Thursday, October 01, 2015

Maksudanya "Future Leaders" itu Apa ?

Di zaman saya, jumlah mahasiswa sarjana sangat banyak sehingga sebutan mahasiswa tak lagi seksi. Beda halnya dengan zaman Bapak saya. Beliau pernah cerita, saat lulus D2 dari IKIP Surabaya, Ia langsung bisa bekerja dan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah mahasiswa saat itu bisa dibilang sangat sedikit, apalagi dari kampung seperti Bapak saya. Sekarang, di kampung-kampung sudah banyak yang menjadi mahasiswa atau sarjana. Banyaknya jumlah mahasiswa tersebut membuat setiap anak muda yang kuliah menjadi hal lumrah. Ini menciptakan stigma bahwa anak muda yang tidak kuliah alias lulus SMA langsung kerja justru merupakan sesuatu yang aneh. Berkuliah menjadi suatu isme baru, jurusan saat kuliah tidak penting asalkan menyandang status mahasiswa. Dampaknya banyak lulusan SMA atau sederajat yang harus bermigrasi ke dunia kampus atau bangku kuliah. Mahasiswa menjadi status sosial.

Sayangnya, mahasiswa cuma sekedar jadi status sosial.  Banyak orang yang masuk universitas hanya sekedar mencari itu. Buktinya banyak sekali orang kuliah namun tak tahu apa yang dia pelajari. Mereka ngikut saja dengan kegiatan di kelas. Contoh yang paling nyata itu, mereka kuliah apa, pas lulus beraktivitas dimana. Pas udah lulus ia berdalih, "Kuliah itu untuk mengubah pola-pikir bla bla bla". Gairah belajar di kampus tak lagi ada. Belajar seolah hanya mekanistik yang ditentukan oleh Tata Usaha (TU) masing-masing departemen jadwalnya. Keluar kelas, paling belajarnya hanya ngerjain tugas, tidak lebih. Katakan si A belajar fisika kuantum, maka kebanyakan mereka taunya tetapan planck, namun tidak tau siapa itu Planck. Kegiatan di luar kuliah cuma diisi dengan kegiatan senang-senang saja seperti pacaran, nonton drama korea, belain ke Jakarta buat nonton konser, karaokean, dan lain-lain. Timbullah mindset bahwa belajar itu lokasinya hanya di kampus, sementara di luarnya sekedar tempat untuk bersenang-senang. Batasan ini yang membikin pengembangan keilmuan berada pada kondisi stagnasi. Orientasi di kampus sekedar belajar minimal dari suatu ilmu yang outputnya adalah nilai. Nilai ini diadministrasikan dalam sebuah ijazah yang akan diambil setelah minimal 144 SKS kelar. Ijazah inilah yang menjadi prasyarat masuk di dunia kerja. Macam kerja mananpun, nyambung dengan kompetensi kuliah atau tidak, tidak menjadi sesuatu yang penting. Semalam saya dapat cerita, alkisah seorang senior dari Fisika ITB menjadi PNS di salah satu kampus di luar Jawa. Pas sedang ambil S2, dia gak pake surat keterangan entah tugas belajar atau yang lain. Seusai tamat S2, Ia nyerahin ijazah kepada pihak terkait, tetapi ijazahnya tidak diterima. Kata dia, "Ijazah gajah duduk ternyata bisa tidak diterima juga". Intinya, pentingnya ijazah itu tidak dilihat dari mana ijazah itu dikeluarkan serta bagaimana kapasitas orang itu, tapi ijazah yang memenuhi standar/prosedur perusahaan/instansi/ dan lain-lain. Akibatnya keluarlah ijazah abal-abal, tidak usah kuliah ijazah pun dapet, dengan nilai baik pula.

Fenomena menjamurnya jumlah mahasiswa berbanding lurus dengan fenomena menjamurnya lembaga/institus/yayasan/organisasi/ dan sejenisnya yang mengangkat tagline Future Leaders sebagai brandingnya dengan mahasiswa sebagai pesertanya. Lembaga ini menginginkan para mahasiswa yang bergabung akan menjadi Future Leaders di masa yang akan datang. Saya tergelitik dengan frase Future Leaders. Saya pernah ikut di lembaga sejenis itu selama dua tahun selama saya kuliah di ITB. Namun setelah lulus sampai sekarang, saya tidak dapat menangkap hakikat dari frase tersebut. Secara etimologi, Future Leaders berarti pemimipin-pemimpin masa depan. Kata "pemimpin" dalam frase tersebut perlu kita garisbawahi. Saya tangkap pemimpin itu hanya diartikan sebagai pejabat. Kalo di asrama saya dulu mecakup sektor pubik, sektor privat, dan sektor ketiga. Bagi saya sama saja, pejabat – pejabat publik, pengusaha pejabat, dan pejabat LSM. Definisi 'pemimpin' yang bias ini melahirkan kebiasan dalam melangkah dan menangkap nilai yang dibawa. Akibatnya pragmatisme menjadi senjata ampuh ketika periode asrama telah habis. Masa dua tahun tak ada bekasnya sama sekali, hanya tinggal kontrak donasi dan kegiatan temu alumni yang sifatnya rutinitas untuk memperkuat ikatan.
google.co.id
Ketidakmampuan mendefinisikan 'pemimpin' dalam konteks bernegara membuat si calon pemimpin ini jauh dari objek materi-nya yakni negara itu sendiri. Tak banyak obrolan-obrolan tentang kenegaraan yang mencakup landasan bernegara, konsekuensi sebagai negara, apa yang ingin dicapai negara, dan sebagainya. Obrolan hanya berkosentrasi pada masalah yang muncul setelah di-blow-up oleh media. Akhirnya yang ditangkap oleh si calon pemimpin ini adalah isu-isu yang katanya jika isu ini bisa selesai negara ini bisa makmur, seperti halnya isu korupsi, dan sejenisnya. Si calon pemimpin ini juga tak tahu apa itu negara, sejarah negara, dan lain-lain. Bacaan bermutu karya para ilmuwan pelopor negeri tak pernah disentuh, bahkan didengar sekalipun. Yang ada hanyalah karya-karya ilmuwan karbitan seperti halnya para politisi idola, para pengamat, atau sekedar pendapat dari tokoh masyarakat. Juga buku-buku melo nan motivatif seperti buku-buku indahnya pacaran, menikah, berpolitik asyik, dan sebagainya yang hanya menyajikan optimisme kosong. "Saya ingin mengubah ini itu, tapi mekanikmenya pakai itu-itu saja", ditanya landasan tidak tahu. Intinya pemimpin masa depan yang tak membaca, yang kumaha nanti we. Ini cirikhas orang yang hanya mengejar posisi di suatu saat nanti.

Future Leaders versi Saya

Bagi saya Future Leaders itu seorang yang mengenal betul akan objek materi 'negara'. Ia dapat mendeskripsikan kondisi lampau (past), sekarang (present), dan masa depan (future) sebuah negara. Negara dipahami sebagai konsepsi yang menyeluruh yang mencakup landasan, filsafat, latar belakang, dan sebagainya. Ini tak lain bisa dicapai dengan pendekatan historis melalui pemahaman Undang-Undang Dasar, aneka literatur historis dari berbagai ilmuwan perintis, dan sebagainya.  Sementara itu masa sekarang (present) dipahami dengan melihat langsung kondisi yang ada secara jernih. Ini dapat dilakukan dengan berkontempelasi dan melihat fakta yang ada di lapangan, juga melalui aneka riset-riset yang faktanya dapat dipertanggungjawaban, atau juga melalui membaca dan diskusi atau sekedar warung kopi. Setelah mampu memahami yang lampau dan sekarang, baru kemudian melakukan perekayasaan di masa depan yang didasarkan pada pengetahuan yang komprehensif tersebut. Kemampuan merekayasa masa depan adalah ciri khas seorang Future Leaders.

Future Leaders dapat mengidentifikasi unsur-unsur yang kemudian akan diintegrasikan membentuk suatu sistem yang sesuai tujuan negara. Kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur ini adalah kelebihan dari Future Leaders dan kemudian diikuti dengan langkah perekayasaannya. Bangsa menginginkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (pembukaan UUD 1945), maka seorang Future Leaders merumuskan apa saya unsur yang diperlukan untuk mencapai cita-cita negara tersebut. Kondisi unsur-unsur tersebut seperti apa saat ini, dan bagaimana merekayasa (mencari solusi) agar unsur-unsur tersebut dapat diintegrasi membentuk satu keutuhan untuk mencapai cita-cita bangsa tersebut. Intinya, Future Leaders memiliki pemikiran yang jauh namun tetap  berpijak pada masa sekarang. Mereka terbuka kepada siapapun dan mau belajar kepada siapapun. Mereka juga telah membuat formula negara idaman sehingga jika suatu saat berkiprah ke masyarakat entah di sektor publik, privat, atau sektor ketiga, mereka mampu menjadi penggerak dan ideolog di masing-masing lingkungannya. Mereka bergerak berdasarkan visi dan idealisme, tidak sekedar kepentingan dan paragmatisme. 

0 komentar: