Rangkuman
Kuliah 15 Juni 2015
Mata
Kuliah Sistem Pembangunan
Wilayah
Pesisir dan Laut Secara Terpadu
Dosen
: Prof. Dr. Ir. Widyo Nugroho Sulasdi
Pendahuluan
Tesis itu didasarkan pada pengembangan
untuk memecahkan suatu persoalan. Pengembangan ini yang membedakan dengan Tugas
Akhir (skripsi) mahasiswa sarjana. Sebagai contoh penelitian terkait masyarakat
pesisir. Maka langkah pertama adalah mengidentifikasi masalah-masalah apa saja
yang dialami oleh masyarakat pesisir. Karena masyarakat pesisir itu sangat
luas, diambil nelayan sebagai entitas yang akan diteliti.
Persoalan nelayan pastinya sangat
banyak. Namun perlu dipilih persoalan yang dapat ditemukan solusi/jalan keluar
sehingga mampu ciptakan kehidupan yang lebih baik bagi nelayan. Nilai jual ikan
nelayan yang rendah di pasaran adalah persoalan yang menjadikan nelayan hidup
dalam kemiskinan. Persoalan tersebut dapat digunakan untuk tesis. Dalam tesis,
akan dipilih teori-teori/metode-metode apa yang dapat menyelesaikan persoalan
tersebut. Sehingga dari sana dapat diturunkan judul tesis "Pengaruh Nilai
Jual Ikan yang Rendah terhadap Kehidupan dan Penghidupan Nelayan".
Undang-Undang
Republik Indonesia No.32Tahun 2014 tentang Kelautan
a.
Tinjauan
Historis
Awalnya lebar laut teritorial
Indonesia hanyalah 3 mil dari garis pantai berdasarkan Teritoriale Zee en
Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) pada 1939. Kondisi kewilayahan Indonesia
tersebut dinilai akan mengganggu pertahanan Indonesia apalagi setelah merdeka
pada 1945. Untuk merealisasikan ide tersebut, diselenggarakanlah Deklarasi
Juanda. Hasil dari deklarasi ini dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
pada tahun 1958 konsepsi negara kepulauan disetujui. Langkah Indonesia
berlanjut pada konferensi PBB tentang hukum laut pada 1982 dan berhasil
menelurkan konsepsi konvensi PBB tentang hukum laut yang terdiri dari 17 bab
dan 320 pasal.
Konsepsi PBB tentang hukum laut di
atas disikapi lamban oleh pemerintah Indonesia dalam membentuk Undang-Undang
(UU) tentang kelautan. Baru pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), RUU
tentang kelautan diajukan dan baru pada tahun 2014 UU tentang kelautan disahkan
oleh rapat paripurna DPR.
b.
Latar
Belakang
Setidaknya ada tiga hal yang
melatarbelakangi mengapa UU tentang Keluatan ini perlu disahkan. Pertama, penambahan luas perairan
Indonesia tidak hanya dinilai sebagai aset nasional melainkan tantangan nyata
bahwa wilayah laut harus dikelola,
dijaga, dan diamankan bagi kepentingan bangsa Indonesia. Kedua, pembangunan sektor laut dinilai masih menghadapi banyak kendala
dalam pelaksanaannya, maka perlu dibuat UU untuk itu. Ketiga, oleh karenanya diperlukan pengaturan mengenai kelautan yang
bertujuan untuk menegaskan Indonesia
sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim sehingga memberikan
kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
c.
Pembahasan
UU no. 32 Tahun 2014 ini terdiri
dari 13 bab. Ada beberapa implikasi dari lahirnya UU ini. Pertama, lahirnya Badan
Keamanan Laut (Bakamla) sebagai implikasi dari pasal 59. Bakamla merupakan badan penting dalam pengamanan dan penegakan
hukum di laut yang berada langsung di bawah presiden. Penjelasan lebih detail
terkait Bakamla ada pada pasal 60,61, dan 62. Kedua, pasal 30 memiliki implikasi bahwa pemerintah dan pemerintah
daerah wajib mengembangkan dan meningkatkan penggunaan angkutan perairan dalam
rangka konektivitas antarwilayah,
pemerintah harus melaksanakan kebijakan pengembangan armada nasional dalam
laut, pemerintah mengatur kebijakan sumber pembiayaan dan perpajakan yang
berpihak pada kemudahan pengembangan sarana prasarana laut, dan pemerintah
memfasilitasi sumber pembiayaan usaha perhubungan laut. Ketiga, pasal 58 memiliki implikasinya dibentuklah sistem pertahanan laut.
d.
Kesimpulan
UU Kelautan ini penting karena
setidaknya tiga hal. Pertama, Indonesia adalah negara maritim yang terdiri
dari banyak kepulauan. Sumber daya tersebut akan dapat mendatangkan
keuntungan ekonomi jika dimanfaatkan dengan maksimal. Kedua, UU tersebut dapat mendorong
percepatan realisasi investasi di sektor kelautan dan perikanan. Ketiga, pembangunan
bidang kelautan selama ini belum menjadi prioritas. Dengan
disahkannya UU tersebut diharapkan pembangunan bidang kelautan bisa
ditingkatkan.
Undang-Undang
No.1 Tahun 2014
Undang-Undang ini berisi tentang
perubahan atas Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
a.
Dasar
pemikiran
Setidaknya ada enam dasar pemikiran
dibentuknya UU No. 1 Tahun 2014. Pertama,
kerentanan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil akan kerusakan akibat bencana alam maupun aktivitas
pemanfaatan sumber daya. Kedua,
Akumulasi aktivitas eksploitasi sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memperhatikan kelestarian
sumber daya. Ketiga, Belum adanya peraturan perundang-undangan
yang berorientasi pada kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keempat, kurangnya kesadaran akan nilai strategis dari pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis
masyarakat. Kelima, kurang dihargaiya hak masyarakat adat/lokal
dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keenam, terbatasnya ruang partisipasi masyarakat yang menunjukkan belum
terintegrasinya sistem pengelolaan sumber daya dengan kegiatan pembangunan.
b.
Alasan
UU No. 27 Tahun 2007 direvisi menjadi UU No. 1 Tahun 2014
UU No.27 tahun 2007 dinilai belum memberikan kewenangan dan
tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan
pulau-pulau kecil. Konsekuensinya beberapa pasal perlu
disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Dalam perwujudannya, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) bertentangan dengan
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkait dengan kalimat "dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat".
c.
Revisi
UU No.27 Tahun 2007
UU No.1/2014 sebanyak 17 pasal
dalam UU No.27/2007 yang diubah sebagian atas seluruhnya dan ditambahkan 7
pasal baru.
d.
Poin
penting dalam Revisi UU
Sedikitnya ada enam poin penting
dalam revisi UU Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini. Pertama, adanya
partisipasi masyarakat di dalam rencana aksi pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (pasal 14). Kedua, hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) diubah
menjadi suatu mekanisme perizinan (pasal 16). Ketiga, HP3 sudah tidak dapat beralih,
dialihkan, dan dijadikan jaminan utang (pasal 20). Keempat, adanya
penguatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang ada di wilayah
pesisir dengan tidak mengurangi kewenangan negara (pasal 21 dan 22). Kelima, adanya
peluang bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya dengan
tetap mementingkan kepentingan nasional dengan persyaratan yang cukup ketat
(pasal 26A). Keenam,
adanya penambahan hukuman baik berupa materi maupun lama kurungan
penjara bagi setiap orang yang tidak mempunyai izin sebagaimana dimaksud pada
pasal 16.
Deklarasi Djuanda
a. Tinjauan Historis
Dari
gambar di atas, secara garis besar tinjauan historis dapat dibagi menjadi dua
bagian ; internasional dan nasional.
a.
Internasional
1.
Pidato
Truman 1945
Dalam pidato Truman diakui zona
perikanan laut lepad dan ditegaskan bahwa tidak ada penambahan wilayah laut
teritorial.
2.
Deklarasi
Santiago 1952
Dalam deklarasi Santiago ditekankan
bahwa terdapat klaim penambahan wilayah laut teritorial hingga mencapai jarak
sejauh 200 mil laut dari pantai.
3.
Konferensi
Hukum Laut (KHL) PBB
Konvensi Hukum Laut (KHL) telah
berlangsung tiga kali. KHL I pada 1958 dengan menghasilkan 4 konvensi ;
konvensi laut teritorial dan jalur tambahan, konvensi landas kontinen, konvensi
konservasi perikanan, dan konvensi laut lepas. KHL II pada 1960 tidak hasilkan
suatu konvensi apapun. KHL III pada 1974-1982 berhasil menetapkan konvensi
hukum laut yang telah disetujui oleh 121 delegasi negara dan lebih dari 100
negara telah meratifikasinya.
b.
Nasional
1.
Zaman
kerajaan
Konon, kerajaan Sriwijaya pernah
menguasai lautan di Asia Tenggara bahkan sampai ke Madagaskar pada abad ke-7
masehi. Kerajaan Majapahit dan Bugis juga pernah menguasai seluruh laut
nusantara. Atas dasar inilah, Indonesia disebut sebagai negara maritim. Namun
julukan negara maritim tergantikan dengan negara agraris setelah Perjanjian
Giyanti pada 1775 dimana Raja Surakarta dan Yogyakarta menyepakati perdagangan
hasil buminya diberikan kepada perusahaan dagang Belanda, VOC.
2.
Zaman
pendudukan Belanda
Pada zaman ini dapat dikatagorikan
menjadi tiga bagian ;
a.
Jatuhnya
konstatinopel
Jatuhnya konstatinopel ke Turki
Usmani menyebabkan bangsa Eropa harus merintis perdagangan mereka melalui jalur
laut. Hal inilah yang mengawali imperealisme dan kolonialisme.
b.
Prinsip
Freedom of The Sea (Grotius)
Imperealisme dan kolonialisme
memicu persaingan ketat antarbangsa Eropa. Hugo de Groot mengemukakan prinsip
kebebasan laut yang menyatakan bahwa Belanda mempunyai hak untuk memanfaatkan
kekayaan laut.
c.
Peraturan
Belanda tentang Laut Teritorial Indonesia
Prinsip kebebasan laut Hugo de
Groot ditentang oleh Pontanus dari Denmark dengan konsep laut teritorial.
Kemudian sarjana Belanda Cornelis van Bynkershoek (1703) menyempurnakan konsepp
laut teritorial Pontanus. Selanjutnya, Teritoriale zee en Kringen ordonantie
(1939) yang mengatur wilayah laut teritorial Indonesia 3 mil dari titik pangkal
diberlakukan. Penentuan jarak 3 mil didasarkan pada jarak tembak meriam Belanda
pada masa itu hanya 3 mil.
3.
Zaman
setelah merdeka (Konferensi Meja Bundar)
Setelah diakuinya Indonesia sebagai
negara merdeka tahun 1945, melalui konferensi Meja Bundar (1949) Belanda
mengakui wilayah kepulauan Indonesia kecuali Irian Barat. Biarpun diakui namun
hukum laut Indonesia masih mengacu pada hukum laut bentukan Belanda pada 1939
yakni Teritoriale Zee de Kringen Ordonantie (TZKO). Pemikiran untuk mengubah
hukum laut tersebut bermula dari desakan Departemen Pertahanan pada Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo pada 1956. PM Ali kemudian membentuk panitia interdepartemen
di bawah pimpnan Kolonel Laut R.M.S. Pringadi untuk menyusun RUU Wilayah
Perariran Indonesia dan Lingkungan Maritim. Konsep RUU sudah diselesaikan namun prinsipnya masih
mengikuti TZKO dan belum memasukkan asas kepulauan. Perbedaannya adalah bahwa
wilayah laut teritorial Indonesia berubah dari 3 mil menjadi 12 mil dari bibir
pantai. Asas kepulauan mulai dimasukkan dalam pengaturan wilayah laut Indonesia
pada masa Perdana Menteri Djuanda yang familier dikenal dengan Deklarasi
Djuanda.
b. Latar belakang
Setidaknya ada
tiga hal yang melatarbelakangi Deklarasi Djuanda. Pertama, geografis wilayah
Indonesia. Indonesia berwujud negara kepulauan dengan lebih dari 13 ribu
pulau besar dan kecil dimana semua kepulauan dan perairan (selat) merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua,
hukum laut Belanda, TZMKO pada 1939,
dipandang tidak cocok lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka. Ketiga, kedaulatan Indonesia. Indonesia memiliki hak sepenuhnya dan
berkewajiban untuk mengatur segala sesuatunya demi keamanan dan keselamatan
negara serta bangsanya.
c. Tujuan dan Isi
a.
Tujuan
Ada tiga tujuan dari Deklarasi
Djuanda. Pertama,
untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan
bulat. Kedua, untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan asas
negara kepulauan. Ketiga, untuk mengatur lalu lointas damai pelayaran yang
lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
b.
Isi
Ada setidaknya lima poin penting
dalam Deklarasi Djuanda. Pertama,
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan yang utuh. Kedua,
menegaskan bahwa laut bukan merupakan
pemisah antarpulau. Ketiga, wilayah perairan yang berada di bawah
kedaulatan negara Indonesia adalah perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubuungkan pulau-pulau. Keempat,
menegaskan bahwa di wilayah laut lepas kapal asing dapat melintas sesuai
dengan kesepakatan antarnegara. Kelima,
batas-batas laut teritorial perlu
ditentukan melalui undang-undang.
d. Implikasi Deklarasi Djuanda
Terhadap Hukum Laut
Secara
garis besar Deklarasi Djuanda berimplikasi pada hukum laut nasional dan hukum
laut internasional.
a.
Hukum
Laut Nasional
Pada hukum laut nasional, ditetapkannya
batas laut teritorial sejauh 12 mil dari batas surut air laut (nautical miles),
sehingga wilayah perairan di antara pulau-pulau (selat) juga merupakan laut
penghubung wilayah sehingga kedaulatan dan keamanan negara dapat terjaga.
Selain itu Deklarasi Djuanda melahirkan konsepsi wawasan nusantara.
Wawasan nusantara adalah konsep
politik kewilayahan negara Republik Indonesia yang merupakan pernyataan bahwa
wilayah negara merupakan kesatuan antara bumi (tanah), air, dan udara di
atasnya, da terhadap unsur kewilayahan tersebut berlaku kedaulatan negara
Republik Indonesia yang mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk
mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta
bangsanya.
b.
Hukum
Laut Internasional
Deklarasi Djuanda berimplikasi pada
berlakunya
pengaturan batas laut negara kepulauan yang sebelumnya belum diatur dan juga
pengaturan mengenai jalur perdagangan internasional yang melalui
lautan. Melalui Deklarasi Djuanda, jumlah klaim negara-negara terkait wilayah
teritorialnya semakin bertambah.
e. Kesimpulan
Deklarasi
Djuanda merupakan awal perjuangan konsep negara kepulauan dan penentuan batas
wllayah laut teritorial Indonesia. Namun, pengaturan di bidang kelautan setelah
lahirnya Deklarasi Djuanda hingga tahun 2007 masih bersifat sektoral, belum ada
peraturan khusus yang menjadi payung hukum di bidang kelautan khusunya mengenai
pengelolaan sumber daya kelautan dan kesejahteraan masyarakat wilayah pesisir.
1 komentar:
TERIMAKASIH
Post a Comment