Abstrak
Mahasiswa merupakan
entitas masyarakat yang memiliki andil dalam perubahan sosial-politik yang ada di Indonesia. Dalam catatan sejarah,
mahasiswa memiliki kontribusi yang besar dalam konflik perpolitikan nasional
seperti ikut serta menurunkan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan mahasiswa
diidentikkan dengan gerakan sosial-politik elitis yang sasarannya adalah para
pejabat tinggi negara. Reformasi 98 membawa arus gelombang baru dalam sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat dari arus informasi yang
terbuka luas. Gelombang ini berkembang dan mencapai klimaksnya di dekade awal
2000-an dimana arus postmodernisme mempengaruhi kondisi gerakan mahasiswa di
berbagai sisi. Arus inilah yang membuat wajah baru gerakan mahasiswa yang tak
lagi sebagai gerakan utopis, elitis, dan ideologis melainkan sebagai gerakan
rasional, populis, dan anti-ideologi. Pada makalah ini akan dibahas terkait
bagaimana gerakan politik mahasiswa menyikapi arus besar postmodernisme ini.
Kata
kunci : postmodernisme,
gerakan sosial-politik mahasiswa
Pendahuluan
Mahasiswa merupakan
entitas pemuda yang bermukim di lembaga pendidikan tinggi seperti universitas,
institut, sekolah tinggi, dan sebagainya. Mahasiswa selain memiliki kegiatan
harian sebagai penuntut ilmu (hard skill),
mereka juga mengasah softskill-nya
selama belajar di kampus. Berorganisasi adalah salah satu bentuk softskill yang digeluti oleh mahasiswa.
Melalui organisasi, mahasiswa belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain
dan juga belajar tentang masalah sosial dan politik.
Melalui wadah
organisasi, mahasiswa seringkali membahas terkait berbagai permasalahan mulai
dari masalah internal organisasi sampai dengan masalah bangsa. Dari sini,
mahasiswa seringkali diasosiasikan dengan agent
of social change atau agen perubahan sosial. Pada masa awal republik ini
berdiri, mahasiswa seringkali menjadi aktor politik nasional yang
diperhitungkan oleh penguasa. Mulai dari aksi penggulingan Soekarno sampai aksi
penggulingan Soeharto pada Mei 1998 silam. Mahasiswa menjadi entitas yang
dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat. Pada masa tersebut, mahasiswa dan
politik ibarat satu ikatan tali yang sukar untuk dilepaskan.
Masa reformasi
menjadikan arus semakin terbuka di republik ini terutama arus untuk bersuara
yang semula dibungkam pada masa orde Baru. Sejak masa ini, keran informasi
seolah dibuka secara total dan tak terbendung. Puluhan partai politik dengan
aneka ide dan gagasan mengikuti perhalatan akbar Pemilihan Umum (Pemilu).
Media-media yang semula ditekan oleh penguasa berlomba-lomba memberikan
informasi secara gamblang atas kinerja pemerintah dan juga berbagai kondisi
kebangsaan lainnya. Media-media massa baru juga bermunculan. Mahasiswa
bersorak-sorai karena kini mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya secara
langsung ke pemerintah tanpa harus melewati serangkaian tembakan bayonet, gas
air mata, dan sebagainya seperti pada detik-detik reformasi 98 silam.
Gelombang arus
reformasi menyebar ke berbagai ranah kehidupan masyarakat. Gelombang arus
informasi sebagai dampak dari reformasi menjadi semakin tak terbendung sejak
internet masuk ke tanah air yang mencapai momentumnya pada tahun 2000-an awal.
Ditambah lagi dengan kemudahan akan gadget
terutama smartphone yang
memfasilitasi berbagai jejaring sosial yang mulai booming di dekade kedua abad ke 21, membuat arus informasi tak
hanya hadir dari satu arah (media massa). Kini setiap orang bebas untuk
menyampaikan gagasan di media sosial. Tak hanya itu, kualitas liputan
jurnalistik yang menurun akibat mengejar rating
dan kecepatan dan juga dikuasai oleh segelitir orang yang bermain di dunia
perpolitikan nasional, membuat kesahihan liputan informasi menjadi semakin bias.
Sumber informasi yang
semakin bias dengan sebaran opini pribadi yang semakin meluas secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi dinamikan gerakan mahasiswa. Kini gerakan
mahasiswa tak lagi berbicara politik. Gerakan politik mahasiswa hanya tersektor
pada tingkat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Keluarga Mahasiswa
(KM) yang menjadikannya semakin eksklusif. Gerakan mahasiswa pun menjadi
semakin beragam jenisnya mulai dari kesenian, pengabdian masyarakat, dan
sebagainya yang lebih memiliki dampak langsung ke masyarakat. Gerakan yang
lebih konkret dan jelas hasilnya mendapat respon yang positif di kalangan
mahasiswa, sementara gerakan politik yang konseptual ideologis diasosiakan
sebagai gerakan wacana yang peminatnya semakin meredup. Gerakan yang dilakukan
mahasiswa kini sekedar pragmatis dan tidak memiliki akar pemikiran yang kuat
namun itu yang justru digandrungi dan memiliki massa yang banyak. Gelombang informasi seperti yang dijelaskan
dimuka tak lain adalah tanda dari arus postmodernisme. Arus inilah yang
mempengaruhi wajah gerakan sosial-politik mahasiswa saat ini.
Pertanyaan
Riset
Makalah ini akan
menjawab dua pertanyaan mendasar terkait dengan gerakan sosial-politik mahasiswa
di era postmodernisme ;
- Bagaimana sebaiknya gerakan mahasiswa di era postmodernisme ?
- Bagaimana mempertahankan idealisme visi-misi gerakan sosial-politik mahasiswa di tengah arus postmodernisme ?
Metodologi
Makalah ini menyajikan
pembahasan terkait dengan bentuk gerakan mahasiswa yang ada saat ini
berdasarkan pengalamatan penulis yang telah berkecimpung di dunia kemahasiswaan
selama lebih dari lima tahun sejak 2009 dengan dibenturkan dengan berbagai
literatur yang ada terkait dengan konsep postmodernisme. Penulis memakai buku
karangan Bambang Sugiharto berjudul Postmodernisme
; Tantangan terhadap Filsafat terbitan PT. Kanisius sebagai referensi
utama, ditambah dengan literatur lain yang relevan.
Pembahasan
Literatur
Istilah
"postmodern" muncul pertama kalinya di wilayah seni. Menurut Hassan
dan Jencks, istilah itu pertama-tama dipakai oleh Fredico de Onis pada tahun
1930-an dalam karyanya, Antologia de la
Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul
dari dalam modernisme. Kemudian di bidang histeriografi oleh Toynbee dalam A
Study of History (1947). Sebenarnya benih penggunaan positif awalan
"post" telah terdapat pada tulisan Leslie Fiedler tahun 1965 ketika
ia menggunakannya dalam istilah-istilah macam "post-humanist, post-male,
post-white" dsb. Pertengahan tahun 70-an Ilhab Hassan kemudian muncul
memproklamirkan diri sebagai pembicara utama postmodernisme dan ia menerapkan
label ini pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-teknologi dalam
arsitektur. Istilah itu kemudian menjadi lebih populer manakala digunakan oleh
para seniman, penulis, dan kritikus macam Rauschenberg dan Cage, Burroughs dan
Sontag untuk menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme yang mandek
dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian Charles Jencks sebagai pembicara
utamanya. Lalu juga dalam seni visual, seni pertunjukan, dan musik di tahun
1980-an.[1]
Postmodernisme katanya
adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan
umumnya. Ia mengaitkan tahapan-tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli,
sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Masyarakat
postmodernisme ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala
batas, wilayah dan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah, penampilan
dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dipelihara
terus oleh teori sosial maupun filsafat tradisional. Mengambil Ide Lyotard,
postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak
henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan
terus-menerus. Lebih lanjut, postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan
terhadap segala bentuk narasi besar ; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah,
dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi-seperti Hegelianisme,
Liberalisme, Marxisme, atau apa pun. [2]
Postmodernisme secara
bahasa berasal dari kata "post" yang berarti pasca, setelah, sesudah,
dan "modernisme" yang berarti segala hal yang serba saklek, mekanis,
dan saintifik. Dari terminologi tersebut, postmodernisme tidak lagi berpijak
pada kebenaran mutlak yang menjadi ciri khas pada masa modernisme. Kaum
postmodernis menyangkal bahwa modernisme tak lagi relevan dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang ada di kehidupan ini. Mereka pun meninggalkan doktrin
modernisme yang serba pasti, sentral, dan prosedural menjadi hal yang sifatnya
relatif. Dari sinilah muncul konsep kombinasi berbagai aliran gabungan antara
modern dan pra-modern. Sebagai contoh ideologi. Warga negara tak lagi menerima
kebenaran tunggal yang menjadi ciri khas politik totalitarian yang memakai
ideologi tertentu dalam menjalani roda pemerintahan (politik) suatu negara.
Orang cenderung antipati pada ideologi-ideologi besar yang menjadi ciri khas
zaman modern seperti kapitalisme dan komunisme. Mereka memandang bahwa
ideologi-ideologi tersebut sudah tidak cocok diterapkan suatu negara. Kini
orang cenderung pragmatis dan acuh terhadap gerakan politik ideologis. Bagi
mereka tidak penting ideologi apa yang dibawa, melainkan stabilitas ekonomi negara
yang lebih penting.
Selain di bidang
ideologi politik, dunia arsitektur pun tak luput dari arus besar
postmodernisme. Para arsitek sudah mulai mendesain bangunan klasik modernis
yang desainnya diadopsi pada aliran arsitektur pra-modern dan modern. Banyak
kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitek kuno dan klasik namun memiliki
fasilitas serba modern. Arus postmodernisme juga merambah ke dunia industri.
Dunia industri kini tak sekedar mengejar untung-rugi semata melainkan
memberikan perhatian lebih pada lingkungan. Seringkali kita mendengar istilah
"green economy", "sustainability", dan konsep-konsep lain
sebagai ciri dari gelombang postmodernisme. Dengan kata lain, postmodernisme menjadi
gelombang baru di berbagai sendi kehidupan termasuk juga gerakan sosial-politik
mahasiswa.
Diskusi
dan Analisis
Gerakan mahasiswa di
awal kemerdekaan hingga akhir 90-an dikenal sebagai gerakan sosial politik yang
didalamnya seringkali mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak
berpihak pada rakyat. Gerakan dalam artian tersebut berupa aksi turun ke jalan dengan
berbagai tuntutan yang ditujukan untuk penguasa republik. Pada masa ini
mahasiswa dicitrakan sebagai entitas yang mewakili suara rakyat Indonesia.
Seperti pada gelombang demontrasi besar-besaran untuk menumbangkan rezim Orde
Baru, banyak elemen masyarakat mendukung aksi mahasiswa dengan memberikan
bantuan logistik dan dukungan moral lainnya.
Setelah gelombang
reformasi 98, lambat laun gerakan mahasiswa bermetamorfosa menjadi berbagai
macam gerakan. Gerakan politik masih ada, namun tak lagi sekuat pra-reformasi.
Kalaupun ada gerakan politik, gerakan hanya tersektor dalam lingkaran Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tak sedikit elemen mahasiswa lain acuh terhadap
gerakan ini. Metode gerakan turun ke jalan menjadi satu hal yang semakin tidak
populer. Ketidakpopuleran tersebut membuat model gerakan lebih kepada cara-cara
pop (kependekan dari populer) yang aman dengan harapan mendapat simpati dari
mahasiswa lain secara lebih luas. Kini, seringkali kita dapati gerakan paraf
petisi di situs change.org, infografis di berbagai jejaring sosial, #save di
twitter, dan berbagaimedium lain yang memiliki tujuan sama dengan metode
gerakan klasik seperti demonstasi turun ke jalan yakni turut serta menginginkan
perubahan yang lebih baik.
Gerakan politik yang
tidak lagi menjadi sentral menjadikan BEM atau Kabinet Keluarga Mahasiswa tidak
lagi menjadi mercusuar gerakan. Mahasiswa bebas untuk membuat dan menentukan
jenis dan bentuk gerakan. Bahkan banyak mahasiswa yang menciptakan gerakan
kultural yang sama sekali tidak berada di payung universitas seperti halnya
himpunan dan unit. Sebagai contoh Rakapare. Organisasi ini ini beranggotakan
sekelompok mahasiswa lintas universitas yang memiliki kepedulian untuk
menyelesaikan konflik/masalah sosial yang muncul di permukaan. Organisasi yang
berdiri di Bandung dengan dikomandoi oleh mahasiswa ITB ini mencoba untuk
selesaikan masalah sosial di masyarakat tanpa melalui birokarasi dan audiensi
berkelanjutan dengan pemerintah atau bahkan demonstrasi turun ke jalan. Sebagai
contoh salah satu programnya yaitu ikut serta bersama petani Karawang untuk
memperjuangkan hak atas tanah yang beralihkepemilikannya kepada salah satu
perusahaan swasta. Para anggota organisasi ini membantu masyarakat dalam
merancang strategi agar status kepemilikan tanah tetap ada di pihak petani.
Transfer pengetahuan ke petani dan juga perlatihan-perlatihan ke petani
dilakukan guna agar petani memiliki bekal yang cukup untuk menyuarakan
aspirasinya. Tak hanya itu, mereka menyusun gambaran masalah secara umum kemudian
ditarik benang merah yang menjadi akar masalah. Melalui akar masalah ini,
solusi digali secara cermat. Biarpun gerakan ini sama sekali tidak berada
dibawah atap kampus, gerakan ini berjalan sukses dan mendapat respon positif
dari kalangan mahasiswa, terbukti dengan sirkulasi penambahan anggota yang
cukup besar.
Selaian berwujud
gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan mahasiswa lain mewujud dalam gerakan
diskusi dan keilmuan dengan kemasan yang berbeda. Sebagai contoh, kolaborasi
antarunit pendidikan di ITB yakni Majalah Ganesha-Kelompok Studi Sejarah
Ekonomi dan Politik (MG-KSSEP), Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH
Tiben), Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK), dan Lingkar Sastra (LS).
Unit-unit tersebut menyusun kajian pekanan yang terjadwal dengan tema-tema
khusus. Kolaborasi tersebut membuat stigma diskusi dan kajian tidak tersektor
pada unit tertentu dan jumlah anggota yang ikut-serta meningkat. Acara-acara
masing-masing unit kini tak lagi hanya disokong oleh kekuatan internal unit
sendiri, melainkan ada dorongan dan bantuan dari unit-unit lain. Hasil
diskusi/kajian pun disebarkan ke khalayak kampus melalui penyajian yang apik
seperti halnya infografis, selain berwujud tulisan. Tak hanya itu, karya
konkret seperti buku coba ditampilkan dan kemudian disebarkan kepada massa
kampus. Mereka tak lagi hanya sekedar kajian/diskusi melainkan fokus pada
produk.
Contoh lainnya unit Lingkar
Sastra (LS). Sebagai unit budaya, LS memainkan peran ganda disamping ikut serta
dengan tiga unit lain untuk selenggarakan diskusi yang bertemakan sastra, juga
mengadakan pertunjukan-pertunjukan yang dikemas kekinian. Sebagai contoh salah
satu kegiatannya adalah "Metamorfosa" yakni sebuah pertujukan puisi
yang dilakukan di hari Valentine. Acaranya tak lagi esklusif di tempat
tertutup, melainkan coba dihadirkan dilingkungan terbuka. Saat itu diadakan di
teras CC Barat ITB tepat di didepan jalan tangga kawasan padat lalu lintas
mahasiswa keluar-masuk kampus ITB. Acara ini juga sebagai saingan acara nonton
bareng film spesial Valentine yang diputar oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB
yang diadakan di lapangan cinta depan CC Timur ITB. Dari sini terlihat bahwa
pola gerakan yang dilakukan oleh unit LS ini tak hanya fokus pada mereka para
penikmat sastra khususnya puisi, melainkan difokuskan pada khalayak umum yang
awam pada puisi. Pola gerakan semacam ini merupakan gejala postmodernisme.
Di era postmodernisme
ini, gerakan politik mahasiswa konvensional perlahan-lahan akan dijauhi. Mereka
yang dipandang sebagai aktivis mahasiswa tak lagi sekedar mereka yang gemar
demonstrasi, aktif diskusi membahas karya-karya Marx, dan nongkrong di kampus
sampai larut malam dengan ditemani kopi dan rokok, namun mereka yang memiliki
aliran gerakan lain yang cenderung lebih santai, fleksibel, dan bersifat lokal
dapat dimaknai sebagai aktivis. Gerakan-gerakan yang digandrungi merupakan
gerakan non-ideologis dan mampu memberikan inspirasi. Dua hal inilah yang
menjadi ciri dari postmodernisme. Oleh karenanya gerakan politik yang masih
berorientasi dengan romantika masa lalu seperti halnya reformasi 98 akan
ditinggalkan para pengikutnya. Gerakan politik harus mampu menyadari arus besar
postmodernisme ini.
Gerakan politik harus
menyesuaikan dengan arus besar postmodernisme dengan membumikan gerakannya ke grass-root dengan memakai metode-metode
yang biasa dilakukan oleh gerakan mahasiswa postmodernisme seperti halnya
terbuka terhadap semua aliran pemikiran (inklusif), mengemas penyampaian ke
publik dengan menggunakan media yang sedang hits
dikalangan anak muda seperti halnya jejaring sosial, infografis, dan
sebagainya, dan meramu strategi gerakan yang lebih dapat berdampak langsung
kepada masyarakat. Memang seringkali terjadi distorsi dikarenakan gerakan
politik memiliki misi tertentu yang sifatnya perubahan sosial, namun dengan
mengabaikan arus postmodernisme dan mempertahan gerakan politik konvensional
akan membuat perubahan yang diinginkan menjadi seolah sia-sia. Mengikuti arus
postmoderisme tidak berarti pragmatis dengan melupakan idealisme visi-misi
semula yang dibawa, melainkan bagaimana mengejahwantahkan visi-misi menjadi
tindakan yang diterima oleh masyarakat luas dan berdampak secara langsung.
Arus postmodernisme
merupakan tanda zaman sebagai respon dari arus modernisme yang telah berkembang
sejak sekian lama. Mempertahankan arus modernisme dalam gerakan politik seolah
mempertahankan status quo dimana ini menyalahi prinsip perubahan yang sedang
gendang ditiupkan. Kini tinggal bagaimana caranya meramu arus postmodernisme
yang serba fleksibel, tidak jelas arah, dan terkadang dangkal secara
konten/nilai menjadi arus postmodernisme berbasiskan nilai. Mungkin dengan ini
akan memunculkan aliran baru yakni postmodernisme berbasis nilai. Gerakan
politik mahasiswa memiliki kans besar untuk melakukan hal tersebut.
Kesimpulan
Arus besar gelombang
postmodernisme mempengaruhi dinamika gerakan politik mahasiswa. Gerakan
mahasiswa di masa awal kemerdekaan hingga akhir orde baru ditandai dengan
gerakan yang berbasis politik yang kaku, ideologis, dan eksklusif. Reformasi 98
membuka wajah baru gerakan mahasiswa dan menemui puncaknya di dekade awal
2000-an dimana gelombang postmodernisme mulai mempengaruhi arah gerak mahasiswa.
Akibatnya gerakan mahasiswa tak sekedar turun ke jalan menuntut banyak hal ke
pemerintah, melainkan muncul gerakan-gerakan baru yang inklusif dengan
marketisasi yang dikemas secara apik. Itulah gerakan postmodernisme dan dari
situ seorang aktivis tak lagi sekedar mereka yang sibuk berdiskusi permasalahan
politik bangsa hingga larut malam serta gemar demonstrasi turun ke jalan.
Gerakan politik
mahasiswa harus menyadari betul arus besar postmodernisme dengan tak lagi
beromantika dengan gerakan politik pada pendahulu seperti gerakan politik
menurunkan rezim Soeharto pada tahun 98 silam. Di masa postmodernisme ini tak
ada lagi musuh tunggal. Gerakan ini lebih bersifat lokal dan jelas
arah/capaiannya (rasionalis, tidak utopis). Sangat mustahil untuk membuat arus
tandingan, maka gerakan politik mahasiswa harus menyesuaikan. Nilai yang diperjuangkan
gerakan politik mahasiswa harus terus dipertahankan namun dalam mengaplikasikan
gerakan harus luwes dengan mengikuti arus postmodernisme. Gerakan politik
mahasiswa harus inklusif dan mengarah ke grass-root, mahasiswa dan masyarakat
secara luas. Dengan mengadopsi aliran postmodernisme dan mempertahankan nilai
visi-misi yang dibawa, gerakan sosial-politik mahasiswa menjadi gerakan
postmodernisme yang berbasiskan nilai. Dengan demikian diharapkan nilai-nilai
yang diperjuangkan dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas.
Daftar
Pustaka
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat,
Pustaka Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014
[1]
Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme
Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan
ke-9, 2014
[2]
Sugiharto, I. Bambang, ibid
0 komentar:
Post a Comment