jatuh ke kali. Saya sempat was-was. Tapi alhamdulillah, saya tak terjatuh.
  
Sepanjang perjalanan, hujan terus. Cukup lebat. Saya coba nekad tidak pakai ponco. Baju dan celana jeans saya basah semua. Jika dibandingkan dengan Sumbing, track Sindoro relatif lebih mudah. Namun karena hujan, terasa lebih berat. Perjalanan menuju pos tiga sekitar tiga jam. Setibanya disana, badai menyambut. Hujan seolah bertambah deras. Saya pun sempoyongan ditambah dingin menusuk badan. Ojan mencari spot yang pas untuk mendirikan tenda. Setelah dapat, kami dengan susah-payah mendirikan tenda. Intensitas hujan tak berkurang. Carier kami basah. Matahari perlahan redup lalu hilang. Malam pun datang namun hujan tak kunjung berhenti. Kami terpaksa harus menghangatkan diri. Kompor pun dinyalakan. Kami meletakkan telapak tangan di atas kompor. Kami segera mengganti baju basah kami dengan baju kering. Saya yang memiliki kelebihan baju kering berbagi dengan Mila. Malam ini saya merasakan penderitaan di gunung. Biarpun demikian, penderitaan tidak saya tanggung sendiri. Saya bangga memiliki teman-teman yang memiliki daya juang tinggi. Merekalah motivator saya untuk dapat menikmati malam ini.

Saya bergabung di tenda olive untuk ikut serta memasak. Karena job habis, saya sekedar ikut menghibur. Ide game berasal dari Andre. Kami bermain tebak-tebakan untuk melupakan sejenak kejenuhan malam ini. Setelah makanan masak, kami makan malam. Agenda selanjutnya adalah tidur. Saya menuju tenda kecil yang dihuni Agita, Fadli, dan dikun. Namun ternyata tenda ini bocor. Akhirnya saya dan dikun tidur di tenda olive. Sementara Agita dan Fadli terpaksa bergabung dengan tenda cewe yang semula dihuni Nita, Ita, dan Mila. Tenda Olive sebelumnya dihuni oleh Teh Nina, Tami, Andre, dan Febi yang menempati sisi pinggir tenda. Saya dan dikun tempati sisi  tengah yang sebelumnya dipakai sebagai dapur. Awalnya saya bisa tidur namun tidak berlangsung lama. Tenda ini ternyata bocor dan menetesi ujung kaki sleeping bag. Semula tidak parah basahnya, namun kemudian basah sekali. Saya sama sekali tidak bisa tidur. Saya pun bangun dan kemudian menyalakan kompor.

Saya merebus air lalu menyeduh white koffie. Saat itu kira-kira jam 1 lebih. Saya melakukannya sendiri. Saya bingung harus melakukan aktivitas apa. Saya pun menyanyi, menghafal surat al-qur'an, dan juga melantunkan puisi. Saya hanya bisa melakukan hal ini untuk menunggu pagi yang akan datang beberapa jam lagi. Momen ini mengingatkan saya pada peristiwa serupa di Gunung Cikuray pada Oktober 2013. Saya terkadang memikirkan, andai malam ini adalah malam terakhir saya hidup di dunia. Intinya pikiran campur-aduk. Di tengah kesendirian saya ini, saya mendengar Tami yang merengek "Ibu .. Ibu..". Betul, Tami sedang kedinginan. Teh Nina mencoba menenangkan dan Andre memberikan sleeping bag-nya untuk dipakai Tami. Sekitar jam 3 pagi, Andre bangun dan membuat mie rebus. Dikun pun turut serta. Fajar subuh segera mendekat, namun hujan tak juga surut. Akhirnya, summit attack batal kami lakukan. Hari semakin siang, kami semua berkumpul di tenda olive, berdesak-desakan. Seperti biasa, gurauan, nyanyian, tebak-tebakan, dan foto-foto kami lakukan sembari menunggu sarapan tiba.

Setelah sarapan, kami packing dan kemudian turun. Seperti saat tiba, hujan tak juga reda. Kami coba melupakan dinginnya air hujan dengan goyang poco-poco. Bernyanyi, berjoget. Pokokoe asik, jos !. Kaki kami segera meninggalkan pos tiga dan hujan pun perlahan reda. Sinar matahari cukup bisa mengeringkan baju kami yang basah. Kami turun sekitar dua jam dan tiba di pos satu, saya naik ojek menuju masjid dekat basecamp. Saya pun bebersih, mandi, dan sholat. Tak lama kemudian momen perpisahaan pun tiba. Namun sebelumnya kami berfoto bersama di depan basecamp. Ita, Teh Nina, dan Ojan menuju rumah Ita. Ketiganya akan menuju Sulawesi untuk mendaki Latimojong esok harinya. Sementara lainnya menuju Bandung kecuali saya yang akan menuju rumah Fauzan (Power 09). Selamat jalan kawan, love you full !

[2] Jogja Setelah Sekian Tahun Tak Bertemu (29 Desember 2014- 1 Januari 2015)

Pasca perjalanan dari kota Temanggung, saya langsung menuju ke kota Yogyakarta dengan kendarai bus kota. Saya pamit dengan diantar Fauzan ke pertigaan Maron sekitar jam 13.30 WIB. Dari Temanggung bus menuju ke terminal Magelang. Terminal tidak jauh berubah dengan beberapa tahun lalu dimana saya pernah singgah. Dari sini saya naik lagi bus tua reot[5] menuju kota Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, saya tak lepas dari MP3 Qube dengan dengarkan lagu-lagu barat. Memasuki kota Yogyakarta, saya pandangi keadaan jalanan sekitar. Setelah singgah di depan terminal Jombor, bus melewati ring road menuju Terminal Giwangan, pemberhentian terakhir. Terminal ini tak jauh berubah. Termasuk ongkos peron yang hanya Rp. 500,00.

Pasca menunaikan hajat kecil, saya langsung menuju kawasan Rumah Sakit Sardjito, tempat dimana teman saya, Mukhlis, tinggal. Perjalanan dari terminal ke sini memakan waktu lebih dari 1,5 jam. Waktu yang relatif lama untuk ukuran kota Jogja. Saya memakai Bus TransJogja jalur III B tanpa pindah jalur lain. Dari bus, saya pandangi pemandangan kota Jogja yang cukup berubah. Kota ini jauh lebih macet dari lima tahun lalu. Jalanan dipenuhi aneka mobil dan motor. Namun yang unik dari kota ini adalah di hampir semua perempatan disediakan tempat pemberhentian khusus sepeda. Bukan motor seperti di kota besar lain. Jogja rasanya berusaha memanusiakan pesepeda. Namun biarpun begitu jarang sekali saya menemukan orang yang mengayuh sepeda dan parkir di tempat yang telah disediakan tersebut. Menumpangi TransJogja seakan  menyelami masa lalu, saat saya bersekolah SMP dan SMA dulu. Harga sekali naik transportasi massal ini Rp. 4000,00. Relatif mahal tapi cukup nyaman.

Azan maghrib bertalu-talu. Saya menunggu kedatangan Mukhlis di halte bus di kawasan RS Sardjito depan kampus UGM. Sekitar seperempat jam saya menunggu, akhirnya jemputan pun datang. Mukhlis tak banyak berubah dengan karakter konyolnya yang unik itu. Saya dibawa ke kosannya yang tak jauh dari kampus UGM. Ini adalah perjumpaan pertama dengan Mukhlis setelah dua tahun, di kosan yang sama pula. Sesampai di kosan, setelah tunaikan sholat maghrib berjamaah, saya pun ngobrol panjang lebar dengan dia. Seputar aktivitas kampus, rencana masa depan, politik, dan jodoh. Kompleks sekali. Sikap Mukhlis tak jauh berbeda dengan enam tahun lalu saat duduk di bangku SMA. Pikiran ia sederhana namun logis. Mungkin karena Ia memang pandai bermain catur, saya tidak tahu. Sehabis azan Isya bertalu, Dimas yang juga dari Elins UGM dan juga teman satu almamater saya, datang dengan membawa martabak. Obrolan semakin menghangat apalagi setelah ditambah dengan bergitar dan bernyanyi bersama. Tak terasa jam menunjukkan lebih dari jam 1 pagi. Dimas pun undur diri pulang ke kosannya sementara saya siap untuk tidur di kamar Mukhlis, sementara Ia terpaksa terusir dengan tidur di tempat Jaja.

**

Esok hari 30 Desember 2014 saya isi dengan mengikuti pengajian akhir tahun di kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dekat stadion Mandala Krida. Saya datang ke lokasi telat sekitar satu jam. Namun, untung saya masih sempat dengarkan ceramah Pak Amien Rais sekitar setengah jam lebih. Ceramah beliau seputar problematika umat terutama terkait berbagai permasalahan yang ada di Indonesia. Kadangkala di sela-sela pidatonya Ia menyoroti tindakan Jokowi dan juga pemerintah. Terlihat sekali, Pak MAR sangat lihai sebagai politisi senior. Pasca acara, saya dan Mukhlis menuju kosan Budi Barata atau yang akrab dipanggil Baroto. Kosannya tak jauh dari kampus 1 UAD ini. Di sini, sampai sore sekitar jam 16.00 WIB sembari menunggu Fuad, teman satu angkatan yang lain. Pertemuan saya dengan Baroto dan Fuad adalah pertama sejak lulus dari Muallimin tahun 2009. Kami ngobrol dan bercerita panjang lebar, ngalor-ngidul.[6]

Selanjutnya, saya menuju kosan Mukhlis kembali, mandi. Kemudian saya ke Mas Aam, sepupu saya, di Jalan Kaliurang KM 12. Di rumah kontrakan beliau, saya ngobrol panjang lebar sampai malam sekitar jam 22.00 WIB lebih dengan tentunya diselingi makan malam di depan kampus Universitas Islam Indonesia (UII). Obrolan mulai dari seputar pekerjaan, nostalgia masa lalu, riwayat almarhum ayah beliau, jodoh, dan sebagainya. Saat saya masih bersekolah di Muallimin dulu, Mas Aam adalah sepupu saya yang cukup dekat. Saat saya Tsanawiyah (SMP) hampir tiap jum’at saya ke kosan beliau untuk sekedar menginap semalam menikmati liburan pekanan. Beliau adalah alumni UII Jurusan Arsitektur. Pelajaran yang dapat saya ambil dari perjumpaan dengan beliau adalah bahwa prinsip hidup harus selalu dipegang, kapanpun dimanapun, biarpun pahit.

Sepulang dari Mas Aam, saya menuju ke kosan Mukhlis. Sial, ternyata saya lupa dengan jalan menuju kosan dia. Entah berapa kali saya coba muter-muter gang sekitar kosan dia. Akhirnya setelah kirim pesan WhatsApp ke Fuad, saya baru sadar dan kosan Mukhlis pun ketemu. Di kamar Mukhlis sudah ada Baroto ditambah Fuad dan Mukhlis sendiri. Ngobrol pun berlanjut sampai tengah malam. Saat itu kami berempat belum sholat Isya. Kami pun keluar dengan kendarai motor menuju masjid yang cukup jauh dari kosan Mukhlis. Nama masjid saya lupa, namun masjid ini begitu asri. Saya sholat Isya malam itu seperti sholat malam di bulan Ramadhan. Pasca sholat, tak lama kemudian Fuad dan Baroto pun pulang ke kosan masing-masing. Malam yang penuh dengan pelajaran tentang arti sebuah pertemanan tak kenal sekat dan waktu.

**

Hari ini hari terakhir di tahun 2014,  Rabu, 31 Desember 2014. Pagi-pagi saya ajak Mukhlis keluar untuk cari makan khas Jogja. Kami pun menuju kawasan Jalan S. Parman, jalan dimana almamater SMA/SMP saya berada. Di perjalanan, kami terjebak hujan dan terpaksa harus menepikan motor ke rumah kosong. Hujan sudah cukup reda tetapi masih rintik-rintik, kami pun meluncur menuju lokasi. Soto Pak Margo ternyata sudah tidak ada, kami langsung menuju Soto Bu Cip. Seingat saya ini adalah pengalaman kedua saya makan soto Bu Cip. Bentuk warung Bu Cip tidak berubah. Tukang Parkirnya juga tetap. Rasa Soto-nya juga pasti tetap nikmat. Saya menikmati pagi yang habis terguyur hujan dengan sarapan yang mantab, rasanya tak dapat diungkapkan. Pokoknya mantab.

Setelah sarapan, kami segera bertolak ke almamater tercinta, Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, yang letaknya di Jalan S. Parman 68 kota Yogyakarta. Sekolah saya tak banyak berubah dari segi bentuknya. Tetap gagah jika dilihat dari jalan raya. Hanya ada tambahan taman di sebelah barat perpustakaan. Kami mengobrol bersama satpam, para karyawan, sampai guru Mu'allimin. Panjang lebar sekali. Ini semacam flashback 5,5 tahun lalu saat saya masih kelas XII di sekolah ini. Kebanyakan karyawan didominasi muka lama, sehingga banyak dari mereka kenal kami. Selain taman, ada kabar baru terkait pembangunan asrama VIII, dibongkarnya asrama V, dan rencana pemindahan sekolah ini pada 10 tahun mendatang di Kulonprogo. Terkait dengan asrama VIII, saya ngecek ke lokasi dan ternyata benar. Bangunan asrama ini megah sekali dengan perluasan lokasi di sebelah barat bangunan lama.

Nostalgia berlalu, kami menuju kos Mukhlis dan istirahat. Sorenya saya dengan memakai motor Jaja menuju shopping centre[7] Jogja sendiri.  Saya disini sampai maghrib dan berhasil dapatkan tiga buku. Ketiganya novel dengan judul Hikayat dari Italia karya Maxim Gorky, Kabar dari Penjara karya Nawal El Sa'dawi, dan Sayap-Sayap Patah karya Kahlil Gibran. Selanjutnya saya kembali ke kosan Mukhlis dan malamnya kami menuju kosan Dimas. Di sini saya ketemu Jamal, Anwar, Agus, dan Aji untuk pertama kali sejak lulus dari Muallimin 2009 lalu. Di kosan ini pula kami bakar jagung bersama-sama untuk menunggu pergantian tahun. Perbincangan pada malam terakhir tahun 2014 ini mulai dari seputar pengalaman organisasi teman-teman sampai tentang jodoh. Sangat hangat.

Kurang dari sejam menuju pergantian tahun, saya dan mukhlis pamit dari kosan Dimas. Kami harus putar jalan menuju arah Sleman untuk hindari kemacetan. Di jalanan kota banyak yang macet. Jalanan yang kami lewati lengang sekali. Awalnya saya khawatir akan kesasar, tapi ternyata hipotesa saya keliru. Justru ini adalah jalan pintas menuju arah kampus UGM. Di perjalanan saya melihat penduduk menyalakan kembang api dengan suka cinta. Tak hanya di kota, di perumahan penduduk Sleman pun demikian. Ada juga penduduk yang sekedar menonton dipinggir jalan. Kabarnya di titik nol kilometer kawasan Malioboro pada beberapa jam sebelum tahun baru, macet total. Kendaraan tidak bisa bergerak.

Saya tidak langsung menuju kosan tetapi ke angkringan dekat kosan dulu. Bagi saya ke jogja tanpa mampir ke angkringan seperti sayur tanpa garam, benar-benar kurang. Saya mencoba menikmati dini hari pada 1 Januari 2015 tanpa ditemani teman-teman yang saya kenal. Saya kira menu masakan angkringan ini tidak jauh berbeda dengan angkringan Pak Suroso. Nyatanya, jauh sekali kualitasnya. Sate daleman pahit, rasa tehnya kurang nonjok. Nyesel saya milih angkringan ini. Tetapi karena hari sudah mendekati waktu tahajjud, apa daya. Saya sudah malas jika harus ke angkringan lagi. Terpaksa saya pulang ke kosan Mukhlis dan selanjutnya tidur di kamar Jaja. Dengan diiringi lagu-lagu dari MP3, saya menutup mata untuk menghadapi hari ini.

**

Pagi harinya saya harus bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman saya, Lamongan. Dengan diantar Mukhlis, saya menuju terminal Giwangan. Saya ingin bernostalgia dengan jalur Bus Jogja-Solo-Ngawi-Bojonegoro-Lamongan. Sekitar jam 9 saya sudah standby untuk berangkat memakai bus ekonomi MIRA. Dalam perjalanan, saya amati ada dua terminal yang berubah. Terminal Solo sedang dibongkar dan masih belum berbentuk, dan terminal Ngawi yang sudah berpindah lokasi. Biarpun sudah berpindah, kualitas terminal Ngawi tak terlalu bagus, tidak begitu jauh dengan terminal lama. Bus yang antarkan saya dari Ngawi ke Bojonegoro masihlah bus kecil sekelas dengan Bus Garut-Bandung atau Jogja-Tempel/Jogja-Kaliurang.

Saya sampai di rumah sekitar jam setengah 17.00 WIB saat langit sangat mendung pertanda hujan akan datang. Kakak saya sudah standby di depan kampus Unisda untuk menjemput saya turun dari bus. Saya akan habiskan waktu di rumah hanya sampai tanggal 4 januari 2015 karena tanggal 5 harus sudah di bandung untuk kuliah perdana Magister Studi Pembangunan. Saya harus memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Di rumah, hanya ada Ibu. Beliau menyambut saya dengan bahagia, tak lama kemudian saat saya sholat, ayah datang. Saat itu hujan cukup deras. Namun kemudian mereda saat maghrib. Saya tunaikan sholat di mushola alm. Pak De Nan. Di sana saya bertemu dengan keluarga paman yang sebagian besar bersekolah/ berkuliah di Jogja. Saya pun ngobrol panjang lebar dengan mereka. Sangat hangat.

Habis Isya saya tidak ke mana-mana, hanya di rumah. Saya terlelap tidak sampai malam banget. Sekitar jam setengah 22.00 WIB saya sudah tidur. Hari berikutnya, 2 Januari 2014, bertepatan hari jum'at. Saya habiskan hari ini di toko sekaligus rumah di Made. Saya tidak menjaga Toko karena kakak sudah standby jaga. Di sini saya bertemu dengan Cak Zun. Dia berikan nasehat panjang lebar terkait masa depan. Bapak juga memberikan wejangan serupa. Menjelang jumatan, rambut saya pangkas tipis sekitar 0,5 cm. Kumis dan jenggot juga saya cukur. Saya ingin tampil berbeda saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandung nanti. Hari ini tidak terlalu istimewa. Seperti biasa, malam saya habiskan dengan ngobrol dengan sepupu pasca sholat Isya berjamaah.

Tanggal 3 Januari 2015 adalah nikahan rival saya dulu di Sekolah Dasar, Fenita. Saya sebenarnya tidak diundang sama dia. Berawal dari saat saya menginjakkan kaki di rumah, saya diberi tahu sama ibu jika Nita akan nikah sabtu ini, saya langsung kirim pesan WhatsApp ke dia. Saya berikan ucapan selamat. Tak lama pesan saya dibalas dengan meminta saya hadir di hari pernikahannnya. Tak berfikir panjang, saya bilang ok. Biarpun Nita teman lama sekali, tetapi dia telah membantu saya dalam berbagai hal seperti saat sukses adakan reuni akbar MI di awal kuliah dulu. Sekitar jam setengah 14.00 WIB saya datang ke lokasi pernikahannya di Gedung KPRI depan RSUD Lamongan. Tanpa ditemani siapapun, saya datang sendiri. Agak gerogi ketika saya injakkan kaki di gedung. Sebagian besar tamu undangan adalah golongan tua. Saya tidak memiliki teman bicara yang enak. Setelah sekitar semenit dalam diam, saya menuju panggung pelaminan, menyalami orang tua Nita, lalu Nita dan pasangannya. Saya pun mengobrol ama Nita. Tidak lama tapi cukup. Saya berikan hadiah ke Nita buku Sayap-Sayap Patah Kahlil Gibran yang saya bungkus dengan kertas kado. Bagi saya buku adalah segalanya, maka saya hadiahkan buku. Jika saya tahu nikahan Nita saat di Jogja, mungkin saya akan berikan buku yang jauh lebih baik.

Malamnya saya ikut di pengajian ranting Muhammadiyah se-kecamatan Sukodadi di Dusun Cuping, tidak terlalu jauh dari desa saya. Di pengajian ini hadir Bupati Lamongan, Fadeli, dan juga anggota DPR RI dari PAN, Kuswiyanto. Keduanya memberikan ceramah. Bupati menyampaikan program-program yang akan dan yang telah dilakukan sejauh ini. Titik penekanan sambutannya adalah kampanye. Seperti program pemberian dana bantuan pada imam masjid dan guru TPA. Beliau lebih dari sekali bilang kepada audiens "Jangan lupa ya..". Fakta seperti ini nampaknya umum dilakukan oleh banyak pejabat lain. Lamongan pada sekitar Oktober tahun ini akan melangsungkan Pilkada. Wajar saja sikap bupati demikian.

Siang hari, 4 Januari 2015, saya dengan diantar Ibu dan ayah menuju stasion Gubeng Surabaya. Sebelum sampai Gubeng, kami bertemu dulu dengan adik yang sedang berkuliah di Unair. Malam sekitar jam 19.00 WIB kereta berangkat menuju Bandung. Tak sengaja saya satu kursi dengan Ghozali (Elektro 09). Kami pun berbicara ngalor-ngidul...

Bandung, 30/01/15 0:42


[1] Ngangeni merupakan ungkapan Jawa yang berarti membuat kangen
[2] Film Cinta Subuh merupakan film pendek berdurasi sekitar 15 menit yang menceritakan perjuangan seorang pemuda untuk melakukan sholat subuh tepat waktu.
[3] Puncak Gunung Sumbing terdiri dari beberapa ketinggian biarpun tidak mencolok perbedaannya.
[4] Kesasar merupakan istilah Jawa yang berarti salah arah.
[5] Reot merupakan istilah Jawa yang berarti tua hampir rusak.
[6] Ngalor-ngidul merupakan istilah Jawa yang berarti mengobrol tanpa arahan, tanpa tema ataupun topik.
[7] Shopping Centre merupakan pusat penjualan buku di kota Jogja. Lokasinya satu kompleks dengan Taman Pintar Jogja.

0 komentar: