Setidaknya ada beberapa poin yang dapat
saya ambil dari tulisan Fajri Siregar di SELASAR (5/8/2016) yang berjudul “Memberdayakan
Riset”. Pertama, perlunya
menyelaraskan riset dengan kebutuhan sehingga hasil riset akan dapat
termanfaatkan secara langsung. Kedua,
perlu dijembatani antara hasil riset dengan pengguna riset. Dua poin ini
mengantarkan saya pada satu istilah yang umum bagi pegiat inovasi yaitu
komersialisasi riset.
Komersialisasi riset sederhananya berarti
memanfatkan hasil riset untuk kepentingan ekonomik. Sebagai contoh hasil riset
dimanfaatkan oleh perusahaan. Implikasinya terdapat hubungan yang cukup erat
(harmoni) antara pelaku riset dengan pelaku usaha (industri). Industri biasanya
memberikan dana riset kepada pelaku riset (peneliti). Setelah riset telah
selesai dan berhasil, hasil (produk) riset akan dimanfaatkan industri. Pola ini
bisa dikatakan sebagai simbiosis mutualisme, dimana peneliti diuntungkan dengan
insentif dan peluang untuk riset, sedangkan perusahaan diuntungkan dengan
produk riset yang kompetitif.
Komersialisasi Riset : Baik atau Buruk ?
Pertanyaan ini seringkali muncul khususnya
dari kalangan akademisi Perguruan Tinggi. Mereka dapat dikelompokkan dalam dua aliran
(mahzab). Mahzab satu mengatakan bahwa komersialisasi riset itu baik karena
hasil riset akan langsung termanfaatkan sehingga tidak mubazir. Ada yang
menyebut hal ini sebagai bentuk dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni
pengabidan kepada masyarakat. Mahzab satunya lagi mengatakan bahwa
komersialisasi riset berarti kapitalisasi pengetahuan dimana ini bertentangan
dengan jatidiri universitas sebagai lembaga pendidikan yang jauh dari unsur
bisnis (komersial). Dua mahzab ini seringkali bertikai dan tak ada ujungnya.
Tak hanya di Indonesia, di negara-negara Barat yang kampusnya bisa dikatakan
mapan juga mengalami hal serupa. Ini tak lain disebabkan karena latar belakang
berdirinya universitas di berbagai negara berbeda.
Sebagai contoh berdirinya kampus-kampus di
Amerika Serikat tak dapat dilepaskan dengan golongan pedagang Eropa yang ingin
mengembangkan bisnisnya. Posisi kampus-kampus saat itu bisa dikatakan sebagai
pelayan industri/perusahaan. Berbeda halnya dengan kampus-kampus di Eropa yang
berdirinya tak dapat dilepaskan dari golongan kaum bangsawan seperti kalangan
kerajaan serta pemuka agama. Aktivitas komersialisasi riset mulai masif
digalakkan di masa berdirinya kampus-kampus di Amerika tersebut. Silicon Valley
adalah bukti betapa suksesnya hubungan Perguruan Tinggi (Stanford University)
dengan dunia usaha yang berbasis di California ini. Satu poin penting dari sini
adalah berdirinya suatu kampus bertujuan untuk menjawab kemauan investor kampus
itu. Jika dilihat dalam konteks Amerika Serikat, maka dunia usaha adalah investornya.
Namun, jika melihat konteks Indonesia,
sungguh sangat pelik. Ambil contoh saja Institut Teknologi Bandung (ITB).
Berdirinya kampus ini pada 1920 adalah untuk men-supply tenaga kerja terdidik dari kaum pribumi untuk nanti bekerja
pada Belanda. Tujuan awal tersebut bergeser ketika Indonesia merdeka, sampai
tiba tenaga pengajar dari Amerika Serikat (Kentucky Contract Team) menggantikan
pada dosen dari Belanda. Saat itu, hal-hal peninggalan Belanda diganti dan
konon buku-buku peninggalannya dibakar. Pada masa Belanda, metode pengajaran di
ITB lebih ditekankan aspek pemahaman secara mendalam atas teori yang diajarkan.
Pada masa itu peragaan di kelas menjadi hal biasa dan ujian dilaksanakan secara
lisan. Budaya akademis semacam itu diganti dengan budaya baru dari Amerika.
Pada masa itu, buku ajar (textbook)
mulai diperkenalkan metode tanya jawab, juga multiple choise pada saat ujian. Biarpun metode ajar sudah
mengikuti metode Amerika, dosen-dosen ITB yang pernah diajar akademisi Belanda
masih cukup banyak dan berpengaruh di ITB. Warna mereka masih sangat terasa di
ITB, apalagi setelah ditambah dengan banyaknya dosen yang studi lanjut ke Eropa
dan Jepang. Karena heterogenitas dosen ITB sangat tinggi ditambah dengan arahan
Pemerintah yang tidak jelas dalam hal riset, para akademisi ITB seoalah bergerak
sendiri-sendiri baik dalam hal riset maupun aktivitas lainnya. Komersialisasi
riset yang ada di ITB pun pada akhirnya dilakukan atas inisiatif dosen
tertentu, bukan dari ITB secara institusi,
Dari sejarahnya, komersialisasi riset
dilakukan karena interaksi yang kuat antara dunia usaha (industri) dan
Perguruan Tinggi. Ini bisa dikatakan sukses dijalankan di Amerika Serikat. Jika
ditarik ke wilayah Indonesia, hal ini menjadi kurang begitu relevan. Hal ini
dikarenakan tujuan awal didirikannya kampus bukan untuk itu. Hubungan
kampus-kampus kita dengan industri pun tidak kuat. Umumnya kampus kita masih
bergerak di tataran pengajaran (teaching)
dan menghasilkan lulusan yang siap kerja, bukan siap mendirikan usaha.
Munculnya beberapa dosen dan juga mahasiswa yang melakukan komersialisasi riset
menjadi hal yang tidak bisa dilarang.
Menselaraskan dengan Visi
Pada masa Pemerintahan Jokowi, Kementerian
pendidikan tinggi dipisah dengan pendidikan dasar yang bernama
Kemenristekdikti. Harapan dibentuknya kementerian baru salah satunya adalah
untuk memperbaiki kualitas riset kita secara signifikan. Realitanya ternyata
tak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Kampus-kampus kita secara kualitas ternyata
masih jauh jika dibandingkan dengan kampus-kampus lain di Luar Negeri (Tulisan
Fuad Rakhman di Jakarta Post (7/12/2013) http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/07/ri-universities-cannot-compete-internationally.htmlmasih relevan). Celakanya, Pemerintah juga tidak memberikan ‘arah’ riset bagi
kampus-kampus khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Publikasi internasional
seakan-akan satu-satunya parameter kemajuan riset. Padahal, kemajuan riset ini ditopang
dengan aneka variabel yang kompleks, tidak bisa parsial.
Karena Pemerintah tak dapat diharapkan,
satu-satunya harapan adalah visi Perguruan Tinggi dalam rentang satu periode
rektor. Terkait komersialisasi riset, sebenarnya sangat selaras dengan visi
yang dibawa rektor ITB saat ini, Kadarsah Suryadi. Dalam lima tahun kedepan
sejak 2014, Kadarsah mengusung entrepreneurial
university sebagai upaya memajukan ITB. Ekspektasi dari hadirnya ide ini
adalah para dosen dan juga mahasiswa yang mampu menangkap peluang bisnis dari
apa yang dipelajari (komersialisasi riset) diberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk berkembang. Namun ternyata, realitanya tidak demikian. Kampus tidak
peduli dengan aktivitas bisnis yang dilakukan baik dosen maupun mahasiswa.
Kampus hanya memonitoring hal-hal rutin seperti pengumpulan nilai dan berkas
akademik lain. Ini saya kira kerugian bagi kampus itu sendiri. Padahal jika
ditengok dari kalangan mahasiswa ITB saja untuk angkatan 2008 lulusannya 6
persen terjun di dunia usaha sedangkan angkatan 2007 dengan 7.05 persen (Tracer
Study ITB). Fakta ini menunjukkan gap terkait komersialisasi riset dalam
tataran ide dan praktik. Nah, apakah dengan adanya momentum Harteknas yang
diperingati tiap 10 Agustus dapat menangkap fenomena ini ? Entahlah.
*) sumber gambar
0 komentar:
Post a Comment