Saya seolah dibawah ke ranah
mahasiswa ITB 70-an dimana orang-orangnya penuh dengan ambisi dan gairah
menjadi individu yang unggul di bidangnya masing-masing. Buku biru karangan
Cardiyan H.I.S ini sedikit banyak gambarkan kondisi ITB saat itu. Orang-orang
ITB baik mahasiswa maupun alumninya dikenal Percaya Diri yang tak ketulungan
(baca : sombong). Ini tercermin di setiap penyambutan mahasiswa baru dengan
spanduk “Selamat Datang Putera Puteri Indonesia Terbaik”. Selain itu,
masyarakat ITB umumnya adalah lulusan terbaik dari SMA-SMA-nya. Di samping itu,
di ITB sendiri dosennya juga banyak memberikan sentilan “Terbaik” kepada para
mahasiswa. Atas dasar inilah, banyak dari mahasiswa ITB saat itu lantang
berbicara di depan umum untuk sekedar demonstrasi dan sejenisnya. Tak jarang,
mahasiswa ITB memimpin aneka aksi yang dilakukan mahasiswa Indonesia.
Buku ini selain menyingkap
kondisi ITB saat itu juga memberikan alternatif rekomendasi bagaimana manusia
ITB seharusnya. Menurut penulis, manusia ITB seharusnya memiliki watak wirausaha (entrepreneurship kalo sekarang) yang dapat berkontribusi pada pembangunan ekonomi. Untuk mencapainya dibututuhkan iklim pendidikan yang pas seperti halnya menjalin kerjasama yang solid dengan industri-industri dengan melibatkan mahasiswa selama aktif kuliah. Dalam ranah yang lebih luas, dibutuhkan duplikasi ITB di daerah-daerah lain agar distribusi kualitas pendidikan tinggi di bidang iptek merata. Harapannya ke depan, Indonesia memiliki banyak pengusaha di bidang industri strategis, tdk sekadar UKM yang tidak memiliki akar pengetahuan yg solid.
Kritik akan Isi Buku
Buku ini terlalu mengasumsikan pendidikan ITB sudah sangat ideal. Saya kira penulis terlalu bias ITB. Penulis juga kurang begitu menggali seberapa jauh kontribusi ITB (termasuk alumninya) terhadap pengembangan Iptek di tanah air disamping disajikan posisi ITB dan alumni-alumninya. Selain itu, buku ini kurang menjawab tantangan-tantangan mendasar yang akan dihadapi manusia ITB di abad 21. Saya kira mungkin karena buku ini ditulis sebelum milenium jadi kurang bisa menerka apa yang akan terjadi di abad tersebut. Terakhir, penulis terlalu optimis bahwa Indonesia kedepan (2045) akan maju dan kontribusi ITB atas hal ini sangat besar. Di sini, penulis kurang menyadari bahwa struktur industri dan iklim usaha di Indonesia kurang begitu memperhatikan pengembangan Iptek. Penulis juga seringkali mengambil sampel perusahaan top Amerika dan Jepang (umumnya IT dan elektronika), padahal jika memakai sampel Indonesia industri yang relevan justru di bidang kelautan dan pertanian.
0 komentar:
Post a Comment