Source : |
Atas dasar temuan di atas, banyak pihak khususnya para penjaga nilai (sebagai contoh pemikir kebudayaan) merasa resah atas kondisi anak muda yang seolah terhanyut dengan medsos ini. Banyak anak muda yang tidak memiliki determinasi (floating), pintas (instan) dalam bertindak, sulit fokus, dan kurang percaya diri. Jika diperas lagi, anak muda kehilangan nilai (value) dan mudah terseret akan arus. Dalam konteks individu anak muda ini mungkin tidak akan terasa karena Ia merasa senang ketika foto hasil unggahannya di Instagram, Path, dan Facebook misalnya dapat 'like' sekian ratus orang. Atau beberapa postingannya mendapat 'like' and 'share' dari banyak orang. Anak muda seperti itu seolah mendapatkan justifikasi bahwa apa yang dia lakukan benar, sementara para 'likers' dan 'sharer' juga mendapat kebenaran dari orang yang dianggapnya memberikan suatu pendapat atas suatu persoalan. Di sini, kebenaran seolah bergeser dari kaum cendekia (yang umumnya karyanya berupa buku-buku) ke kaum populis yang terkenal bukan karena track record karya fenomenalnya yang diakui oleh sangat banyak lapisan masyarakat.
Sampai saat ini belum ada kaum cendekia Indonesia yang mengulas secara detail perihal kondisi di atas dengan menawarkan strategi kebudayaan yang kontekstual. Beberapa waktu lalu Pak Yasraf mengatakan bahwa kita kudu buat satu karya yang menjelaskan manusia Indonesia hari ini. Buku "Manusia Indonesia" yang dibuat Mohtar Lubis dan juga di era sebelumnya Koetjaningrat relevan pada zamannya namun bukan saat ini. Saya kira apa yang dikatakan Pak Yasraf betul. Namun perlu dilihat juga, para pemikir kebudayaan sekarang umumnya masih menggunakan paradigma lama sehingga apa yang diwejangkan kurang begitu menyentuh jantung realitas.Sebagai contoh banyak pemikir kebudayaan yang hanya menyajikan teori-teori sosial kebudayaan Barat namun kurang berfikir independen dengan menyingkap realitas kebangsaan yang utuh. Saya kira ini PR besar bagi Pak Yasraf dan kawan-kawan.
Tren Startup
Pada hari kemerdekaan lalu (17/8/2016), saat makan di warung Jawa tak jauh dari FKG Unpad, saya lihat paparan menarik dari budayawan Radhar Panca Dahana. Beliau katakan bahwa tantangan anak muda hari ini jauh lebih berat dibandingkan anak muda pada zamannya. Mereka saat ini dihadapkan pada dunia yang penuh dengan kuasa kaum tua di berbagai sektor kehidupan. Para orang tua ini umumnya telah menutup kantong kreativitas anak muda sehingga tidak bisa berkutik. Satu celah yang belum terlalu disentuh oleh orang tua adalah dunia maya (internet). Ditarik di sini ekonomi adalah bisnis startup. Hari ini seolah hanya dunia tersebut yang mampu memberikan ruang lebih bagi anak muda untuk berkreativitas lebih jauh. Kita hari ini bisa melihat hasil dari kretivitas mereka seperti munculnya Aplikasi android. Dunia startup ini perlu ditelusuri apakah sejatinya itu merupakan dunia yang kokoh untuk pengembangan usaha ?.
Di Indonesia jika saya amati, perkembangan banyak startup di bidang IT kurang dilandasi dengan visi yang solid. Banyak anak muda yang membuat bisnis jenis itu karena ikut-ikutan. Munculnya Go-Jek disusul dengan munculnya aplikasi yang serupa. Artinya di sini, kreativitas yang ada pada anak muda tidak original, tidak dengan landasan pengetahuan yang kokoh. Dosen saya pada semalam (27/8) katakan bahwa para anak muda yang bergelut di situ hanya mengisi batas luar (periphery) dari pengembangan pengetahuan (dalam hal ini IT). Mereka tidak menusuk pada jantung terdalam dalam pengembangan IT. Jika benar-benar dalam pengembangan IT, maka level permainannya tidak sekedar aplikasi android melainkan operating system atau sekarang seperti Artificial Intelligence (AI) yang sedang dikembangkan Barat. Artinya disini bisnis yang padat pengetahuan. Jika ditarik lagi, bisnis yang menjembatani pengetahuan yang diajarkan di kampus. Contoh selain IT yang saya tahu yakni teknologi membran yang sedang dikembangkan I Gede Wenten. Saya tidak kontra dengan mereka yang bergelut di dunia startup, namun justru sangat berbangga kepada teman-teman saya yang mengisi bidang itu. Bangganya saya, mereka dapat maju di tengah infrastruktur yang kurang memandai di Indonesia. Bagi saya mereka pejuang (hero) di era saat ini. Tinggal tunggu waktu, kapan kita dapat kembangkan IT yang mengarah ke jantung landasan dasarnya. Semoga saja tidak lama.
0 komentar:
Post a Comment