Tuesday, August 09, 2016

#OpiniHarteknas : Komersialisasi Riset di Perguruan Tinggi Kita

Setidaknya ada beberapa poin yang dapat saya ambil dari tulisan Fajri Siregar di SELASAR (5/8/2016) yang berjudul “Memberdayakan Riset”. Pertama, perlunya menyelaraskan riset dengan kebutuhan sehingga hasil riset akan dapat termanfaatkan secara langsung. Kedua, perlu dijembatani antara hasil riset dengan pengguna riset. Dua poin ini mengantarkan saya pada satu istilah yang umum bagi pegiat inovasi yaitu komersialisasi riset.

Komersialisasi riset sederhananya berarti memanfatkan hasil riset untuk kepentingan ekonomik. Sebagai contoh hasil riset dimanfaatkan oleh perusahaan. Implikasinya terdapat hubungan yang cukup erat (harmoni) antara pelaku riset dengan pelaku usaha (industri). Industri biasanya memberikan dana riset kepada pelaku riset (peneliti). Setelah riset telah selesai dan berhasil, hasil (produk) riset akan dimanfaatkan industri. Pola ini bisa dikatakan sebagai simbiosis mutualisme, dimana peneliti diuntungkan dengan insentif dan peluang untuk riset, sedangkan perusahaan diuntungkan dengan produk riset yang kompetitif.

Komersialisasi Riset : Baik atau Buruk ?

Pertanyaan ini seringkali muncul khususnya dari kalangan akademisi Perguruan Tinggi. Mereka dapat dikelompokkan dalam dua aliran (mahzab). Mahzab satu mengatakan bahwa komersialisasi riset itu baik karena hasil riset akan langsung termanfaatkan sehingga tidak mubazir. Ada yang menyebut hal ini sebagai bentuk dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabidan kepada masyarakat. Mahzab satunya lagi mengatakan bahwa komersialisasi riset berarti kapitalisasi pengetahuan dimana ini bertentangan dengan jatidiri universitas sebagai lembaga pendidikan yang jauh dari unsur bisnis (komersial). Dua mahzab ini seringkali bertikai dan tak ada ujungnya. Tak hanya di Indonesia, di negara-negara Barat yang kampusnya bisa dikatakan mapan juga mengalami hal serupa. Ini tak lain disebabkan karena latar belakang berdirinya universitas di berbagai negara berbeda.



Sebagai contoh berdirinya kampus-kampus di Amerika Serikat tak dapat dilepaskan dengan golongan pedagang Eropa yang ingin mengembangkan bisnisnya. Posisi kampus-kampus saat itu bisa dikatakan sebagai pelayan industri/perusahaan. Berbeda halnya dengan kampus-kampus di Eropa yang berdirinya tak dapat dilepaskan dari golongan kaum bangsawan seperti kalangan kerajaan serta pemuka agama. Aktivitas komersialisasi riset mulai masif digalakkan di masa berdirinya kampus-kampus di Amerika tersebut. Silicon Valley adalah bukti betapa suksesnya hubungan Perguruan Tinggi (Stanford University) dengan dunia usaha yang berbasis di California ini. Satu poin penting dari sini adalah berdirinya suatu kampus bertujuan untuk menjawab kemauan investor kampus itu. Jika dilihat dalam konteks Amerika Serikat, maka dunia usaha adalah investornya.

Namun, jika melihat konteks Indonesia, sungguh sangat pelik. Ambil contoh saja Institut Teknologi Bandung (ITB). Berdirinya kampus ini pada 1920 adalah untuk men-supply tenaga kerja terdidik dari kaum pribumi untuk nanti bekerja pada Belanda. Tujuan awal tersebut bergeser ketika Indonesia merdeka, sampai tiba tenaga pengajar dari Amerika Serikat (Kentucky Contract Team) menggantikan pada dosen dari Belanda. Saat itu, hal-hal peninggalan Belanda diganti dan konon buku-buku peninggalannya dibakar. Pada masa Belanda, metode pengajaran di ITB lebih ditekankan aspek pemahaman secara mendalam atas teori yang diajarkan. Pada masa itu peragaan di kelas menjadi hal biasa dan ujian dilaksanakan secara lisan. Budaya akademis semacam itu diganti dengan budaya baru dari Amerika. Pada masa itu, buku ajar (textbook) mulai diperkenalkan metode tanya jawab, juga multiple choise pada saat ujian. Biarpun metode ajar sudah mengikuti metode Amerika, dosen-dosen ITB yang pernah diajar akademisi Belanda masih cukup banyak dan berpengaruh di ITB. Warna mereka masih sangat terasa di ITB, apalagi setelah ditambah dengan banyaknya dosen yang studi lanjut ke Eropa dan Jepang. Karena heterogenitas dosen ITB sangat tinggi ditambah dengan arahan Pemerintah yang tidak jelas dalam hal riset, para akademisi ITB seoalah bergerak sendiri-sendiri baik dalam hal riset maupun aktivitas lainnya. Komersialisasi riset yang ada di ITB pun pada akhirnya dilakukan atas inisiatif dosen tertentu, bukan dari ITB secara institusi,

Dari sejarahnya, komersialisasi riset dilakukan karena interaksi yang kuat antara dunia usaha (industri) dan Perguruan Tinggi. Ini bisa dikatakan sukses dijalankan di Amerika Serikat. Jika ditarik ke wilayah Indonesia, hal ini menjadi kurang begitu relevan. Hal ini dikarenakan tujuan awal didirikannya kampus bukan untuk itu. Hubungan kampus-kampus kita dengan industri pun tidak kuat. Umumnya kampus kita masih bergerak di tataran pengajaran (teaching) dan menghasilkan lulusan yang siap kerja, bukan siap mendirikan usaha. Munculnya beberapa dosen dan juga mahasiswa yang melakukan komersialisasi riset menjadi hal yang tidak bisa dilarang.

Menselaraskan dengan Visi

Pada masa Pemerintahan Jokowi, Kementerian pendidikan tinggi dipisah dengan pendidikan dasar yang bernama Kemenristekdikti. Harapan dibentuknya kementerian baru salah satunya adalah untuk memperbaiki kualitas riset kita secara signifikan. Realitanya ternyata tak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Kampus-kampus kita secara kualitas ternyata masih jauh jika dibandingkan dengan kampus-kampus lain di Luar Negeri (Tulisan Fuad Rakhman di Jakarta Post (7/12/2013) http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/07/ri-universities-cannot-compete-internationally.htmlmasih relevan). Celakanya, Pemerintah juga tidak memberikan ‘arah’ riset bagi kampus-kampus khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Publikasi internasional seakan-akan satu-satunya parameter kemajuan riset. Padahal, kemajuan riset ini ditopang dengan aneka variabel yang kompleks, tidak bisa parsial.

Karena Pemerintah tak dapat diharapkan, satu-satunya harapan adalah visi Perguruan Tinggi dalam rentang satu periode rektor. Terkait komersialisasi riset, sebenarnya sangat selaras dengan visi yang dibawa rektor ITB saat ini, Kadarsah Suryadi. Dalam lima tahun kedepan sejak 2014, Kadarsah mengusung entrepreneurial university sebagai upaya memajukan ITB. Ekspektasi dari hadirnya ide ini adalah para dosen dan juga mahasiswa yang mampu menangkap peluang bisnis dari apa yang dipelajari (komersialisasi riset) diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang. Namun ternyata, realitanya tidak demikian. Kampus tidak peduli dengan aktivitas bisnis yang dilakukan baik dosen maupun mahasiswa. Kampus hanya memonitoring hal-hal rutin seperti pengumpulan nilai dan berkas akademik lain. Ini saya kira kerugian bagi kampus itu sendiri. Padahal jika ditengok dari kalangan mahasiswa ITB saja untuk angkatan 2008 lulusannya 6 persen terjun di dunia usaha sedangkan angkatan 2007 dengan 7.05 persen (Tracer Study ITB). Fakta ini menunjukkan gap terkait komersialisasi riset dalam tataran ide dan praktik. Nah, apakah dengan adanya momentum Harteknas yang diperingati tiap 10 Agustus dapat menangkap fenomena ini ? Entahlah. 

*) sumber gambar research.fsu.edu

0 komentar: