Mungkin Anda sekalian baru pertama mendengar kata PPT.
PPT adalah singkatan dari Pusat Penelitian Teknologi yang berdiri pada tahun
1973. Lembaga ini berdiri seperti yang diungkapkan Kusmayanto Kadiman adalah
sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan dan menjaga kelestarian alam
melalui inovasi teknologi. Namun sayang dalam keberjalanannya, lembaga ini
harus bubar entah karena sebab apa. Biarpun demikian, serpihan-serpihan
ideologis lembaga ini tersebar ke berbagai lembaga lain seperti jurusan
Magister Studi Pembangunan (MSP), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LPPM), dan Lembaga Pengembangan Inovasi, dan Kewirausahaan (LPIK). Biarpun PPT
secara fisik sudah tidak ada, menarik untuk mengulas sejarah singkat berdirinya
lembaga ini dan juga karya serta ide-ide yang telah diusungnya selama ini.
Pusat Penelitian Teknologi ITB hadir dalam peralihan
Orde Lama-Orde Baru. Peralihan ini dinilai sebagai penulis sebagai fase yang
belum tuntas dalam pembangunan bangsa secara keseluruhan. Orde lama menekankan
pada character building setelah bangsa
Indonesia ratusan tahun dijajah oleh bangsa asing, sementara itu Orde Baru
menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Jelas dua hal ini tak dapat berjalanan
beriringan. Akibatnya pendidikan karakter demi mewujudkan bangsa Indonesia yang
percaya diri dan maju menjadi tersendat. Di zaman Orba budaya sendiko dawuh (menaati peraturan)
menjadi faham yang lumrah di masyarakat. Mayoritas masyarakat enggan untuk
berubah (berinovasi, berwirausaha, menjadi intelektual kritis) dan lebih
memilih 'status quo'.
Buku Menimbang Teknologi Memberdayakan Peneliti |
Dampak lain dari penjajahan adalah sikap meremehkan
kualitas. Orang senatiasa menganggap sinis atas penemuan-penemuan baru yang
didasarkan pada intelektual. Seperti yang diungkapkan oleh Koetjaningrat bahwa
mentalitas meremehkan mutu adalah akibat dari kemelaratan yang melindis kita
semasa penjajahan. Selain itu, lanjut Koetjaningrat mentalitas mencapai tujuan
secepatnya tanpa mau menempuh jenjang demi jenjang (mentalitas menerabas)
adalah mentalitas lain akibat penjahan. Nampaknya mentalitas tersebut masih
terjadi sampai detik ini dimana ijazah palsu merebak, plagiat di Perguruan
Tinggi, korupsi, nepotisme, dan sebagainya.Padahal kemerdekaan sejati adalah
kemerdekaan yang memerlukan pencerahan atau penyadaran seperti yang diungkapkan
Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas.
Pendirian PPT
Keadaan mental terjajah (inlander) bangsa ini disikapi oleh ITB dengan mendirikan lembaga
yang diberi nama Pusat Penelitian Teknologi (PPT). Pendirian PPT diawali dengan
keadaan kesejahteraan dan kemampuan wirausaha masyarakat di akhir 60-an dan di
awal 70-an begitu memprihatinkan. Mental sendiko
dawuh membuat bangsa ini bersikap pasif karena hanya menunggu instruksi
atasan yang sebagian besar orang Belanda. Seperti dalam dunia keinsinyuran
dimana kita masih harus banyak bergantung pada kebaikan hati para insinyur dari
Belanda. PPT menangkap fenomena demikian dengan mengusung ide mensejahterakan
masyarakat melalui inovasi teknologi.
Teknologi yang dimaksud bukanlah teknologi canggih
yang berkembang di negara maju saat itu melainkan teknologi tepat guna. Merujuk
ide Schumacher (penulis buku Small is
Beautiful), PPT memproduksi teknologi-teknologi yang berorientasi pada
pensejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Saat itu, teknologi 'ferosemen'
salah satu produk unggulan yang diproduksi PPT. Melihat produksi hardware tidak cukup, PPT memberikan
seminar-seminar kewirausahaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun
sayang, dua program ini tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat akibat
sikap pesimis di kalangan mereka yang merebak. Sebagai contoh ide kapal 'foresmen'
dianggap masyarakat serupa dengan batu dan batu akan tenggelam di air. Logis
tapi sejatinya para masyarakat tersebut lupa bahwa serupa batu belum tentu sama
nasibnya.
Meredupnya Kiprah PPT
Selain masalah klasik keterbatasan dana, masalah lain
yang muncul yakni kebijakan Orba yang lebih menekankan pada teknologi yang
cepat hasilkan keuntungkan dipandang sebagai faktor yang berpengaruh. Imbasnya
teknologi tepat guna yang secara keekonomian hanya berimbas pada masyarakat
tertentu tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya produk hardware yang dikembangkan PPT tak lagi
menjadi kefokusan. PPT kembangkan teknologi dari aspek software dan humanware saja
demi upaya untuk survive. Hal inilah
yang menunjukkan kerancuan dari visi PPT.
Dalam sebuah obrolan dengan Sonny Yuliar, Ia
mengungkapkan bahwa lembaga PPT saat ini sudah tidak ada. Namun, lembaga-lembaga
lain yang idenya sama dengan PPT muncul seperti Magister Studi Pembangunan
(MSP), Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK), dan Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Biarpun nilai dasar PPT masuk
dalam lembaga-lembaga tersebut di atas namun jelas tidak sepadan dengan PPT di
awal-awal pembentukannya.
PPT seakan mengikuti siapa yang menjadi pimpinanannya
saat itu. Pada masa Filino, titik berat pengembangan teknologi adalah pada
teknologi tepat guna yang didukung dengan pelatihan penggunaan teknologi dan
pengembangan kewirausahaan. Pada masa Bambang Bintoro, PPT memperluas ruang
geraknya ke bidang perancangan wilayah dan transmigrasi. Sejak masa Gede Raka,
penelitian di bidang hardware menurun
intensitasnya. PPT banyak memusatkan perhatian pada pengembangan industri
kecil, khususnya dari manajemen dan SDM-nya. Susahnya menentuan peran ini
diakui oleh pendiri PPT, Sudjana Sapiie. Beliau mempersoakan kejelasan peran
yang hendak dimainkan PPT dalam dua hal ; pertama, ruang lingkup dan kedua,
fungsi yang akan dijalankan.
Pada tahun 1998 ketika buku ini diterbitkan PPT masih
berdiri, namun berdasarkan info dari salah satu penulis buku, Sonny Yuliar, PPT
saat ini sudah tidak ada. Sejak kapan PPT dibubarkan penulis belum mencari
tahu.
Melanjutkan Semangat PPT
Kita bersama-sama mengenal Tri Dharma Perguruan
Tinggi yang didalamnya memuat pengabdian masyarakat. PPT hadir untuk itu.
Pengabdian masyarakat dimaknai oleh PPT sebagai pemberdayaan masyarakat dimana
masyarakat dikatakan berdaya jika dia mampu berwirausaha dengan memanfaatkan
teknologi. Teknologi ini bukan sekadar alat (tools) atau produk (product).
Teknologi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Anggapan bahwa teknologi
sekedar alat eksternal akan membawa kita pada kekosongan makna teknologi itu
sendiri. Oleh karenanya teknologi itu mestilah alat yang internal.
Teknologi sebagai produk internal berarti teknologi
adalah pola pikir (mindset). Pola
pikir ini menandakan bahwa teknologi merupakan kegiatan intelektual. Jadi,
upaya perwujudan masyarakat teknologi berarti pembenahan intelektual masyarakat
tersebut. Dalam bahasa ideologis, perwujudan masyarakat teknologi merupakan
upaya mewujudkan character building.
Ide besar ini merupakan terkesan abstrak namun inilah roh bagi segenap bangsa
yang ingin maju.
0 komentar:
Post a Comment