Oleh : Uruqul Nadhif Dzakiy[1]
Hari ini, 10 Agustus, adalah hari
kebangkitan teknologi nasional yang akrab disingkat dengan Harteknas. Dipilihnya tanggal tersebut adalah sebagai
pengingat kesuksesan bangsa Indonesia terbangkan pesawat buatan sendiri N250
Gatot Kaca pada 10 Agustus 1995 yang dikepalai oleh BJ. Habibie. Seperti yang
diberitakan Republika (7/8/2015), bahwa Harteknas ke-20 tahun ini bertemakan "Inovasi
Iptek untuk daya Saing Bangsa" dengan subtema pangan, energi, dan maritim yang
katanya disesuaikan dengan nawa cita Presiden Jokowi.
Tema Harteknas tahun ini mirip dengan
Harteknas ke-17 yang diadakan di ITB pada 2012 lalu yaitu "Inovasi untuk
kemandirian Bangsa". Tak hanya tema
yang mirip, agenda yang dilangsungkan
juga serupa seperti halnya pameran dan seminar. Dalam pameran memang disana disajikan
berbagai produk inovasi anak bangsa, namun dari sekian banyak produk yang
dipamerkan tidak satu pun produk yang mendapat perhatian publik seperti halnya
N250. Pesawat buatan anak bangsa tersebut merupakan pesawat canggih dikelasnya.
Bahkan ada yang bilang, pada zamannya pesawat ini setara dengan tipe serupa
buatan Boeing. Kesukesan ini membuat nama Indonesia harum ditingkat
internasional mengingat tidak banyak negara yang mampu menguasai teknologi
pesawat seperti itu.
Dalam sumber yang sama (Republika,
7/8/2015), dikatakan bahwa produk unggulan di Harteknas tahun ini adalah
pesawat N219 sebagai perkembangan dari pesawat NC212. Jika dilihat dari bentuk
fisik dan kapasitas penumpang, pesawar tipe NC212 jelas ketinggalan
dibandingkan dengan tipe N250. Pesawat N250 berpenumpang 50-70 orang, sedangkan
NC212 hanya berpenumpang 19-24 orang saja. Oleh karenanya saya menilai pesawat
tersebut tidak cocok disebut sebagai produk unggulan. Harusnya yang dinamakan
produk unggulan adalah produk yang dikenal luas oleh publik dan menjadi semacam
obrolan warung kopi bagi warga di pelosok-pelosok desa.
Tak Ada Target
Setelah collaps-nya IPTN (PT Dirgantara Indonesia sekarang) pada krisis
ekonomi 1997 silam, perkembangan kemajuan teknologi kita seolah mandeg. Sejak
itu tidak pernah lahir karya besar dari inovator anak negeri yang seheboh N250.
Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir memang terlahir karya-karya inovatif anak
bangsa, namun karena apresiasi dari pemerintah sangatlah minim, secara umum
publik tidak mendengar. Ini membuat
ajang Harteknas tak lebih hanya sekedar seremonial belaka. Dari tahun ke tahun
tidak ada target yang berarti dari Kemenrisrek (kini Kemenristekdikti) untuk
membuat produk inovatif teknologi yang mampu menjadi kebanggaan bangsa secara
luas.
Peringatan Harteknas yang sekedar
seremonial belaka tersebut jelas bertentangan dengan latar belakang munculnya
gagasan Harteknas. Satu kata penting dari akronim Harteknas adalah
'kebangkitan'. Mengutip KBBI, kebangkitan dimaknai sebagai kebangunan (menjadi
sadar). Jadi diadakannya Harteknas adalah untuk memunculkan kesadaran anak
bangsa akan pentingnya perkembangan teknologi. Sayangnya, fakta yang terjadi
tidaklah begitu. Selain Harteknas yang hanya sekedar rutinas tanpa makna, upaya
pemerintah untuk merangsang hasrat anak bangsa untuk berinovasi di bidang
teknologi bisa dikatakan sangat minim. Kejadian ditersangkakan Dasep Ahmadi,
sang inovator mobil listrik, memunculkan anggapan bahwa pemerintah menakut-nakuti
warganya untuk melakukan inovasi teknologi.
Kado Harteknas
Mobil listrik biarpun secara teknologi
tidak sebanding dengan teknologi pesawat, namun secara pengaruh kepada masyarakat
bisa dikatakan sama dimana keduanya mengusung kemandirian bangsa. Dibuatnya
N250 memiliki harapan besar untuk dapat
menyetok pasar dalam negeri akan sarana transportasi udara yang sesuai dengan
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara itu, mobil listrik dibuat
sebagai jawaban akan kelangkaan bahan bakar fosil di masa mendatang yang dikini
dipakai oleh berbagai jenis kendaraan khususnya mobil. Namun ternyata
perkembangan mobil listrik nasional tidak didukung penuh oleh pemerintah.
Mengutip tulisan Faisal Basri
(selasar.com, 3/8/2015) bahwa Dasep adalah sosok inovator sekaligus
industriawan sejati. Biarpun pemerintah tidak mendukung geraknya, Ia tetap kekeuh memproduksi mobil listrik.
Pemerintah bahkan seringkali menjegal langkahnya seperti bahan baku yang
didapatkan Dasep secara impor dikenai bea masuk 5-15 persen, ironi dengan
komponen otomotif impor yang bebas bea masuk. Selain itu Dasep harus membayar
PPN impro dan PPh yang harus dibayar dimuka, dan modal kerja yang Dasep pinjam dari Bank
bunganya belasan persen. Tak hanya itu pendaftaran dan pemrosesan hak paten
Dasep membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Bukannya hujan apresiasi yang didapatkan
Dasep dari kerja kerasnya membangun
industri mobil listrik, namun justru lulusan Mesin ITB ini malah dijadikan
tersangka oleh Kejaksaaan Agung. Dasep diduga
melakukan tindakan korupsi pengadaan 16 mobil listrik tahun anggaran
2013 (Tempo.co , 29/7/2015). Saya tidak tahu dugaan tersebut benar atau tidak,
namun melihat kerja keras Dasep membangun industri mobil listrik seolah itu
hanya sekedar tuduhan. Alasan yang lebih lanjut dari otoritas yang menahan
Dasep seperti yang saya saksikan di berbagai media adalah karena negara
dirugikan atas proyek mobil listrik. Saya rasa ini pendapat yang hanya melihat
sesuatu dari sudut pandang hukum dan untung rugi an sich. Para otoritas tersebut tidak mengerti bahwa pembuatan produk
teknologi tidak dapat dijamin 100 persen berhasil. Kegagalan adalah konsekuensi
dari produk riset yang dimaklumi.
Pemerintah seolah tidak mengambil pusing
dengan kasus yang menimpa Dasep. Sang inovator ini dibiarkan sendiri menghadapi
jeratan hukum. Kejadian seperti ini semakin menguatkan saya bahwa Harteknas tak
lebih sekedar seremonial tanpa arti. Orang yang jelas-jelas melakukan inovasi
dan memberikan kontribusi nyata oleh bangsa justru malah disia-siakan oleh
pemerintah itu sendiri. Seharusnya, pemerintah khususnya Menristekdikti malu
dengan adanya kejadian ini.
Saya rasa, bukan N219 kado Harteknas
tahun ini melainkan dibuinya sang inovator mobil listrik, Dasep Ahmadi. Ini
pertanda kemunduran perkembangan teknologi di negeri ini semakin menjadi-jadi.
0 komentar:
Post a Comment