Salah satu output dari
Sumpah Pemuda pada 1928 adalah berbahasa satu, bahasa Indonesia. Diputuskannya
bahasa Indonesia jelas melalui aneka perdebatan yang cukup pelik. Pernah bahasa
Jawa akan diangkat sebagai bahasa nasional, tapi toh akhirnya bahasa Melayu
sebagai bahasa nasional. Dulu di awal-awal kemerdekaan, pengakademikan bahasa
Indonesia dilakukan. Penggunaaan kamus
bahasa Indonesia menjadi kewajiban ketika belajar bahasa Indonesia di sekolah. Saya
pernah mengalaminya saat Sekolah Dasar pada 2000-an awal. Bahasa Indonesia pun
dikembangkan dengan aneka ejaan, sampai akhirnya berakhir pada Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
Namun ketika arus informasi
bergulir apalagi setelah berkembangnya internet, kultur asing pun dengan mudah
diakses. Bahasa yang juga bagian dari kultur pun ikut tergerus. Penyerapan
bahasa asing menjadi semakin masif, namun karena lambatnya dewan bahasa,
penyerapan bahasa bergerak sangat lamban. Kini, seringkali bahasa asing dipakai
mentah dalam komunikasi setiap hari. Obrolan sehari-hari jadinya tak hanya
menggunakan bahasa Indonesia resmi sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), melainkan juga menggunakan bahasa asing, Karena seringnya dipakai dan
interferensi pemerintah yang miliki otoritas cenderung kecil bahkan tidak ada,
ini menimbulkan upaya hegemonik sepeti yang diungkapkan Gramsci. Muncul aliran
bahasa baru dalam komunikasi seperti halnya bahasa alay. Juga menggunakan bahasa asing (khususnya bahasa Inggris)
dalam komunikasi sehari-hari dianggap keren dan berkelas berhubung banyak
pejabat publik (politisi, artis, akademsi, dll) yang melakukan.
Relativisme dalam
Postmodernisme
Postmodernisme menganggap
segala hal menjadi relatif. Individu menjadi kekuatan yang memiliki keunikan
yang harus diberikan ruang lebih, hak-hak individu diangkat. Kebebasan individu
menjadi mainstream baru. Arus ini
merobohkan hak-hak komunal. Dalam konteks bahasa, bahasa Indonesia yang telah
diformalkan oleh dewan bahasa dirobohkan secara perlahan dengan mengkombinasikannya
dengan bahasa asing dalam komunikasi. Pemakaian bahasa ini disamping bahasa alay menjadi kebebasan individu yang harus
ditoleransi. Apalagi setelah justifikasi teori postmodernisme. Fenomena ini
menjadi menyebar seperti virus akibat peran media. Orang-orang yang penasaran
awalnya mencoba-coba namun akhirnya menjadi kebiasaan. Lahirlah pandangan bahwa
komunikasi dengan bahasa campur-campur menjadi kreativitas yang layak didukung.
Fenomena vicky-sasi adalah salah satu
contohnya.
Dalam teori Gramsci
dikatakan bahwa setiap orang akan menghegemoni orang lain. Orang yang memiliki
kekuatan lebih akan dengan mudah mengalahkan orang lain yang lebih lemah. Orang
yang saya tulis tersebut dapat digantikan dengan subjek lain seperti komunitas,
kelompok, bahkan negara. Karena arus globalisasi dimana hegemoni Barat menyebar
ke banyak hal termasuk halnya budaya dan bahasa dan arusnya lebih deras dari
pada hegemoni lokal menjadikan ia lebih leading
dan berada di garda depan. Bahasa pun kena dampaknya dengan semakin terkikisnya
bahasa nasional dan digantikan dengan kombinasi bahasa asing.
Laju Hegemonik Lokal Ditambah
Dalam konteks nasionalisme,
arus hegemonik barat seharusnya dilawan dengan arus hegemonik lokal yang
sifatnya atas dasar nasionalisme. Bahasa Indonesia harus dikembangkan dan
disesuaikan dengan kondisi saat ini agar dapat melawan asingisasi bahasa.
Stagnasi bahasa Indonesia tak boleh dibiarkan begitu saja. Dewan bahasa harus
disokong untuk melakukan upaya tersebut. Mungkin perlu dengan ditambah lagi riset-riset
terkait bahasa Indonesia dan akar-akar budaya nasional lain. Hasil pengembangan
bahasa kudu diformalisasi sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para
intelektual dan akademisi. Jika tidak dilakukan upaya serius oleh pemerintah,
saya khawatir bahasa Indonesia akan dimuseumkan di suatu saat. Anak-anak cucu
kita justru lebih mengenal bahasa asing dari pada bahasa ibu sendiri.
0 komentar:
Post a Comment