Dalam tulisan kali ini saya tidak akan memakai kosakata formal seperti
dalam tulisan saya sebelumnya. Saya mencoba menulis gaya mengalir. Semoga ide
yang ada dalam tulisan ini tidak hilang.
Saya sekarang sedang menempuh
pendidikan magister. Jadi saya telah menamatkan program Taman Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas
(SMA), dan Program Sarjana (S1) Universitas. Sepanjang pengalaman saya
mencicipi bangku formal pendidikan di negeri ini, tentunya saya mengalami
proses pendidikan yang kurang pas. Saya menggunakan parameter bahwa pendidikan
itu mengajarkan moralitas disamping keterampilan (skill). Disamping itu, pendidikan harus mampu menyelesaikan
persoalan sosial kemasyarakatan di mana dia berada.
Seperti yang telah disinggung di
muka, aspek pertama yang penting dalam pendidikan adalah moralitas. Melalui
pendidikan, peserta didik diarahkan untuk mampu membedakan antara yang benar
dan salah. Parameter benar salah adalah norma yang berkembang di masyarakat
dimana umumnya diambil dari nilai-nilai agama. Proses pengajaran tak melulu
dogmatis. Semakin dewasa usia, peserta didik diajak berfikir mengapa hal ini
dilarang, dan hal itu diperintahkan. Norma memang tak bisa diajarkan di kelas
dengan melalui berbagai buku teks pelajaran, namun sikap antusiasme belajar di
kelas disamping juga monitoring perkembangan prilaku peserta didik harus
distimulus oleh para pendidik. Guru disamping sebagai pengajar juga menanamkan
nilai-nilai. Dengan demikian, peserta didik yang memperoleh pendidikan formal
memiliki prilaku positif sesuai dengan norma yang berkembang di masyarakat.
Seorang Ibu sedang mengajari anaknya (dok. google.com) |
Aspek kedua adalah keterampilan (skill). Melalui pendidikan, peserta
didik memiliki keterampilan khusus di bidang tertentu yang selanjutnya menjadi
sebuah modal dalam menghadapi kehidupan. Keterampilan khusus ini pada akhirnya
menjadi profesi dalam pekerjaan. Sekolah (terutama universitas) harus mampu
mencetak lulusan yang memiliki keterampilan tertentu. Hal ini sebagai upaya
menciptakan produktivitas kerja dan mengerem jumlah pengangguran. Selain itu,
sekolah harus mampu mengidentifikasi keunikan tiap peserta didik dan
selanjutnya mengarahkannya ke bidang yang menjadi potensi ia di kemudian hari.
Berat Sebelah
Ketika saya memberikan les privat
kepada anak sekolahan yang mayoritas SMA, seringkali saya menanyakan kondisi
pembelajaran yang ia lakukan di sekolah. Seringkali saya mendapati anak-anak
yang mengeluh karena terlalu banyak tugas/Pekerjaan Rumah (PR). Juga anak-anak
yang menerima apa adanya. Mereka juga menceritakan tentang jam pelajaran di
kelas yang sangat padat. Ada satu sekolah yang masuk jam tujuh pagi dan pulang
pada jam empat sore. Hal ini berimplikasi pada jam bermain mereka yang sangat
terbatas. Dunia universitas biarpun seolah bebas namun nyatanya terkekang oleh
sistem yang dibuat oleh kampus. Dunia akademik dengan tugas-tugas yang berjibun
menjadikan mahasiswa gamang beraktivitas di organisasi kemahasiswaan. Salah
satu implikasinya, kita bisa melihat dari aktivitas organisasi sentral
kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seolah hanya sekedar
rutinitas tanpa arti. Sesuatu yang diperjuangkan bias entah arahnya kemana.
Melihat kenyataan di atas
ditambah dengan apa yang pembaca rasakan, lembaga pendidikan kita seolah hanya
mengajarkan keterampilan (skill).
Moralitas yang menjadi nilai inti dari pendidikan nyatanya tak terlalu
ditekankan oleh lembaga pendidikan. Bahkan ada lembaga pendidikan yang
menyarankan peserta didik untuk mencontek ramai-ramai saat Ujian Nasional. Dari
waktu ke waktu, kita dapat menyaksikan langsung atau melalui media massa bahwa
semakin banyak anak usia sekolah yang terlibat tawuran, hamil di luar nikah,
pengguna narkoba, dan lain sebagainya. Semua ini tak lain salah satu sebabnya
adalah pendidikan moral tak begitu berjalan di lembaga pendidikan formal kita.
Memperkuat Keluarga
Semakin kesini, kita tak bisa
mengandalkan lembaga pendidikan formal untuk memperbaiki moral anak-anak kita.
Penumbuhan moral tak lain tak bukan berawal dari keluarga. Ingat, moral tak
dapat diajarkan melainkan dicontohkan. Sang Ibu mencontohkan bagaimana memulai
makan dengan berdoa, sementara sang ayah mencontohkan bagaimana caranya
bersikap ketika bertemu orang tua. Masih banyak contoh lainnya. Intinya,
melalui basis keluargalah prilaku anak dididik dan diarahkan. Maka dari itu,
fondasi keluarga harus dibentuk secara kokoh. Jika paramater moral adalah
ajaran agama, maka suasana keluarga harus dibentuk sedemikian hingga sesuai
dengan tuntunan agama. Jangan sampai keluarga mengarah ke broken home yang berimplikasi langsung maupun tidak langsung bagi
psikologis anak.
Saat ini sedang trend "Home Schooling". Saya
rasa ini aksi anarkisme sebagai bentuk kritik bagi sekolah-sekolah formal yang
gagal dalam "mendidik" para siswanya.
Bandung, 12/2/2015 ;
23.48 WIB
0 komentar:
Post a Comment