Tuesday, June 23, 2015

UU KELAUTAN, UU PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL, DAN DEKLARASI DJUANDA

Rangkuman Kuliah 15 Juni 2015
Mata Kuliah Sistem Pembangunan
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu
Dosen : Prof. Dr. Ir. Widyo Nugroho Sulasdi

Pendahuluan

Tesis itu didasarkan pada pengembangan untuk memecahkan suatu persoalan. Pengembangan ini yang membedakan dengan Tugas Akhir (skripsi) mahasiswa sarjana. Sebagai contoh penelitian terkait masyarakat pesisir. Maka langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah-masalah apa saja yang dialami oleh masyarakat pesisir. Karena masyarakat pesisir itu sangat luas, diambil nelayan sebagai entitas yang akan diteliti.

Persoalan nelayan pastinya sangat banyak. Namun perlu dipilih persoalan yang dapat ditemukan solusi/jalan keluar sehingga mampu ciptakan kehidupan yang lebih baik bagi nelayan. Nilai jual ikan nelayan yang rendah di pasaran adalah persoalan yang menjadikan nelayan hidup dalam kemiskinan. Persoalan tersebut dapat digunakan untuk tesis. Dalam tesis, akan dipilih teori-teori/metode-metode apa yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Sehingga dari sana dapat diturunkan judul tesis "Pengaruh Nilai Jual Ikan yang Rendah terhadap Kehidupan dan Penghidupan Nelayan".
Undang-Undang Republik Indonesia No.32Tahun 2014 tentang Kelautan

a.      Tinjauan Historis

Awalnya lebar laut teritorial Indonesia hanyalah 3 mil dari garis pantai berdasarkan Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) pada 1939. Kondisi kewilayahan Indonesia tersebut dinilai akan mengganggu pertahanan Indonesia apalagi setelah merdeka pada 1945. Untuk merealisasikan ide tersebut, diselenggarakanlah Deklarasi Juanda. Hasil dari deklarasi ini dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pada tahun 1958 konsepsi negara kepulauan disetujui. Langkah Indonesia berlanjut pada konferensi PBB tentang hukum laut pada 1982 dan berhasil menelurkan konsepsi konvensi PBB tentang hukum laut yang terdiri dari 17 bab dan 320 pasal.


Konsepsi PBB tentang hukum laut di atas disikapi lamban oleh pemerintah Indonesia dalam membentuk Undang-Undang (UU) tentang kelautan. Baru pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), RUU tentang kelautan diajukan dan baru pada tahun 2014 UU tentang kelautan disahkan oleh rapat paripurna DPR.
b.      Latar Belakang

Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi mengapa UU tentang Keluatan ini perlu disahkan. Pertama, penambahan luas perairan Indonesia tidak hanya dinilai sebagai aset nasional melainkan tantangan nyata bahwa wilayah laut harus dikelola, dijaga, dan diamankan bagi kepentingan bangsa Indonesia. Kedua, pembangunan sektor laut dinilai masih menghadapi banyak kendala dalam pelaksanaannya, maka perlu dibuat UU untuk itu. Ketiga, oleh karenanya diperlukan pengaturan mengenai kelautan yang bertujuan untuk menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim sehingga memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

c.      Pembahasan

UU no. 32 Tahun 2014 ini terdiri dari 13 bab. Ada beberapa implikasi dari lahirnya UU ini. Pertama, lahirnya Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai implikasi dari pasal 59. Bakamla merupakan badan penting dalam pengamanan dan penegakan hukum di laut yang berada langsung di bawah presiden. Penjelasan lebih detail terkait Bakamla ada pada pasal 60,61, dan 62. Kedua, pasal 30 memiliki implikasi bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan meningkatkan penggunaan angkutan perairan dalam rangka konektivitas antarwilayah, pemerintah harus melaksanakan kebijakan pengembangan armada nasional dalam laut, pemerintah mengatur kebijakan sumber pembiayaan dan perpajakan yang berpihak pada kemudahan pengembangan sarana prasarana laut, dan pemerintah memfasilitasi sumber pembiayaan usaha perhubungan laut. Ketiga, pasal 58 memiliki implikasinya dibentuklah sistem pertahanan laut.

d.      Kesimpulan

UU Kelautan ini penting karena setidaknya tiga hal. Pertama, Indonesia adalah negara maritim yang terdiri dari banyak kepulauan. Sumber daya tersebut akan dapat mendatangkan keuntungan ekonomi jika dimanfaatkan dengan maksimal. Kedua, UU tersebut dapat mendorong percepatan realisasi investasi di sektor kelautan dan perikanan. Ketiga, pembangunan bidang kelautan selama ini belum menjadi prioritas. Dengan disahkannya UU tersebut diharapkan pembangunan bidang kelautan bisa ditingkatkan.

Undang-Undang No.1 Tahun 2014

Undang-Undang ini berisi tentang perubahan atas Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

a.      Dasar pemikiran

Setidaknya ada enam dasar pemikiran dibentuknya UU No. 1 Tahun 2014. Pertama, kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan kerusakan akibat bencana alam maupun aktivitas pemanfaatan sumber daya. Kedua, Akumulasi aktivitas eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya. Ketiga, Belum adanya peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keempat, kurangnya kesadaran akan nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat. Kelima, kurang dihargaiya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keenam, terbatasnya ruang partisipasi masyarakat yang menunjukkan belum terintegrasinya sistem pengelolaan sumber daya dengan kegiatan pembangunan.
b.      Alasan UU No. 27 Tahun 2007 direvisi menjadi UU No. 1 Tahun 2014

UU No.27 tahun 2007 dinilai belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Konsekuensinya beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Dalam perwujudannya, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkait dengan kalimat "dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".

c.      Revisi UU No.27 Tahun 2007
                 
UU No.1/2014 sebanyak 17 pasal dalam UU No.27/2007 yang diubah sebagian atas seluruhnya dan ditambahkan 7 pasal baru.

d.       Poin penting dalam Revisi UU

Sedikitnya ada enam poin penting dalam revisi UU Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini. Pertama, adanya partisipasi masyarakat di dalam rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (pasal 14). Kedua, hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) diubah menjadi suatu mekanisme perizinan (pasal 16). Ketiga, HP3 sudah tidak dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang (pasal 20). Keempat, adanya penguatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang ada di wilayah pesisir dengan tidak mengurangi kewenangan negara (pasal 21 dan 22). Kelima, adanya peluang bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya dengan tetap mementingkan kepentingan nasional dengan persyaratan yang cukup ketat (pasal 26A). Keenam, adanya penambahan hukuman baik berupa materi maupun lama kurungan penjara bagi setiap orang yang tidak mempunyai izin sebagaimana dimaksud pada pasal 16.

Deklarasi Djuanda

 a. Tinjauan Historis
Dari gambar di atas, secara garis besar tinjauan historis dapat dibagi menjadi dua bagian ; internasional dan nasional.

a.      Internasional

1.      Pidato Truman 1945
Dalam pidato Truman diakui zona perikanan laut lepad dan ditegaskan bahwa tidak ada penambahan wilayah laut teritorial.
2.      Deklarasi Santiago 1952
Dalam deklarasi Santiago ditekankan bahwa terdapat klaim penambahan wilayah laut teritorial hingga mencapai jarak sejauh 200 mil laut dari pantai.
3.      Konferensi Hukum Laut (KHL) PBB
Konvensi Hukum Laut (KHL) telah berlangsung tiga kali. KHL I pada 1958 dengan menghasilkan 4 konvensi ; konvensi laut teritorial dan jalur tambahan, konvensi landas kontinen, konvensi konservasi perikanan, dan konvensi laut lepas. KHL II pada 1960 tidak hasilkan suatu konvensi apapun. KHL III pada 1974-1982 berhasil menetapkan konvensi hukum laut yang telah disetujui oleh 121 delegasi negara dan lebih dari 100 negara telah meratifikasinya.

b.      Nasional

1.      Zaman kerajaan
Konon, kerajaan Sriwijaya pernah menguasai lautan di Asia Tenggara bahkan sampai ke Madagaskar pada abad ke-7 masehi. Kerajaan Majapahit dan Bugis juga pernah menguasai seluruh laut nusantara. Atas dasar inilah, Indonesia disebut sebagai negara maritim. Namun julukan negara maritim tergantikan dengan negara agraris setelah Perjanjian Giyanti pada 1775 dimana Raja Surakarta dan Yogyakarta menyepakati perdagangan hasil buminya diberikan kepada perusahaan dagang Belanda, VOC.

2.      Zaman pendudukan Belanda
Pada zaman ini dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian ;
a.      Jatuhnya konstatinopel
Jatuhnya konstatinopel ke Turki Usmani menyebabkan bangsa Eropa harus merintis perdagangan mereka melalui jalur laut. Hal inilah yang mengawali imperealisme dan kolonialisme.

b.      Prinsip Freedom of The Sea (Grotius)
Imperealisme dan kolonialisme memicu persaingan ketat antarbangsa Eropa. Hugo de Groot mengemukakan prinsip kebebasan laut yang menyatakan bahwa Belanda mempunyai hak untuk memanfaatkan kekayaan laut.

c.       Peraturan Belanda tentang Laut Teritorial Indonesia
Prinsip kebebasan laut Hugo de Groot ditentang oleh Pontanus dari Denmark dengan konsep laut teritorial. Kemudian sarjana Belanda Cornelis van Bynkershoek (1703) menyempurnakan konsepp laut teritorial Pontanus. Selanjutnya, Teritoriale zee en Kringen ordonantie (1939) yang mengatur wilayah laut teritorial Indonesia 3 mil dari titik pangkal diberlakukan. Penentuan jarak 3 mil didasarkan pada jarak tembak meriam Belanda pada masa itu hanya 3 mil.

3.      Zaman setelah merdeka (Konferensi Meja Bundar)
Setelah diakuinya Indonesia sebagai negara merdeka tahun 1945, melalui konferensi Meja Bundar (1949) Belanda mengakui wilayah kepulauan Indonesia kecuali Irian Barat. Biarpun diakui namun hukum laut Indonesia masih mengacu pada hukum laut bentukan Belanda pada 1939 yakni Teritoriale Zee de Kringen Ordonantie (TZKO). Pemikiran untuk mengubah hukum laut tersebut bermula dari desakan Departemen Pertahanan pada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada 1956. PM Ali kemudian membentuk panitia interdepartemen di bawah pimpnan Kolonel Laut R.M.S. Pringadi untuk menyusun RUU Wilayah Perariran Indonesia dan Lingkungan Maritim. Konsep  RUU sudah diselesaikan namun prinsipnya masih mengikuti TZKO dan belum memasukkan asas kepulauan. Perbedaannya adalah bahwa wilayah laut teritorial Indonesia berubah dari 3 mil menjadi 12 mil dari bibir pantai. Asas kepulauan mulai dimasukkan dalam pengaturan wilayah laut Indonesia pada masa Perdana Menteri Djuanda yang familier dikenal dengan Deklarasi Djuanda.

b.  Latar belakang

Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi Deklarasi Djuanda. Pertama, geografis wilayah Indonesia. Indonesia berwujud negara kepulauan dengan lebih dari 13 ribu pulau besar dan kecil dimana semua kepulauan dan perairan (selat) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, hukum laut Belanda, TZMKO pada 1939, dipandang tidak cocok lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka. Ketiga, kedaulatan Indonesia. Indonesia memiliki hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya demi keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.


c.      Tujuan dan Isi

a.      Tujuan

Ada tiga tujuan dari Deklarasi Djuanda. Pertama, untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat. Kedua, untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan asas negara kepulauan. Ketiga, untuk mengatur lalu lointas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.

b.      Isi

Ada setidaknya lima poin penting dalam Deklarasi Djuanda. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang utuh. Kedua, menegaskan bahwa laut bukan merupakan pemisah antarpulau. Ketiga, wilayah perairan yang berada di bawah kedaulatan negara Indonesia adalah perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubuungkan pulau-pulau. Keempat, menegaskan bahwa di wilayah laut lepas kapal asing dapat melintas sesuai dengan kesepakatan antarnegara. Kelima, batas-batas laut teritorial perlu ditentukan melalui undang-undang.


d.   Implikasi Deklarasi Djuanda Terhadap Hukum Laut

Secara garis besar Deklarasi Djuanda berimplikasi pada hukum laut nasional dan hukum laut internasional.

a.      Hukum Laut Nasional

Pada hukum laut nasional, ditetapkannya batas laut teritorial sejauh 12 mil dari batas surut air laut (nautical miles), sehingga wilayah perairan di antara pulau-pulau (selat) juga merupakan laut penghubung wilayah sehingga kedaulatan dan keamanan negara dapat terjaga. Selain itu Deklarasi Djuanda melahirkan konsepsi wawasan nusantara.

Wawasan nusantara adalah konsep politik kewilayahan negara Republik Indonesia yang merupakan pernyataan bahwa wilayah negara merupakan kesatuan antara bumi (tanah), air, dan udara di atasnya, da terhadap unsur kewilayahan tersebut berlaku kedaulatan negara Republik Indonesia yang mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta bangsanya.

b.      Hukum Laut Internasional

Deklarasi Djuanda berimplikasi pada berlakunya pengaturan batas laut negara kepulauan yang sebelumnya belum diatur dan juga pengaturan mengenai jalur perdagangan internasional yang melalui lautan. Melalui Deklarasi Djuanda, jumlah klaim negara-negara terkait wilayah teritorialnya semakin bertambah.

e.       Kesimpulan

Deklarasi Djuanda merupakan awal perjuangan konsep negara kepulauan dan penentuan batas wllayah laut teritorial Indonesia. Namun, pengaturan di bidang kelautan setelah lahirnya Deklarasi Djuanda hingga tahun 2007 masih bersifat sektoral, belum ada peraturan khusus yang menjadi payung hukum di bidang kelautan khusunya mengenai pengelolaan sumber daya kelautan dan kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir.