27 Desember 2012 silam saya mewawancarai Jokowi yang
saat itu sebagai Walikota Surakarta di Balaikota Surakarta. Kala itu nama
Jokowi sedang hangat diperbincangkan media setelah dinilai sukses membangun
kota Solo dan dikenal dekat dengan masyarakat. Beberapa bulan kemudian, Jokowi
kembali menjadi perbincangan publik setelah Ia memakai mobil rakitan salah satu
SMK di Solo untuk dijadikan mobil dinasnya. Mobil tersebut dinamakan Esemka.
Mobil inilah salah satu faktor terpenting dalam melejitkan nama Jokowi ke
pusaran kekuasaan pusat. Pada akhir 2013, Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI
Jakarta dan sejak saat itulah namanya tak pernah luput dari pemberitaan media.
Mobil Esemka tersebut rumornya akan di-plot menjadi mobil nasional pada masa
mendatang. Saat menjabat sebagai walikota Solo, Jokowi bahkan ikut
mempromosikan mobil ini ke publik. Saat itu juga, pabrik mobil ini kebanjiran order. Namun, kabar mobil Esemka ini
meredup dan cenderung tenggelam saat Jokowi menduduki jabatan Gubernur DKI.
Pada akhirnya kita mafhum bahwa isu mobil Esemka hanyalah sebagai kendaraan
politik Jokowi untuk meraih kekuasaan. Publik pada akhirnya tahu bahwa mobil
ini sekedar rakitan bukan produksi asli anak bangsa. Ibarat bongkar pasang, orderdil
mobil dirangkai menjadi satu mobil utuh oleh anak SMK.
Ternyata Bukan Esemka Namun Proton
Sangat disayangkan mobil esemka yang diproyeksikan
sebagai mobil nasional sekedar sebagai pencitraan Jokowi untuk meraih
kekuasaan. Melalui mobil ini, Jokowi dicitrakan sebagai figur yang menjunjung
kemandirian bangsa menuju bangsa yang besar dan disegani dunia. Padahal itu
sekedar tipuan setelah ditelusuri lebih jauh ternyata sekedar mobil rakitan.
Banyak pihak yang kecewa, namun saya rasa banyak pihak yang sekedar mengikuti
arus media. Media menggiring opini publik untuk bersimpati kepada Jokowi, untuk
loyal kepada Jokowi. Pada 2014, Jokowi mundur sebagai Gubernur DKI untuk maju
sebagai calon Presiden RI dan Ia terpilih. Salah satu tagline Jokowi saat maju sebagai Presiden RI adalah menjunjung
tinggi kemandirian bangsa.
Logo Proton (doc. id.wikipedia.org) |
Ditengah keributan KPK-Polri, Jokowi melawat ke
negeri jiran Malaysia dan pada 6 Februari 2015, Jokowi menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman
(MoU) antara PT Adiperkasa Cipta Lestari (Adiperkasa) dengan Proton, perusahaan
mobil nasional Malaysia, untuk membantu Indonesia belajar membangun, mengembangkan, dan
dan memproduksi mobil nasional (mobnas) (kompas.com, 6/2/2015). Saya kurang
begitu tahu terkait track record perusahaan
PT Adiperkasa ini, tetapi setelah melihat AM. Hendropriyono sebagai CEO-nya saya jadi berkesimpulan bahwa
proyek mobil nasional adalah sekedar proyek bagi-bagi jatah oleh Jokowi kepada
para man behind-nya. Hendropriyono
yang juga mantan Ketua Badan Intelejen Negara (BIN) merupakan salah satu
pendukung utama Jokowi di Pemilu Presiden (Pilpres) pada beberapa bulan yang
lalu. Dia belum mendapat jatah pos menteri atau posisi setingkat di
Pemerintahan Jokowi.
Proyek mobil nasional ini saya rasa bukan sebuah
rencana jangka panjang untuk menumbuhkan industri otomotif nasional. Saya
beranggapan demikian karena kerja sama ini dengan Proton yang notabene adalah
perusahaan mobil Malaysia. Pada awal mulanya Proton dibangun berkat kerjasama
dengan mobil eropa Renault (?). Kita tahu bersama Renault adalah perusahaan
mobil yang sudah established dan
memiliki track record bagus di dunia.
Jika ada ide membuat mobnas, mengapa tidak kerjasama dengan Renault atau
perusahaan otomotif yang sudah lebih leading
lainnya seperti Toyota, Marcedes Benz, General Motors, dan sebagainya ?. Jika
kita asumsikan kualitas Proton saat ini setara dengan beberapa pabrikan mobil
yang telah saya singgung di muka, bukannya ide mobnas dengan BBM sudah pernah
ada di masa Presiden Soeharto dan kemudian terhenti salah satu sebabnya adalah sekedar
bagi-bagi proyek ?.[1]
Mengapa Tidak Mobil Listrik ?
Ramah Lingkungan adalah salah satu poin penting dalam
pengembangan teknologi termasuk di dalamnya industri otomotif. Mobil listrik
adalah bagian dari teknologi otomotif yang ramah lingkungan dan memiliki
prospek bagus baik di Indonesia maupun dunia. Berbagai pabrikan mobil dunia
sedang mengembangkan teknologi ini. Banyak penduduk di berbagai negara juga
telah memakai mobil jenis ini dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Pada
masa sekarang, saya rasa yang paling cocok dipakai sebagai mobil nasional
adalah mobil listrik.
Ide mobil listrik sempat mengemuka di publik pada
masa Dahlan Iskan menjabat sebagai Meneg BUMN. Saat itu Dahlan memanggil Ricky
Elson, seorang pakar mobil listrik yang bekerja di Jepang, untuk membuat prototype mobil listrik di Indonesia. Ricky
Elson dan Tim sukses membuat beberapa jenis mobil listrik yang cukup mendapat
pujian publik. Tak hanya Dahlan, Gusti Muhammad Hatta yang saat itu menjabat
Menristek juga sempat kampanyekan mobil listrik karya BPPT. Begitu pula Hatta
Radjasa yang sempat promosikan mobil listrik karya salah satu alumni terbaik
ITB, Dasep Akhmadi.
Ketiga para pakar mobil listrik di atas (Ricky Elson,
BPPT, dan Dasep Akhmadi) biarpun mendapatkan dukungan dari seorang menteri,
namun ternyata industri mobil listrik di Indonesia tidak akan pernah
berkembang. Hal itu tak lain adalah karena kurang adanya dukungan penuh dari Presiden
RI. Dukungan penuh tidak sekedar ungkapan "Saya mendukung, lanjutkan !",
tetapi turut serta membangun infrastruktur industri, blue print, dan sebagainya. Industri mobil listrik merupakan
industri strategis dan mungkin salah satu alasan mengapa industri ini tidak
dikembangkan di Indonesia adalah karena tekanan dari para industri otomotif
dunia seperti Jepang, Eropa, dan Amerika yang telah merajai pasar Indonesia sekian
lama. Jika permintaan mobil listrik semakin banyak, maka jelas akan mengeruk
pendapatan mereka. Oleh karenanya hanya Presiden RI yang memiliki nyali yang
besar-lah yang bisa melakukannya. Ini tentunya bukan Jokowi. Kasus BG aja lama
sekali tidak selesai apalagi ide mobil listrik ?.
[1] Proyek
mobil nasional pada masa Presiden Soeharto dipimpin oleh anaknya sendiri, Tommy
Soeharto. Mobil nasional saat itu diberi nama "Timor" yang cukup
mendapat perhatian publik biarpun pada akhirnya terhenti.
0 komentar:
Post a Comment