Ketika saya menulis artikel ini, saya sedang studi pascasarjana
Studi Pembangunan di Institut Teknologi Bandung (ITB), sementara kakak saya,
Isni, sedang bergulat dengan tesis pascasarjana Ilmu Keperawatan di Universitas
Padjajaran (Unpad), dan adik saya, Faroh, sedang menempuh semester 4 di program
studi Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Unair).
Bapak saya memang seorang yang memiliki perhatian besar pada dunia
pendidikan. Ia telah berikrar untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai
pendidikan pascasarjana (S2). Ia bercita-cita semua anaknya menjadi tenaga
pendidik di universitas (baca : dosen). Menurut beliau dosen itu profesi yang
sangat menjanjikan. Kata Bapak, dosen memiliki waktu luang yang cukup banyak
dimana itu bisa dimanfaatkan untuk beraktivitas lain seperti halnya berbisnis.
Saya memandang wajar pemikiran Bapak saya seperti itu berhubung Bapak biarpun
telah menempuh pendidikan S2, beliau tinggal di kota kecil Lamongan Jawa Timur
yang dinamikanya berbeda seperti halnya di kota besar seperti Bandung dan
Surabaya. Bapak saya bukan seorang dosen, Ia adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dengan profesi sebagai pengawas SMA/SMK di kota Lamongan. Pendidikan S2 ditempuh
Bapak sebagai syarat baginya untuk naik pangkat.
Saya memandang Bapak saya termasuk orang unik dibandingkan dengan
teman sebayanya di kantor. Saya sering dengar bahwa orang seusia Bapak dengan
profesi yang sama rela memberikan anak-anaknya barang mahal yang sedang in di masyarakat seperti gadget smartphone
terbaru, motor sport, tablet PC, atau bahkan mobil. Bapak saya tidak memilih
itu, tapi Ia memberikan 'beasiswa' kepada anak-anaknya di pendidikan sampai
pascasarjana. Jadi, saya, kakak, dan adik dibiayai mulai dari biaya pendidikan
sampai beasiswa hidup per bulannya. Saya sendiri tidak tahu apa sebab Bapak
saya memiliki pemikiran demikian. Padahal jika melihat lingkungan, Bapak saya
tinggal di desa jadi interaksinya dengan bapak-bapak yang maksimal pendidikan
anak-anaknya adalah sarjana, bahkan banyak anak-anaknya yang hanya
berpendidikan tingkat SMA kemudian bekerja di perusahaan.
Setiap saya pulang, Bapak saya seringkali cerita tentang toko
pertanian yang dia buka tiga tahun silam. Bapak ceritakan jika toko yang
dimilikinya itu memiliki arus kas sekian. Ia perlihatkan perhitungan
akuntasinya dengan semangat. Bapak saya memang orang yang miliki kemampuan
perbukuaan dan akuntasi yang relatif bagus. Ia pernah kursus akuntansi saat
menempuh studi D3 di Surabaya. Bapak juga sering kali bilang bahwa bisnis yang
ia buka tak lain hanyalah untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Bapak seperti
halnya orang tua lain, menceritakan masa susahnya saat muda kepada saya. Satu
harapan beliau agar anak-anaknya berani 'menderita' seperti halnya yang pernah
ia alami.
Tak Cukup Master
Bapak saya hanya menargetkan anak-anaknya berpendidikan sama
dengannya yakni memperoleh gelar master (S2). Bagi saya gelar master tidaklah
cukup. Saya rasa saya dan saudara saya harus menempuh pendidikan doktor.
Alasanya senderhana, berpendidikan doktor itu cermin dari seorang yang mengembangkan
ilmu pengetahuan. Pengembang ilmu dijanjikan oleh Allah SWT akan diangkat
derajatnya. Juga merupakan bagian dari kebangkitan suatu peradaban. Tak ada
bangsa besar tanpa didalamnya dijumpai banyak pengembang ilmu. Jika saya bagian
dari pengembang ilmu berarti saya turut serta memajukan umat, bangsa, dan
negara. Alasan lain, peluang untuk studi S3 besar sekali di masa sekarang.
Banyak sekali beasiswa yang tersedia.
Bapak saya seringkali bilang ke saya bahwa dia ingin anaknya jadi
dosen. Terkait permintaan Bapak ini, mungkin tidak bisa saya penuhi. Saat ini
saya belum ada cita-cita jadi dosen, saya lebih tertarik untuk menjadi
profesional. Jadi pasca studi S3, saya akan bekerja di perusahaan atau
mendirikan perusahaan. Bapak juga pernah nyletuk
ke saya jika dia ingin anaknya menjadi menteri. Karena ini jabatan politik
sedang saya belum tertarik terjun di jalan politik, maka saya belum yakin bisa
memenuhi keinginan Bapak. Saya hanya ingin menjadi seorang yang mimiliki
kepakaran di bidang tertentu. Dengan itu, kemanfaatan saya terhadap masyarakat
jelas.
Pada akhirnya cita-cita mewujudkan keluarga doktor dimana saya,
kakak, dan adik berpendidikan S3 adalah semata-mata bukan untuk kejar status
sosial. Ini semata-mata untuk semakin mendekatkan diri dengan-Nya. Kata Nabi
"Jika ingin bahagia di dunia gunakan
ilmu, ingin bahagian di akhirat gunakan ilmu, ingin bahagia keduanya gunakan
ilmu". Semoga cita-cita mulia ini bisa terwujud di masa mendatang.
Amiin.
0 komentar:
Post a Comment