10 Agustus ditetapkan setiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harteknas). Tanggal ini konon dipilih untuk mengenang kesuksesan Pesawat N250 yang digagas BJ. Habibie terbang mengitari langit Bandung dan sekitarnya. Pesawat ini konon adalah pesawat asli buatan anak bangsa yang pertama. Dicanangkan Harteknas oleh Pemerintah salah satu harapannya adalah untuk memberikan spirit ke generasi penerus bahwa Indonesia dapat sejajar dengan negara dan bangsa lain untuk menguasai teknologi. Harteknas ini juga semacam klaim bahwa Pemerintah memberikan ruang yang besar bagi anak bangsa untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Realitanya sudah sekitar 20 tahun sejak puncak Harteknas pada 10 Agustus 1995, perkembangan sains dan teknologi di Indonesia mandeg. Saya yang sudah 7 tahun berada di kampus teknik tertua di Indonesia saja tidak begitu faham arah riset yang dilakukan oleh ilmuwan dan teknolog yang berada di lingkungan kampus ITB. Apalagi dari institusi lain seperti LIPI, BPPT, LAPAN, dan juga kampus-kampus lain. Mungkin Anda akan menyangkal, "Salah kamu sendiri tidak blusukan dengan lab-lab yang ada di ITB, di sana kan dikembangkan aneka keilmuan. Hasilnya bahwa diakui internasional seperti misalnya dipublikasi di jurnal internasional". Jika ada yang mengatakan demikian, saya akan balik tanya, "Dapatkan Anda menceritakan seberapa jauh progress dari penelitian yang telah dilakukan ? Apakah output dari penelitian sekedar publikasi ke jurnal ilmiah internasional yang terindeks scopus misalnya ?". Jika demikian kiranya, ini hanya sekedar routiney fool yang tidak memiliki orientasi yang riil. Dari sini saya bertanya, "What is science and technology for ?". Saya yakin hadirnya saintek adalah memudahkan meraih tujuan yang telah kita sepakati. Dalam konteks negara bangsa, maka saintek adalah merealisasikan tujuan negara yang tertera dalam Pancasila dan mukaddimah UUD 1945.
Saya tidak habis pikir setiap tahun Harteknas diperingati tentunya dengan biaya yang tidak murah. Padahal kita tidak melihat adanya hubungan iptek untuk kemajuan bangsa dan negara. Buktinya sederhana, teknologi dan industri hubungannya erat sekali (tak dapat dilepaskan), namun di kita ilmu-ilmu engineering di kampus tak dapat dipakai di dunia industri. Maka, jika industri meminta kampus untuk membantu maka tak lebih dari reverse engineering atau benerin mesin-mesin agar usianya lebih lama. Padahal di kampus dipelajari termodinamika dan beberapa konsep dasar lainnya yang keluarannya adalah membuat alat dan sebagainya. Industri kita nyatanya membeli peralatan mesin dari luar negeri, sementara para pekerjanya tinggal pakai. Dari sini tak kaget bahwa lulusan Perguruan Tinggi hanya mampu menjadi pekerja industri secara keadaan tidak memungkinkan mereka untuk membangun industri. Jika ada yang membuat perusahaan, maka itu masih dalam tataran perusahaan dengan skala mikro dan menengah dimana didalamnya tak ketat menggunakan basis keilmuan.
Di ITB yang Sepi
Sejauh ini kampus ITB mengembangkan dirinya dengan konsep multikampus. Saat ini ITB berlokasi tak hanya di Jalan Ganesa Bandung, melainkan merembet ke Jatinangor dan yang paling baru Cirebon. Pengembangan ini sepintas menunjukkan bahwa gairah belajar Iptek setidaknya di Jawa Barat cukup besar, namun disini saya memandang lain. Pengembangan Iptek tak bisa tidak pasti dibutuhkan lokasi (lokus) yang didalamnya terdapat aktivitas dan komunitas yang solid terkait dengan itu. Tegasnya melalui interaksi yang intens di antara komunitas pengembang ipteks memunculkan budaya. Budaya ini menjadi corak dan tak mudah diduplikasi di wilayah lain. Kampus ITB Jatinangor dan Cirebon menurut saya tidak dapat disamakan budayanya dengan kampus ITB Ganesa karena selain usianya belum lama juga interaksi antarakademisi belum intens terbentuk. Apalagi dosen-dosen yang mengajar di kampus itu (kampus ITB Cirebon saya belum tahu) mengajar juga di kampus ITB Ganesa. Artinya mereka mbajak dari Bandung-Jatinagor PP. Saya lebih setuju jika ITB membuka cabang baik di Jatinangor maupun Cirebon atau tidak menutup kemungkinan di daerah lain maka dosen dan pengurus kampus itu (rektor dan turunannya) harus terpisah dari manajemen kampus ITB Ganesa. Pedoman saya, kultur (budaya) itu selaras dengan lingkungan (geografis).
Pembukaan cabang ITB di kota-kota lain ini menjadikan kampus ini tak lebih sekedar jualan, tidak berbeda dengan kampus yang ada di Indonesia pada umumnya. Bukannya kualitas penelitian yang dipacu, melainkan jumlah lulusannya. Jika ini terus digalakkan, maka jangan kaget jika suatu saat ijazah lulusan ITB berharga murah karena sukarnya membedakan lulusan ITB dengan kampus lain. Artinya apa, karakter lulusan ITB tidak jelas. Saya akui, memang saya bukan lulusan ITB yang qualified secara keilmuan saya dulu di Matematika. Buktinya saya sekarang membelot ke Studi Pembangunan. Namun, saya khawatir dengan masa depan kampus ini jika tanda-tanda dugaan saya itu semakin mengarah ke kenyataan. Saya melihat tanda-tandanya sebagai contoh, jam malam di ITB digalakkan, di sini kampus tidak terbuka 24 jam bagi para mahasiswa ITB untuk beraktivitas. Kedua, dari dulu saya masuk ITB (2009) sampai sekarang, forum ilmiah sukar diadakan di kalangan mahasiswa. Kaderisasi dan acara-acara non-akademik yang justru ramai, di sini saya bertanya, "Halo, ini kampus atau Event Organizer ?". Ketiga, di kampus ini ilmuwan dan teknolog yang karyanya diakui di dunia akademik tidak seterkenal artis dan tokoh politik. Jadi di obrolan warung kopi, yang dibahas bukan "Si dosen A menemukan ini lo", tapi "Yuk kita buat event itu biar dapet projek dari Pak itu".
Kondisi-kondisi inilah yang membuat saya semakin yakin bahwa pengembangan keilmuan yang riil di kampus ITB hanya dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok saja. Sebagian besar dari civitas akademika melakukannya untuk jangka pendek saja. Apakah ini salah ? sulit untuk dijawab, mengingat Pemerintah yang memiliki saham terbesar akan masa depan ITB nyatanya tidak punya visi yang jelas dalam pengembangan Iptek. Maka dari sini tidaklah mengherankan bahwa momen Harteknas di kampus ini tidak seramai hari ulang tahun kampus. 10 Agustus tak lebih dari sekedar tanggal seperti tanggal-tanggal lain.
0 komentar:
Post a Comment