Usia
Pemerintahan Jokowi-Jk belumlah setahun, namun kebijakan yang dikeluarkan tak
lepas dari kontroversi. Satu kebijakan yang patut diperhatikan adalah
dicabutnya subsidi listrik. Listrik merupakan sumber energi primer selain Bahan
Bakar Minyak (BBM) yang dimanfaatkan masyarakat industri sampai masyarakat
Rumah Tangga. Terlepas dari kontroversinya, dalam tulisan ini penulis akan
menggambarkan sepak terjang listrik di republik ini guna dicarikan kebijakan yang
tepat terkait permasalahan ini.
Kondisi
Pembangkit Listrik Nasional (PLN)
Dalam
tulisannya dalam Kompas (23/6/2014), Faisal Basri menceritakan bahwa dalam lima
tahun terakhir, kondisi kelistrikan nasional justru kian memburuk. Hampir semua
proyek listrik tersendat, bahkan beberapa belum memulai pembangunan fisik
seperti pembangkit Asahan dan Batang. Hampir semua proyek pembangkit listrik
geotermal tersendat. Demikian pula proyek pembangunan transmisi. Sementara itu
subsidi listrik melonjak lebih dari 20 kali sejak 2004 di tahun 2014 kemarin,
dari Rp 3 Triliun menjadi Rp 71 Triliun. Padahal, peningkatan APBN hanya empat
kali saja, dari Rp 374 pada 2004 Triliun menjadi Rp 1.842 Triliun pada 2014
kemarin (A. Prasetyantoko, Kompas, 15/9/2014).
Kabarnya,
target pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan Jokowi-JK sekitar 7 persen. Karena
hal inilah produksi listrik harus naik setidaknya 8,5 persen (Basri, 2014).
Selain kerugian di atas, PLN juga menderita karena menghadapi ketidakpastian
dalam memperoleh pasokan gas dan batubara sehingga harus meningkatkan
penggunaan BBM untuk pembangkit listrik yang sebetulnya sudah didesain
menggunakan gas dan batubara (Basri, Kompas,8/10/2007).
Cabut
Subsidi
Pada
tanggal 1 Januari 2015 berdasarkan Permen ESDM No. 31 tahun 2014, pemerintah
berencana menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk 12 pengguna, namun rencana
tersebut ditunda. Harga TDL kedepan akan disesuaikan dengan harga pasar seperti
halnya harga BBM. Menarik untuk ditelusuri apakah yang melandasi pemerintah
keluarkan kebijakan demikian.
0 komentar:
Post a Comment