Saturday, March 21, 2015

Mimpi Keluarga Doktor

Ketika saya menulis artikel ini, saya sedang studi pascasarjana Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung (ITB), sementara kakak saya, Isni, sedang bergulat dengan tesis pascasarjana Ilmu Keperawatan di Universitas Padjajaran (Unpad), dan adik saya, Faroh, sedang menempuh semester 4 di program studi Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Unair).

Bapak saya memang seorang yang memiliki perhatian besar pada dunia pendidikan. Ia telah berikrar untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan pascasarjana (S2). Ia bercita-cita semua anaknya menjadi tenaga pendidik di universitas (baca : dosen). Menurut beliau dosen itu profesi yang sangat menjanjikan. Kata Bapak, dosen memiliki waktu luang yang cukup banyak dimana itu bisa dimanfaatkan untuk beraktivitas lain seperti halnya berbisnis. Saya memandang wajar pemikiran Bapak saya seperti itu berhubung Bapak biarpun telah menempuh pendidikan S2, beliau tinggal di kota kecil Lamongan Jawa Timur yang dinamikanya berbeda seperti halnya di kota besar seperti Bandung dan Surabaya. Bapak saya bukan seorang dosen, Ia adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan profesi sebagai pengawas SMA/SMK di kota Lamongan. Pendidikan S2 ditempuh Bapak sebagai syarat baginya untuk naik pangkat.
 
Adik, Saya, dan Kakak dalam sebuah foto studio pasca wisuda saya (Oktober 2014)
Saya memandang Bapak saya termasuk orang unik dibandingkan dengan teman sebayanya di kantor. Saya sering dengar bahwa orang seusia Bapak dengan profesi yang sama rela memberikan anak-anaknya barang mahal yang sedang in di masyarakat seperti gadget smartphone terbaru, motor sport, tablet PC, atau bahkan mobil. Bapak saya tidak memilih itu, tapi Ia memberikan 'beasiswa' kepada anak-anaknya di pendidikan sampai pascasarjana. Jadi, saya, kakak, dan adik dibiayai mulai dari biaya pendidikan sampai beasiswa hidup per bulannya. Saya sendiri tidak tahu apa sebab Bapak saya memiliki pemikiran demikian. Padahal jika melihat lingkungan, Bapak saya tinggal di desa jadi interaksinya dengan bapak-bapak yang maksimal pendidikan anak-anaknya adalah sarjana, bahkan banyak anak-anaknya yang hanya berpendidikan tingkat SMA kemudian bekerja di perusahaan.

Setiap saya pulang, Bapak saya seringkali cerita tentang toko pertanian yang dia buka tiga tahun silam. Bapak ceritakan jika toko yang dimilikinya itu memiliki arus kas sekian. Ia perlihatkan perhitungan akuntasinya dengan semangat. Bapak saya memang orang yang miliki kemampuan perbukuaan dan akuntasi yang relatif bagus. Ia pernah kursus akuntansi saat menempuh studi D3 di Surabaya. Bapak juga sering kali bilang bahwa bisnis yang ia buka tak lain hanyalah untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Bapak seperti halnya orang tua lain, menceritakan masa susahnya saat muda kepada saya. Satu harapan beliau agar anak-anaknya berani 'menderita' seperti halnya yang pernah ia alami.

Tak Cukup Master

Bapak saya hanya menargetkan anak-anaknya berpendidikan sama dengannya yakni memperoleh gelar master (S2). Bagi saya gelar master tidaklah cukup. Saya rasa saya dan saudara saya harus menempuh pendidikan doktor. Alasanya senderhana, berpendidikan doktor itu cermin dari seorang yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Pengembang ilmu dijanjikan oleh Allah SWT akan diangkat derajatnya. Juga merupakan bagian dari kebangkitan suatu peradaban. Tak ada bangsa besar tanpa didalamnya dijumpai banyak pengembang ilmu. Jika saya bagian dari pengembang ilmu berarti saya turut serta memajukan umat, bangsa, dan negara. Alasan lain, peluang untuk studi S3 besar sekali di masa sekarang. Banyak sekali beasiswa yang tersedia.

Bapak saya seringkali bilang ke saya bahwa dia ingin anaknya jadi dosen. Terkait permintaan Bapak ini, mungkin tidak bisa saya penuhi. Saat ini saya belum ada cita-cita jadi dosen, saya lebih tertarik untuk menjadi profesional. Jadi pasca studi S3, saya akan bekerja di perusahaan atau mendirikan perusahaan. Bapak juga pernah nyletuk ke saya jika dia ingin anaknya menjadi menteri. Karena ini jabatan politik sedang saya belum tertarik terjun di jalan politik, maka saya belum yakin bisa memenuhi keinginan Bapak. Saya hanya ingin menjadi seorang yang mimiliki kepakaran di bidang tertentu. Dengan itu, kemanfaatan saya terhadap masyarakat jelas.

Pada akhirnya cita-cita mewujudkan keluarga doktor dimana saya, kakak, dan adik berpendidikan S3 adalah semata-mata bukan untuk kejar status sosial. Ini semata-mata untuk semakin mendekatkan diri dengan-Nya. Kata Nabi "Jika ingin bahagia di dunia gunakan ilmu, ingin bahagian di akhirat gunakan ilmu, ingin bahagia keduanya gunakan ilmu". Semoga cita-cita mulia ini bisa terwujud di masa mendatang. Amiin. 

0 komentar: