Thursday, October 15, 2015

Moral

Acuan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tak ada lagi. Seorang dengan sangat mudah mengubah karakter individunya setiap saat. Sekarang menjadi bapak yang baik, besoknya lagi menyelingkuhi isteri orang, besoknya kemudian menjadi ustadz, dan sebagainya. Dalam interaksi di dunia maya seorang juga sangat mudah men-share sesuatu tanpa dimengerti terlebih dahulu apa maksudnya, begitu pula posting. Ini menandakan pijakan yang digunakan dalam kehidupan sudah bias, walaupun di KTP Ia jelas beragama tertentu. Orang-orang tanpa pijakan ini ibarat bunglon yang terombang-ambing oleh citra. Kita sudah  familier dengan kata "pencitraan" yang menandakan setiap tindakan sesuatu adalah topeng saja berupa aktivitas imajiner yang hanya luarnya terlihat bagus.

Indikasi tergerusnya moral anak bangsa salah satu sebabnya adalah akibat agama tak lagi dijadikan sandaran hidup. Biarpun di zaman sekarang kebebasan seakan tak ada yang menghalangi namun pemahaman terkait itu justru semakin menurun. Agama sekedar menjadi ritualitas tak lebih. Hal-hal yang menjadi landasan moral akhirnya adalah suatu kerak berupa pencitraan. Pencitraan ini diulang terus sampai pada akhirnya orang-orang awam mengikutinya dan menganggap sebagai moral. Pencitraan ini sendiri dilakukan oleh orang-orang yang punya nama alias tokoh. Kita tahu bersama di negara kita ketokohan menjadi suatu role model. Seorang awam memilih X karena tokoh A sedangkan tokoh A sendiri memiliki  moralitas yang berubah-ubah karena ia bersandar pada pencitraan. Orang awam di negara kita banyakan meniru/mencontoh hal/orang yang terlihat oleh mata telanjang. Mengimajinasikan Nabi yang hidup sekian ribu tahun lalu dianggap sangat susah. Sosok Nabi hanya muncul saat ucapan sholawat yang memuat namanya.

Merosotnya pegangan dalam hidup menciptakan kemrosotan dalam moral yang berujung pada biasnya aktivitas dalam hidup. Hidup hanya sekedar dijalankan dengan aktivitas-aktivitas rutin seperti makan, istirahat, kerja, dan sebagainya, namun secara hakikat sebenarnya kering tanpa nilai. Mengisi otak dengan pengetahuan-pengetahuan baru untuk meningkatkan kapasitas diri seolah menjadi pekerjaan sia-sia. Lantas jika demikian, apa bedanya manusia dengan binatang ? 

0 komentar: