Di zaman saya, jumlah mahasiswa sarjana sangat banyak sehingga
sebutan mahasiswa tak lagi seksi. Beda halnya dengan zaman Bapak saya. Beliau
pernah cerita, saat lulus D2 dari IKIP Surabaya, Ia langsung bisa bekerja dan
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah mahasiswa saat itu bisa dibilang
sangat sedikit, apalagi dari kampung seperti Bapak saya. Sekarang, di
kampung-kampung sudah banyak yang menjadi mahasiswa atau sarjana. Banyaknya
jumlah mahasiswa tersebut membuat setiap anak muda yang kuliah menjadi hal
lumrah. Ini menciptakan stigma bahwa anak muda yang tidak kuliah alias lulus
SMA langsung kerja justru merupakan sesuatu yang aneh. Berkuliah menjadi suatu
isme baru, jurusan saat kuliah tidak penting asalkan menyandang status
mahasiswa. Dampaknya banyak lulusan SMA atau sederajat yang harus bermigrasi ke
dunia kampus atau bangku kuliah. Mahasiswa menjadi status sosial.
Sayangnya, mahasiswa cuma sekedar jadi status sosial. Banyak orang yang masuk universitas hanya
sekedar mencari itu. Buktinya banyak sekali orang kuliah namun tak tahu apa
yang dia pelajari. Mereka ngikut saja dengan kegiatan di kelas. Contoh yang
paling nyata itu, mereka kuliah apa, pas lulus beraktivitas dimana. Pas udah
lulus ia berdalih, "Kuliah itu untuk
mengubah pola-pikir bla bla bla".
Gairah belajar di kampus tak lagi ada. Belajar seolah hanya mekanistik yang ditentukan
oleh Tata Usaha (TU) masing-masing departemen jadwalnya. Keluar kelas, paling
belajarnya hanya ngerjain tugas, tidak lebih. Katakan si A belajar fisika
kuantum, maka kebanyakan mereka taunya tetapan planck, namun tidak tau siapa
itu Planck. Kegiatan di luar kuliah cuma diisi dengan kegiatan senang-senang
saja seperti pacaran, nonton drama korea, belain ke Jakarta buat nonton konser,
karaokean, dan lain-lain. Timbullah mindset bahwa belajar itu lokasinya hanya
di kampus, sementara di luarnya sekedar tempat untuk bersenang-senang. Batasan
ini yang membikin pengembangan keilmuan berada pada kondisi stagnasi. Orientasi
di kampus sekedar belajar minimal dari suatu ilmu yang outputnya adalah nilai.
Nilai ini diadministrasikan dalam sebuah ijazah yang akan diambil setelah
minimal 144 SKS kelar. Ijazah inilah yang menjadi prasyarat masuk di dunia
kerja. Macam kerja mananpun, nyambung dengan kompetensi kuliah atau tidak,
tidak menjadi sesuatu yang penting. Semalam saya dapat cerita, alkisah seorang
senior dari Fisika ITB menjadi PNS di salah satu kampus di luar Jawa. Pas
sedang ambil S2, dia gak pake surat keterangan entah tugas belajar atau yang
lain. Seusai tamat S2, Ia nyerahin ijazah kepada pihak terkait, tetapi
ijazahnya tidak diterima. Kata dia, "Ijazah
gajah duduk ternyata bisa tidak diterima juga". Intinya, pentingnya
ijazah itu tidak dilihat dari mana ijazah itu dikeluarkan serta bagaimana
kapasitas orang itu, tapi ijazah yang memenuhi standar/prosedur
perusahaan/instansi/ dan lain-lain. Akibatnya keluarlah ijazah abal-abal, tidak
usah kuliah ijazah pun dapet, dengan nilai baik pula.
Fenomena menjamurnya jumlah mahasiswa berbanding lurus dengan
fenomena menjamurnya lembaga/institus/yayasan/organisasi/ dan sejenisnya yang
mengangkat tagline Future Leaders
sebagai brandingnya dengan mahasiswa sebagai pesertanya. Lembaga ini
menginginkan para mahasiswa yang bergabung akan menjadi Future Leaders di masa yang akan datang. Saya tergelitik dengan
frase Future Leaders. Saya pernah
ikut di lembaga sejenis itu selama dua tahun selama saya kuliah di ITB. Namun
setelah lulus sampai sekarang, saya tidak dapat menangkap hakikat dari frase
tersebut. Secara etimologi, Future
Leaders berarti pemimipin-pemimpin masa depan. Kata "pemimpin"
dalam frase tersebut perlu kita garisbawahi. Saya tangkap pemimpin itu hanya
diartikan sebagai pejabat. Kalo di asrama saya dulu mecakup sektor pubik,
sektor privat, dan sektor ketiga. Bagi saya sama saja, pejabat – pejabat publik,
pengusaha pejabat, dan pejabat LSM. Definisi 'pemimpin' yang bias ini
melahirkan kebiasan dalam melangkah dan menangkap nilai yang dibawa. Akibatnya
pragmatisme menjadi senjata ampuh ketika periode asrama telah habis. Masa dua
tahun tak ada bekasnya sama sekali, hanya tinggal kontrak donasi dan kegiatan
temu alumni yang sifatnya rutinitas untuk memperkuat ikatan.
Ketidakmampuan mendefinisikan 'pemimpin' dalam konteks bernegara
membuat si calon pemimpin ini jauh dari objek materi-nya yakni negara itu
sendiri. Tak banyak obrolan-obrolan tentang kenegaraan yang mencakup landasan
bernegara, konsekuensi sebagai negara, apa yang ingin dicapai negara, dan
sebagainya. Obrolan hanya berkosentrasi pada masalah yang muncul setelah di-blow-up oleh media. Akhirnya yang
ditangkap oleh si calon pemimpin ini adalah isu-isu yang katanya jika isu ini
bisa selesai negara ini bisa makmur, seperti halnya isu korupsi, dan
sejenisnya. Si calon pemimpin ini juga tak tahu apa itu negara, sejarah negara,
dan lain-lain. Bacaan bermutu karya para ilmuwan pelopor negeri tak pernah
disentuh, bahkan didengar sekalipun. Yang ada hanyalah karya-karya ilmuwan karbitan
seperti halnya para politisi idola, para pengamat, atau sekedar pendapat dari
tokoh masyarakat. Juga buku-buku melo nan motivatif seperti buku-buku indahnya
pacaran, menikah, berpolitik asyik, dan sebagainya yang hanya menyajikan
optimisme kosong. "Saya ingin
mengubah ini itu, tapi mekanikmenya pakai itu-itu saja", ditanya
landasan tidak tahu. Intinya pemimpin masa depan yang tak membaca, yang kumaha nanti we. Ini cirikhas orang yang
hanya mengejar posisi di suatu saat nanti.
Future
Leaders
versi Saya
Bagi saya Future Leaders
itu seorang yang mengenal betul akan objek materi 'negara'. Ia dapat
mendeskripsikan kondisi lampau (past),
sekarang (present), dan masa depan (future) sebuah negara. Negara dipahami
sebagai konsepsi yang menyeluruh yang mencakup landasan, filsafat, latar
belakang, dan sebagainya. Ini tak lain bisa dicapai dengan pendekatan historis
melalui pemahaman Undang-Undang Dasar, aneka literatur historis dari berbagai
ilmuwan perintis, dan sebagainya.
Sementara itu masa sekarang (present)
dipahami dengan melihat langsung kondisi yang ada secara jernih. Ini dapat
dilakukan dengan berkontempelasi dan melihat fakta yang ada di lapangan, juga
melalui aneka riset-riset yang faktanya dapat dipertanggungjawaban, atau juga
melalui membaca dan diskusi atau sekedar warung kopi. Setelah mampu memahami
yang lampau dan sekarang, baru kemudian melakukan perekayasaan di masa depan
yang didasarkan pada pengetahuan yang komprehensif tersebut. Kemampuan
merekayasa masa depan adalah ciri khas seorang Future Leaders.
Future
Leaders
dapat mengidentifikasi unsur-unsur yang kemudian akan diintegrasikan membentuk
suatu sistem yang sesuai tujuan negara. Kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur
ini adalah kelebihan dari Future Leaders
dan kemudian diikuti dengan langkah perekayasaannya. Bangsa menginginkan negara
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (pembukaan UUD 1945), maka
seorang Future Leaders merumuskan apa
saya unsur yang diperlukan untuk mencapai cita-cita negara tersebut. Kondisi
unsur-unsur tersebut seperti apa saat ini, dan bagaimana merekayasa (mencari
solusi) agar unsur-unsur tersebut dapat diintegrasi membentuk satu keutuhan
untuk mencapai cita-cita bangsa tersebut. Intinya, Future Leaders memiliki pemikiran yang jauh namun tetap berpijak pada masa sekarang. Mereka terbuka
kepada siapapun dan mau belajar kepada siapapun. Mereka juga telah membuat
formula negara idaman sehingga jika suatu saat berkiprah ke masyarakat entah di
sektor publik, privat, atau sektor ketiga, mereka mampu menjadi penggerak dan
ideolog di masing-masing lingkungannya. Mereka bergerak berdasarkan visi dan
idealisme, tidak sekedar kepentingan dan paragmatisme.
0 komentar:
Post a Comment